- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 19621
Yogyakarta – Komitmen lembaga penyiaran dalam menjaga nilai-nilai Pancasila di televisi dan radio merupakan sebuah kepastian. Selama ini, lembaga penyiaran sudah menjalankan kewajiban dan berbagai fungsinya sebagaimana amanat undang-undang penyiaran. Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta indonesia (ATVSI) Neil R Tobing menjelaskan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam Seminar Utama yang bertajuk Penguatan Nilai-Nilai Pancasila Melalui Media Komunikasi dan Penyiaran Indonesia Menuju Peradaban Baru, di Yogyakarta (24/5).
Industri penyiaran ini, ujar Neil, sudah berjalan dengan kawalan regulasi yang demikian ketat, heavy regulated. “Sebelum tayang ada sensor dan setelah tayang pun ada yang mengawasi,”ujarnya. Kalau merujuk pasal lima di Undang-Undang Penyiaran, lembaga penyiaran juga menjadi agen untuk memelihara nilai Pancasila, termasuk juga sebagai media yang memersatukan bangsa. Apalagi dengan realita kita sebagai negara dengan 700 etnis, tentu menjadi tugas kita bersama untuk menjaga keutuhan NKRI.. “Kami juga melakukan improvement agar semua konten yang hadir di tengah masyarakat selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan keutuhan NKRI tetap terjaga,” ujar Neil.
Terkait perkembangan dunia penyiaran sekarang, Neil mengungkap, penetrasi televisi semakin menurun dan berbanding terbalik dengan penetrasi internet yang mencapai delapan puluh lima persen selama lima tahun. “Ranah digital yang borderless ini belum diatur. Kami berharap Komisi I dapat memasukkan definisi media baru di dalam rezim hukum undang-undang penyiara, agar terjadi equal level of playing field dalam hal pengawasan konten dan sebagainya,” ucap Neil yang juga Direktur dari Viva Group.
Menghadapi transformasi digital ini, lembaga penyiaran tentu harus melakukan banyak inovasi dengan terus mengembrace teknologi yang berkembang di industri penyiaran. “Baik itu memberi layanan Over The Top (OTT), Video On Demand, ataupun IP TV, yang boleh dilakukan oleh lembagai penyiaran,” ungkapnya. Lembaga penyiaran ini siarannya berjadwal dan hanya dapat ditonton sesuai waktu yang dijadwalkan. Sementara generasi milenial dan centinial punya kebiasaan yang berbeda. Jadi kehadiran layanan OTT, VoD ataupun IPTV merupakan inovasi lembaga penyiaran agar tetap survive dan konten siaran tetap dapat dinikmati dengan berbagai platfom.
Kehadiran konten siaran dengan multi-platform tentunya harus disikapi sesuai koridor regulasi. Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan, Yuliandre Darwis mengatakan, KPI sebagai regulator penyiaran tetap bekerja sebagaimana amanat konstitusi. Hingga saat ini, layanan video on demand memang tidak ada regulasi yang rinci. Dalam proses produksi pun tidak ada evaluasi untuk pra dan post produksi, sehingga dengan mudah langsung tayang. Tak heran jika di televisi teresterial ada konten yang harus menerima blur, namun dalam video on demand gambar tidak ada blur. Perilaku ini tentunya bukan yang Pancasilais, ujar Yuliandre.
Lelaki yang akrab disapa Andre ini mengingatkan tentang kemungkinan momentum yang membuat perilaku menonton kembali seperti dulu. Misalnya saja dulu orang menonton Netflix agar dapat menonton film berulang-ulang. Tapi hari ini, perilaku Netflix kembali seperti televisi, dengan menyiarkan konten terjadwal. “That’s the point of broadcasting!,” ujar Andre. Nilai-nilai broadcasting yang tidak akan hilang adalah kebaruan. Tak heran jika valuasi untuk konten di Amerika Serikat yang paling tinggi adalah berita dan olah raga, karena tidak bisa diulang-ulang.
Menyinggung digitalisasi penyiaran ke depan, Andre berharap kualitas konten siaran pun terus tumbuh sebagaimana kanal televisi yang juga semakin meningkat. Strategi penyiaran dalam menyebarkan nilai-nilai Pancasila harus segera dirumuskan, sebagaimana Korea Selatan yang memunculkan BTS dengan valuasi ekonomi mencapai 70 triliun. “Tak heran jika Presiden Korea Selatan menjadikan BTS sebagai sebuah icon di PBB yang berkesempatan memberikan pidato. Itu merupakan suatu tradisi broadcast yang dimunculkan ketokohannya,” ujarnya. Sedangkan di Indonesia, ungkap Andre, tradisinya adalah kalau ratingnya bagus hajar sinetronnya sampai ribuan episode. Ini yang menjadi PR besar dalam menanamkan nilai Pancasila di penyiaran. Seharusnya, dari 700 etnis di Indonesia, dapat menghasilkan konten siaran yang demikian dahsyat dan mendunia, sebagaimana Amerika Serikat dengan Hollywood dan India dengan Bollywood.
Sementara itu, Neil selaku perwakilan industri penyiaran mengakui, televisi memang dianggap sebagai industri yang kapitalis dengan perutaran belanja iklan yang sangat luar biasa. Namun sebenarnya tahun 2019 adalah puncak kejayaan televisi. Bahkan di tahun 2024 yang diyakini sebagai puncak dari berbagai media termasuk media baru, media televisi tidak akan pernah lagi mencapai puncak dari sisi belanja iklan sebagaimana di tahun 2019.
Neil memaparkan, nilai dari ekonomi digital Indonesia pada tahun lalu mencapai 70 miliar US dollar. Perkiraannya di tahun 2024 akan mencapai 176 miliar dollar. Sedangkan kontribusi media adalah sebesar delapan persen dari 70 miliar dollar. “Berapa sih yang dinikmati televisi,” tanya Neil. Televisi hanya menikmati tidak sampai 1 miliar dollar, sisanya pergi ke duopoli raksasa platform digital yakni Facebook dan Google. Artinya, kalau kita bicara ekonomi digital, media memiliki kontribusi hingga delapan persen. Sedangkan, atas nama demokrasi facebook dan google dapat seenaknyaa beredar di Indonesia tanpa perlu tunduk pada hukum di negeri ini. Dua raksasa platform media ini, ungkap Neil, bukan saja mengambil kekayaaan Indonesia, tapi juga menambang uang dari data mining dan data konsumen yang semuanya dibawa ke luar negeri.
Sangatlah layak jika kami, dari industri televisi meminta adanya kesetaraan regulasi. “TV yang diatur secara ketat, sementara di sisi lain plaform digital raksasa ini dengan seenaknya melakukan restrukturisasi kepemilikan yang berlapis-lapis sehingga hanya dapat dikenakan pajak yang minimal. Harapan kami, tentu saja kesetaraan regulasi. Berkaca dari Australia dan Turki, pengaturan media baru menjadi kewenangan dari regulator penyiaran, seperti ACMA yang merupakan regulator media di Australia.
Neil sepakat tentang pembumian nilai-nilai Pancasila sekaligus melestarikannya. Nilai-nilai ini dilestarikan secara tidak langsung, yang juga dapat dinikmati di layar kaca. Di era peradaban baru, transformasi digital, penyiaran bukan saja berevolusi, tapi juga bertransformasi agar penyiaran ini juga tetap relevan di tengah masyarakat Indonesia milenial dan centinial. Nilai-nilai Pancasila dilestarikan secara tidak langsung juga dapat dinikmati di layar kaca, pungkasnya.