Jakarta - Realisasi digitalisasi penyiaran harus diikuti dengan kesiapan regulasi pengawasan konten media baru. Hal ini diperlukan sebagai konsekuensi terbangunnya tol virtual dari hasil pelaksanaan digitalisasi penyiaran akan membuat internet semakin mudah diakses. Dengan adanya digital deviden sebesar 112 Mhz pada penggunaan frekuensi, memungkinkan pemerintah menggerakkan sektor telekomunikasi untuk membangun infrastruktur internet berkecepatan tinggi. Bahkan memungkinkan untuk diterapkannya teknologi 5G, maupun perkembangan teknologi di masa depan. Akan tetapi keberadaan tol virtual juga akan berakibat pada luberan konten di media baru. 

Jika selama ini televisi teresterial mendapatkan pengawasan, maka pengawasan serupa harus diberlakukan pada semua platform media baru. Karena perkembangan teknologi dan keberadaan tol virtual akan membuat penetrasi informasi dan hiburan melalui internet akan jauh lebih dominan dibandingkan televisi.

Hardly Stefano Pariela, Komisioner Bidang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyampaikan hal tersebut dalam diskusi Forum Legislasi bertema “RUU Penyiaran: Bagaimana Masa Depan Digitalisasi Penyiaran di Indonesia?”di Media Center DPR RI, Jakarta (11/08).

Pada prinsipnya KPI mendukung digitalisasi penyiaran, ujar Hardly. Namun yang terpenting menurutnya bagaimana pengaturan konten media ketika digital deviden yang diharapkan pemerintah sudah terealisasi melalui digitalisasi. “Harus ada treatment yang equal antara telekomunikasi dan penyiaran ketika penyiaran sudah menjalankan analog switch off (ASO),” tegasnya.

(Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Prof. Dr. Henry Subiakto)

Senada dengan Hardly, Staf Menteri Komunikasi dan Informatika Prof Henry Subiakto yang menjadi narasumber pada acara tersebut menegaskan bahwa pengawasan di media baru juga harus diperhatikan. “Bagaimana pun juga masa depan anak cucu kita tergantung pada pengawasan konten di ranah internet yang sampai saat ini belum ada pengaturannya,”ujar Henry.

Secara rinci Henry menjelaskan tentang perencanaan pemerintah dalam merealisasikan penyiaran digital. Terlambatnya Indonesia melakukan digitalisasi penyiaran ternyata telah menghilangkan potensi pemasukan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). “Negara kehilangan potensi pendapatan hingga sepuluh triliun per bulan lantaran tertundanya digitalisasi ini,” ujar Henry.

Seharusnya, tambah Henry, dalam Omnibus Law tentang penyiaran hanya mengatur soal ASO saja. Mengingat Mahkamah Agung memang memerintahkan pelaksanaan digitalisasi hanya dapat dilakukan jika ada landasan hukum dalam Undang-Undang. Sedangkan kalau berharap pengaturan ASO melalui RUU Penyiaran, dibutuhkan waktu yang lebih panjang lantaran RUU tersebut dihapus dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020.

Sementara itu terkait posisi RUU Penyiaran, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Al Masyhari  menyampaikan bahwa digitalisasi merupakan sebuah kemestian yang harus dilaksanakan dan negara ini dapat segera melakukan ASO. Selain itu, Kharis juga menegaskan bahwa frekuensi yang ada di negara Indonesia adalah sumber daya terbatas yang mestinya dipergunakan untuk kepentingan rakyat Indonesia secara luas.  Sedangkan untuk  pengawasan terhadap konten harus dilakukan dengan memperkuat lembaga pengawasan yang ada sekarang.

Lebih jauh Kharis melihat pengawasan konten siaran dibutuhkan sebagai upaya perlindungan terhadap anak-anak dan generasi muda. Menurutnya beberapa pengaturan mandiri seperti klasifikasi program dan juga kunci parental (parental lock), tetap harus didukung dengan pengawasan yang lebih utuh. Untuk itu penguatan terhadap KPI sebagai lembaga pengawas konten siaran, harus diberikan.

Kharis juga menegaskan bahwa model siaran baru yang berbasiskan pada internet harus juga diawasi sebagaimana siaran teresterial. “Kalau siaran terrestrial diawasi sedemikian rupa dalam menjaga generasi muda dari pengaruh negatif, maka pengawasan juga harus dilakukan sama terhadap seluruh platform siaran yang baru,”pungkasnya. (Foto: Agung Rahmadiansyah/ KPI)

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus mendorong peningkatan kualitas konten siaran di semua kategori program acara. Upaya peningkatan kualitas ini tidak hanya akan memberikan rasa aman dan nyaman masyarakat, tapi akan ikut menekan dan menangkal siaran-siaran yang tidak selaras dengan etika, budaya, norma dan nasionalisme.

Hal itu dikemukakan Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, saat menjadi pemateri dalam acara diskusi berbasis daring dengan tema “Wacana Ideologi dan Gerakan Transnasional di Layar Televisi Indonesia” yang diselenggrakan oleh Institut Agama Islam Imam Al Ghazali (IAIIG) Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (7/8/2020)

“Saat ini, KPI sedang membahas dinamika permasalahan yang di penyiaran seperti skema regulasi penyiaran. Kami memiliki sikap yang tegas untuk membuat peta tanggungjawab dan wewenang wajah penyiaran Indonesia dalam upaya menegakan aturan arus penyebaran informasi di kehidupan masyarakat,” jelasnya. 

Dia menambahkan, saat ini, jumlah radio berizin di Indonesia mencapai 2.097 dan televisi mencapai 1.106 itu termasuk kategori 16 free to air secara nasional. Menurut Andre, panggilan akrabnya, kewenangan KPI Pusat mengawasi bagian induk jaringan TV. Jika mengarah pada skema regulasi, KPI tidak berhak mengintervensi TV sebelum konten itu dibuat dan baru bisa bergerak di fase pasca produksi konten. 

“Dan, salah satu tugas dan fungsi utama dari KPI adalah menjaga sisi moralitas ideologi bangsa melalui pengawasan konten siaran di media mainstream selama 24 jam setiap harinya,” kata Yuliandre Darwis.

Lebih lanjut, Mantan Presiden OIC Broadcasting Regulatory Authorities Forum (IBRAF) ini menegaskan, merujuk pada Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Pasal 6 diterangkan bahwa Lembaga Penyiaran wajib menghormati perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan yang mencakup keberagaman budaya, usia, gender, dan/atau kehidupan sosial. 

“Disinilah peran KPI yang menjujung tinggi semangat persatuan dan memupuk rasa nasionalisme di ranah penyiaran,” katanya.

Lebih lanjut, kata Yuliandre, KPI tidak berjalan sendiri untuk mengawal ranah penyiaran Indonesia. Beberapa waktu lalu, katanya, KPI Pusat bersinergi dengan Kementerian Agama, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengah harapan dapat mengawal arah konten dakwah keagamaan di lembaga penyiaran yang selaras dengan koridor agama dan aturan penyiaran. 

“Upaya ini untuk mengikis adanya kesalahan atau pelanggaran terhadap nilai agama dan aturan tersebut,” tutur Yuliandre.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota Ombudsman RI, Ahmad Suaedi, mengatakan perkembangan teknologi ke arah dunia digital di lingkup agama memiliki efek positif dan juga negatif. Pada era digital, seluruh dunia sudah masuk bagian dari globalisasi. Secara historis, globalisasi yang mengarah ideologis Islam transnasional dimulai dengan masuknya ke tengah sistem kekuasaan. Dari sana kemudian ada paham dari barat yang berhadapan dengan ideologi islam. 

“Kekerasan yang sudah masuk ke ranah TV adalah kekerasan yang memiliki nilai jual. Kita tidak bisa melawan era globalisasi yang mempengaruhi ideologi. Pergulatan ini menjadi perkembangan Islam di dunia modern,” ucapnya

Ahmad Suaedi mengatakan paham radikalime membentuk organisasi yang abstrak dan cenderung mengklaim memiliki sebuah negara namun tidak memiliki wilayah. Ideologi radikal ini tumbuh berkembang seiring perkembangan teknologi yang bergerak dengan ketidakpastian. 

“Sebab ideologi dan gerakan Islam transnasional memiliki banyak bentuk. Setidaknya ada kapitalisme atau neoliberalisme. Gerakan kapitalisme global atau neoliberalisme yang merusak lingkungan dan tidak memiliki rasa empati terhadap kemiskinan dan kesenjangan,” katanya. *

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memutuskan memberi sanksi administratif teguran tertulis untuk program siaran jurnalistik “Special Report” yang ditayangkan iNews TV. Program berita ini ditemukan menayangkan konten yang melanggar ketentuan P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) KPI tentang pelarangan menayangkan adegan interogasi pihak kepolisian terhadap tersangka tindak kejahatan.

Berdasarkan uraian dalam surat teguran untuk program siaran “Special Report” iNews TV, pada tanggal 9 Juli 2020 pukul 15.40 WIB program ini menampilkan pemberitaan berjudul “Balita Diperkosa dan Dibunuh”. Di dalam berita itu terdapat proses tayangan interogasi kepolisian terhadap tersangka tindak kejahatan tersebut. Pada penayangan proses interogasi tersebut, gambar dan suara ditampilkan secara jelas beberapa pertanyaan petugas kepolisian dan jawaban tersangka, di antaranya alasan, cara, tujuan, dan alat yang digunakan untuk membunuh korban serta ungkapan pernyataan pembenaran dan alasan memperkosa korban. Muatan tersebut juga ditayangkan dengan pengulangan gambar dan suara yang sama tentang hal-hal di atas secara menyatu bersambungan.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan segala bentuk proses interogasi yang dilakukan pihak kepolisian terhadap tersangka tindak kejahatan tidak boleh (dilarang) disiarkan ke publik. Menurutnya, proses interogasi merupakan ranah hukum yang sensitif terlebih menyangkut kasus pembunuhan dan perkosaan.

“Dalam proses interogasi akan banyak penjelasan atau jawaban dari tersangka mengenai proses kejahatan yang diduga dilakukannya. Dan jika hal ini masuk dalam ruang publik akan memberi sebuah gambaran jelas tentang proses kejahatan tersebut. Hal ini kami nilai kurang baik karena khawatir soal dampaknya,” jelas Mulyo, Kamis (6/8/2020). 

Dalam SPS KPI tahun 2012 Pasal 43 huruf b disebutkan program siaran bermuatan kekerasan dan/atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik wajib mengikuti ketentuan yakni tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian terhadap tersangka tindak kejahatan. “Ini pasal yang dilanggar oleh tayangan tersebut. Hal ini harus menjadi acuan bagi program pemberitaan ketika akan menayangkan berita terkait kasus kejahatan,” kata Mulyo.

Mulyo juga mengingatkan iNews dan seluruh lembaga penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik agar tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS). ***

 

Jakarta -- Jakarta -- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) tengah menyiapkan rekrutmen Calon Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulut periode 2019-2022. Hal itu disampaikan Ketua Komisi A DPRD Provinsi Sulut, Vonny J. Paat, saat melakukan kunjungan kerja ke Kantor KPI Pusat, Jumat (7/8/2020).

“Kami ingin mengetahui lebih banyak dan mendapatkan masukan dari KPI Pusat terkait proses rekrutmen KPID. Rencananya, pemilihan akan dilaksanakan tahun ini juga,” katanya saat diterima langsung Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, serta Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano dan Nuning Rodiyah.

Menanggapi rencana ini, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, mengingatkan soal keterwakilan perempuan dalam kepengurusan KPID Sulut periode baru nanti. Menurutnya, sudut padang dan sensitifitas gender sangat penting dalam memberi masukan terkait keputusan atau kebijakan yang berhubungan dengan persoalan konten siaran tentang  perempuan, anak dan remaja. 

“Saya harap sekurang-kurangnya kuota 30 persen perempuan ini dapat terpenuhi atau seperti komposisi keanggotaan KPID Sulut saat ini yang lebih dari 50%. Kita harus juga menjamin anak dan remaja dapat informasi yang layak,” kata Nuning.

Selain kuota perempuan, Nuning juga meminta DPRD Provinsi Sulut menjamin adanya kesinambungan kerja KPID dari periode lama ke periode baru. Apalagi dalam waktu dekat akan berlangsung Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. 

“Pilkada yang mendatang kemungkinan akan banyak dilakukan di media, Karena kampanye terbuka di luar ruang dibatasi, apalagi yg melibatkan kerumunan orang dalam skala banyak. Hal ini menjadi pekerjaan besar bagi KPID karena beban pengawasan makin berat. Karena itu, saya berharap ada kesinambungan kerja dan menjadi prioritas. Jika memungkinkan Anggota KPID Sulut terpilih sebelum Pilkada,” pinta Nuning.

Dalam kesempatan itu, Nuning mengapresiasi dukungan yang berikan Komisi I DPRD kepada KPID Sulut dalam pelaksanaan kinerja KPID selama ini, dan berharap agar dukungan tersebut untuk ditingkatkan agar kinerja semakin baik. 

Dukungan soal pentingnya kuota perempuan dalam kepengurusan KPID juga dilontarkan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio. Menurutnya, perempuan harus ditempatkan dalam posisi krusial dan potensial. 

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, menjelaskan peran penting KPID sebagai wakil publik dalam bidang penyiaran di daerah. Menurutnya, ada tiga fungsi utama KPI dan KPID yang krusial antara lain perizinan, pengawasan dan pelibatan publik dalam pengawasan konten. “Karenanya jangan ada kekosongan kepengurusan KPID di daerah,” katanya. ***

 

Jakarta - Pengaturan media baru jangan dipahami sebagai upaya mengekang kebebasan berpendapat ataupun berekspresi di tengah masyarakat. Perkembangan sosial baik secara global dan regional sekalipun, tentunya sudah tidak memungkinkan lagi untuk kembali pada era saat dikekangnya kebebasan berekspresi. Pengaturan ini diperlukan untuk mencegah dampak negatif sekaligus untuk mengoptimalkan dinamika digital saat ini agar berdampak positif bagi publik. Komisioner bidang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Hardly Stefano Pariela menyampaikan hal tersebut dalam Seminar Daring yang diselenggarakan Lembaga Sensor Film (LSF) dengan tema “Realitas dan Kebijakan Media Baru di Indonesia”, (06/8). 

Hardly menegaskan bahwa kita tidak mungkin melawan gerak sejarah peradaban manusia yang semakin maju dalam era digital ini. Namun harus dipahami pula, bahwa keyataan saat ini menunjukkan media baru memiliki pengaruh yang demikian kuat di tengah masyarakat serta dampak sosial yang besar melebihi media konvensional yang lebih dahulu eksis. Jika saat ini media yang dianggap arus utama mendapatkan pengaturan, ujar Hardly, seharusnya media baru pun menerima perlakuan yang serupa. 

Dalam kesempatan itu Hardly memaparkan perbandingan kondisi media baru dan media lama atau media konvensional seperti radio dan televisi saat ini. Menurutnya perlu konsensus bersama untuk menyepakati hal-hal yang harus mendapat pengaturan lebih rinci dalam  media baru, seperti misalnya konten kekerasan, seksualitas, dan radikalisme. Hardly berpendapat harus ada  pengaturan yang seragam baik di media baru atau pun media lama guna memberikan perlindungan bagi publik atas muatan siaran yang dianggap berbahaya dan menimbulkan disharmoni di tengah masyarakat.  

Pengaturan media baru ini, menurut Hardly, harus juga mencakup perlindungan atas konten karya anak bangsa, diantaranya mencegah terjadinya pembajakan baik secara sengaja ataupun tidak. Termasuk juga memberikan kesempatan bagi karya dalam negeri ini untuk terakomodasi dalam berbagai platform media. “Data yang ada menunjukkan pengguna internet di Indonesia mencapai 174 juta, tentu menjadi pasar potensial bagi sineas dalam negeri,” ujarnya.  Selain itu, Hardly juga memandang perlunya pengembangan industri konten kreatif dalam negeri serta pecegahan dampak dari konten yang negatif. Hal penting yang perlu diperhatikan juga adalah terkait pendapatan negara dari industri konten ini. Dengan adanya pengaturan terhadap media baru, potensi pendapatan negara juga meningkat. 

Sedangkan terkait kelembagaan pengawasan, Hardly menegaskan lembaga apapun yang akan mengawasi media baru menjadi kewenangan dari pembuat undang-undang. Namun menurutnya yang penting lembaga tersebut haruslah representasi dari civil society. “Bukan merupakan representasi ataupun kekuatan negara,” tegasnya. Harus perwujudan dari masyarakat sipil yang mampu melakukan pengaturan secara dinamis berdasarkan partisipasi publik. 

KPI sendiri hingga saat ini tetap menjalankan amanat undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran, yakni bersama masyarakat  ikut mengawasi televisi dan radio. Harapannya di tengah disrupsi digital ini, televisi dan radio dapat menjadi referensi siaran baik dan berkualitas, minimal dengan dampak negatif yang jauh lebih kecil. 

Selain regulasi, dalam era disrupsi informasi saat ini, Hardly menilai kapasitas literasi media masyarakat menentukan kualitas informasi dan hiburan yang diproduksi, direproduksi maupun disebarkan. Dengan kapasitas literasi yang baik,  Hardly meyakini masyarakat dapat terlibat dalam membangun peradaban digital, dan bukan menjadi residu atau sampah peradaban digital. “Sehingga ke depan kita dapat membangun peradaban digital berbasis berbagai konten lokal di Indonesia,”pungkasnya.

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.