- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 227
Yogyakarta – Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa “Goes to Campus” yang berlangsung di Yogyakarta, Jumat (1/11/2024), digelar dengan format diskusi publik bertema “Konten Lokal sebagai Medium Demokratisasi Budaya”. Diskusi yang dihadiri Anggota KPI Pusat, Evri Rizqi Monarshi, dan Amin Shabana, mengupas hadirnya konten lokal tidak hanya sebagai pelengkap tetapi bagian dari demokratisasi penyiaran secara utuh.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid dalam sambutannya mengatakan bahwa akses informasi yang diterima masyarakat tidaklah merata. Padahal akses informasi merupakan hal yang penting untuk meningkatkan kesadaran. Menurutnya, melalui kesadaran itu akan muncul pengetahuan, yang kemudian meningkat menjadi partisipasi (engangement) yang akan membuka peluang bagi seseorang dan masyarakat.
Masyarakat cenderung lebih tahu budaya asing dibanding budaya sendiri (Indonesia). Evri Rizqi Monarshi menyebutkan, hal itu tidak lepas dari peran televisi yang cenderung membentuk konten budaya populis karena keperluan share rating televisi. Memasuki era global, terjadi disrupsi informasi yang menjadi tantangan tersendiri. Kehadiran platform digital seharusnya bisa menjadi alat ampuh untuk mengangkat nilai-nilai budaya dari tiap daerah sekaligus menguatkan rasa identitas lokal. Pembuat konten harus bisa mengatur bagaimana mengemas konten budaya lokal agar menjadi menarik.
“Kami berharap konten budaya lokal tidak hanya ditayangkan, tapi juga diproduksi dan digaungkan sehingga bisa terjadi diversity of content dan konten budaya lokal menjadi raja di daerah masing-masing.”, ucapnya. Budaya tidak seharusnya menjadi suatu hal yang statis dan tertutup, tapi bisa membuka ruang dialog, dinikmati dan berkembang sesuai dinamika masyarakat.
Amin Shabana mengutip UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 Pasal 5 Poin J bahwa penyiaran diarahkan untuk memajukan kebudayaan lokal. Akan tetapi, lanjutnya, dalam konteks demokratisasi budaya, prinsip dasarnya adalah partisipasi masyarakat, yang mencakup partisipasi dalam mengakses informasi dan kebebasan berekspresi.
Konten budaya lokal bisa menjadi garda terdepan yang digunakan untuk menonjolkan karakteristik suatu daerah. Meskipun demikian, yang perlu diperhatikan bukan hanya produksi konten budaya lokal, tetapi juga penguatan ekosistem penyiaran, yaitu memberdayakan SDM lokal di daerah tersebut.
Menurut Amin Shabana, pemilik media di pusat juga wajib berjejaring dengan TV lokal untuk memberi kesempatan pada penyiaran lokal. “Dalam UU Penyiaran, dimandatkan penyiaran konten lokal pada prime time, pada 6 hingga 9 pagi, atau 5 sore hingga 10 malam, namun pada kenyataannya justru disiarkan selepas jam 12 malam hingga waktu dini hari,” katanya.
Dalam kenyataannya, hal ini belum bisa diterapkan karena industry penyiaran merupakan entitas korporasi yang berupa bisnis, sehingga prime time ditujukan pada program yang memiliki rating tinggi dan bisa mendatangkan iklan.
Amin mengungkapkan berdasarkan kegiatan Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV), pengukuran kualitas program di televisi yang dilakukan terhadap program siaran kategori berita, talkshow, variety show, religi, anak, dan wisata budaya. Pada setiap program siaran, dilakukan penilaian terhadap indicator edukatif, informatif, kepatuhan terhadap norma, dan kompetensi. Pada program wisata budaya, indikator kompetensi menjadi indicator dengan angka terendah yang biasanya disebabkan kurangnya pengetahuan host tentang tempat wisata, kurangnya penekanan aspek sosial budaya, dan dampak pada masyarakat lokal. RUU Penyiaran juga dimaksudkan untuk menguatkan ekosistem penyiaran di tengah transformasi digital yang sedang terjadi.
Sementara itu, Puji Rianto, Dosen Program Ilmu Komunikasi UII menyampaikan materi “Televisi Lokal sebagai Medium Demokratisasi Budaya: Pengembangan Ekosistem dan Cultural Sphere di Era Penyiaran Digital”. Dalam paparannya, ia menyatakan bahwa untuk membangun cultural sphere atau lingkup budaya, perlu adanya perubahan paradigma penyelenggaraan penyiaran dari sentralistik ke desentralistik yang diwujudkan dengan pemberlakukan otonomi daerah dan regulasi penyiaran sehingga TV lokal bisa berkembang menjadi suatu demokratisasi budaya.
Ini berarti bahwa pemerintah memegang andil yang kuat dalam mendukung industri penyiaran daerah, terutama dalam memproduksi konten budaya lokal. “Secara praktis, dukungan ini bisa dilakukan dengan menemukan titik temu antara pemerintah, market, dan masyarakat sipil terkait kebijakan dalam penyiaran”, kata Puji Rianto.
Pemerintah, lanjutnya, juga bisa memberi perlakuan khusus berupa keringanan pajak atau memberikan subsidi sehingga menekan biaya produksi. Sementara itu, TV lokal melakukan dekonstruksi budaya dan redefinisi budaya baru untuk bisa masuk ke digital cultural sphere.
Selain diskusi publik, kegiatan GLSP Goes to Campus dengan peserta mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi dari konsentrasi public relation, jurnalisme digital, dank kajian media ini juga diisi dengan agenda penandatanganan nota kesepahaman antara KPID DIY dan UII. Anggita/Foto: Agung R