- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 6814
Yogyakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bekerjasama dengan UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan Diseminasi Indeks Kualitas Siaran Televisi 2022 dengan tajuk “Potret Siaran Religi di Indonesia” Minggu (22/5/2022) di Ruang Interactive Center Fishum UIN Sunan Kalijaga, Minggu (22/5/2022).
Acara diseminasi ini menghadirkan sejumlah narasumber diantaranya Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Prof. Ema Marhumah, Pengendali Lapangan Indeks, Bono Setyo, Direktur Produksi Trans 7, Andi Chairil, Ketua Masyarakat Peduli Penyiaran (FMPP), Isa Kurniawan, dan Dekan Fishum, Mochamad Sodik.
Mengawali pemaparan, Ema Marhumah, memaparkan tentang perlu adanya produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan yang baru mengenai penyiaran. Menurutnya, produksi siaran religi harus mengutamakan substansi agar dapat memberikan kebermanfaatan yang positif, tidak dengan mitos, tidak dengan membandingkan agama atau ketimpangan dalam menyampaikan materi terkait gender.
“Pemilihan narasumber atau mubaligh dan mubalighah penting untuk diperhatikan agar apa yang disampaikan dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.
Prof. Marhumah menuturkan bahwa sebagai sivitas akademika UIN Sunan Kalijaga khususnya bagi program studi Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi maupun program studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora mampu memproduksi ilmu pengetahuan dengan perspektif yang baru, sesuai dengan UU Penyiaran.
Mereka juga mampu menghadirkan konten yang terintegrasi dan interkoneksi antara ajaran Islam dengan aspek lain. Beberapa catatan disampaikannya menyatakan perlu peningkatan kualitas siaran, serta potensi kolaborasi UIN Sunan Kalijaga untuk mengembangkan keragaman siaran religi yang variatif, humanis dan berkualitas.
Adapun Mochamad Sodik, menuturkan siaran religi jangan menjauhkan dari spiritualitas, dengan menghadirkan transendensi serta bukan hanya kebahagiaan fisikal saja di permukaan. Menurutnya, tontonan adalah tuntunan. Kreasi harus dikembangkan beserta inovasi dan menghasilkan prestasi.
“Jika program religi tidak memiliki kreasi, inovasi dan prestasi, maka perlu adanya perbaikan. Tontonan harus menyehatkan baik untuk segi psikologis, memartabatkan antar manusia, segi sosiologis, menyadari bahwa kita adalah bagian kehidupan berbangsa dan bernegara, dan yang terakhir adalah segi komunikatif untuk menguatkan proses kesalingan, yakni saling asah asih dan asuh,” katanya.
Sementara Bono Setyo memaparkan hasil diseminasi indeks kualitas siaran program religi di 13 Stasiun TV berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI. Menurutnya, sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama, menginginkan kedamaian dan kenyamanan yang kemudian ditangkap media dalam membuat konten atau program acara di televisi.
Menurutnya, program siaran religi di TV cukup banyak mendapatkan tempat. Beberapa program berhasil mendapatkan rating yang tinggi dan menarik perhatian para pemasang iklan.
“Secara umum hasil hasil indeks kualitas program siaran religi adalah berkualitas, dengan nilai >=4, yang artinya program siaran religi di televisi Indonesia periode I tahun 2022 tidak mengandung muatan yang merendahkan atau melecehkan suku, agama, ras, antar golongan, usia, budaya dan atau kehidupan sosial ekonomi,” tuturnya.
Namun begitu, lanjutnya, terdapat beberapa catatan untuk kategori program ini diantaranya soal host atau narasumber yang mengisi acara agar memiliki kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini untuk menghindari pembahasan yang dapat menimbulkan permasalahan baru sehingga memicu konflik antar golongan.
“Stasiun TV juga bisa mempertimbangkan untuk menampilkan tema persatuan dan kesatuan bangsa yang dirasa sangat dibutuhkan untuk situasi dan kondisi saat ini,” pinta Bono.
Dia juga menyarankan stasiun TV tidak hanya mengejar aspek entertainment semata, namun juga harus mampu meningkatkan kualitas program agar dapat menumbuhkan dampak positif untuk masyarakat.
Selain itu, Bono berharap rekomendasi untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan indikator tambahan selain P3SPS. Pasalnya, pedoman tersebut cenderung menggiring penilaian pada hasil yang baik, padahal mungkin dapat dicermati di lingkungan terdapat fakta-fakta yang berbeda. Hal ini dapat menjadi catatan untuk riset indeks kualitas program siaran televisi yang akan datang.
Direktur Produksi Trans 7, Andi Chairil mengungkapkan bahwa siaran religi di televisi bukanlah suatu program yang populer, meskipun market telah tersedia. Menurunya, ada banyak hal yang harus diperhatikan dalam proses pembuatan program ini.
“Ada beberapa format dalam siaran program religi, yakni format tausiyah, format dokumenter atau magazine dan format travelling. Di antara ketiganya, performa program religi berformat tausiah lebih baik dibandingkan format lainnya, baik jika dilihat dari share maupun rating,” katanya.
Dia juga menjelaskan segi demografi pemirsa siaran religi didominasi oleh penonton usia 35 tahun ke atas. Andi menyatakan, jika stasiun TV memiliki formula yang tepat, penonton dari kalangan usia 35 tahun ke bawah juga bisa didapatkan.
“Sebenarnya terdapat potensi untuk penonton usia 35 tahun ke bawah agar menggandrungi program religi. Seperti pada program Hafiz Indonesia yang tayang pada bulan Ramadan mendapatkan rating yang tinggi,” ujarnya.
Andi juga mengaminkan dengan apa yang disampaikan Bono Setyo bahwa di era digital sekarang ini pemilihan narasumber atau tokoh agama perlu diperhatikan supaya materi yang disampaikan mudah dipahami. Mereka pun harus memiliki kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga programnya memiliki value yang mampu meningkatkan kekuatan iman.
Di ruang yang sama, Ketua FMPP, Isa Kurniawan, mengapresiasi langkah KPI yang berkolaborasi dengan 12 universitas untuk melakukan pengukuran indeks siaran TV. Dia menginatkan agar siaran jangan kontra produktif dengan apa yang diharapkan.
Dia menyatakan, masyarakat peduli penyiaran berharap stasiun TV tidak menyamakan program religi dengan siaran-siaran lainnya dalam artian tidak melulu mengejar rating. Program religi yang ditampilkan bisa juga dijadikan sebagai program sosial dari industri penyiaran.
“Pada akhirnya, tugas kita bersama adalah menjaga kerukunan antar umat agama dan kerukunan antar umat beragama tersebut dapat diciptakan melalui tayangan religi yang berkualitas,” katanya. **