- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 27220
Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, saat diwawancari salah satu TV di Jakarta. Foto: Agung Rahmadiansyah
Jakarta -- Desakan agar UU yang dibuat pada 2002 lalu segera dimutakhirkan, berdatangan dari berbagai kalangan temasuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Ada sejumlah poin krusial yang mesti masuk dalam RUU Penyiaran utamanya terkait penguatan kelembagaan dan kewenangan KPI.
Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, mengatakan perubahan UU Penyiaran harus memerhatikan kepentingan lembaga ini (KPI) dalam menjalankan fungsinya ke depan dan ini sangat terkait dengan pemantapan kelembagaan dan otoritasnya. Seperti hubungan KPI Pusat dengan KPID yang di dalam UU Penyiaran 2002 bersifat koordinatif.
Menurut Agung, struktur kelembagaan dan pola kerja yang koordinatif antar pusat dan daerah dinilai kurang efektif. Karena itu, dalam UU Penyiaran baru pola hubungan ini harus diubah menjadi hierarkis seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Ini juga akan terintegrasi dengan anggarannya yang berasal dari pusat. Jadi tidak ada lagi KPID yang kesulitan melakukan kegiatan dan pengawasan di daerah karena tidak ada anggaran,” jelasnya di sela-sela wawancara dengan salah satu televisi berita di Jakarta, Kamis (11/6/2020).
Selain itu, perlu dikaji kembali masa jabatan Anggota KPI yang diatur hanya tiga tahun dalam UU Penyiaran 2002. Menurut Agung, selayaknya masa jabatan Anggota KPI 5 tahun. “Masa jabatan ini sangat memengaruhi kualitas dan hasil pekerjaan di setiap periode jabatan. Jika hanya tiga tahun dinilai kurang karena pekerjaan yang baru saja dimulai dan belum tuntas, selesai di tahun ketiga jabatan,” kata Agung.
Kewenangan KPI dalam UU Penyiaran baru diusulkan dapat meliputi persoalan penyiaran secara luas seperti dapat melakukan audit terhadap lembaga rating. Selain itu, diberi wewenang melakukan pengawasan penyiaran digital. “Terkait penyiaran digital ini ada dua yakni TV digital setelah migrasi dari analog ke digital dan media baru. Yang terakhir ini masih menjadi perdebatan,” ujarnya.
Menyangkut digitalisasi dan media baru, Agung memberi gambaran bahwa kondisi penyiaran dunia saat ini telah berubah menjadi digital dan hanya beberapa negara termasuk Indonesia yang belum migrasi. “Kita harus segera migrasi. Di beberapa negara sudah 5G, adapun kita masih 4G. Teknologi 5G itu memungkinkan karena penyiarannya sudah digital. Jadi digital itu juga meringkas frekuensi penyiaran. Sisa dari frekuensi yang dipakai itu bisa digunakan untuk jaringan internet,” tegasnya.
Selain itu, lanjut Agung, migrasi ke digital ini akan memberi keuntungan pada industri penyiaran. Menurutnya, perlu juga ada pengaturan pemain dalam kancah bisnis di bidang ini. Pasalnya, sekarang ini kue iklan semakin lama semakin sedikit. Ditambah lagi sudah banyak diserobit oleh media baru yang tak dipayungi oleh regulasi apapun. Bentuk usaha tidak hany penyiaran, jadi telekomunikasi juga.
“Ini juga terkait dengan akses dan kepentingan masyarakat. Tayangan televisi jadi lebih jernih. Selain itu, publik juga diuntungkan dengan percepatan jaringan internet dan data bisa menjadi lebih murah,” kata Agung.
Dalam kesempatan itu, Agung meminta pemerintah agar dapat memberi jaminan pada semua pelaku usaha penyiaran saat ini. Menurutnya, keberlanjutan usaha penyiaran harus dijamin ketika kita nanti bermigrasi.
“Pemerintah harus juga memikirkan masyarakat khususnya di daerah yang banyak mengalami keterbatasan dalam alat teknologi seperti TV yang layak. Di daerah TV-nya masih banyak analog atau tabung. Nah ini harus ada subsidi dengan set of box. Mulai sekarang pemerintah juga perlu sosialisasi untuk mempersiapkan infrastruktur bermigrasi ke digital tersebut,” usulnya mengakhiri wawancara tersebut. ***