Bandung -- Salah satu upaya menjaga penyiaran nasional agar tetap eksis dan tumbuh adalah dengan menempatkan TV dan radio sebagai acuan utama memperoleh informasi juga hiburan. Selain keberadaannya diatur tegas dalam Undang-Undang Penyiaran, perannya makin penting sebagai media penjernih di tengah keruhnya informasi (konten) yang berasal dari media baru.

Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti, menyatakan peran serta masyarakat, dalam hal ini para siswa, sangat besar dalam menjaga keutuhan penyiaran nasional. Pasalnya, jika hal ini dibiarkan tanpa perhatian dan kepedulian, bukan tak mungkin penyiaran nasional berganti siaran asing.

“Penyiaran di Indonesia harus tetap tumbuh. Apakah kalian mau negara dikuasai asing? Atau yang ditonton buatan asing? Tidak mau ya. Berarti kita harus mendorong TV menyiarkan siaran yang baik,” kata Mimah di depan seratusan siswa SMAK Yahya.   

Mimah menyatakan perhatian terhadap siaran TV dan radio dalam bentuk kritik maupun apresiasi akan mendorong industri tersebut ke arah yang positif dan jadi lebih manfaat. “Kalau kita lebih banyak mengikuti Medsos tetapi melupakan TV kalian belum menjadi Indonesia. Supaya kalian cinta TV dan Radio, masuk ke produksi program siaran, maka Radio dan TV itu bisa bermanfaat,” ujarnya.

Sementara itu, Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Junico BP Siahaan, salah satu narasumber acara menyampaikan, persoalan media baru sebagai sebuah permasalahan besar. Hadirnya media baru mengubah cara menonton masyarakat dari yang sebelumnya berdasarkan jadwal menjadi leluasa tanpa batasan waktu. 

“Dulu kalau mau nonton “Kata Berkait”, kita harus duduk di depan TV jam 05.00-05.30. Tidak ada pilihan lain. Kalau sekarang, kapan saja saya bisa nonton. Dulu dan sekarang beda budaya, kita bicara masalah dulu hanya satu TV,” kata Nico, panggilan akrabnya. 

Namun begitu, Nico memandang perlunya kesamaan perlakuan dari segi hukum. TV dan radio diawasi oleh Undang-Undang Penyiaran sedangkan media baru belum ada payung hukumnya. “Soal regulasi, kita punya UU Penyiaran, sebab yang tayang di TV dan Radio menggunakan frekuensi dan itu merupakan SDM milik negara. Saat ini. lewat OTT, apa yang kita tonton seperti Youtube, Netflik ataupun Tiktok belum ada yang mengawasi,” paparnya. 

Dalam kesempatan itu, Nico mendorong penguatan literasi untuk menanamkan sikap kritis sekaligus apresiatif pada masyarakat terhadap media yang dikonsumsi. Menurutnya, literasi akan melatih cara berpikir seseorang sehingga tidak mudah puas terhadap informasi ataupun tayangan yang diterima. 

“Kita melatih berpikir kritis, jangan puas apa yang di depan kita. Critical thinking. Dengan itu kalian tidak mudah terbawa arus dan punya pisau yang lebih tajam,” tuturnya kepada para siswa. ***/Foto: AR

 

 

 

 

Bandung – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai para siswa khususnya pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) berpotensi menjadi agen sosial dalam konteks literasi media. Pelajar SMA memiliki energi lebih banyak sehingga memengaruhi produktifitasnya dan lebih mudah berpikir kreatif.

Pendapat tersebut disampaikan Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, saat membuka kegiatan Literasi dan Sosialisasi Pengawasan Isi Siaran KPI di Sekolah Kristen Yahya, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (19/11/2022).

“Ini yang menarik, karena anak mudah berpikir kreatif. Harapannya kepada mereka bisa menjadi agen literasi. Literasi ini bagaimana persoalan mengetahui bahwa siaran itu dibuat oleh manusia dan kedua bagaimana kita memiliki sifat kritis,” tambah Mulyo Hadi.

Namun begitu, sikap kritis dan cerdas memilah milih informasi ini tidak hanya diterapkan ke media penyiaran, tapi juga terhadap media baru. Kenyamanan dan keamanan media seperti TV dan radio dijamin oleh adanya Undang-undang Penyiaran, sedangkan media baru belum ada aturannya. 

“Hal yang mengkhawatirkan saat ini justru datang dari media baru. Kita menghadapi problematika, pengaruh dari media baru ini,” kata Mulyo Hadi. 

Terkait hal ini, KPI mendorong peran sekolah terutama para guru untuk ikut membantu dan mengawasi pola penggunaan dan pemanfaatan media baru. “Jika konten siaran TV sudah diawasi KPI karena kami konsisten menjalani tugas. Secara non stop memantau siaran TV dan Radio. Ada sekitar 17 stasiun TV yang kami pantau secara non stop, 24 jam secara shift,” jelas Mulyo.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Sekolah SMA Kristen Yahya, Yoyo, menyampaikan apresiasi dan rasa terimakasihnya kepada KPI yang telah menghadirkan acara literasi di lingkungan SMA Yahya. 

“Suatu kehormatan Sekolah Kristen Yahya untuk menerima kunjungan ini. Saya bangga dengan kunjungan dari DPR dan KPI. Kegiatan ini bisa menjadi masukan dan menambah wawasan terkait literasi dan digitalisasi penyiaran,” tandasnya. 

Usai sambutan, acara dilanjutkan langsung sesi literasi dan sosialisasi yang menghadirkan Anggota Komisi I DPR RI, Junico BP Siahaan, Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti, Komisioner KPID Jabar, Adiyana Slamet, dan Stand Up Comedy Kompas TV, Alif Rivelino. Acara ini dimoderatori Neneng Athiyatul Fauziyah. Turut hadir dalam acara, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah dan Hardly Stefano. ***/Foto: AR

 

 

Ciputat -- Indonesia telah resmi menghentikan siaran TV analog secara bertahap dan mengaktifkan sistem siaran TV digital pada 2 November lalu. Hal ini otomatis memunculkan dampak logis dengan semakin bertambahnya siaran TV yang dapat diakses masyarakat. 

Terkait perubahan sistem siaran dan dinamika yang menyertai, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, mengatakan perlunya penguatan kemampuan literasi secara sistematis dan berkelanjutan untuk masyarakat. Literasi ini untuk menanamkan kepedulian, membentuk kecerdasan sekaligus memantik sikap kritis terhadap siaran yang kemungkinan jumlahnya makin berlimpah.

“Pasca ASO 2022 sebagai satu konsekuensi logis atau dampak dari ASO ini akan banyak konten yang muncul. Karena banyak konten, maka perlu literasi bagaimana menonton konten yang baik. Selain itu, kapasitas evaluasi adalah bagian dari bentuk masyarakat partisipatis dalam siaran ketika ada konten yang dinilai kurang baik,” kata Nuning saat membuka kegiatan Literasi dan Sosialisasi Pengawasan Isi Siaran KPI di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (16/11/2022).

Tak hanya menumbuhkan sikap kritis, ungkapan apresiasi terhadap siaran yang baik pun akan menyertai. “Literasi akan meningkat kapasitas apresiasi dengan cara bicara siaran baik dengan me-like konten-konten baik program-program yang berkualitas. Pada akhirnya, jika semakin sering orang menonton program siaran yang baik dan meng-share program yang baik tersebut, maka tontonan-tontonan yang baik ini juga akan banyak di tonton masyarakat dan kualitas TV akan baik,” jelas Nuning di depan seratusan mahasiswa. 

Karena itu, lanjut Nuning, momentum ASO menginspirasi pihaknya untuk bergerak meliterasi masyarakat jangan sampai tidak tahu cara menonton TV yang baik. KPI memilih mahasiswa karena memiliki kapasitas untuk menyampaikan informasi secara tepat. 

“Kita berharap adik-adik bisa menjadi vocal poin bagi KPI. Yang kedua ada netizen, karena dari netizen ini sangat efektif sebagai penyampai informasi. Dan, yang ketiga adalah woman yaitu perempuan karena perempuan ini memiliki agen-agen penyampai literasi secara cepat,” tutur Nuning sebelum menutup sambutannya.

Usai pengantar, acara dilanjutkan diskusi dengan narasumber antara lain Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, Pengamat Politik yang juga Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heriyanto dan Direktur Eksekutif Indonesia Publik Institute, Karyono Wibowo. Adapun moderator acara Alivia V Ardani. ***/Foto: Maman 

 

Ciputat -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memastikan setiap lembaga penyiaran (TV dan radio) boleh melakukan proses kreatifitasnya dengan cara apa saja. Bahkan, KPI tidak melarang lembaga penyiaran mengejar rating demi peningkatan finansial usahanya. Namun, yang paling penting dan ditekankan KPI adalah muara dari kreatifitas yakni moralitas konten siaran.

“Proses kreatifitas boleh melakukan apa saja, mengejar rating juga boleh. Karena ini bagian dari dinamika industri, namun harus berujung pada  moralitas dari program siaran yang punya kemanfaatan bagi publik,” kata Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, saat menjadi narasumber acara Literasi dan Sosialisasi Pengawasan Isi Siaran KPI di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (16/11/2022). 

Hardly menegaskan, pihaknya tidak pernah mengeluarkan larangan untuk membatasi proses kreatifitas di TV dan radio. Menurutnya, proses kreatifitas merupakan hak lembaga penyiaran dan tugas KPI memastikan kreatifitas tersebut menghasilkan produk siaran yang membawa pesan moral yang baik. 

“Sejauh mana suatu program siaran itu membawa pesan moral yang baik pada masyarakat. Itu yang diawasi oleh KPI, tentunya berdasarkan regulasi,” tuturnya.  

Meskipun begitu, Hardly meyakinkan jika siaran di TV cenderung lebih aman dan nyaman bagi masyarakat ketimbang informasi atau siaran yang berasal dari media baru. Salah satu tolak ukur pihaknya memastikan siaran di TV aman dan juga baik adalah melalui pengukuran Indeks Siaran TV secara berkala. Dalam hal ini KPI bekerjasama dengan 12 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di 12 Kota. 

“Dari hasil riset indeks kualitas siaran TV tahun 2022 menujukkan, 6 dari 8 program kategori program siaran yang diteliti sudah berkualitas. Masih ada dua kategori program siaran yang indeksnya belum berkualitas, yaitu infotaiment dan variety show,” jelas Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat ini.

Terkait program siaran jurnalistik atau berita, Hardly mengaitkan dengan situasi yang terjadi saat ini dimana informasi dari media baru datang bak air bah. Meskipun paling sering diakses masyarakat, namun informasi melalui media baru tidak selalu benar.

“Segala dinamika di media penyiaran, khususnya di program siaran jurnalistik, berada dalam koridor etika jurnalistik dan P3SPS. Sehingga informasi melalui siaran TV dapat menjadi rujukan, karena akurasi dan kualitas informasinya lebih terjamin,” paparnya.

Hal ini juga sejalan dengan hasil riset status literasi digital Indonesia tahun 2022 yang dilakukan oleh kementarian komunikasi dan informatika. Hasil riset ini menunjukkan data bahwa media yang paling sering diakses masyarakat Indonesia adalah media sosial, namun media yang informasinya paling dipercaya adalah TV.

Menurut Hardly, program siaran berita di TV ibarat oase di tengah belantara disinformasi. Program siaran ini termasuk salah satu program siaran berkualitas berdasarkan hasil riset KPI beberapa tahun belakang. Pencapaian ini diperoleh setelah melalui rangkaian bahasan yang mengacu pada 6 dimensi pengukuran.

“Ke enam dimensi dalam kategori program siaran berita yakni pertama, tidak menyampaikan berita bohong. Kedua, mengedepankan prinsip praduga tak bersalah. Ketiga, akurat. Keempat, tidak menampilkan muatan sadis. Kelima, adil, berimbang dan tidak berpihak. Dan keenam, faktual dan tidak memasukkan opini redaksi. Hal ini menunjukkan dan menegaskan bahwa program siaran berita di televisi ibarat oase informasi di tengah belantara disinformasi,” tegasnya.

Pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heriyanto, menyampaikan berbagai pandangannya terkait program siaran berita di TV. Menurutnya, media massa dalam hal ini TV harus menjadi media yang kredibel atau sebagai rujukan di tengah era keberlimpahan informasi seperti sekarang. 

Dia juga menekankan pentingnya penguatan sumber daya manusia (SDM) penyiaran untuk siap bertarung dan adaptif menghadapi dinamika zaman yang cepat berubah. Industri penyiaran pun harus mengikuti pola perubahan ini. Tapi yang paling utama, lanjut Gun Gun, media harus tetap independen serta menjalankan fungsi profetik media.

“Jika kemudian kita bicara soal jurnalistik sebagai bagian yang penting maka jurnalistik harus menghadirkan kebenaran faktualnya. Jangan menjadi alat melegitimasi pemebenaran dari kelompok-kelompok tertentu,” ujar Gun Gun. 

Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Indonesia Publik Institute, Karyono Wibowo, menekankan pentingnya literasi yang berkecukupan ke masyarakat tentang media dan pemberitan terlebih menjelang perhelatan Pemilu 2024. Pembekalan ini dapat menangkal propaganda hoax yang nantinnya akan digunakan para kontestasi untuk memengaruhi pemilih. “Literasi ini juga berkaitan dengan state of mine,” katanya.

Karyono juga memperhatikan pola penggunaan internet oleh kontestasi melalu media sosial. Menurut dia, literasi ini menjadi modal bagi pemilih untuk mendapatkan informasi yang benar. “Publik jadi tabayun atau kritis sebelum menyebarkan informasi. Dan program literasi bangsa kita masih rendah seperti menyimak dan membaca. Indonesia berada di urutan kedua terendah dalam membaca. Maka sangat penting kegiatan literasi-literasi seperti ini,” ujarnya. ***

Jakarta – Pelaksanaan ASO (analog switch off) atau perpindahan dari siaran TV analog ke siaran TV digital di Indonesia telah dimulai secara bertahap sejak 2 November 2022 lalu. Momentum tersebut semestinya melecut lari kita mengejar ketertinggalan dari negara lain yang telah lama bermigrasi ke siaran digital. 

Tidak hanya itu, momentum penghentian siaran TV analog ini berdampak terhadap rencana ulang membahas kembali Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tersendat. Harapan RUU Penyiaran disepakati menjadi UU Penyiaran baru, menggantikan UU Penyiaran No.32 tahun 2002 yang dinilai sudah tertinggal dengan perkembangan media saat ini. Termasuk prioritas menguatkan posisi dan kewenangan lembaga pengawasnya (KPI).

“Kita ini, Indonesia, sebenarnya tertinggal jika melihat wilayah-wilayah ASEAN seperti Thailand, Vietnam, itu sudah digital sejak lama. Apalagi Malaysia, Brunei dan Singapura. Jadi keterlambatan ini harus kita kejar agar kita ini selaku masyarakat terbesar dan wilayah terluas untuk di wilayah Asia Tenggara ini bisa sesuai dengan tetangga-tetangga kita,” kata Anggota DPR RI, Dave Laksono Fikarno, saat menjadi pembicara kunci dalam kegiatan “Literasi dan Sosialisasi Pengawasan Isi Siaran” yang berlangsung di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (10/11/2022).

Pelaksanaan ASO, lanjut Dave, harus diikuti dengan pembangunan infrastruktur digital secara cepat. Pasalnya, masih banyak daerah yang belum dapat menerima siaran teresterial sehingga berpengaruh terhadap penerimaan siaran TV digital. “Ini tantangan dalam digitalisasi penyiaran. Jadi yang pertama yang harus dilakukan adalah merealisasikan percepatan pembangunan infrastruktur untuk mendukung digitalisasi tersebut,” pintanya.  

Dia kemudian mengaitkan proses digitalisasi penyiaran dengan RUU Penyiaran yang pembahasannya berjalan lamban. Padahal, pembicaraan soal digitalisasi telah dimulai pada 2012. “Kita berharap pada masa sidang ini, tahun ini, bisa selesai dan tahun depan mungkin KPI sudah baru, sudah memiliki skup ukur yang lebih jelas dan lebih tegas,” katanya.

Terkait rencana ini, Dave berharap pada industri penyiaran untuk satu suara. “Hal ini penting saya sampaikan karena RUU Penyiaran ini kenapa sebegitu lambannya hingga 10 tahun lamanya tidak selesai. Ini karena industri sering kali berdebat karena mendorong kepentingannya masing-masing. Sering kali tidak sepaham, padahal RUU itu sebenarnya sudah selesai di Komisi pada 2017, yang kemudian dibawa ke Baleg tapi di patahkan lagi hingga 2019 tidak bisa disahkan. Sementara di DPR kalau misalnya tidak selesai di masa satu periode, tidak bisa carry over jadi harus dimulai dari awal. Akhirnya berulang lagi, hingga berproses sampai sekarang,” jelasnya.

Dave juga menyinggung rencana RUU Penyiaran yang akan memasukkan aturan tentang penyiaran baru seperti siaran streaming. Menurutnya, kejelasan aturan yang menaungi medium siaran baru ini dapat dimasukan ke dalam RUU Penyiaran. 

“Siaran streaming, baik itu TV maupun radio, makin mudah diakses. Bukan kita bicara Netflik atau video, yang sudah makin banyak dan semuanya tidak ada penyaringan dari masyarakat ataupun pemerintah. Semuanya bebas menyampaikan pesan yang mungkin tidak sesuai dengan kebudayaan kita dan berdampak tidak baik,” ujar Dave dan berharap dinamika dalam pembahasan RUU Penyiaran mampu melahirkan UU Penyiaran yang berdampak baik untuk kepentingan publik.

Dalam kesempatan itu, Dave menyoroti lambannya pembagian STB untuk masyarakat. Selama dua tahun sejak UU Cipta Kerja disepakati, distribusi STB untuk masyarakat tidak mampu tidak berjalan maksimal. 

“Untuk itu, kita terus meminta Kemenkominfo agar TV-TV swasta yang mendapatkan fasilitas digitalisasi ini untuk dapat membagikan STB kepada masyarakat. Orangnya jelas siapa, data ada, tinggal dibagikan, anggarannya juga sudah ada. Ini juga untuk kepentingan industri media agar terus menyampaikan hasil informasi yang lebih baik, jernih, dan membua peluang kanal baru,” kata Dave. 

Di akhir penyampaian, Dave menilai penting proses literasi untuk masyarakat terutama dengan makin banyaknya konten dalam siaran TV digital. Literasi ini untuk menanamkan sikap kritis dan evaluatif terhadap konten siaran. Pasalnya, konten ini terkait dengan isinya yang baik atau sebaliknya. 

“Literasi ini penting untuk penyadaran kepada masyarakat agar sigap dan cepat melawan hoax. Informasi hoax itu, makin lama makin canggih. Memberikan argumen-argumen dan membuat foto serta video yang kadang isinya tidak lebih dari 90 detik. Sehingga masyarakat harus cepat menyerapnya, kalau lebih lama pasti orang bosen. Perlu kesadaran masyarakat yang tidak hanya masyarakat bawah tapi juga yang di atas,” tandasnya. 

Setelah paparan Dave Laksono, acara dilanjutkan dengan forum diskusi yang menghadirkan narasumber antara lain Wakil Ketua KPID DKI Jakarta, Rizky Wahyuni, dan Akademisi, Hamdani Massil. ***/Foto: AR

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.