Yogyakarta - Perkembangan teknologi digital dan jaringan internet berimplikasi menghadirkan demokratisasi informasi di Indonesia. Namun di sisi lain, demokratisasi informasi juga membawa ekses negatif dengan bertebarannya hoax dan ujaran kebencian yang mengarah pada segregasi sosial. Hal ini dibuktikan dengan berlimpahnya konten hedonistik, fleksing, bahkan juga penipuan. Dengan kebebaran berekspresi yang semakin luas, beberapa konten internet memiliki kecenderungan mengabaikan norma dan kearifan lokal serta nilai-nilai kebangsaan Indonesia yang terkandung dalam Pancasila. Hal ini disampaikan Hardly Stefano Pariela saat memberi pengantar dalam Konferensi Penyiaran Indonesia 2022 dengan tema “Mewujudkan Media Komunikasi dan Penyiaran yang Berbasis Etika, Moral dan Kemanusiaan menuju Peradaban Baru”, di Yogyakarta (24/5). 

Menurut Hardly, digitalisasi dan internet telah menghadirkan strategi yang disebut konvergensi media. Secara teknis, konten siaran televisi disiarkan dengan menggunakan internet, dan sebaliknya beberapa konten internet juga akan masuk dan disiarkan oleh televisi. Berkaitan dengan hal itu, KPI tetap berkomitmen untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana amanat Undang-Undang no.32 tahun 2002 tentang Penyiaran. “Yakni untuk menjaga media penyiaran agar senantiasa menyampaikan informasi yang benar, menampilkan hiburan yang sehat dan berfungsi sebagai instrumen merawat kebudayaan bangsa,”ujar Hardly. 

Perubahan ekosistem penyiaran yang diawali dengan peralihan sistem modulasi siaran dari analog ke digital, menurut Hardly, juga perlu disikapi dengan kebijakan dan regulasi yang tepat. Dalam sistem penyiaran digital yang tenggat waktunya pada 2 November 2022 mendatang, akan menghadirkan semakin banyak stasiun televisi baru. Hal ini pun memberi pilihan semakin banyak bagi masyakat Indonesia dalam mengonsumsi konten siaran. Sedangkan di sisi lain, hal ini juga menjadikan persaingan produksi konten siaran yang semakin kompetitif antar stasiun televisi. Tentunya persaingan ini diharapkan dapat mewujudkan diversity of content yang akan mengarah pada peningkatan quality of content. Di sisi lain, lembaga penyiaran dapat menjadi media penjernih informasi, sekaligus trendsetter konten hiburan positif bagi para pembuat konten (content creator) yang menggunakan media internet. 

Mengutip data yang dirilis we are social, KEPIOS pada bulan Februari 2022,  pengguna internet di Indonesia telah mencapai 204,7 juta pengguna atau setara dengan 73,7% populasi penduduk Indonesia. Dengan rata – rata menggunakan internet setiap orang adalah 8 jam 36 menit per hari. Di sisi lain durasi rata – rata orang menonton televisi saat ini, hanya 2 jam 50 menit perhari. Data ini menunjukkan waktu yang digunakan oleh orang Indonesia untuk berselancar di internet 2 ½ kali lebih banyak dari waktu yang digunakan untuk menonton televisi. 

Hingga saat ini, menghadapi dinamika perkembangan media dan teknologi digital, regulasi masih diarahkan pada lembaga penyiaran. Hardly berharap, melalui konferensi penyiaran ini akan muncul pemikiran – pemikiran untuk semakin memperkuat eksistensi dan peran lembaga penyiaran, baik lembaga penyiaran swasta, dan yang terlebih penting perlunya penguatan terhadap Lembaga Penyiaran Publik (LP).

Menurut Hardly, dengan karakteristik LPP yang tidak berorientasi pada keuntungan ekonomi dan bisnis, diharapkan dapat berfungsi optimal sebagai agen informasi, pendidikan, dan yang terutama agen kebudayaan yang menjaga jati diri bangsa. Namun, tentu saja, harus tampil dalam kemasan konten yang menarik dan atraktif. “Karena bagaimana pun,  orientasi utama masyarakat ketika mendengar radio, menonton televisi maupun berselancar di internet adalah sebagai ruang rekreatif melalui hiburan yang disuguhkan kepada audience,” ungkapnya. 

Konferensi Penyiaran Indonesia tahun 2022, yang difasilitasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, merupakan konferensi ketiga, setelah sebelumnya pada tahun 2019 dilaksanakan oleh Universitas Andalas di Padang, dan tahun 2021 dilaksanakan Universitas Hassanuddin di Makassar. Konferensi ini merupakan kelanjutan dari kerja sama KPI dengan 12 Perguruan Tinggi Negeri dalam pelaksanaan Indeks Kualitas Siaran Televisi, dan dimaksudkan sebagai forum dialog akademis yang dapat merefleksikan dinamika penyiaran di Indonesia. Harapannya, dari Yogyakarta yang merupakan kota Budaya dan Pelajar, konferensi penyiaran ini dapat menjadi refleksi dan suluh akademis untuk menuntun dinamika media di Indonesia, dalam menghasilkan konten – konten yang sesuai dengan dinamika perkembangan teknologi, namun tetap berakar pada peradaban bangsa yang tercermin pada nilai – nilai Pancasila, pungkas Hardly. 

Konferensi Penyiaran Indonesia 2022 turut dihadiri oleh Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Yudian Wahyudi, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid, juga Ketua KPI Pusat Agung Suprio beserta jajaran Komisioner KPI Pusat lainnya, serta konsultan dan pengendali lapangan Indeks Kualitas Program Siaran Televisi 2022.  (Foto: Agung Rahmadiansyah/ KPI)

 

 

Yogyakarta -- Peralihan dari siaran TV analog ke siaran TV digital tak hanya memberi manfaat secara teknis. Perubahan sistem siaran ini akan menghasilkan keuntungan lebih besar lagi khususnya bagi masyarakat terutama dalam mengakselerasi penerapan digitalisasi secara menyeluruh termasuk mengakses internet secara mudah, cepat dan terjangkau.

Pandangan tersebut disampaikan Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika, Rosarita Niken Widiastuti, dalam Forum Diskusi Publik dengan tajuk “Partisipasi Masyarakat Menyosong TV Digital” kerjasama antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Senin (23/5/2022) di Kampus UIN Sunan Kalijaga.

Niken mengungkapkan, saat ini masyarakat membutuhkan akses intenet yang gampang diakses sekaligus lancar. Sayangnya, keinginan tersebut belum sepenuhnya terpenuhi karena adanya keterbatasan termasuk soal infrastruktur. 

“Ini akan jadi lebih mudah diakses ketika analog switch off (ASO) sudah selesai. Karena dengan ASO saluran kanal TV jadi lebih efisien. Jadi dalam satu kanal bisa ada 6 hingga 12 TV jika dengan digital. Ini akan menyisakan frekuensi untuk perluasan intenet tadi dan juga pengembangan teknologi 5G,” kata Niken di depan peserta forum yang hadir langsung dan daring tersebut.

Menurutnya, jika Indonesia sudah menata ulang seluruh frekuensinya ini akan menyisakan ruang untuk internet 5G yang kecepatannya luar biasa hingga 200 kali lebih cepat dari kemampuan teknologi 4G yang ada sekarang. 

“Jadi mau kirim data ataupun yang lain akan sangat cepat. Tapi ini akan dapat diwujudkan dengan terlebih dahulu melaksanakan ASO. Karena itu, ASO digaungkan pemerintah untuk dilaksanakan dan paling lambat pada 2 November 2022 nanti. Itu urgensinya dan publik juga akan mendapatkan manfaat yang baik dari pelaksanaan digitalisasi ini, selain juga ada digital devidennya,” jelas Niken. 

Di sela-sela paparannya, Niken mengatakan perubahan teknologi atau pergantian sistem ini adalah keniscayaan dan tidak bisa dihindari. Dia mencontohkan, pengalaman pergantian ini telah dialami masyarakat pada kurun waktu lalu seperti pergantian dari TV hitam putih ke TV berwarna. “Ada teknologi tentu ada perubahan. Sekarang ini adalah eranya digital,” tuturnya. 

Pandangan yang sama turut dikatakan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano. Menurutnya, peralihan dari siaran TV analog ke siaran TV digital akan memberikan masyarakat tiga manfaat TV. Manfaat itu diantaranya manfaat secara teknis, suara lebih jernih dan teknologi yang canggih.

Selain itu, dengan TV digital masyarakat akan mendapatkan siaran gambar yang jernih, lebih bersih dan lebih stabil. Bahkan, dalam perangkat penerima siarannya yakni STB (set top box) terdapat sistem peringatan dini bencana atau early warning system yang dapat digunakan sebagai alarm memperingatkan masyarakat dari bahaya bencana seperti gempa bumi atau tsunami. “Ada fitur yang terkoneksi BMKG dan bisa langsung disiarkan,” ujarnya.

Namun begitu, Hardly menyampaikan pelaksanaan peralihan sistem siaran ini perlu didukung upaya sosialisasi yang masif agar pelaksanaannya sukses dan diterima masyarakat. Karena itu, keterlibatan kampus atau perguruan tinggi sangat krusial untuk ikut membantu sosialisasi tentang TV digital.

Sementara itu, Kepala Dinas Kominfo Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Tri Saktiyana, mengatakan pihaknya telah melakukan upaya untuk ikut mensosialisasikan tentang migrasi TV analog ke TV digital ke masyarakat. Dia berharap pelaksanaan migrasi didukung masyarakat. ***/Editor: MR

 

 

Yogyakarta – Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Prof. Phil Al Makin menyatakan posisi agama di masyarakat perlu pemikiran mendalam supaya dari segi sosial, ekonomi, dan politik menjadi lebih baik. Karenanya, UIN Sunan Kalijaga siap membantu visi pengembangan penyiaran khususnya dari sudut pandang keagamaan. 

Pandangan yang disampaikan Rektor UIN Sunan Kalijaga ini berkaitan dengan akan diselenggarakannya Konferensi Penyiaran Indonesia 2022 yang akan berlangsung di Kota Yogyakarta pada Selasa (24/5/2022) mendatang. 

“Kita akan coba membuka riset-riset teman-teman dan keperihatinan kita. Kira-kira apa yang akan UIN Sunan Kalijaga sumbangkan,” katanya di sela-sela acara Diseminasi Indeks Kualitas Program Siaran TV 2022 tentang “Potret Siaran Religi di Indonesia” yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bekerjasama dengan UIN Sunan Kalijaga yang berlangsung Ruang Interactive Center Fishum UIN Sunan Kalijaga, Minggu (22/5/2022).

Rektor Makin mengomentari persoalan sertifikasi bagi pembahas soal agama di media penyiaran. Menurutnya, sertifikasi bagi penceramah agama TV dan radio sudah lama dibahas. 

“Mulai dari kementerian agama periode lalu hingga sekarang sudah menjadi perhatian kita agar yang berbicara agama bagi publik ada kompetensi khusus. Tapi bagaimana bentuknya ini kan harus dipikirkan juga, jangan sampai kita niatnya mengatur lebih baik malah jadi kotroversi. Ini juga perlu kita hindari. Jadi saya kira perlu kebijakan yang betul-betul bijak yang selalu jalan tengah sehingga semuanya terasa halus,” jelasnya. 

Menurut pengamatannya di beberapa negara tetangga seperti Brunei dan Malaysia, persoalan ini diatur sangat ketat. Demikian pula di Saudi Arabia dan Negara Teluk lainnya. “Di kita perlu mekanisme yang perlu dipikirkan dan saya kira harus bijak dan harus mendengar dari akademisi, masyarakat, dan pihak-pihak lain,” katanya.  

Dalam sambutan sekaligus membuka acara diseminaasi, Prof. Al Makin mengajak masyarakat Indonesia untuk merenungkan kembali bagaimana beragama yang lebih baik dan lebih santun. Menurutnya, kita harus kembali ke tengah dalam beragama.

Selain itu, lanjut Al Makin, banyak sekali yang lebih penting yang bisa dikemas menjadi pesan-pesan keagamaan seperti mengajak untuk berbuat kebaikan, perhatian terhadap pemanasan global, kerusakan lingkungan, isu Pulau Jawa yang akan tenggelam, kerukunan dalam perbedaaan, dan moderasi beragama. “Mari terus diingatkan melalui konten-konten keagamaan,” tandasnya.

Dalam acara tersebut, hadir Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafidz, yang menjadi keynote speech acara. Hadir pula Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, Komisioner KPI Pusat sekaligus PIC Program Indeks Kualitas, Yuliandre Darwis, Ketua KPID DIY, Kepala Sekretariat KPI Pusat, Umri, Direktur Produksi Trans 7, Andi Chairil, Dekan Fishum UIN Sunan Kalijaga, Mochamad Sodik dan narasumber lainnya. ***

 

 

Yogyakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bekerjasama dengan UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan Diseminasi Indeks Kualitas Siaran Televisi 2022 dengan tajuk “Potret Siaran Religi di Indonesia” Minggu (22/5/2022) di Ruang Interactive Center Fishum UIN Sunan Kalijaga, Minggu (22/5/2022).

Acara diseminasi ini menghadirkan sejumlah narasumber diantaranya Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Prof. Ema Marhumah, Pengendali Lapangan Indeks, Bono Setyo, Direktur Produksi Trans 7, Andi Chairil, Ketua Masyarakat Peduli Penyiaran (FMPP), Isa Kurniawan, dan Dekan Fishum, Mochamad Sodik. 

Mengawali pemaparan, Ema Marhumah, memaparkan tentang perlu adanya produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan yang baru mengenai penyiaran. Menurutnya, produksi siaran religi harus mengutamakan substansi agar dapat memberikan kebermanfaatan yang positif, tidak dengan mitos, tidak dengan membandingkan agama atau ketimpangan dalam menyampaikan materi terkait gender. 

“Pemilihan narasumber atau mubaligh dan mubalighah penting untuk diperhatikan agar apa yang disampaikan dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.

Prof. Marhumah menuturkan bahwa sebagai sivitas akademika UIN Sunan Kalijaga khususnya bagi program studi Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi maupun program studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora mampu memproduksi ilmu pengetahuan dengan perspektif yang baru, sesuai dengan UU Penyiaran. 

Mereka juga mampu menghadirkan konten yang terintegrasi dan interkoneksi antara ajaran Islam dengan aspek lain. Beberapa catatan disampaikannya menyatakan perlu peningkatan kualitas siaran, serta potensi kolaborasi UIN Sunan Kalijaga untuk mengembangkan keragaman siaran religi yang variatif, humanis dan berkualitas.

Adapun Mochamad Sodik, menuturkan siaran religi jangan menjauhkan dari spiritualitas, dengan menghadirkan transendensi serta bukan hanya kebahagiaan fisikal saja di permukaan. Menurutnya, tontonan adalah tuntunan. Kreasi harus dikembangkan beserta inovasi dan menghasilkan prestasi. 

“Jika program religi tidak memiliki kreasi, inovasi dan prestasi, maka perlu adanya perbaikan. Tontonan harus menyehatkan baik untuk segi psikologis, memartabatkan antar manusia, segi sosiologis, menyadari bahwa kita adalah bagian kehidupan berbangsa dan bernegara, dan yang terakhir adalah segi komunikatif untuk menguatkan proses kesalingan, yakni saling asah asih dan asuh,” katanya. 

Sementara Bono Setyo memaparkan hasil diseminasi indeks kualitas siaran program religi di 13 Stasiun TV berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI. Menurutnya, sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama, menginginkan kedamaian dan kenyamanan yang kemudian ditangkap media dalam membuat konten atau program acara di televisi. 

Menurutnya, program siaran religi di TV cukup banyak mendapatkan tempat. Beberapa program berhasil mendapatkan rating yang tinggi dan menarik perhatian para pemasang iklan.

“Secara umum hasil hasil indeks kualitas program siaran religi adalah berkualitas, dengan nilai >=4, yang artinya program siaran religi di televisi Indonesia periode I tahun 2022 tidak mengandung muatan yang merendahkan atau melecehkan suku, agama, ras, antar golongan, usia, budaya dan atau kehidupan sosial ekonomi,” tuturnya.

Namun begitu, lanjutnya, terdapat beberapa catatan untuk kategori program ini diantaranya soal host atau narasumber yang mengisi acara agar memiliki kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini untuk menghindari pembahasan yang dapat menimbulkan permasalahan baru sehingga memicu konflik antar golongan. 

“Stasiun TV juga bisa mempertimbangkan untuk menampilkan tema persatuan dan kesatuan bangsa yang dirasa sangat dibutuhkan untuk situasi dan kondisi saat ini,” pinta Bono.

Dia juga menyarankan stasiun TV tidak hanya mengejar aspek entertainment semata, namun juga harus mampu meningkatkan kualitas program agar dapat menumbuhkan dampak positif untuk masyarakat.

Selain itu, Bono berharap rekomendasi untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan indikator tambahan selain P3SPS. Pasalnya, pedoman tersebut cenderung menggiring penilaian pada hasil yang baik, padahal mungkin dapat dicermati di lingkungan terdapat fakta-fakta yang berbeda. Hal ini dapat menjadi catatan untuk riset indeks kualitas program siaran televisi yang akan datang.

Direktur Produksi Trans 7, Andi Chairil mengungkapkan bahwa siaran religi di televisi bukanlah suatu program yang populer, meskipun market telah tersedia. Menurunya, ada banyak hal yang harus diperhatikan dalam proses pembuatan program ini. 

“Ada beberapa format dalam siaran program religi, yakni format tausiyah, format dokumenter atau magazine dan format travelling. Di antara ketiganya, performa program religi berformat tausiah lebih baik dibandingkan format lainnya, baik jika dilihat dari share maupun rating,” katanya. 

Dia juga menjelaskan segi demografi pemirsa siaran religi didominasi oleh penonton usia 35 tahun ke atas. Andi menyatakan, jika stasiun TV memiliki formula yang tepat, penonton dari kalangan usia 35 tahun ke bawah juga bisa didapatkan. 

“Sebenarnya terdapat potensi untuk penonton usia 35 tahun ke bawah agar menggandrungi program religi. Seperti pada program Hafiz Indonesia yang tayang pada bulan Ramadan mendapatkan rating yang tinggi,” ujarnya.

Andi juga mengaminkan dengan apa yang disampaikan Bono Setyo bahwa  di era digital sekarang ini pemilihan narasumber atau tokoh agama perlu diperhatikan supaya materi yang disampaikan mudah dipahami. Mereka pun harus memiliki kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga programnya memiliki value yang mampu meningkatkan kekuatan iman. 

Di ruang yang sama, Ketua FMPP, Isa Kurniawan, mengapresiasi langkah KPI yang berkolaborasi dengan 12 universitas untuk melakukan pengukuran indeks siaran TV. Dia menginatkan agar siaran jangan kontra produktif dengan apa yang diharapkan. 

Dia menyatakan, masyarakat peduli penyiaran berharap stasiun TV tidak menyamakan program religi dengan siaran-siaran lainnya dalam artian tidak melulu mengejar rating. Program religi yang ditampilkan bisa juga dijadikan sebagai program sosial dari industri penyiaran. 

“Pada akhirnya, tugas kita bersama adalah menjaga kerukunan antar umat agama dan kerukunan antar umat beragama tersebut dapat diciptakan melalui tayangan religi yang berkualitas,” katanya. **

 

Purwodadi - Kesadaran saring sebelum sharing menjadi salah satu bentuk penjagaan kita terhadap integrasi sosial melalui penyebaran nformasi yang benar di era digital. Hal tersebut disampaikan A. Baginda Muhammad Mahfuzh, anggota DPRD Jawa Tengah saat menjadi narasumber dalam Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dilaksanakan di SMA 1 Purwodadi, Jawa Tengah, (20/5). Kepada peserta GLSP yang merupakan pelajar dan pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) SMA 1 Purwodadi, Baginda memaparkan tentang integrasi sosial yang terkait dengan nilai-nilai kemajemukan suku bangsa, budaya, bahasa dan adat istiadat. Dia menilai, komunikasi saat ini menjadi salah satu kunci utama dalam  menjaga persatuan bangsa. 

Baginda menyinggung pula soal bahaya hoax yang menjadi salah satu konsekuensi dari melimpahnya informasi saat ini. Terutama saat masa pandemi yang berlangsung hingga dua tahun belakangan ini. Berbagai platform media sosial bahkan turut menyebarkan materi hoax yang menyesatkan di tengah masyarakat dan tentunya menyulitkan usaha pemerintah dalam mengatasi pandemi. “Sudah saatnya generasi milenial mengambil peran sebagai agen anti-hoax demi menjaga integrasi bangsa,” ujarnya.  Salah satunya dengan memanfaatkan beragam platform digital untuk kegiatan positif dan menyebarkan konten yang bermanfaat bagi publik. 

Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Hardly Stefano Pariela turut hadir sebagai narasumber dalam GLSP yang merupakan program unggulan KPI Pusat. Dalam kesempatan ini Hardly menerangkan tentang realitas media terkini, baik itu media konvensional seperti televisi, radio dan media cetak, ataupun media baru yang menggunakan platform internet. Di tengah keberlimpahan konten media ini, Hardly menegaskan pentingnya publik untuk berdaya di hadapan media. Prinsipnya adalah selektif, kritis, dan apresiatif, ujar Hardly. Selektif dalam memilah dan memilih konten bermanfaat, kritisi dan melaporkan konten yang buruk dengan bahasa yang tepat, serta mengapresiasi konten baik di media termasuk juga membuatnya viral sehingga orang lain pun menerima manfaat konten tersebut.

Hardly juga menjelaskan cara menghindari pengaruh hoax. Pertama, ujar Hardly, harus memastikan informasi yang diterima adalah dari sumber yang kredibel. Kredibilitas informasi salah satunya ditentukan dari manajemen media yang baik dan terdaftar secara jelas pengelolanya. Misalnya televisi, radio dan juga media cetak yang terdata pada Dewan Pers. Demikian pula untuk informasi dari media online, pastikan pengelolanya jelas dan patuh pada aturan yang ada. 

Saat ini aturan rinci untuk platform media baru belum ada, sedangkan untuk media penyiaran sudah ada undang-undang penyiaran. Dalam regulasi penyiaran memberikan rambu-rambu pada televisi dan radio dalam menayangkan konten. Jika ada informasi hoax yang ditayangkan, KPI memiliki kewenangan memberikan sanksi dengan berbagai tingkatan hingga penghentian sementara. Aturan inilah yang kemudian menjadikan informasi dari media penyiaran lebih kredibel dan terpercaya. Untuk program siaran lainnya pun, KPI memiliki kewenangan dalam menjaga kualitas konten. Termasuk misalnya untuk program sinetron dan variety show yang kerap kali mendapat kritikan dari masyarakat. 

Pembicara lain yang turut menyampaikan materi adalah David Tjendriawan dari Terang Abadi Media Group. Sebagai pengelola televisi lokal, David menegaskan pentingnya konten lokal untuk selalu hadir di televisi demi menjaga khazanah lokal dan juga kebhinekaan bangsa. Turut serta secara daring, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia dari daerah pemilihan Jawa Tengah Casytha A Kathmandu yang menyampaikan tentang pemberdayaan potensi daerah melalui informasi berkualitas di Era Digital. Acara dimoderatori oleh Wakil Ketua KPID Jawa Tengah Ahmad Junaedi dan dibuka oleh Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat Nuning Rodiyah.  Hadir juga Budhi Santoso selaku Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah IV Jawa Tengah yang memberi sambutan di awal acara sekaligus menyampaikan tentang Profil Pelajar Pancasila. (Foto: Agung Rahmadiansyah/ KPI)

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.