Jakarta - Salah satu problem yang dihadapi masyarakat kita yang tinggal di wilayah perbatasan adalah problem akses informasi. Sementara ketercukupan informasi termasuk yang turut membantu penyelesaian problem lain terkait dengan kesejahteraan dan keamanan. Hal itu disampaikan Amirudin, Komisioner Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (P2SP) dalam diskusi terbatas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentang "Follow up Kebijakan Penanganan Penyiaran Perbatasan" Jumat (30/1) lalu.

Untuk itu, Amir menambahkan, pengembangan masyarakat kawasan perbatasan bukan hanya cukup ditangani dengan pembangunan sarana-prasarana fisik tetapi juga perlu penanganan akses informasi. Salah satunya dapat dilakukan dengan pengembangan saluran komunikasi massa melalui penguatan penyiaran dalam negeri agar akses informasi penyiaran bukan saja mengalir di wilayah yang sudah maju tetapi juga sampai di kawasan perbatasan. Itu dapat dilakukan dengan cara mendorong RRI dan TVRI agar dapat bersiaran secara nasional sampai ke pelosok tanah air, mengadvokasi pemerintah daerah dalam mendirikan LPP Lokal,  serta dukungan penguatan konten untuk pemberdayaan dan merekatkan hubungan antarbangsa.

Diskusi berlangsung ramai, masing-masing peserta menyampaikan problem perbatasan. Ketua KPID Riau Zainul Ikhwan misalnya mengungkap, masyarakat Bengkalis justru lebih hafal peta jalan tikus menuju Malaysia daripada naskah Pancasila. Untuk itu dia mengusulkan, agar kehadiran TNI dalam menjaga wilayah perbatasan ikut dimanfaatkan untuk bersiaran.

Sementara itu, Gusti Anindya Laksamana, Ditjen SDPPI menambahkan, sebenarnya pihak Malaysia merasa takut dan khawatir dengan konten siaran di Indonesia. Itulah yang menyebabkan di 2005, Malaysia banyak mendirikan ratusan transmitter di perbatasan Malaysia-Indonesia. “Kita baru tersadar pada saat tower didirikan di Pulau Sebatik yang kosong tanpa penduduk, namun arahnya ke Indonesia”, ujar Gusti. Malaysia telah berhasil membuat batas virtual agar penduduk Malaysia tertutup dari siaran Indonesia, tambahnya.

Penjelasan ini sejalan dengan keterangan  Zainul Ikhwan, Ketua KPID Riau. Bahkan, menurut Ikhwan, siaran Malaysia tidak hanya meluber di daerah yang langsung berbatasan dengan Malaysia. “Siaran Malaysia bahkan bisa ditangkap di sepanjang jalur Trans Sumatera”, ujarnya. Sedangkan khusus untuk wilayah Riau yang bersebelahan dengan Malaysia, menurut catatan KPID Riau, terdapat 68 siaran yang dapat ditangkap di Bengkalis, 64 dari Malaysia dan 4 dari Indonesia. Sementara untuk di Dumai, dari 69 siaran yang ada, 60 diantaranya adalah siaran Malaysia dan 9 siaran Indonesia.

Melihat kondisi ini, menurut Ikhwan, negara perlu  menjaga warga negara dari siaran yang terinterferensi siaran asing. “Apa harus menunggu pencaplokan dulu, baru pemerintah peduli dengan masalah siaran di perbatasan?”, tanya Ikhwan.

Pada pertemuan tersebut, Azimah Subagijo Koordinator Bidang P2SP  mengatakan, perlunya perlindungan kepentingan publik di wilayah perbatasan melalui penyediaan konten penyiaran yang ramah pada kebutuhan masyarakat di sana. KPI secara periodik terus akan memberikan penghargaan terhadap TV dan radio yang serius memproduksi konten-konten yang ramah pada perbatasan.  Azimah memutarkan contoh tayangan liputan  perbatasan dari ANTV dan Kompas TV yang menjadi nominator peraih penghargaan anugerah KPI kategori siaran perbatasan.

Danang Sangga Buwana, Komisioner Bidang P2SP meyatakan, dalam menangani penyiaran perbatasan harus pula terintegrasi dengan penanganan infrastruktur, ketahanan nasional dan nasionalisme. “Bagaimana mungkin lembaga penyiaran dapat didirikan di sana apabila sarana dan prasarana fisiknya belum memadai”, ungkapnya. Karenanya menurut Dr Gutmen dari BNPP, pembangunan sarana-prasarana fisik adalah urgen agar kawasan perbatasan menjadi daerah yang terbuka sehingga dapat mendorong kemudahan penyelanggaraan penyiaran di sana.

Dalam diskusi terbatas itu juga dihadiri Brigjen Abdul Hafil Fuddin, Asdep 1-7 Kemenkopolhukam, perwakilan dari Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos  dan Informatika (SDPPI), Direktorat Jenderal Telekomunikasi Khusus (Telsus), Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP), Kementerian Dalam Negeri, Kepalau Pusat Pemberitaan Radio Republik Indonesia (RRI), KPI Daerah Riau, dan KPI Daerah Kalimantan Timur.

Jakarta - KAORI Nusantara (Komunitas Anime Otaku Rakyat Indonesia) berkunjung ke Kantor KPI Pusat, Jakarta. Kedatangan komunitas dan penggemar animasi itu untuk mengetahui peran dan tugas KPI dalam bidang regulasi penyiaran di Indonesia.

Kunjungan diterima langsung oleh Tenaga Ahli Ajudikasi Irvan Sanjaya dan pegawai Sekretariat KPI Pusat lainnya. Kunjungan di terima di Ruang Rapat KPI Pusat, Jakarta, Jumat, 6 Februari 2014. Suasana kunjungan berlangsung dalam bentuk dialog dan tanya jawab santai dalam suasana non-formal.

Ketua kunjungan KAORI Nusantara Kevin Wilyan menuturkan bahwa komunitasnya gabungan dari anak muda yang hobi pada tayangan animasi. Dalam penjelasanya, Kevin mengatakan saat ini komunitasnya sudah memiliki media dalam bentuk website dan fans page Facebook untuk beriteraksi dengan seluruh anggotanya yang berada di berbagai tempat di Indonesia.

Menurut Kevin, nama KPI hanya diketahui setelah adanya sanksi terhadap tayangan animasi di televisi. Komunitasnya ingin mengetahui seperti apa KPI dalam memberikan sanksi terhadap siaran televisi. "Kami rata-rata tumbuh bersama dengan tontonan animasi. Kehadiran kami dan teman-teman ke sini ingin lebih tahu seperti apa tugas KPI dan prosedural dalam memberikan sanksi terhadap tayangan di televisi. Ini agar teman-teman tidak salah kaprah dengan KPI dan siapa tahu kami bisa bantu KPI dalam sosialisasi putusannya di media kami, khususnya program animasi," kata Kevin.

Irvan Sanjaya mengapresiasi inisiatif kunjungan KAORI ke KPI Pusat. Menurut Irvan, tujuan penyiaran Indonesia adalah untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. 

Lebih lanjut Irvan menjelaskan, KPI adalah lembaga negara yang bersifat independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran yang tercantung dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. "Semangat pembentukan KPI adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik yang dikelola sebuah badang independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan untuk menjamin pemanfaatan ranah publik sebesar-besarnya untuk kepentingan publik," ujar Irvan.

Dari semua itu, dalam pengawasan KPI hanya mengawasi Lembaga Penyiaran yang menggunakan frekuensi radio yang bentuknya dipinjamkan dan dikelola sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Irvan menjelaskan pengawasan program siaran di Lembaga penyiaran yang dimaksud adalah televisi dan radio yang menggunakan frekuensi free to air. Menurt Irvan KPI tidak mengawasi konten di internet atau media lainnya.

Dalam pengawasan isi siaran Lembaga, pedoman yang digunakan KPI dalam menilai sebuah program siaran adalah UU Penyiaran dan Pedoman Perilaku penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). "Ini tidak hanya berlaku untuk tangan animasi saja, tapi untuk seluruh program siaran," ujar Irvan.

Terkait dengan tayangan animasi di televisi, menurut Irvan, tidak semua tanyangan animasi layak tonton semua kalangan, khususnya kalangan anak-anak. Irvan menjelaskan semangat P3SPS adalah perlindungan terhadap anak-anak dari tanyangan buruk yang bisa mempengaruhi kondisi psikologi anak.   

Irvan juga menjelaskan bagaimana prosedur KPI dalam menilai sebuah program siaran dalam hal penjatuhan sanksi adminitratif, mulai dari teguran tertulis, pembatasan durasi hingga penghentian sementara program acara yang dianggap bermasalah. Sebelum menjatuhkan sanksi KPI melakukan sejumlah prosedural, di antaranya pemeriksaan bukti pelanggaran, penelitian dan penilaian pelanggaran, klarifikasi hingga menjadi putusan sanksi administratif melalui rapat pleno komisioner KPI.

Tugas-tugas pengawasan program siaran dari Lembaga Penyiaran, menurut Irvan, tidak hanya menjadi wilayah domain KPI semata. Menurutnya, dalam UU Penyiaran juga diatur peran serta masyarakat dalam pengawasan penyiaran. Masyarakat bisa langsung mengadukan program siaran yang dianggap tidak bermanfaat ke KPI atau langsung ke Lembaga Penyiaran yang bersangkutan. 

"Dalam UU penyiaran disebutkan bahwa KPI berkewajiban untuk menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran," terang Irvan mengutip Pasal 8 Ayat (3) Huruf (e) Undang-undang Penyiaran.

Jakarta - Komisi I DPR RI telah mengagendakan revisi undang-undang penyiaran sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Tidak hanya itu, revisi undang-undang ini pun merupakan usul inisiatif DPR untuk periode 2014-2019. Hal ini disampaikan Elnino Husein, anggota Komisi I DPR RI saat menjadi pembicara Diskusi Terbatas di kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, (5/2).

Elnino mengatakan bahwa hampir seluruh partai dan fraksi memiliki semangat dan keprihatinan yang sama terhadap media televisi dan online saat ini. “Banyak muatan-muatan yang menyebabkan manusia di Indonesia pikirannya tercerabut dari nilai luhur bangsa ini”, ujar Elnino. Belum lagi, orientasi pada kepentingan publik oleh media penyiaran yang ternyata masih diperdebatkan.

Secara substansi, Komisi I sepakat untuk memberikan penguatan pada KPI, baik secara struktur ataupun kewenangan. Bagaimanapun juga, KPI adalah lembaga independen yang berbicara atas nama publik, karenanya butuh penguatan secara kelembagaan.
Selain itu, menurut Elnino, mengenai muatan asing yang memenuhi siaran di lembaga penyiaran swasta memang harus ada pembatasan. Anggota DPR dari Gorontalo ini berpendapat pembatasan baiknya ditetapkan berdasarkan durasi waktu, tanpa persentase, sehingga memudahkan perhitungan. Sedangkan kembali terkait kewenangan KPI, dirinya sepakat dengan adanya usulan untuk memberikan kewenangan pada KPI untuk menghentikan lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran berat.

Komisi I saat ini memiliki perhatian yang sama terkait penyiaran, ujar Elnino. Dalam rapat Komisi I dengan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, sudah dibahas soal tercerabutnya ideologi bangsa ini di masyarakat. Salah satu jalan keluar mengatasi masalah ini adalah memperbaiki regulasi-regulasi, diantaranya tentang penyiaran dan telekomunikasi.

Jakarta - Negara punya kewenangan untuk menilai suatu keadaan, karenanya negara juga tidak boleh didikte oleh pemilik media terhadap kualitas tayangan yang muncul di penyiaran. Hal tersebut disampaikan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Meneg PAN-RB), Yuddy Chrisnandi, saat menjumpai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di kantor Kemeneg PAN-RB, (6/2).

Dalam pertemuan tersebut, Ketua KPI Pusat Judhariksawan menjadi pimpinan delegasi yang datang beraudiensi, didampingi komisioner KPI Pusat lainnya yaitu Bekti Nugroho, Fajar Arifianto, Amiruddin, dan Agatha Lily, serta Sekretaris KPI Pusat Maruli Matondang.

Kepada Meneg PAN-RB tersebut, Judha menyampaikan mengenai kewenangan KPI yang ada di Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Termasuk juga beberapa masalah yang KPI hadapi terkait tayangan-tayangan berkualitas buruk namun mendapat rating tinggi, yang berarti memberikan pendapatan besar bagi lembaga penyiaran yang menayangkan. Namun menurut Yuddy, sebanyak apapun penonton dari sebuah program, tapi jika merusak bangsa, harus dihentikan. Karenanya, politisi dari Partai Hanura ini mengatakan, negara tidak boleh kalah oleh swasta selama tetap berada dalam rel konstitusi.

Keberadaan KPI dan pemerintah, menurut Yuddy, haruslah tetap dalam kerangka berpikir idealis untuk masyarakat. Sedangkan pemilik televisi, memang sudah kodratnya berpikir bisnis dan keuntungan semata.  Karena itulah KPI, sebagai regulator, harus tegas dalam menegakkan aturan penyiaran tanpa padang bulu.

Yuddy juga sepakat bahwa KPI harus dapat menjatuhkan sanksi yang berefek jera. Untuk itu, ia akan berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) agar hal tersebut dapat direalisasikan lewat regulasinya. “Intinya bagaimana sanksi yang ada berefek jera pada media, agar tidak semena-mena mendikte publik”, ujarnya.

Dirinya mengaku prihatin dengan muatan televisi saat ini yang sarat dengan hedonisme, kehidupan glamour, termasuk kehidupan borjuis di sekolah. “Bagaimana jika hal ini ditiru oleh anak-anak yang orang tuanya tidak mampu, apa tidak mungkin anak-anak akan mencari jalan untuk bisa mengikuti gaya hidup seperti di televisi?” tanya Yuddy. Keprihatinan ini pula yang membuat Yuddy melarang penggunaan alun-alun kota Bandung untuk acara Ngunduh Mantu selebriti Raffi Ahmad dan Nagita Slavina.

Selain itu, mantan anggota Komisi I DPR RI ini juga berharap KPI mempunyai langkah preventif yang efektif atas sebuah tayangan yang diduga akan melanggar aturan. Lebih jauh Yuddy berpendapat seharusnya Kemenkominfo mempunyai alat untuk mematikan siaran televisi seketika, jika sudah memenuhi persyaratan sanksi penghentian. “Pemerintah harus punya alat yang lebih powerfull dari pemilik media”, tegas Yuddy.
 
 

Jakarta - Sistem penyiaran nasional pada dasarnya memiliki prinsip desentralisasi. Hal itu ditunjukkan dengan adanya aturan mengenai sistem siaran jaringan dalam undang-undang penyiaran. Karena itu, pemegang waralaba penyiaran diperkirakan akan kesulitan membentuk cabang atau jaringan mengingat adanya persyaratan administrasi dan teknis yang cukup ketat dalam penggunaan frekwensi untuk penyiaran free to air. Selain itu, prinsip perizinan penyiaran di Indonesia adalah kontekstual-lokalistik, yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal. Hal ini dikemukakan oleh anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Amiruddin, dalam acara Diskusi Terbatas tentang Pengaturan Waralaba (Franchise) di bidang Penyiaran, (5/2).

Selama ini sistem waralaba, khususnya untuk merk asing, sudah menjadi fenomena bisnis baru yang berkembang di Indonesia.  Praktek waralaba yang dikenal adalah untuk toko-toko retail, usaha makanan dan minuman, apotek dan perhotelan. Namun semua praktek waralaba tadi merupakan usaha privat, dan belum ada pengaturan waralaba untuk jasa penyiaran. Menurut Azimah Subagijo, Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat, saat ini praktek waralaba sudah masuk ke dunia penyiaran. Padahal penyiaran adalah ranah publik karena menggunakan frekwensi yang merupakan sumber daya alam terbatas. “Tentu dampak yang diakibatkan dari waralaba penyiaran berbeda dengan waralaba di bidang privat, mengingat pengaruh yang ditimbulkan penyiaran sangatlah besar dan strategis”, ujar Azimah

Amiruddin memahami praktek waralaba penyiaran sebagai salah satu usaha memenangkan persaingan bisnis mengingat beberapa keunggulan bisnis waralaba, diantaranya meminimalkan resiko gagal usaha dan merk usaha yang sudah lebih dikenal oleh masyarakat. Namun demikian, jika melihat dari aturan yang ada, terdapat larangan pendirian lembaga penyiaran asing di Indonesia. Sedangkan mengenai konten siaran asing, dalam regulasi penyiaran, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor 42 tahun 2009.

Untuk itu KPI mendorong pemerintah untuk membuat aturan yang lebih khusus tentang waralaba asing di penyiaran ini. “Agar keuntungan dalam bisnis waralaba tetap diperoleh, tapi kerugiannya dapat dihapus”, ujar Azimah. Misalnya kerugian tersebut adalah kontrol yang sangat besar dari pemberi waralaba yang sangat besar, karena tidak ingin brand yang dimilikinya rusak atau tidak mengikuti standar waralaba pusat. “Mungkin untuk waralaba retail, hal tersebut wajar. Namun jika menyangkut penyiaran, hal ini akan berpengaruh dengan ketahanan nasional dan kondisi sosial masyarakat”, tegas Azimah.

Hal serupa juga diusulkan oleh anggota Komisi I DPR RI, Elnino M Husein Mohi. Menurutnya, harus ada terobosan aturan untuk menutup lubang regulasi terkait waralaba asing di dunia penyiaran ini. “Kenapa Indonesia tidak belajar dari pemerintah China untuk memproteksi warganya dalam serbuan informasi asing”, tanyanya. Meski tidak perlu mengadopsi secara utuh kebijakan negara Tirai Bambu tersebut, seharusnya Indonesia dapat lebih moderat sehingga informasi yang masuk tidak kebablasan. Bahkan Elnino menilai wilayah udara Indonesia sebenarnya sudah tidak ada lagi.

Elnino menyarankan kalau memang menunggu revisi Undang-Undang Penyiaran dinilai memakan waktu yang lama, KPI dapat mengusulkan diterbitkan peraturan pemerintah atau peraturan presiden untuk mengatur lebih rinci soal waralaba asing di penyiaran.  Usulan ini pun disambut baik oleh Brigjen Abdul Hafil Fuddin perwakilan dari Kementrian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, yang hadir memberikan materi tentang Respon Pemerintah Berkenaan Ekstensifikasi dan Efektivitas Clearing House atas Pengawasan Unsur Asing dalam Penyiaran Indonesia.

Dalam diskusi tersebut hadir pula komisioner KPI Pusat lainnya, Danang Sangga Buwana, KPI Daerah Jawa Tengah, KPI DKI Jakarta, KPID Gorontalo, serta perwakilan dari Kementerian Luar Negeri. Azimah berharap, jika regulasi tentang waralaba asing di penyiaran ini sudah ditetapkan, lembaga penyiaran yang sudah terlanjur bersiaran dapat ditinjau ulang agar dapat sesuai dengan regulasi.  Sejalan dengan itu, Amiruddin juga menganggap kajian tentang waralaba asing di penyiaran ini untuk melindungi kepentingan nasional, kepentingan usaha penyiaran dalam negeri, serta  kepentingan publik.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.