- Detail
- Dilihat: 12503
Jakarta - Penyelesaian masalah pornografi yang mengancam masa depan anak-anak Indonesia harus dilakukan melalui lintas kementerian/ lembaga, termasuk juga mengikutsertakan kelompok-kelompok masyarakat yang secara konsisten menyuarakan perlawanan terhadap pornografi. Dalam rangka menggagas solusi tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyelenggarakan Diskusi Terbatas dengan topik “Pemetaan Kerentanan Anak Terhadap Pornografi”, yang melibatkan lembaga-lembaga negara terkait, seperti Komisi Perlidungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Film (LSF), (27/2).
Dalam kesempatan tersebut, Komisioner KPI Pusat bidang pengawasan isi siaran Dewi Setyarini menjelaskan langkah-langkah yang sudah diambil KPI Pusat dalam melindungi anak-anak Indonesia dari bahaya terpapar muatan pornografi. Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) hanya ada 4 pasal yang terkait dengan perlindungan anak dari pornografi, namun belum terperinci. Selain itu, KPI telah berusaha agar lembaga penyiaran berlangganan tidak menjadi medium penyebaran muatan pornografi yang masif.
KPI sendiri pernah mengeluarkan surat edaran pada seluruh penyelenggara LPB untuk tidak menyalurkan TV 5 Monde kepada pelanggannya, karena terbukti memiliki muatan pornografi yang vulgar. Dewi juga melihat bahwa keberadaan kunci parental seharusnya menjadi keharusan untuk disediakan penyelenggara LPB, termasuk sosialisasi penggunaannya. “Sehingga konsumen dapat mengatur akses penggunaan televisi sesuai dengan peruntukan yang tepat”, ujar Dewi.
Ke depan, menurut Dewi, ada tugas besar bagi KPI untuk mengisi regulasi-regulasi yang bolong, agar perlindungan terhadap anak-anak dari bahaya pornografi di penyiaran dapat dilakukan lebih optimal. Terkait LPB ini, Ketua KPI DKI Jakarta Adil Quarta Anggoro mengakui adanya kesulitan dalam pengaturan yang lebih tegas.
Sementara itu Maria Advianti dari KPAI menilai perlu adanya kesepakatan klasifikasi antara pencegahan dan penanganan, peran dan kewenangan, serta kontribusi peran. Maria juga mengusulkan agar penanganan masalah pornografi ini harus dijadikan program multi years, sehingga tidak berhenti pada satu tahun anggaran saja. Selain itu, Maria berharap adanya sinergi antara kementerian dan lembaga, dengan organisasi masyarakat yang memiliki jumlah massa yang besar dalam rangka penanganan pornografi.
Beberapa peserta rapat lain ikut memberikan saran, diantaranya, Elly Risman dari Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH), C Musiana Y (Lembaga Sensor Film), AKBP Nona Pricilia Ohei dan Rita W. Wibowo (Bareskrim Polri), serta Hariqo Wibawa Satria (Kwartir Nasional Gerakan Pramuka).