Jakarta - Kehadiran aplikasi RRI Play  Go merupakan sebuah capaian yang luar biasa oleh Radio Republik Indonesia (RRI) dalam merespon perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang semakin canggih. Apliasi ini juga menjadi bukti RRI mampu berinovasi dan beradaptasi pada perubahan perilaku publik dalam mengonsumsi media, terutama radio. 

Hal ini disampaikan Hardly Stefano Pariela, anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat saat memberikan sambutan dalam peluncuran resmi aplikasi RRI Play Go di Gedung RRI Pusat, Jakarta, (31/1). Aplikasi RRI Play Go ini menyediakan siaran streaming dari saluran-saluran RRI yang ada di tiap wilayah. Selain itu, pengguna juga dapat membuat playlist sendiri dari direktori lagu-lagu yang tersedia pada aplikasi. 

Hardly menilai, kalau dikelola secara serius, RRI Play Go dapat menjadi terobosan dalam streaming audio di Indonesia, bahkan dapat mengalahkan platform streaming yang sudah eksis lebih dahulu. Hardly yang sudah mengunduh aplikasi ini dalam telepon genggamnya berharap, teknologi ini terus diperbaharui agar publik yang mengunduh dan menggunakannya menjadi lebih banyak. 

Variasi fitur dalam aplikasi ini juga menarik, ujar Hardly. Adanya fitur interaktif dengan pendengar dan fitur sharing konten, menjadikan aplikasi ini diyakini tak akan kalah bersaing dengan platform buatan luar negeri. “Kalau ini terjadi, tujuan RRI menyatukan bangsa melalui konten radio dan streamingnya, akan dapat terwujud,” tambahnya. 

Secara khusus, Hardly menilai aplikasi ini akan sangat membantu diaspora Indonesia yang rindu dengan siaran dalam negeri, khususnya konten budaya negeri ini. Hardly mengapresiasi inovasi RRI yang juga merupakan pusat lembaga penyiaran publik dunia ini, dalam memperluas layanan pada publik. Terutama keberadaan direktori lagu-lagu nusanatara dalam aplikasi ini, tentu akan membantu publik semakin mengenal kekhasan masing-masing daerah dan kebhinekaan bangsa ini. 

Dalam kesempatan tersebut turut hadir pemerhati penyiaran yang juga Ketua Panita Kerja (Panja) DPR RI dalam perumusan Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Paulus Widiyanto. Dia mengapresiasi perubahan yang dilakukan RRI dengan menggunakan teknologi yang lebih akrab dengan generasi muda. “Harapannya, dalam aplikasi ini juga terdapat fitur memori sebagaimana yang juga dimiliki oleh radio publik di luar negeri,” usulnya. Lebih dari itu, Paulus menilai, RRI juga sudah melompat jauh ke depan dengan membawa kedaulatan budaya lewat udara.  

 

 

Jakarta - Munculnya fenomena konten viral media sosial yang muncul di televisi, pada prinsipnya tetap harus berpatokan pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2012. Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan, Hardly Stefano Pariela mengatakan, dinamika media saat ini memang membuat pengelola siaran di televisi dan radio untuk berbuat kreatif dalam menjaring penonton melalui program siaran. Karenanya dapat dimengerti kalau konten viral media sosial diangkat di televisi, dengan tujuan mendapatkan pemirsa yang besar. 

Namun demikian, konten viral media sosial tak bisa serta merta diadopsi begitu saja di medium penyiaran, tanpa ada seleksi yang ketat. Pada prinsipnya aturan di media sosial dan media penyiaran berbeda. Untuk itu, jika ingin mengangkat konten media sosial di platform teresterial, cobalah pada sisi yang berbeda dari media sosial.  “Sehingga konten viral tersebut dapat dikelola untuk menjadi lebih bermanfaat bagi publik,” ujar Hardly. 

Hal ini disampaikan Hardly dalam talkshow TV Parlemen bersama anggota Komisi I DPR RI Bobby Rizaldi, di Gedung Nusantara II, (30/1). Talkshow yang bertajuk “Harapan Baru Komisi Penyiaran Indonesia”, membahas tantangan Komisioner KPI Pusat yang baru terpilih dalam mengawal konten penyiaran selama tiga tahun ke depan. Dalam kesempatan tersebut hadir pula anggota Komisi I DPR RI Bobby Rizaldi dari Fraksi Partai Golkar. 

Menurut Bobby, kinerja KPI saat ini sudah cukup baik. Namun untuk KPI periode selanjutnya, dia mengharapkan dapat bekerja lebih baik lagi. Tantangan paling dekat bagi KPI adalah pengawasan penyiaran pada masa kampanye Pemilihan Umum 2024. Bobby mengatakan, saat ini regulasi terkait pengawasan penyiaran masa kampanye sudah ada. Yang dibutuhkan tinggal ketegasan dari KPI dalam menindak semua pelanggaran dalam rangka menjaga keberimbangan dan keadilan bagi seluruh kontestan pemilu. 

Terkait tahun politik ini, Hardly mengingatkan peran media dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. “Kampanye kan ajang sosialisasi agenda dan wahana untuk pendidikan politik. Media harus mengambil peran di sana,” ujarnya. Belajar dari Pemilu 2019 lalu, Hardly berharap KPI ke depan dapat memastikan keberimbangan pada penyiaran Pemilu 2024. “Yang juga penting adalah mendukung peran serta media dalam mengawasi penyelenggaraan Pemilu agar tetap berlangsung secara jujur dan adil,” tegasnya. 

Komisioner KPI juga harus paham bahwa dinamika penyiaran ke depan memerlukan inovasi dan ketangkasan dalam pembuatan regulasi. Hardly berterima kasih pada Komisi I DPR RI yang memberikan dukungan besar pada KPI, termasuk untuk melakukan modernisasi alat pemantauan langsung di KPI Pusat. Bobby sendiri berharap, kinerja KPI semakian meningkat dengan penegakan mutu kualitas siaran yang akan memberi kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. “KPI ini mukanya Komisi I di masyarakat,” ujar Bobby. 

Sebagai perwakilan masyarakat, tentu KPI pun harus terbuka menerima semua masukan dan kritik dari masyarakat melalui dinamika yang unik. Prinsipnya, KPI harus mampu berinovasi dengan perkembangan teknologi, responsif pada masyarakat dan komunikatif pada DPR, ujar Hardly. Ruang komunikasi dengan Komisi I DPR RI harus dibuka dengan baik, agar KPI selalu mendapat dukungan dalam menjaga tugas dan fungsi sebagaimana arah dan tujuan terselenggaranya penyiaran menurut undang-undang.

(Foto: KPI Pusat/ Agung R)

 

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai mengambil langkah cepat menghadapi agenda Pemilihan Umum (Pemilu) di 2024 mendatang lewat perencanaan kerjasama dalam pengawasan isi siaran pemberitaan dan iklan kampanye di lembaga penyiaran. Kerjasama akan dikuatkan melalui penandatanganan nota kesepahaman bersama atau MoU (memorandum of understanding) kedua belah pihak dalam waktu dekat.

Rencana ini mengemuka dalam petemuan Kepala Sekretariat KPI Pusat dengan perwakilan KPU membahas agenda MoU dan PKS (Perjanjian Kerja Sama) antara kedua lembaga di Kantor KPI Pusat, Jakarta Kamis (26/1/2023).

Sekretaris KPI Pusat, Umri mengatakan, MoU ini sangat penting dalam kaitan peran pengawasan siaran pemberitaan dan iklan kampanye dalam Pemilu mendatang. Hal ini untuk memastikan siaran pemberitaan dan iklan kampanye di lembaga penyiaran tidak melanggar aturan penyiaran Pemilu juga netral, adil, berimbang dan aman. 

“Perlu diketahui jumlah lembaga penyiaran di seluruh Indonesia ada ribuan. Karenanya, MoU ini nantinya harus tersampaikan hingga daerah. Saya usul perlu adanya bimbingan teknis dengan lembaga penyiaran tersebut untuk menyampaikan apa yang boleh dan tidak boleh disiarkan terkait siaran kampanye,” jelasnya.

Menurut Umri, keberadaan MoU ini sangat ditunggu khususnya regulator penyiaran di daerah. Ada 33 KPID yang di 33 Provinsi yang akan menjalankan fungsi pengawasan siaran politik di lembaga penyiaran lokal. 

“Adanya MoU ini sangat baik karena ini akan ditunggu KPID karena mereka juga butuh acuan untuk koordinasi dengan pihak terkait di daerah,” ujar Umri.

Sementara itu, perwakilan KPU melalui Tim Humas dan Hubungan Antar Lembaga, mengakui kerjasama ini sangat penting bagi mereka. Pasalnya, KPI memiliki kewenangan dan faslitas dalam pengawasan siaran dari lembaga penyiaran. “Kita ingin bekerjasama dengan KPI dan mensosialisasikan hal ini bersama-sama,” katanya. ***/Foto: AR

 

 

Solo - Media dan publik memiliki hubungan interdependensi yang menunjukkan keduanya saling membutuhkan. Publik membutuhkan media sebagai sumber informasi dan hiburan. Demikian pula sebaliknya, media membutuhkan publik sebagai khalayaknya. Jika memahami relasi interdependensi pada keduanya, selayaknya publik juga paham akan haknya dalam melakukan kritisi terhadap konten media. 

Kegiatan literasi yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dalam tajuk Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa, akan memiliki kekuatan yang lebih besar ketika dikolaborasikan dengan kalangan perguruan tinggi dan akademisi. Perguruan tinggi dapat bertindak sebagai amplifier untuk mendorong publik ikut kritis pada konten media, termasuk televisi dan radio. Hal ini disampaikan oleh Agus Riewanto dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Solo, dalam kegiatan GLSP yang digelar KPI di UNS, Solo, (27/1).  

Dosen yang juga pakar hukum tata negara ini menjelaskan pula, bahwa publik memiliki hak yang besar dalam mengawasi konten penyiaran agar sesuai dengan kepentingannya. Secara gamblang Agus memaparkan prinsip penggunaan frekuensi yang jumlahnya terbatas dan dimiliki oleh negara. “Karena sesungguhnya frekuensi ini milik negara, berarti publik atau masyarakat pun berhak melakukan kritisi terhadap penggunaannya,” ujar Agus. 

GLSP di Solo ini menjadi pembuka rangkaian kegiatan literasi di KPI Pusat pada tahun 2023. Komisioner KPI Pusat Nuning Rodiyah mengatakan, GLSP ini menjadi bagian usaha KPI dalam rangka meningkatkan kualitas isi siaran. Di tengah persaingan ketat antara media di medium penyiaran dan platform baru yang menggunakan broadband, KPI tetap memberikan pengawasan pada televisi dan radio agar tunduk pada koridor regulasi  penyiaran yang ada. 

Fenomena saat ini, ketika konten media sosial viral dengan jumlah viewer yang jutaan, pembuat program siaran di televisi segera mengadopsi untuk memarakkan konten layar kaca. “Tidak ada larangan menayangkan yang viral di media sosial ke televisi,” tegas Nuning. Tapi bukan berarti semuanya dapat tampil tanpa ada seleksi dan quality control yang ketat. Bagaimana pun, aturan pada dua jenis media tersebut berbeda. 

Adegan kekerasan, seksualitas,  dan eksploitasi anak jelas dilarang muncul di televisi dan radio. Hal-hal seperti ini yang harus diingat betul oleh para pembuat program siaran televisi. Nuning pun memberi contoh tayangan orang tua yang mandi lumpur di media sosial, kemudian muncul di televisi. “Untuk hal-hal seperti ini, KPI sudah memanggil lembaga penyiaran yang bersangkutan,” ujarnya. 

Dalam menjaga konten siaran, KPI juga mengambil langkah preventif lainnya, seperti pembinaan pada lembaga penyiaran serta menggelar Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) untuk para praktisi penyiaran. Langkah ini diambil KPI agar memastikan tim produksi di lembaga penyiaran memahami dengan betul aturan yang berlaku dalam pembuatan program. 

Kepada mahasiswa yang menjadi peserta GLSP, Nuning menjelaskan bagaimana perolehan rating share dari masing-masing jenis program siaran. Program siaran yang memiliki rating share tinggi seperti infotainment dan sinetron, ternyata mendapatkan nilai indeks kualitas yang paling rendah dalam penelitian yang dilakukan oleh KPI. Kondisi ini tentu harus diberikan intervensi, salah satunya dengan meningkatkan kapasitas literasi publik. “Sehingga publik paham mana tayangan yang baik mana yang buruk,” ujarnya. Kalau sudah mengetahui, tentu publik pun dapat mengambil sikap dengan hanya menonton tayangan-tayangan yang berkualitas saja. 

Nuning mengingatkan pula tentang prinsip supply and demand dalam konteks penyiaran. “Banyak netizen di media sosial yang meminta tayangan pendidikan hadir lagi di televisi,” ungkapnya. Tapi sebenarnya dari data lembaga pemeringkatan tayangan televisi, program siaran dengan genre pendidikan hanya ditonton oleh 0,4 persen pemirsa saja. Padahal untuk dapat menjaga kesinambungan tayangan, dibutuhkan pemasang iklan yang biasanya menempatkan produk pada tayangan yang banyak penonton. Kondisi seperti ini tentu harus dipahami publik, sehingga dukungan terhadap program-program siaran yang baik dapat dilakukan. 

Narasumber lain yang turut hadir adalah Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari yang mengulas dinamika dunia penyiaran yang sangat membutuhkan regulasi baru. Selain Abdul Kharis, hadir pula Serly Artika Sri Devi pemenang Dangdut Akademi Indosiar yang berbagi pada peserta GLSP tentang langkah yang ditempuhnya sebagai putra bumi Sriwijaya, hingga menjadi juara di pentas layar kaca.

(Foto: KPI Pusat/ Syahrullah)

 

 

Jakarta – Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) mengumumkan sembilan nama Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat periode 2022-2025 yang terpilih, Selasa (24/1/2023). Ke sembilan nama ini terpilih secara musyawarah mufakat setelah melalui proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and propertest) pekan lalu.

Pengumuman ke sembilan nama Anggota KPI Pusat periode 2022-2025 disampaikan langsung Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid. Adapun ke 9 Anggota KPI Pusat terpilih periode 2022-2025 yakni:

1. Aliyah

2. Amin Shabana

3. Evri Rizqi Monarshi

4. I Made Sunarsa

5. Mimah susanti

6. Mohamad Reza

7. Muhammad Hasrul Hasan

8. Tulus Santoso

9. Ubaidillah

Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid mengatakan, Komisi I menetapkan tiga orang perempuan untuk keterwakilan perempuan 30 persen.“Tiga perempuan menjadi calon anggota KPI menunggu disahkan saja. Tercapai 30 persen,” kata Meutya Hafid.

Selain memilih sembilan nama Anggota KPI Pusat, Komisi I DPR RI menetapkan enam nama cadangan Anggota KPI Pusat Periode 2022-2025 antara lain Mulyo Hadi Purnomo, Tantri Relatami, Cecep Suryadi, Ida Fitri Halili, Gustav Aulia dan Bondan Kartiko. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.