Yogyakarta – Hadirnya regulasi yang setara dalam dunia penyiaran dan media baru dipandang sebagai sebuah keharusan dalam upaya menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila. Rancangan undang-undang penyiaran yang mulai digodok di Komisi I, memang memberi ruang yang lebih  besar kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam hal penguatan kelembagaan dan kewenangan. Namun yang tak kalah penting adalah tentang kesetaraan regulasi antar-platform media. Saat ini, lembaga penyiaran baik itu publik atau pun swasta dipantau secara ketat oleh KPI. Sementara media digital lain justru memiliki ruang kebebasan secara mutak tanpa ada yang mengendalikan, lantaran ketiadaan regulasi. Anggota Komisi I DPR RI Sukamta, Ph.D, menyampaikan hal tersebut pada Seminar Utama yang digelar dalam rangka Konferensi Penyiaran Indonesia 2022 di Yogyakarta, (24/5).

Menurut Sukamta, jika konten di ruang publik baik itu melalui penyiaran atau pun jaringan internet tidak dikontrol, akan membahayakan nilai-nilai Pancasila. “Kalau tidak dikonstruksi bersama hingga semua bebas mengadopsi nilai apapun dan disiarkan tanpa ada filter nilai Pancasila, kebebasan mutlak di media ini akan menjadi ancaman bagi ketahanan nasional,” ujarnya. Anak-anak yang hari ini berusia dua puluh tahun ke bawah tidak memahami nilai-nilai Pancasila yang diletakkan oleh para founding father negeri ini, sehingga tiga puluh hingga empat puluh tahun lagi kita tidak tahu nilai-nilai apa saja yang akan mereka pakai.  

Penyiaran sendiri, diyakini Sukamta, mampu membentuk peradaban bangsa. Saat ini kita diributkan oleh konten hoaks serta intoleran dengan segala pertikaiannya di media sosial. Kalau hal ini tidak ada filter, ujar Sukamta, akan menjadi seperti apa media dan kultur yang dipraktekkan masyarakat di masa mendatang. Hal inilah, yang dikhawatirkan Sukamta akan membahayakan eksistensi dari NKRI. “Sehingga mungkin NKRI tidak hancur dari serangan musuh luar, tapi justru terancam dari budaya sendiri, akibat warna, isi dan konten penyiaran sekarang,” tegasnya. 

Bicara soal ancaman terhadap kebhinekaan di Indonesia, Siti Ruhaini Dzuhayatin dari Kantor Staf Presiden memiliki pendapat sendiri. Menurut Siti, sebagai sebuah komitmen bersama, NKRI dan Pancasila akan abadi karena dua entitas ini diyakini sebagai sebuah perjanjian atau kesaksian yang suci. Sebagai bangsa yang terdiri atas 700 etnis, selayaknya kita patut berbagga karena mampu menciptakan NKRI. Apalagi jika berkaca pada negara-negara lain yang hanya terdiri atas beberapa suku bangsa, namun belum mampu berdiri sebagai satu negara. Artinya, ujar Siti, kita modal yang sangat besar sekali yang sudah ditanamkan oleh founding parents yakni Bhineka Tunggal Ika. “Dan kita berharap sampai akhir zaman tetap ada, tegasnya. 

Dalam era keterbukaan seperti sekarang, Siti menilai, harus ada strategi dalam menjaga kebhinekaan. “Founding Parents sudah memberikan resep yang bagus, moderasi atau wasathiyah dalam beragama, etnisitas, ekonomi ataupun sosiopolitik dan kultural”, tambah Siti. Kebhinekaan dalam bingkai Tunggal Ika, bukanlah entitas terberi, melainkan sesuatu yang harus dicapai dan harus terus dirawat, karena menjadi pondasi utama kebangsaan kita. 

Dalam pemaparannya, Siti mengatakan, teknologi digital mencipta ruang tanpa batas dengan cita-cita persaudaraan global dan konvergensi nilai-nilai utama internasional. “Global Village diasumsikan bahwa semua orang setara, egaliter, bersaudara, adil, aman dan nyaman,” ujarnya.  Sementara di sisi lain, cita-cita global village masih tersandera oleh ketimpangan, persaingan, penindasan dan ketidakadilan yang mengakibatkan krisis identitas dan memunculkan kembali romatika ethno-religious communality. Selain itu, teknologi juga memberi kemudahan transmisi sentimen secara trans-national, trans-budaya dan trans-kebangsaan. 

Bicara soal soal Global Village, menurut Sukamta, revolusi digital di bidang media komunikasi dan penyiaran akan melahirkan dua kemungkinan. Yang pertama, hadirnya kampung global yang mengoneksikan seluruh masyarakat dunia lewat media komunikasi digital hingga menjadi bersaudara dalam hubungan yang saling menguntungkan. Kemungkinan kedua, menurut Sukamta adalah Global Pillage atau penjarahan global. Yakni suatu kondisi masyarakat dunia yang saling terkoneksi, namun pada hakikatnya saling memangsa. Yang satu melakukan penjarahan baik ekonomi, sosial, budaya, pemikiran, ideologi maupun politik terhadap yang lain.  

Sukamta mengakui, tantangan luar biasa bagi industri penyiaran di Indonesia untuk merumuskan muatan yang layak tayang untuk Indonesia yang beragam. Penyiaran, selain menyangkut sisi peradaban, juga meyangkut sisi ragam budaya yang harus diakomodir. Ada pula etika dan agama, ujar Sukamta. Mengingat peradaban yang sukses itu yang selalu menjunjung tinggi etika. “Karena tidak ada peradaban yang bertahan ratusan tahun, tapi tidak punya etika yang dipegang bersama,” tegasnya.

Seminar yang mengusung tema Penguatan Nilai-Nilai Pancasila Melalui Media Komunikasi dan Penyiaran Indonesia Menuju Peradaban Baru ini, dihadiri pula oleh Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid  dan Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi. Adapun narasumber yang turut hadir dalam seminar ini adalah Komisioner KPI Pusat bidang Kelembangaan Yuliandre Darwis dan Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Neil R Tobing. 

 

 

Yogyakarta – Komitmen lembaga penyiaran dalam menjaga nilai-nilai Pancasila di televisi dan radio merupakan sebuah kepastian. Selama ini, lembaga penyiaran sudah menjalankan kewajiban dan berbagai fungsinya sebagaimana amanat undang-undang penyiaran. Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta indonesia (ATVSI) Neil R Tobing menjelaskan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam Seminar Utama yang bertajuk Penguatan Nilai-Nilai Pancasila Melalui Media Komunikasi dan Penyiaran Indonesia Menuju Peradaban Baru, di Yogyakarta (24/5). 

Industri penyiaran ini, ujar Neil, sudah berjalan dengan kawalan regulasi yang demikian ketat, heavy regulated. “Sebelum tayang ada sensor dan setelah tayang pun ada yang mengawasi,”ujarnya. Kalau merujuk pasal lima di Undang-Undang Penyiaran, lembaga penyiaran juga menjadi agen untuk memelihara nilai Pancasila, termasuk juga sebagai media yang memersatukan bangsa. Apalagi dengan realita kita sebagai negara dengan 700 etnis, tentu menjadi tugas kita bersama untuk menjaga keutuhan NKRI.. “Kami juga melakukan improvement agar semua konten yang hadir di tengah masyarakat selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan keutuhan NKRI tetap terjaga,” ujar Neil. 

Terkait perkembangan dunia penyiaran sekarang, Neil mengungkap, penetrasi televisi semakin menurun dan berbanding terbalik dengan penetrasi internet yang mencapai delapan puluh lima persen selama lima tahun. “Ranah digital yang borderless ini belum diatur. Kami berharap Komisi I dapat memasukkan definisi media baru di dalam rezim hukum undang-undang penyiara, agar terjadi equal level of playing field dalam hal pengawasan konten dan sebagainya,” ucap Neil yang juga Direktur dari Viva Group. 

Menghadapi transformasi digital ini, lembaga penyiaran tentu harus melakukan banyak inovasi dengan terus mengembrace teknologi yang berkembang di industri penyiaran. “Baik itu memberi layanan Over The Top  (OTT), Video On Demand, ataupun IP TV,  yang boleh dilakukan oleh lembagai penyiaran,” ungkapnya. Lembaga penyiaran ini siarannya berjadwal dan hanya dapat ditonton sesuai waktu yang dijadwalkan. Sementara generasi milenial dan centinial punya kebiasaan yang berbeda. Jadi kehadiran layanan OTT, VoD ataupun IPTV merupakan inovasi lembaga penyiaran agar tetap survive dan konten siaran tetap dapat dinikmati dengan berbagai platfom.

Kehadiran konten siaran dengan multi-platform tentunya harus disikapi sesuai koridor regulasi. Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan, Yuliandre Darwis mengatakan, KPI sebagai regulator penyiaran tetap bekerja sebagaimana amanat konstitusi.  Hingga saat ini, layanan video on demand memang tidak ada regulasi yang rinci. Dalam proses produksi pun tidak ada evaluasi untuk pra dan post produksi, sehingga dengan mudah langsung tayang. Tak heran jika di televisi teresterial ada konten yang harus menerima blur, namun dalam video on demand gambar tidak ada blur. Perilaku ini tentunya bukan yang Pancasilais, ujar Yuliandre. 

Lelaki yang akrab disapa Andre ini mengingatkan tentang kemungkinan momentum yang membuat perilaku menonton kembali seperti dulu. Misalnya saja dulu orang menonton Netflix agar dapat menonton film berulang-ulang. Tapi hari ini, perilaku Netflix kembali seperti televisi, dengan menyiarkan konten terjadwal. “That’s the point of broadcasting!,” ujar Andre. Nilai-nilai broadcasting yang tidak akan hilang adalah kebaruan. Tak heran jika valuasi untuk konten di Amerika Serikat yang paling tinggi adalah berita dan olah raga, karena tidak bisa diulang-ulang. 

Menyinggung digitalisasi penyiaran ke depan, Andre berharap kualitas konten siaran pun terus tumbuh sebagaimana kanal televisi yang juga semakin meningkat. Strategi penyiaran dalam menyebarkan nilai-nilai Pancasila harus segera dirumuskan, sebagaimana Korea Selatan yang memunculkan BTS dengan valuasi ekonomi mencapai 70 triliun. “Tak heran jika Presiden Korea Selatan menjadikan BTS sebagai sebuah icon di PBB yang berkesempatan memberikan pidato. Itu merupakan suatu tradisi broadcast yang dimunculkan ketokohannya,” ujarnya. Sedangkan di Indonesia, ungkap Andre, tradisinya adalah kalau ratingnya bagus hajar sinetronnya sampai ribuan episode. Ini yang menjadi PR besar dalam menanamkan nilai Pancasila di penyiaran. Seharusnya, dari 700 etnis di Indonesia, dapat menghasilkan konten siaran yang demikian dahsyat dan mendunia, sebagaimana Amerika Serikat dengan Hollywood dan India dengan Bollywood. 

Sementara itu, Neil selaku perwakilan industri penyiaran mengakui, televisi memang dianggap sebagai industri yang kapitalis dengan perutaran belanja iklan yang sangat luar biasa. Namun sebenarnya tahun 2019 adalah puncak kejayaan televisi. Bahkan di tahun 2024 yang diyakini sebagai puncak dari berbagai media termasuk media baru, media televisi tidak akan pernah lagi mencapai puncak dari sisi belanja iklan sebagaimana di tahun 2019. 

Neil memaparkan, nilai dari ekonomi digital Indonesia pada tahun lalu mencapai 70 miliar US dollar. Perkiraannya di tahun 2024 akan mencapai 176 miliar dollar. Sedangkan kontribusi media adalah sebesar delapan persen dari 70 miliar dollar. “Berapa sih yang dinikmati televisi,” tanya Neil. Televisi hanya menikmati tidak sampai 1 miliar dollar, sisanya pergi ke duopoli raksasa platform digital yakni Facebook dan Google. Artinya, kalau kita bicara ekonomi digital, media memiliki kontribusi hingga delapan persen. Sedangkan, atas nama demokrasi facebook dan google dapat seenaknyaa beredar di Indonesia tanpa perlu tunduk pada hukum di negeri ini. Dua raksasa platform media ini, ungkap Neil, bukan saja mengambil kekayaaan Indonesia, tapi juga menambang uang dari data mining dan data konsumen yang semuanya dibawa ke luar negeri. 

Sangatlah layak jika kami, dari industri televisi meminta adanya kesetaraan regulasi. “TV yang diatur secara ketat, sementara di sisi lain plaform digital raksasa ini dengan seenaknya melakukan restrukturisasi kepemilikan yang berlapis-lapis sehingga hanya dapat dikenakan pajak yang minimal. Harapan kami, tentu saja kesetaraan regulasi. Berkaca dari Australia dan Turki, pengaturan media baru menjadi kewenangan dari regulator penyiaran, seperti ACMA yang merupakan regulator media di Australia.  

Neil sepakat tentang pembumian nilai-nilai Pancasila sekaligus melestarikannya. Nilai-nilai ini dilestarikan secara tidak langsung, yang juga dapat dinikmati di layar kaca. Di era peradaban baru, transformasi digital, penyiaran bukan saja berevolusi, tapi juga bertransformasi agar penyiaran ini juga tetap relevan di tengah masyarakat Indonesia milenial dan centinial. Nilai-nilai Pancasila dilestarikan secara tidak langsung juga dapat dinikmati di layar kaca, pungkasnya. 

 

 

Yogyakarta -- Kolaborasi antara regulator, para pihak terkait dan institusi pendidikan seperti Perguruan Tinggi dinilai tepat untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas berkomunikasi dan pandai memanfaatkan media. Pasalnya, di era keterbukaan dan semakin majunya teknologi komunikasi, semua orang bisa membuat dan menyampaikan informasinya secara bebas. 

Pendapat tersebut disampaikan Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid Sa'adi, di sela-sela membuka kegiatan Konferensi Penyiaran Indonesia 2022 yang berlangsung di Yogyakarta, Selasa (24/5/2022). Konferensi penyiaran yang difasilitasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga ini terselenggara berkat kerjasama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan 12 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di 12 Kota.

Menurut Wamenag, upaya yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan menggandeng perguruan tinggi seperti UIN Sunan Kalijaga dinilai sangat baik dan patut diapresiasi. Kerjasama ini akan saling mengisi khususnya dalam upaya mengedukasi masyarakat agar menggunakan dan melakukan komunikasi di media secara bijak, beretika dan bertanggungjawab.

“Ini sangat penting di era keterbukaan seperti  sekarang ini karena siapa pun bisa menjadi pembuat informasi atau berita. Untuk itu, edukasi terhadap masyarakat sangat penting. Kita berharap dari kegiatan ini muncul gairah para akademisi, para praktisi dan juga pemerhati media, baik penyiaran maupun media sosial, untuk melakukan edukasi tersebut,” kata Wamenag Zainut. 

Dalam pidatonya, Wamenag menyampaikan bahwa masyarakat dunia saat ini tengah memasuki peradaban real virtuality sebagai konsekuensi penggunaan internet yang kian massif dalam kehidupan masyarakat. Data HootSuite Indonesia menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia menghabiskan waktunya untuk berinternet selama 7 jam 59 menit. 

“Konsumsi internet yang meluas ini akhirnya menjadikan pengalaman yang virtual dijadikan sebagai yang real. Kemayaan telah jadi kenyataan masyarakat. Yang maya kini menjadi realitas utama masyarakat,” ujarnya. 

Dia melanjutkan, sekarang telah muncul skema yang nyata namun sebenarnya tidak nyata. Permasalahan utama peradaban sekarang terletak pada tindakan yang berlangsung di ruang maya (virtual) kemudian berlanjut secara utuh di ruang nyata (real). “Ujaran-ujaran kebencian dan hoaks yang beredar di ruang maya hari ini dapat terjadi yang sama kisruhnya dalam ruang nyata. Transaksi legal di ruang virtual memiliki kedudukan sama kuatnya dengan transaksi di ruang actual,” tutur Wamenag Zainut. 

Karena itu, Wamenag  mengapresiasi Konferensi Penyiaran bertajuk “Mewujudkan Media Komunikasi dan Penyiaran Berbasis Etika, Moral dan Kemanusiaan Menuju Peradaban Baru” hasil inisiasi KPI dengan UIN Sunan Kalijaga. 

“Saya berharap konferensi ini mampu membangun etika dalam media komunikasi dan penyiaran berdasarkan moral dan nilai kemanusiaan. Gus Dur dalam pengantar buku “Ilusi Negara Islam” menggambarkan “Kosmologi Islam” yang memandang kehidupan duniawi memiliki dimensi religius sebagai manifestasi keimanan kepada Tuhan, hendaknya menjadi pijakan dalam konferensi ini,” tandasnya. 

Konferensi Penyiaran Indonesia tahun 2022, di Yogyakarta merupakan konferensi ketiga, setelah sebelumnya pada tahun 2019 dilaksanakan oleh Universitas Andalas di Padang, dan tahun 2021 dilaksanakan Universitas Hassanuddin di Makassar. Konferensi ini merupakan kelanjutan dari kerja sama KPI dengan 12 Perguruan Tinggi Negeri dalam pelaksanaan Indeks Kualitas Siaran Televisi, dan dimaksudkan sebagai forum dialog akademis yang dapat merefleksikan dinamika penyiaran di Indonesia.***/Editor: MR/Foto: Agung R dan Maman

 

 

Yogyakarta -- Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Yudian Wahyudi, berharap penguatan nilai-nilai Pancasila dapat disisipkan dalam konten-konten media digital termasuk media penyiaran. Inisiatif ini dinilai efektif mendidik anak-anak untuk belajar tentang Pancasila melalui media-media tersebut.

“BPIP punya program untuk penguatan nilai Pancasila ke dalam media khususnya ke dalam media digital. Ini dalam upaya agar anak-anak yang native digital agar belajar Pancasila melalui media,” katanya dalam sambutan acara Konferensi Penyiaran Indonesia 2022 yang berlangsung di Yogyakarta, Selasa (24/5/2022). 

Kepala BPIP ini mengungkapkan, pengamalan tentang nilai-nilai Pancasila telah masuk dalam kurikulum pendidikan khusus berdasarkan keputusan Peraturan Pemerintah (PP) No.4 tahun 2022. Rencananya, PP ini akan diumumkan pada saat peringatan Hari Pancasila pada 1 Juni mendatang. 

“Pancasila akan menjadi mata pelajaran tersendiri. Pada 1 Juni nanti akan dilaunching dan pada 1 Juli akan mulai berlaku,” ujar Prof. Yudian. 

Ditekankan dirinya, nilai-nilai Pancasila harus dirawat dan dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dia juga mendorong perbanyak konten positif tentang NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), Kebhinekaan dan Pancasila. 

“Pancasila sebagai pemersatu bangsa, Pancasila sebagai dasar negara dan Pancasila sebagai ideologi kita bersama. Konten-konten ini harus ada di dalam media tersebut yang nanti akan dikonsumsi oleh warna negara Indonesia dimanapun dia berada,” jelas Prof. Yudian.

Menanggapi keinginan itu, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, mendukung dan mengapresiasi agar penguatan nilai-nilai Pancasila dapat masuk ke dalam konten media digital termasuk media penyiaran. 

“KPI mengapresiasi upaya BPIP mengembalikan pelajaran Pancasila dalam kurikulum pendidikan mulai dari PAUD hingga Perguruan Tinggi yang telah lama hilang,” kata Agung di usai sambutannya dan menilai langkah BPIP tersebut sejalan dengan upaya literasi yang telah dilakukan KPI. 

Dia berharap ketika masyarakat mendapatkan pendidikan Pancasila, hal ini dapat menjadi inspirasi di kalangan media dalam memproduksi konten. 

“Kita ketahui bersama di media digital setiap orang bisa menjadi jurnalis dan pembuat konten, yang sama sekali tidak dibatasi. Oleh karena itu, kami berharap agar generasi muda kita ketika mendapatkan masukan terkait Pancasila sebagai ideologi dan sebagai dasar negara, dia mampu mengejewantahkannya ke dalam prilaku sehari-hari. Termasuk juga dalam membuat konten di media digital,” tandas Agung. ***/Editor: MR/Foto: Agung R 

 

 

 

Yogyakarta - Perkembangan teknologi digital dan jaringan internet berimplikasi menghadirkan demokratisasi informasi di Indonesia. Namun di sisi lain, demokratisasi informasi juga membawa ekses negatif dengan bertebarannya hoax dan ujaran kebencian yang mengarah pada segregasi sosial. Hal ini dibuktikan dengan berlimpahnya konten hedonistik, fleksing, bahkan juga penipuan. Dengan kebebaran berekspresi yang semakin luas, beberapa konten internet memiliki kecenderungan mengabaikan norma dan kearifan lokal serta nilai-nilai kebangsaan Indonesia yang terkandung dalam Pancasila. Hal ini disampaikan Hardly Stefano Pariela saat memberi pengantar dalam Konferensi Penyiaran Indonesia 2022 dengan tema “Mewujudkan Media Komunikasi dan Penyiaran yang Berbasis Etika, Moral dan Kemanusiaan menuju Peradaban Baru”, di Yogyakarta (24/5). 

Menurut Hardly, digitalisasi dan internet telah menghadirkan strategi yang disebut konvergensi media. Secara teknis, konten siaran televisi disiarkan dengan menggunakan internet, dan sebaliknya beberapa konten internet juga akan masuk dan disiarkan oleh televisi. Berkaitan dengan hal itu, KPI tetap berkomitmen untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana amanat Undang-Undang no.32 tahun 2002 tentang Penyiaran. “Yakni untuk menjaga media penyiaran agar senantiasa menyampaikan informasi yang benar, menampilkan hiburan yang sehat dan berfungsi sebagai instrumen merawat kebudayaan bangsa,”ujar Hardly. 

Perubahan ekosistem penyiaran yang diawali dengan peralihan sistem modulasi siaran dari analog ke digital, menurut Hardly, juga perlu disikapi dengan kebijakan dan regulasi yang tepat. Dalam sistem penyiaran digital yang tenggat waktunya pada 2 November 2022 mendatang, akan menghadirkan semakin banyak stasiun televisi baru. Hal ini pun memberi pilihan semakin banyak bagi masyakat Indonesia dalam mengonsumsi konten siaran. Sedangkan di sisi lain, hal ini juga menjadikan persaingan produksi konten siaran yang semakin kompetitif antar stasiun televisi. Tentunya persaingan ini diharapkan dapat mewujudkan diversity of content yang akan mengarah pada peningkatan quality of content. Di sisi lain, lembaga penyiaran dapat menjadi media penjernih informasi, sekaligus trendsetter konten hiburan positif bagi para pembuat konten (content creator) yang menggunakan media internet. 

Mengutip data yang dirilis we are social, KEPIOS pada bulan Februari 2022,  pengguna internet di Indonesia telah mencapai 204,7 juta pengguna atau setara dengan 73,7% populasi penduduk Indonesia. Dengan rata – rata menggunakan internet setiap orang adalah 8 jam 36 menit per hari. Di sisi lain durasi rata – rata orang menonton televisi saat ini, hanya 2 jam 50 menit perhari. Data ini menunjukkan waktu yang digunakan oleh orang Indonesia untuk berselancar di internet 2 ½ kali lebih banyak dari waktu yang digunakan untuk menonton televisi. 

Hingga saat ini, menghadapi dinamika perkembangan media dan teknologi digital, regulasi masih diarahkan pada lembaga penyiaran. Hardly berharap, melalui konferensi penyiaran ini akan muncul pemikiran – pemikiran untuk semakin memperkuat eksistensi dan peran lembaga penyiaran, baik lembaga penyiaran swasta, dan yang terlebih penting perlunya penguatan terhadap Lembaga Penyiaran Publik (LP).

Menurut Hardly, dengan karakteristik LPP yang tidak berorientasi pada keuntungan ekonomi dan bisnis, diharapkan dapat berfungsi optimal sebagai agen informasi, pendidikan, dan yang terutama agen kebudayaan yang menjaga jati diri bangsa. Namun, tentu saja, harus tampil dalam kemasan konten yang menarik dan atraktif. “Karena bagaimana pun,  orientasi utama masyarakat ketika mendengar radio, menonton televisi maupun berselancar di internet adalah sebagai ruang rekreatif melalui hiburan yang disuguhkan kepada audience,” ungkapnya. 

Konferensi Penyiaran Indonesia tahun 2022, yang difasilitasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, merupakan konferensi ketiga, setelah sebelumnya pada tahun 2019 dilaksanakan oleh Universitas Andalas di Padang, dan tahun 2021 dilaksanakan Universitas Hassanuddin di Makassar. Konferensi ini merupakan kelanjutan dari kerja sama KPI dengan 12 Perguruan Tinggi Negeri dalam pelaksanaan Indeks Kualitas Siaran Televisi, dan dimaksudkan sebagai forum dialog akademis yang dapat merefleksikan dinamika penyiaran di Indonesia. Harapannya, dari Yogyakarta yang merupakan kota Budaya dan Pelajar, konferensi penyiaran ini dapat menjadi refleksi dan suluh akademis untuk menuntun dinamika media di Indonesia, dalam menghasilkan konten – konten yang sesuai dengan dinamika perkembangan teknologi, namun tetap berakar pada peradaban bangsa yang tercermin pada nilai – nilai Pancasila, pungkas Hardly. 

Konferensi Penyiaran Indonesia 2022 turut dihadiri oleh Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Yudian Wahyudi, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid, juga Ketua KPI Pusat Agung Suprio beserta jajaran Komisioner KPI Pusat lainnya, serta konsultan dan pengendali lapangan Indeks Kualitas Program Siaran Televisi 2022.  (Foto: Agung Rahmadiansyah/ KPI)

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.