- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 4121
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus mendorong peningkatan kualitas konten siaran di semua kategori program acara. Upaya peningkatan kualitas ini tidak hanya akan memberikan rasa aman dan nyaman masyarakat, tapi akan ikut menekan dan menangkal siaran-siaran yang tidak selaras dengan etika, budaya, norma dan nasionalisme.
Hal itu dikemukakan Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, saat menjadi pemateri dalam acara diskusi berbasis daring dengan tema “Wacana Ideologi dan Gerakan Transnasional di Layar Televisi Indonesia” yang diselenggrakan oleh Institut Agama Islam Imam Al Ghazali (IAIIG) Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (7/8/2020)
“Saat ini, KPI sedang membahas dinamika permasalahan yang di penyiaran seperti skema regulasi penyiaran. Kami memiliki sikap yang tegas untuk membuat peta tanggungjawab dan wewenang wajah penyiaran Indonesia dalam upaya menegakan aturan arus penyebaran informasi di kehidupan masyarakat,” jelasnya.
Dia menambahkan, saat ini, jumlah radio berizin di Indonesia mencapai 2.097 dan televisi mencapai 1.106 itu termasuk kategori 16 free to air secara nasional. Menurut Andre, panggilan akrabnya, kewenangan KPI Pusat mengawasi bagian induk jaringan TV. Jika mengarah pada skema regulasi, KPI tidak berhak mengintervensi TV sebelum konten itu dibuat dan baru bisa bergerak di fase pasca produksi konten.
“Dan, salah satu tugas dan fungsi utama dari KPI adalah menjaga sisi moralitas ideologi bangsa melalui pengawasan konten siaran di media mainstream selama 24 jam setiap harinya,” kata Yuliandre Darwis.
Lebih lanjut, Mantan Presiden OIC Broadcasting Regulatory Authorities Forum (IBRAF) ini menegaskan, merujuk pada Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Pasal 6 diterangkan bahwa Lembaga Penyiaran wajib menghormati perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan yang mencakup keberagaman budaya, usia, gender, dan/atau kehidupan sosial.
“Disinilah peran KPI yang menjujung tinggi semangat persatuan dan memupuk rasa nasionalisme di ranah penyiaran,” katanya.
Lebih lanjut, kata Yuliandre, KPI tidak berjalan sendiri untuk mengawal ranah penyiaran Indonesia. Beberapa waktu lalu, katanya, KPI Pusat bersinergi dengan Kementerian Agama, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengah harapan dapat mengawal arah konten dakwah keagamaan di lembaga penyiaran yang selaras dengan koridor agama dan aturan penyiaran.
“Upaya ini untuk mengikis adanya kesalahan atau pelanggaran terhadap nilai agama dan aturan tersebut,” tutur Yuliandre.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Ombudsman RI, Ahmad Suaedi, mengatakan perkembangan teknologi ke arah dunia digital di lingkup agama memiliki efek positif dan juga negatif. Pada era digital, seluruh dunia sudah masuk bagian dari globalisasi. Secara historis, globalisasi yang mengarah ideologis Islam transnasional dimulai dengan masuknya ke tengah sistem kekuasaan. Dari sana kemudian ada paham dari barat yang berhadapan dengan ideologi islam.
“Kekerasan yang sudah masuk ke ranah TV adalah kekerasan yang memiliki nilai jual. Kita tidak bisa melawan era globalisasi yang mempengaruhi ideologi. Pergulatan ini menjadi perkembangan Islam di dunia modern,” ucapnya
Ahmad Suaedi mengatakan paham radikalime membentuk organisasi yang abstrak dan cenderung mengklaim memiliki sebuah negara namun tidak memiliki wilayah. Ideologi radikal ini tumbuh berkembang seiring perkembangan teknologi yang bergerak dengan ketidakpastian.
“Sebab ideologi dan gerakan Islam transnasional memiliki banyak bentuk. Setidaknya ada kapitalisme atau neoliberalisme. Gerakan kapitalisme global atau neoliberalisme yang merusak lingkungan dan tidak memiliki rasa empati terhadap kemiskinan dan kesenjangan,” katanya. *