- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 2291
Bekasi - Ruang diskusi antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator dengan lembaga penyiaran baik televisi dan radio, selalu terbuka, dalam rangka menjaga sehatnya ruang publik pada ranah penyiaran. Di penghujung tahun 2023, KPI Pusat berikhtiar melakukan perbaikan kualitas penyiaran dengan mengajak pengelola televisi dan radio melihat masalah isi siaran sepanjang 2023. Bagi KPI sendiri, banyaknya sanksi bukanlah sebuah prestasi, justru nol sanksi menunjukkan kepatuhan lembaga penyiaran atas peraturan perundang-undangan yang ada. Ketua KPI Pusat Ubaidillah menyampaikan hal tersebut di awal diskusi “Pencegahan Masalah Isi Siaran pada Lembaga Penyiaran Melalui Pembinaan Tematik” , yang digelar KPI Pusat bersama lembaga penyiaran, (15/12). Forum ini sendiri merupakan usaha KPI mencegah terjadinya pelanggaran isi siaran, selain mengeluarkan surat edaran atau penetapan Peraturan KPI (PKPI).
Pertemuan ini membahas temuan dan potensi pelanggaran sepanjang 2023, termasuk juga isu-isu penyiaran yang mendominasi. Anggota KPI Pusat sekaligus Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Tulus Santoso mengatakan, forum kali ini akan membahas soal pembatasan program siaran asing, siaran bermuatan lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT), penggolongan program siaran dan surat tanda lulus sensor (STLS), siaran politik, siaran jurnalistik, siaran iklan dan siaran bermuatan kekerasan dan seksualitas.
Tulus menyinggung masih minimnya program siaran animasi lokal di televisi. Apa yang kemudian menjadi kendala bagi lembaga penyiaran dalam memenuhi ketentuan batasan program siaran asing? tanya Tulus. Menyambut pertanyaan ini, perwakilan lembaga penyiaran menyampaikan pembatasan program siaran asing cukup menyulitkan industri. Produksi animasi dalam negeri saat ini lebih mahal dibanding animasi asing. Ditambah lagi, ketersediaan episode animasi dalam negeri tidak dapat dipastikan. Secara hitung-hitungan ekonomi, program siaran asing memang lebih mudah didapat untuk membantu keberlangsungan industri penyiaran.
Tulus menilai dominasi animasi asing untuk program anak harusnya dapat dicarikan penggantinya lewat program lokal. “Tidak harus animasi juga, apalagi ternyata biayanya menjadi lebih mahal dari program asing,” ujarnya. Misalnya seperti di Youtube, ada banyak konten anak yang dibuat dari aktivitas bermain mereka sehari-hari tapi muatannya kreatif dan positif. Sehingga tidak harus ambil dari luar dan persentase siaran lokal dari dalam negeri dapat terpenuhi,” ujarnya.
Masih terkait siaran asing, Anggota KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran Aliyah mengatakan, hadirnya keseimbangan antara program asing dan dalam negeri prinsipnya untuk memberi ruang bagi kreativitas dan inovasi anak negeri yang memproduksi tayangan. Selain itu, kebijakan tentang persentase tayangan program asing dan lokal diatur secara rinci dalam undang-undang penyiaran. “Saya setuju bahwa upaya bersama dari industri, pemerintah, dan masyarakat sangat diperlukan dalam mengatasi tantangan ini dan mendorong pertumbuhan industri animasi lokal,”ungkapnya. Semoga dengan upaya bersama, animasi lokal dapat lebih dikenal dan diapresiasi di tingkat nasional dan internasional.
Sementara itu, pertanyaan tentang konten LGBT juga disampaikan oleh lembaga penyiaran, termasuk soal regulasi yang memayungi pembatasan tersebut. Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza yang juga hadir menegaskan, prinsipnya promosi LGBT dilarang muncul di televisi. “Hal ini juga melanggar komitmen perlindungan anak dan remaja,” ujarnya. Terkait regulasi yang menjadi sandaran, Aliyah mengungkap hal tersebut diatur dalam Surat Edaran KPI yang dikeluarkan di tahun 2016. Pertemuan juga membahas lebih rinci tentang yang boleh dan tidak boleh soal muatan LGBT di televisi dan radio. Diantaranya penampilan laki-laki bergaya keperempuanan, atau juga menampilkan panggilan-panggilan khusus bagi kelompok tersebut. “Yang pasti promosi LGBT di televisi tidak boleh, termasuk juga konten mengenai transpuan,” ujar Evri Rizqi Monarshi selaku Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan.
Bahasan lain yang juga dimintakan penjelasan kepada KPI adalah soal penggolongan program siaran yang klasifikasinya berbeda antara KPI dan Lembaga Sensor Film (LSF). Perwakilan lembaga penyiaran juga menanyakan soal siaran iklan Keluarga Berencana yang pernah mendapat teguran dari KPI Pusat. Yang terakhir adalah pembahasan materi kekerasan, termasuk adegan berdarah-darah dalam tayangan. Ubaidillah yang pernah menjadi tim pemantauan KPI Pusat mengaku beberapa kali mendapati sebuah film nasional yang isinya penuh dengan kekerasan, kata-kata kasar, dan adegan berdarah. Sekalipun ditayangkan pada waktu tengah malam, KPI tetap menjatuhkan sanksi. Termasuk juga peningkatan sanksi ketika film yang sama ditayangkan kembali namun masih punya muatan kekerasan, meski dengan kadar yang lebih kecil. “Akhirnya, film tersebut diputar lagi dengan adegan yang bersih dari unsur-unsur yang dilanggar. Dari sana kita dapat mengambil pelajaran, ternyata bisa kok dihapus kekerasannya dan penonton tetap mengerti jalan cerita,” tuntasnya.