Jakarta -- Kemajuan teknologi dan massifnya informasi dari media baru terkadang tidak menempatkan masyarakat desa dalam posisi yang menguntungkan. Sering kali mereka hanya menjadi sasaran dari sebaran informasi yang kebenaran beritanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Untuk meminimalisir efek buruk dari informasi tersebut, perlu ada literasi digital secara berkelanjutan.

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, mengatakan era disrupsi yang terjadi sekarang setiap orang dapat membuat, menerima dan menyebarkan atau menyiarkan informasi apa saja tanpa ada batasan. Sayangnya, di tengah keberlimpahan informasi itu, terkadang masyarakat justru tidak semakin informatif.

“Jika salah memilih dan tidak memiliki kapasitas menyaring, maka kemudian akan turut menyebarkan informasi hoax dan tidak benar. Ini artinya kita sedang bergerak ke arah masyarakat disinformasi. Untuk itu, di era disrupsi ini, agar informasi yang dibuat dan disebarkan bermanfaat perlu ada literasi digital,” tegasnya saat mengisi acara Seminar Nasional yang diselenggarakan Akar Desa Indonesia dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda 2021, Jumat (29/10/2021).

Menurut Hardly, semua orang termasuk masyarakat di desa, harus dibekali kemampuan untuk bisa saring sebelum sharing (menyebar) informasi. Karena itu, pembekalan melalui kegiatan literasi bagi masyarakat desa menjadi sebuah kebutuhan dan hal tersebut diharaplan dapat dilakukan oleh Akar Desa Indonesia. 

“Akar Desa Indonesia memiliki kapasitas untuk membuat hal ini. Tidak hanya meliterasi, teman-teman juga bisa membuat informasi yang baik dan inspiratif. Instrumen untuk itu dapat melalui pemanfaatan media sosial. Ini untuk mengagregasikan berbagai aspirasi komunitas, sekaligus menyampaikan informasi Akar Desa kepada masyarakat luas agar dapat diketahui,” harap Hardly kepada para peserta yang sebagian besar pemuda dan pemudi dari berbagai desa di tanah air. 

Hardly mengingatkan pentingnya melakukan verifikasi terhadap informasi yang beredar di media sosial. Salah satu jalan untuk mengkonfirmasi kebenaran dari informasi tersebut dapat melalui informasi yang disiarkan TV maupun radio.  

“Di TV memang masih ada hal - hal negatif, namun  faktanya siaran di TV masih lebih baik ketimbang di media baru. Karena tim produksi di TV bekerja berdasarkan regulasi dan memiliki background profesional. Selain itu ada KPI yang mengawasi. Beda dengan media baru yang penting viral,” ujar Hardly. 

Dalam kesempatan itu, Hardly mengatakan kata kunci membuat ekosistem penyiaran menjadi baik dan berkembang yakni dengan mendorong masyarakat untuk menonton informasi dan tayangan berkualitas. Jika ini sudah terbentuk, pihak TV akan melihat perubahan selera penonton  dan tentu akan produksi konten akan semakin berkualitas sejalan dengan perubahan kualitas selera penonton. 

“Kontrolnya ada di masyarakat. Sama juga dengan yang terjadi di internet. Yang dibuat konten kreator itu pasti merujuk pada konten yang banyak dilihat dan di like (suka). Penentu di era ini adalah penerima dari informasi tersebut. Karena itu penting untuk mendorong literasi digital. Agar masyarakat senantiasa mencari informasi yang berkualitas dan juga menyebarkan informasi dan siaran yang baik juga,” tandas Hardly.

Dalam seminar yang dibagi menjadi beberapa sesi tersebut, hadir sebagai pembicara kunci Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, Ketua Umum Apkasai, Sutan Riska Tuanku Kerajaan, Wakil Ketua BPIP, Hariyono, Dewan Energi Nasional, Satya Widya Yudha, Komisioner KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka, Direktur Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan, Tri Mumpuni, dan Komisioner Bawaslu RI, Fritz Edward Siregar. ***/Foto: AR/Editor:MR

 

Jakarta – Perubahan tata ruang atau lanskap industri penyiaran akibat digitalisasi tak bisa dihindari. Menghadapi sistem baru ini, industri penyiaran konvensional seperti TV dan radio harus adaptif dan inovatif agar tak tertinggal dan ditinggalkan. 

Namun begitu, untuk menciptakan iklim kompetisi dan usaha yang sehat dan adil antara media lama dan baru, perlu dibentuk sebuah regulasi atau UU (Undang-undang) baru yang memayungi dua media tersebut. Pasalnya, saat ini, hanya media lama yang diatur dan diawasi. Sedangkan media baru, bebas dan tak terkontrol. 

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, mengatakan pengaturan terhadap media baru diperlukan. Alasannya, untuk memberi keadilan berusaha bagi siapapun sehingga iklim kompetisi berjalan baik dan tidak berat sebelah.

“Saya sepakat harus di regulasi. Kesetaraan harus ada. Kita harus menghilangkan paradigma lama soal pemanfaatan ruang publik. Sekarang yang dipikirkan adalah dampaknya terhadap masyarakat,” ujarnya secara daring saat mengisi acara Pra Kongres Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dengan tema “Profesionalisme Jurnalis dan Lanskap Industri Penyiaran Masa Depan”, Jumat (29/10/2021). 

Agung menambahkan pengaturan ini bukan untuk mengekang kebebasan berkreasi atau berpendapat. Sejumlah negara di Eropa bahkan Australia yang liberal pun telah membuat aturan ini. 

“Pada tahun 2019 ada penembakan di Selandia Baru dan efeknya karena disiarkan di media baru bisa ditonton di Australia dan mereka cemas. Karena kekhawatiran ini, dengan cepat pemerintah dan parlemen Australia membuat aturan untuk media tersebut. Ini supaya dapat dikontrol. Harus ada tanggungjawab terhadap konten yang disiarkannya. Jika tidak sesuai dengan budaya maka harus ditake down. Jika tidak, pejabat media yang bertanggung di Australia bisa dikenakan denda. Mereka punya pengaturan yang ketat di media baru,” jelas Agung. 

Harapan agar ada kesetaraan perlakuan hukum antara media lama dan baru juga disampaikan Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution, dalam forum tersebut. Menurutnya, pemerintah harus mem buat keseimbangan dengan membuat regulasi. 

“Kemajuan teknologi memang tidak bisa dihindari. Tapi harus ada keseimbangan dengan media yang baru. Konten di media baru tidak bisa dilepas begitu saja. Contohnya, jurnalis saja ada yang menaungi dengan UU Pers juga industri penyiaran dengan UU penyiaran. Tapi media baru tidak ada, mereka hanya ikut UU ITE, kontennya tidak diatur. Kami berharap adanya kesetaraan dalam regulasi ini,” pinta Syafril. 

Menurutnya, kesempatan untuk memasukan pengaturan media baru bisa dilakukan dalam revisi UU Penyiaran di DPR. Jika hal ini diakomodasi, pihaknya yakin kompetisi akan berjalan dengan baik dan sehat. “Kami melihat sekarang dalam revisi UU Penyiaran bisa memasukan regulasi tentang media baru. Upaya ini agar kita bisa bersaing secara sehat. Dalam bisnis itu butuh rival tapi dalam bentuk positif. Jika tidak berimbang, satu terkungkung yang satu bebas, itu tidak adil,” tandasnya.

Dalam acara seminar Pra-Kongres IJTI, turu hadir narasumber lain yakni Pemimpin Redaksi Metro TV, Arif Suditomo dan Pemred CNN Indonesia, Titin Rosmasari. *** /Editor:MR

 

 

Samarinda -- Salah satu poin krusial revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) 2012 adalah penguatan nilai Pancasila dan anti Radikalisme. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai isu ini penting dimasukkan dalam regulasi untuk meminimalisir potensi penyebaran paham radikalisme melalui media penyiaran. 

“Kelompok radikal ini biasanya akan memakai cara mengakuisisi atau pengambilalihan saham radio yang sudah kolaps,” ujar Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo pada kegiatan literasi media dengan tema “Peran Strategi Penyiaran dalam Menangkal Radikal dan Terorisme" di Kantor Gubernur Kalimantan Timur (26/10/2021).

Mulyo juga menyebutkan beberapa cara lain yang dipakai oleh kelompok yang menyebarkan paham radikal dan intoleran, antara lain dengan menyusup dalam konten dakwah dengan cara blocking time di radio dan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB). "Harus berhati-hati juga TV lokal yang sekarang sedang mengalami kesulitan biaya operasional. Jangan asal menerima jika tidak ingin bermasalah dengan KPI dan penegak hukum," katanya. Adapun modus lain yakni melalui kegiatan off air yakni “pengajian” atau bakti sosial yang bertujuan menarik simpati publik, tambahnya.

Upaya yang dilakukan KPI untuk mencegah paham ini marak di media penyiaran adalah dengan mewajibkan lembaga penyiaran menghiasi dirinya dengan konten-konten yang terkait dengan tema kebangsaan dan cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

KPI juga meminta lembaga penyiaran untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan Majelis Ulama Indonesia dalam menyajikan pendakwah di media penyiaran. Sebab kecenderungan stasiun TV saat ini adalah menampilkan pendakwah yang memiliki performance menghibur (meng- entertain). Menurut Mulyo, tidak ada salahnya pendakwah menghibur, tapi yang paling utama menyampaikan ajaran yang benar, punya kedalaman ilmu agama yang mumpuni, berisi,  tidak menimbulkan kegaduhan dan keresahan di masyarakat.

Terkait maraknya paham radikal dan intoleran yang juga tersebar di media baru atau media sosial, Mulyo menjelaskan, belum ada pengaturan yang menugaskan KPI mengawasi media tersebut. Namun begitu, KPI tetap konsen menyuarakan masifnya ajaran radikalisme yang memanfaatkan media baru. 

Untuk pengawasan siaran program agama di wilayah kabupaten, KPI mengharapkan Kementerian Agama membantu pengawasan tersebut untuk kemudian melaporkan kepada KPID yang ada di setiap provinsi. 

Literasi media Kerjasama antara KPID Provinsi Kalimantan Timur dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda juga menghadirkan pembicara lainnya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Timur, KH. Muhammad Rasyid, S.Pd.I dan Wakil Rektor UIN Sultan Aji Muhammad Idris, Dr.H.Muhammad Abzar D.M.Ag. (Intan)

 

 

Denpasar -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bekerjasama dengan 12 Perguruan Tinggi yang ada di 12 Kota kembali melakukan Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV Periode II tahun 2021. Kegiatan riset yang diselenggarakan secara estafet ini akan menilai program siaran TV yang tayang antara Juni hingga Agustus 2021. Hasil riset diharapkan melecutkan semangat positif untuk mewujudkan siaran berkualitas.

Demikian disampaikan Komisioner KPI Pusat sekaligus PIC Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV 2021, Yuliandre Darwis, saat membuka Diskusi Kelompok Terpumpun atau FGD yang bekerjasama dengan Universitas Udayana di Denpasar, Bali, Selasa (26/10/2021).

Selain itu, riset yang menilai kualitas program siaran TV menjadi acuan bagi KPI untuk mengambil kebijakan penyiaran, pengawasan, maupun pengambilan keputusan lembaga. Bagi lembaga penyiaran hasil riset dijadikan sebagai referensi untuk membuat program siaran yang lebih berkualitas. 

“Publik sebagai penonton yang kritis pun dapat menjadikan hasil riset sebagai panduan memilih tontonan program siaran sekaligus bahan untuk agenda pengawasan dan partisipasi publik dalam mewujudkan mutu siaran,” katanya.

Data riset dapat juga dimanfaatkan bagi pengiklan dengan harapan iklan yang ditempatkan ada di program-program yang berkualitas. Para pihak dalam ekosistem penyiaran yang memberi pengaruh dan perhatian secara langsung atau tidak langsung pada dunia penyiaran juga dapat memanfaatkannya. 

“Harapannya secara bersama kita mewujudkan kualitas program siaran televisi berdasarkan hasil riset ini. Sekali lagi, sinergi dan kolaborasi dari berbagai stakeholders penyiaran merupakan kunci utama agar data riset benar-benar terasa dan memiliki dampak besar dan kongkret pada perubahan kualitas program siaran televisi,” tambah Andre, panggilan akrabnya. 

Dalam kesempatan itu, Andre menyatakan KPI akan menjaga konsistensi riset dan diseminasi sekaligus menyelenggarakan konferensi penyiaran yang sudah dilakukan dua kali di Padang (2019) dan di Makassar (2021).

“Di tengah situasi yang tidak mudah dilakukan akibat pandemi Covid-19, kami tetap melakukan riset ini. Ini ikhtiar untuk memotret realitas kualitas program siaran televisi untuk terus mendorong terwujudnya kualitas program televisi,” tandasnya.

Sementara itu, Dekan FISIP Universitas Udayana, I Nengah Punia, berharap hasil riset yang dilakukan KPI dan 12 Perguruan Tinggi dapat mendorong terbentuknya kesadaran lembaga penyiaran untuk menyajikan lebih banyak konten-konten berkualitas. 

“Kami yang bergerak di bidang pendidikan ini berharap kepada KPI dan KPID dapat intensif melakukan sosialisasi kepada masyarakat sehingga mereka dapat informasi yang bersifat edukatif dan kontruktif yang berguna bagi mereka,” ujarnya.

Adapun ke 12 Perguruan Tinggi yang bekerjasama dalam riset indeks kualitas ini antara lain, Universitas Sumatera Utara, Universitas Andalas, Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta, Universitas Padjajaran, Universitas Diponegoro, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Tanjung Pura, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Pattimura. ***/Editor:MR  

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan 12 Perguruan Tinggi di 12 Kota kembali melakukan kegiatan Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV Tahap II tahun 2021. Mengawali kegiatan riset tahap II ini, KPI melakukan FGD di lima kota antara lain Jakarta, Medan, Padang, Banjarmasin dan Semarang. Jakarta menjadi kota pertama yang melakukan kegiatan riset pada tahap II ini. Kegiatan riset untuk wilayah Jakarta, KPI bekerjasama dengan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta.

Setelah Jakarta, selang satu hari, KPI melakukan riset di Kota Padang. Dalam  rsiet tersebut, mengemuka pentingnya penyadaran terhadap masyarakat untuk dapat memilah dan memilih siaran yang sesuai dan baik bagi mereka menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas isi siaran TV di tanah air. Karenanya, perlu ada upaya literasi yang berkesinambungan dan terarah agar didapatkan kesadaran masyarakat terhadap pemanfaatan media secara baik dan menyeluruh. 

Hal yang dibahas dalam peningkatan literasi publik melalui TV dan mengevaluasi program yang secara kualitas rendah. “Salah satunya disebabkan karena kurangnya literasi kepada publik. Karenanya masih banyak publik yang menikmati siaran yang kualitasnya di bawah rata-rata,” kata Azwar, Dekan FISIP Universitas Andalas dalam pembuka kegiatan diskusi kelompok terpumpun atau FGD riset untuk wilayah Kota Padang, Sumatera Barat, beberapa waktu lalu.

Komisioner KPi Pusat, Yuliandre Darwis, yang hadir melalui Virtual Zoom menyampaikan pentingnya penyadaran publik memiliki pengaruh atas bentuk isi siaran di lembaga penyiaran. Karenanya, salah satu materi siaran yang berkualitas dan perlu diketahui masyarakat adalah hasil dari program riset indeks yang dilakukan KPI.

“Ini merupakan program prioritas untuk membangun sumber daya manusia kita. Oleh karena itu, hasil dari riset ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan referensi dan mencerdaskan publik untuk memilih dan memilah siaran TV. Kita berharap publik dapat melek dengan data yang dihasilkan oleh riset ini,” jelas Yuliandre.

Dalam kesempatan itu, KPI Pusat mengapresiasi kerjasama yang dilakukan dengan FISIP Universitas Andalas dalam kegiatan riset ini. Kerjasama yang telah berjalan enam tahun sejak ditandatangani pada 2016 lalu diharapkan dapat terus berlanjut dan menghasilkan masukan yang positif bagi pengembangan penyiaran di tanah air.

“Apresiasi sangat tinggi untuk kalangan akademisi dari Universitas Andalas yang telah berkontribusi banyak untuk riset ini. Kami juga memberi penghargaan bagi seluruh informan yang aktif dalam FGD ini. Hasil dari riset ini sangat penting dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia dari sisi penyiaran. Pasalnya, kita sadar betul TV masih menjadi media informasi yang digunakan banyak masyarakat kita, hampir 80 persen,” kata Andre.

“Kita mendorong kampus membuat kajian yang nantinya menjadi sumber masukan yang baik dan juga pengetahuan. Dengan Riset ini diharapkan dapat memberikan rumusan yang baik dan juga kontribusi yang baik terhadap perkembangan siaran televisi di Indonesia,” tandasnya. 

Riset di Banjarmasin

Dalam kegiatan riset di Banjarmasin, KPI bekerjasama dengan Universitas Lambung Mangkurat, merupakan riset ke 7 yang telah dilakukan ke dua lembaga tersebut. Riset yang dilandasi niat mengawal program siaran TV jadi semakin berbobot kualitasnya dan tidak tergantung oleh rating share.

Koordinator Bidang Isi Siaran sekaligus Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti, mengatakan rating harus selaras dengan kualitas. Walaupun saat ini banyak sekali acara televisi yang mengedepankan gimmick demi meningkatkan popularitas, KPI tetap harus mengkontrol situasi baik masukan dari akademik atau masukan dari para netizen, warganet dan penonton acara televisi karena perlunya timbal balik (feedback) antara program acara dengan kualitas. 

Dia menyatakan bahwa semua elemen, baik KPI, akademisi, dewan pers serta masyarakat, dapat lebih kritis pada acara televisi terutama program infotainment yang menjadi program jurnalistik. Menurutnya, produk jurnalistik program acara ini patut dipertanyakan. 

Mimah Susanti juga berharap kerjasama dengan perguruan tinggi tetap terjalin dengan tujuan meningkatkan kualitas konten yang berbasis data. “Program televisi yang harus menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan karena memiliki pengaruh yang besar bagi bangsa Indonesia. Terus dilaksanakannya riset indeks ini diharapkan dapat menyadarkan untuk meningkatkan kualitas karena merupakan bagian yang penting bagi bangsa dan negara Indonesia,” tandasnya. 

Riset di Medan 

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, saat membuka riset di Kota Medan menyatakan riset ini telah berkontribusi dalam upaya perbaikan konten siaran yang ada di TV. Salah satu perubahan itu, para pengiklan sudah mulai melihat bahwa hasil riset sudah menjadi referensi untuk memasang iklan di lembaga penyiaran.

“Walaupun belum secara maksimal sudah dijadikan sebagai acuan utama. Hal ini menjadi daya semangat kita untuk tetap memperbaiki kualitas riset. Riset ini bisa dijadikan sumber referensi berbagai pihak terutama dalam pengiklan untuk menampilkan Produknya masuk dalam program-program terbaik yang ada di TV. Riset ini bisa lebih mengambarkan kualitas program siaran kita,” kata Irsal, waktu itu.

Dalam kesempatan itu, Irsal menyampaikan akan adanya perubahan penyiaran nasional dari analog ke digital. Perubahan ini akan memunculkan banyak program yang ada di TV. Karenanya, kata dia, inimenjadi tantangan dan tentunya juga harapan kita banyaknya konten seiring dengan tumbuhnya Televisi di berbagai daerah.

“Maka, tentunya akan banyak program yang ditawarkan. Alih teknologi dari analog ke digital bisa memberikan tambahan tayangan yang bervariasi, sehingga ada kompetisi yang sehat di kalangan industri televisi. Dengan demikian, maka akan bisa memberikan informasi yang beragam di masyarakat,” tandasnya. ***/Tim Riset KPI

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.