Yogyakarta -- Hasil riset indeks kualitas program siaran TV semestinya menjadi referensi utama bagi masyarakat untuk memilih dan menyaksikan tayangan yang baik dan sehat. Analoginya persis seperti memilih makanan. Ada yang tidak boleh dimakan atau dilarang. Ada yang tidak sehat tapi boleh dikonsumsi. Kemudian ada makanan yang sehat dan memang dianjurkan. Tinggal pilih mana yang aman, baik dan sehat untuk tubuh.

“Ada makanan seperti junk food, tidak dilarang tapi tidak sehat bagi tubuh kita. Nah, program siaran dalam analogi saya begitu. Ada kategori siaran yang terlarang seperti ketelajangan atau sadisme. Tapi ada juga yang tidak dilarang tapi tidak sehat, seperti konten yang tidak sehat bagi perkembangan psikologis anak dan remaja. Nah untuk itu, perlu ada diet sehat,” kata Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, dalam sambutannya membuka kegiatan Diskusi Kelompok Terpumpun atau FGD Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV Tahap II untuk wilayah Kota Yogyakarta, Senin (1/11/2021) kemarin.

Terkait pilihan tersebut, Hardly menyatakan hasil riset indeks kualitas siaran yang dilakukan KPI bersama 12 Perguruan Tinggi merupakan data yang diperlukan masyarakat untuk memilih dan memilah tayangan yang sehat, baik dan aman. 

“Tugas KPI dan UIN Sunan Kalijaga adalah menyampaikan mana tayangan yang sehat dan tidak sehat untuk disampaikan ke masyarakat. Yang mana yang harus banyak ditonton misalnya yang direkomendasikan oleh riset ini. Ini menjadi tugas kita untuk mensosialisasikan hal ini kepada masyarakat hasil risetnya,” kata Hardly yang dalam kesempatan itu berharap kerjasama dengan UIN tetap terjalin kuat ke depannya.

Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Phil Al Makin, menghargai instrumen inter back yang digunakan KPI dalam riset yang sudah jalan sejak 7 tahun lalu. Namun, dia berharap instrument tersebut dapat ditambah dengan instrument inter pelekung. Menurutnya, hal ini sudah lama disinggung bahwa antar agama itu tidak hanya antar iman tetapi di dalam agama itu ada banyak kelompok. Karenanya penting memperhatikan kelompok minoritas dalam kelompok besar tersebut. 

Selain itu, Dia juga mengapresiasi variable yang digunakan dalam riset seperti etika, kompetensi, mistik, seksual dan religi. Tapi dia berharap variabel tersebut dapat ditambah yakni dengan variabel sains atau pengetahuan. 

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Bono Setyo, mengatakan kegiatan riset bersama KPI merupakan sebuah kebanggaan. Oleh karena itu, kerjasama ini diharap dia terus maju dan memberi manfaat. “Karena ujung dari riset ini adalah kita bisa ubah dari yang kurang jadi lebih baik. Kita ingin perbaikian itu dari visi dan misi ilmu pengetahuan yang kuat dan riset,” tandasnya. ***

 

Jakarta -- Kemajuan teknologi dan massifnya informasi dari media baru terkadang tidak menempatkan masyarakat desa dalam posisi yang menguntungkan. Sering kali mereka hanya menjadi sasaran dari sebaran informasi yang kebenaran beritanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Untuk meminimalisir efek buruk dari informasi tersebut, perlu ada literasi digital secara berkelanjutan.

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, mengatakan era disrupsi yang terjadi sekarang setiap orang dapat membuat, menerima dan menyebarkan atau menyiarkan informasi apa saja tanpa ada batasan. Sayangnya, di tengah keberlimpahan informasi itu, terkadang masyarakat justru tidak semakin informatif.

“Jika salah memilih dan tidak memiliki kapasitas menyaring, maka kemudian akan turut menyebarkan informasi hoax dan tidak benar. Ini artinya kita sedang bergerak ke arah masyarakat disinformasi. Untuk itu, di era disrupsi ini, agar informasi yang dibuat dan disebarkan bermanfaat perlu ada literasi digital,” tegasnya saat mengisi acara Seminar Nasional yang diselenggarakan Akar Desa Indonesia dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda 2021, Jumat (29/10/2021).

Menurut Hardly, semua orang termasuk masyarakat di desa, harus dibekali kemampuan untuk bisa saring sebelum sharing (menyebar) informasi. Karena itu, pembekalan melalui kegiatan literasi bagi masyarakat desa menjadi sebuah kebutuhan dan hal tersebut diharaplan dapat dilakukan oleh Akar Desa Indonesia. 

“Akar Desa Indonesia memiliki kapasitas untuk membuat hal ini. Tidak hanya meliterasi, teman-teman juga bisa membuat informasi yang baik dan inspiratif. Instrumen untuk itu dapat melalui pemanfaatan media sosial. Ini untuk mengagregasikan berbagai aspirasi komunitas, sekaligus menyampaikan informasi Akar Desa kepada masyarakat luas agar dapat diketahui,” harap Hardly kepada para peserta yang sebagian besar pemuda dan pemudi dari berbagai desa di tanah air. 

Hardly mengingatkan pentingnya melakukan verifikasi terhadap informasi yang beredar di media sosial. Salah satu jalan untuk mengkonfirmasi kebenaran dari informasi tersebut dapat melalui informasi yang disiarkan TV maupun radio.  

“Di TV memang masih ada hal - hal negatif, namun  faktanya siaran di TV masih lebih baik ketimbang di media baru. Karena tim produksi di TV bekerja berdasarkan regulasi dan memiliki background profesional. Selain itu ada KPI yang mengawasi. Beda dengan media baru yang penting viral,” ujar Hardly. 

Dalam kesempatan itu, Hardly mengatakan kata kunci membuat ekosistem penyiaran menjadi baik dan berkembang yakni dengan mendorong masyarakat untuk menonton informasi dan tayangan berkualitas. Jika ini sudah terbentuk, pihak TV akan melihat perubahan selera penonton  dan tentu akan produksi konten akan semakin berkualitas sejalan dengan perubahan kualitas selera penonton. 

“Kontrolnya ada di masyarakat. Sama juga dengan yang terjadi di internet. Yang dibuat konten kreator itu pasti merujuk pada konten yang banyak dilihat dan di like (suka). Penentu di era ini adalah penerima dari informasi tersebut. Karena itu penting untuk mendorong literasi digital. Agar masyarakat senantiasa mencari informasi yang berkualitas dan juga menyebarkan informasi dan siaran yang baik juga,” tandas Hardly.

Dalam seminar yang dibagi menjadi beberapa sesi tersebut, hadir sebagai pembicara kunci Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, Ketua Umum Apkasai, Sutan Riska Tuanku Kerajaan, Wakil Ketua BPIP, Hariyono, Dewan Energi Nasional, Satya Widya Yudha, Komisioner KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka, Direktur Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan, Tri Mumpuni, dan Komisioner Bawaslu RI, Fritz Edward Siregar. ***/Foto: AR/Editor:MR

 

Denpasar -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bekerjasama dengan 12 Perguruan Tinggi yang ada di 12 Kota kembali melakukan Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV Periode II tahun 2021. Kegiatan riset yang diselenggarakan secara estafet ini akan menilai program siaran TV yang tayang antara Juni hingga Agustus 2021. Hasil riset diharapkan melecutkan semangat positif untuk mewujudkan siaran berkualitas.

Demikian disampaikan Komisioner KPI Pusat sekaligus PIC Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV 2021, Yuliandre Darwis, saat membuka Diskusi Kelompok Terpumpun atau FGD yang bekerjasama dengan Universitas Udayana di Denpasar, Bali, Selasa (26/10/2021).

Selain itu, riset yang menilai kualitas program siaran TV menjadi acuan bagi KPI untuk mengambil kebijakan penyiaran, pengawasan, maupun pengambilan keputusan lembaga. Bagi lembaga penyiaran hasil riset dijadikan sebagai referensi untuk membuat program siaran yang lebih berkualitas. 

“Publik sebagai penonton yang kritis pun dapat menjadikan hasil riset sebagai panduan memilih tontonan program siaran sekaligus bahan untuk agenda pengawasan dan partisipasi publik dalam mewujudkan mutu siaran,” katanya.

Data riset dapat juga dimanfaatkan bagi pengiklan dengan harapan iklan yang ditempatkan ada di program-program yang berkualitas. Para pihak dalam ekosistem penyiaran yang memberi pengaruh dan perhatian secara langsung atau tidak langsung pada dunia penyiaran juga dapat memanfaatkannya. 

“Harapannya secara bersama kita mewujudkan kualitas program siaran televisi berdasarkan hasil riset ini. Sekali lagi, sinergi dan kolaborasi dari berbagai stakeholders penyiaran merupakan kunci utama agar data riset benar-benar terasa dan memiliki dampak besar dan kongkret pada perubahan kualitas program siaran televisi,” tambah Andre, panggilan akrabnya. 

Dalam kesempatan itu, Andre menyatakan KPI akan menjaga konsistensi riset dan diseminasi sekaligus menyelenggarakan konferensi penyiaran yang sudah dilakukan dua kali di Padang (2019) dan di Makassar (2021).

“Di tengah situasi yang tidak mudah dilakukan akibat pandemi Covid-19, kami tetap melakukan riset ini. Ini ikhtiar untuk memotret realitas kualitas program siaran televisi untuk terus mendorong terwujudnya kualitas program televisi,” tandasnya.

Sementara itu, Dekan FISIP Universitas Udayana, I Nengah Punia, berharap hasil riset yang dilakukan KPI dan 12 Perguruan Tinggi dapat mendorong terbentuknya kesadaran lembaga penyiaran untuk menyajikan lebih banyak konten-konten berkualitas. 

“Kami yang bergerak di bidang pendidikan ini berharap kepada KPI dan KPID dapat intensif melakukan sosialisasi kepada masyarakat sehingga mereka dapat informasi yang bersifat edukatif dan kontruktif yang berguna bagi mereka,” ujarnya.

Adapun ke 12 Perguruan Tinggi yang bekerjasama dalam riset indeks kualitas ini antara lain, Universitas Sumatera Utara, Universitas Andalas, Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta, Universitas Padjajaran, Universitas Diponegoro, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Tanjung Pura, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Pattimura. ***/Editor:MR  

 

 

Jakarta – Perubahan tata ruang atau lanskap industri penyiaran akibat digitalisasi tak bisa dihindari. Menghadapi sistem baru ini, industri penyiaran konvensional seperti TV dan radio harus adaptif dan inovatif agar tak tertinggal dan ditinggalkan. 

Namun begitu, untuk menciptakan iklim kompetisi dan usaha yang sehat dan adil antara media lama dan baru, perlu dibentuk sebuah regulasi atau UU (Undang-undang) baru yang memayungi dua media tersebut. Pasalnya, saat ini, hanya media lama yang diatur dan diawasi. Sedangkan media baru, bebas dan tak terkontrol. 

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, mengatakan pengaturan terhadap media baru diperlukan. Alasannya, untuk memberi keadilan berusaha bagi siapapun sehingga iklim kompetisi berjalan baik dan tidak berat sebelah.

“Saya sepakat harus di regulasi. Kesetaraan harus ada. Kita harus menghilangkan paradigma lama soal pemanfaatan ruang publik. Sekarang yang dipikirkan adalah dampaknya terhadap masyarakat,” ujarnya secara daring saat mengisi acara Pra Kongres Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dengan tema “Profesionalisme Jurnalis dan Lanskap Industri Penyiaran Masa Depan”, Jumat (29/10/2021). 

Agung menambahkan pengaturan ini bukan untuk mengekang kebebasan berkreasi atau berpendapat. Sejumlah negara di Eropa bahkan Australia yang liberal pun telah membuat aturan ini. 

“Pada tahun 2019 ada penembakan di Selandia Baru dan efeknya karena disiarkan di media baru bisa ditonton di Australia dan mereka cemas. Karena kekhawatiran ini, dengan cepat pemerintah dan parlemen Australia membuat aturan untuk media tersebut. Ini supaya dapat dikontrol. Harus ada tanggungjawab terhadap konten yang disiarkannya. Jika tidak sesuai dengan budaya maka harus ditake down. Jika tidak, pejabat media yang bertanggung di Australia bisa dikenakan denda. Mereka punya pengaturan yang ketat di media baru,” jelas Agung. 

Harapan agar ada kesetaraan perlakuan hukum antara media lama dan baru juga disampaikan Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution, dalam forum tersebut. Menurutnya, pemerintah harus mem buat keseimbangan dengan membuat regulasi. 

“Kemajuan teknologi memang tidak bisa dihindari. Tapi harus ada keseimbangan dengan media yang baru. Konten di media baru tidak bisa dilepas begitu saja. Contohnya, jurnalis saja ada yang menaungi dengan UU Pers juga industri penyiaran dengan UU penyiaran. Tapi media baru tidak ada, mereka hanya ikut UU ITE, kontennya tidak diatur. Kami berharap adanya kesetaraan dalam regulasi ini,” pinta Syafril. 

Menurutnya, kesempatan untuk memasukan pengaturan media baru bisa dilakukan dalam revisi UU Penyiaran di DPR. Jika hal ini diakomodasi, pihaknya yakin kompetisi akan berjalan dengan baik dan sehat. “Kami melihat sekarang dalam revisi UU Penyiaran bisa memasukan regulasi tentang media baru. Upaya ini agar kita bisa bersaing secara sehat. Dalam bisnis itu butuh rival tapi dalam bentuk positif. Jika tidak berimbang, satu terkungkung yang satu bebas, itu tidak adil,” tandasnya.

Dalam acara seminar Pra-Kongres IJTI, turu hadir narasumber lain yakni Pemimpin Redaksi Metro TV, Arif Suditomo dan Pemred CNN Indonesia, Titin Rosmasari. *** /Editor:MR

 

 

Samarinda -- Salah satu poin krusial revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) 2012 adalah penguatan nilai Pancasila dan anti Radikalisme. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai isu ini penting dimasukkan dalam regulasi untuk meminimalisir potensi penyebaran paham radikalisme melalui media penyiaran. 

“Kelompok radikal ini biasanya akan memakai cara mengakuisisi atau pengambilalihan saham radio yang sudah kolaps,” ujar Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo pada kegiatan literasi media dengan tema “Peran Strategi Penyiaran dalam Menangkal Radikal dan Terorisme" di Kantor Gubernur Kalimantan Timur (26/10/2021).

Mulyo juga menyebutkan beberapa cara lain yang dipakai oleh kelompok yang menyebarkan paham radikal dan intoleran, antara lain dengan menyusup dalam konten dakwah dengan cara blocking time di radio dan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB). "Harus berhati-hati juga TV lokal yang sekarang sedang mengalami kesulitan biaya operasional. Jangan asal menerima jika tidak ingin bermasalah dengan KPI dan penegak hukum," katanya. Adapun modus lain yakni melalui kegiatan off air yakni “pengajian” atau bakti sosial yang bertujuan menarik simpati publik, tambahnya.

Upaya yang dilakukan KPI untuk mencegah paham ini marak di media penyiaran adalah dengan mewajibkan lembaga penyiaran menghiasi dirinya dengan konten-konten yang terkait dengan tema kebangsaan dan cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

KPI juga meminta lembaga penyiaran untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan Majelis Ulama Indonesia dalam menyajikan pendakwah di media penyiaran. Sebab kecenderungan stasiun TV saat ini adalah menampilkan pendakwah yang memiliki performance menghibur (meng- entertain). Menurut Mulyo, tidak ada salahnya pendakwah menghibur, tapi yang paling utama menyampaikan ajaran yang benar, punya kedalaman ilmu agama yang mumpuni, berisi,  tidak menimbulkan kegaduhan dan keresahan di masyarakat.

Terkait maraknya paham radikal dan intoleran yang juga tersebar di media baru atau media sosial, Mulyo menjelaskan, belum ada pengaturan yang menugaskan KPI mengawasi media tersebut. Namun begitu, KPI tetap konsen menyuarakan masifnya ajaran radikalisme yang memanfaatkan media baru. 

Untuk pengawasan siaran program agama di wilayah kabupaten, KPI mengharapkan Kementerian Agama membantu pengawasan tersebut untuk kemudian melaporkan kepada KPID yang ada di setiap provinsi. 

Literasi media Kerjasama antara KPID Provinsi Kalimantan Timur dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda juga menghadirkan pembicara lainnya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Timur, KH. Muhammad Rasyid, S.Pd.I dan Wakil Rektor UIN Sultan Aji Muhammad Idris, Dr.H.Muhammad Abzar D.M.Ag. (Intan)

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.