- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 1656
Pangkalpinang – Pengaturan media baru dengan mencantolkannya dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran dinilai sangat memungkinkan. Namun demikian, aspek-aspek yang juga krusial seperti penguatan siaran lokal jangan sampai ditinggalkan. Hal ini untuk memastikan tujuan dari demokratisasi penyiaran seperti keragaman konten. Keragaman kepemilikan dan pengembangan potensi daerah (alam dan manusia) berjalan baik.
Dalam Diskusi Publik RUU Penyiaran yang berlangsung di Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Selasa (12/10/2023), Ketua KPID Babel Muhammad Adha Al Khodri, mengingatkan hal tersebut. Menurutnya, penguatan konten lokal dalam revisi UU Penyiaran lebih difokuskan ke pelaksanaannya. “Ini menjadi sesuatu hal yang penting dalam revisi undang-undang penyiaran,” katanya di depan peserta diskusi.
Muhammad Adha beralasan, implementasi siaran lokal 10% yang mestinya dijalankan oleh induk jaringan tidak berjalan maksimal. Dia mencontohkan untuk jam tayangnya, rata-rata konten lokal disiarkan di waktu tidak produktif.
“Itu kita baru bicara jam tayang saja. Permasalahan ini tidak hanya terjadi di Babel, tapi juga hampir di seluruh Indonesia. Tidak ada perubahan. Konten lokalnya disiarkan di jam-jam orang sedang tidur. Ini menjadi fokus kami untuk mendorong konten lokal dapat lebih konsisten dilaksanakan oleh lembaga penyiaran,” katanya.
KPID menilai pengaturan konten lokal secara tegas ini akan berdampak positif pada pengembangan daerah. Potensi di daerah akan lebih dikenal, baik dari sektor alam maupun manusianya. “Ini sebuah spirit untuk mengangkat keunikan sumber daya di daerah untuk tujuan peningkatan ekonomi. Ini kunci penting bagi kita semua. Dan di era digital ini, jika fokus melaksanakan 10%, hal ini akan ikut membuka lapangan kerja di daerah,” jelas Muhammad Adha.
Kendati demikian, Adha juga mengingatkan relevensi dari angka 10% siaran konten lokal yang harus dijalankan dengan situasi saat ini. Ini untuk meminimalisir adanya lembaga penyiaran yang hanya main asal comot program untuk memenuhi kuota tersebut. “Harapannya jangan angka ini dimain-mainkan,” tegasnya.
Sementara itu, Anggota KPI Pusat Tulus Santoso menyampaikan, kehadiran konten lokal merupakan salah satu bentuk dari perwujudan demokratisasi penyiaran. Ada porsi yang adil untuk masyarakat di daerah melalui keragaman konten tersebut. “Memang soal konten lokal ini sudah diatur. Tapi dalam praktiknya masih sulit diimplementasikan secara benar,” katanya.
Aspek bisnis menjadi kendala lembaga penyiaran untuk menerapkan keragaman konten. Hal ini juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh rating share (pemeringkatan program). “Saat satu TV menayangkan sinetron kemudian sinetron itu ratingnya bagus, maka semua TV akan berlomba-lomba memproduksi tayangan yang sama,” ungkap Tulus.
Karenanya, dia sependapat jika pengaturan konten lokal dan keragaman konten diatur secara tegas dalam RUU Penyiaran. Upaya ini akan ikut mendorong selera dan kecerdasan publik serta menciptakan tayangan yang mendidik. “Semangat revisi undang-undang penyiaran harus mampu mewujudkan demokratisasi frekuensi,” ujar Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat ini.
Harus segera “digolkan”
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pertiba Pangkalpinang, Safri Hariansyah mengatakan, kebutuhan UU Penyiaran yang baru sudah sangat mendesak. Ini untuk menjawab situasi terkini dari berkembangnya teknologi.
“Hukum harus mengadopsi hal-hal yang terjadi di masyarakat. Jadi hukum itu harus adaptif. Undang-undang ini semestinya menjadi high priorty untuk perubahan. Jadi harus segera digolkan,” katanya.
Safri menambahkan, saat ini konsumsi masyakat terhadap informasi dan hiburan tidak lagi bergantung dari media seperti TV dan radio. Mereka banyak yang beralih ke media baru. “Sayangnya, konten negatif di media ini tidak terawasi. Siapa yang berwenang mengawasinya,” ujarnya.
Di akhir paparannya, Safri berharap perubahan dalam RUU Penyiaran dapat semua aspek seperti kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum. “Karena negara ini negara hukum dan biar tidak bingung. Jika hal ini tidak dapat menjangkau aspek kepastian akan sulit. Karenanya, revisi undang-undang ini harus benar-benar dipikirkan dan diukur secara tepat. Karena secara teori jika telah diundangkan maka akan berlaku secara universial,” tandasnya. ***