Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta Trans TV untuk jeli dan berhati-hati ketika memutuskan menayangkan film berklasifikasi R atau remaja dengan konteks kekerasan yang massif. KPI menilai film dengan muatan demikian tidak layak tayang pada jam ramah anak atau di bawah jam 10 malam. 

Pendapat tersebut disampaikan Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, menanggapi surat sanksi teguran tertulis kedua yang diberikan KPI untuk program acara “Bioskop Spesial Trans TV: Homefront”, Senin (27/9/2021). 

Mulyo menjelaskan alasan pihaknya memberi sanksi teguran kedua untuk program acara berklasifikasi R ini lantaran adanya pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Pelanggaran tersebut ditemukan pada 02 Agustus 2021 mulai pukul 19.30 WIB yakni berupa adegan saling tembak-menembak menggunakan senjata api dengan intensitas yang tinggi. 

“Memang jika melihat konteks filmnya adalah drama aksi dan pastinya akan banyak tembak-menembak. Namun yang harus diperhatikan secara menyeluruh dari isi film seperti ini adalah waktu penayangannya. Semestinya, jam yang pas untuk menayangkan film ini di atas jam 10 malam atau dewasa. Saya rasa, klasifikasi R yang diberikan untuk film ini tidak tepat,” ujar Mulyo.

Menurut Mulyo, lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dan remaja dalam setiap aspek produksi siaran. Ini artinya, semua bentuk film yang akan ditayangkan pada waktu R harus sesuai dan ramah terhadap mereka. “Muatan dan gaya penceritaan serta muatannya mesti selaras dengan perkembangan psikologis mereka,” tukas Komisioner bidang Pengawasan Isi Siaran ini.

Dia menyampaikan bahwa program siaran dengan klasifikasi R dilarang menampilkan muatan yang mendorong remaja belajar tentang perilaku yang tidak pantas dan membenarkan perilaku yang tidak pantas tersebut sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari. 

“Ini yang harus kita perhatikan dan pahami bahwa tidak semua film dengan klasifikasi R itu tepat dan manfaat untuk penonton usia dini atau remaja. Saya pikir aturan penyiaran ini harus dipahami secara utuh dan jelas oleh lembaga penyiaran. Aturan ini untuk melindungi penonton seperti mereka dan karenanya kehati-hatian perlu dikedepankan sebelum penayangan,” tandas Mulyo Hadi. ***

 

 

 

Jakarta -- Perpindahan sistem siaran TV analog ke TV digital atau ASO (analog switch off) sudah di depan mata, tepatnya pada 2 November 2022. Ini artinya masyarakat harus siap dan mendapatkan informasi yang jelas dan benar terkait migrasi siaran tersebut. Peran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) menjadi krusial untuk mensosialisasikannya.

Hal itu disampaikan Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, saat menerima kunjungan kerja Komisioner KPID Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) di Kantor KPI Pusat, Selasa (28/9/2021).

Menurut Irsal, sosialisasi ini sangat penting karena masih banyak masyarakat yang belum tahu dan paham tentang ASO. Karenanya, KPID dapat mengambil bagian dalam proses perpindahan ini dengan menyampaikan informasi tentang ASO atau TV digital secara jelas dan benar.

“Kita sifatnya membantu dalam proses ini. Jadi, yang bisa dilakukan KPID menyampaikan sosialisasi kepada publik atau masyarakat karena banyak sekali orang yang belum paham terkait TV Digital,” kata Irsal.

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, menjelaskan bahwa Undang-undang Cipta Kerja tahun 2019 telah memberi batasan untuk beralih dari siaran analog ke digital pada 2 November 2022 mendatang. Perpindahan sistem siaran ini, lanjut dia, akan mengubah landskap penyiaran di tanah air menjadi lebih berwarna. 

“Jumlah TV akan semakin banyak, terbuka peluang usaha atau investasi di televisi. Berdasarkan data kami sudah ada sekitar 50 lebih TV yang sudah mempunyai izin tetap,” ujarnya. 

Agung menambahkan, kehadiran televisi-televisi baru ini mesti diperhatikan mengenai konsep atau genre siaran yang akan dijual ke masyarakat. Menurutnya, sebagian besar TV yang bersiaran sekarang mengambil tema hiburan. Jadi hal ini harus dihindari para pemain baru dengan format siaran di luar itu.

“Sekarang banyak televisi yang khusus membahas tentang TV anak, perempuan dan banyak lagi. Pasti mereka akan memfokuskan dari salah satu bidang,” kata Agung.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti, menyampaikan pentingnya penguatan pengawasan siaran di daerah. Menurutnya, peralihan ke siaran digital yang akan jatuh pada tahun depan harus diantisipasi daerah dengan pengawasan siaran yang memadai dan canggih. 

“Penguatan sumber daya manusia juga penting untuk mendukung peralihan karena ini yang akan menentukan kualitas dari pengawasan tersebut,” tandasnya. ***/Foto: AR/Editor:MR

 

 

Surabaya -- Mengubah kebiasaan masyarakat untuk menonton siaran berkualitas tidaklah mudah. Selain karena tidak banyak tayangan yang memang berkualitas secara tontonan, penonton TV kita belum seluruhnya dibekali edukasi tentang memilih dan memilah tayangan yang memang pantas dan berkualitas bagi mereka. Karenanya, upaya literasi berkelanjutan dan terarah harus terus dilakukan.

Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, mengatakan literasi merupakan langkah intervensi kepada masyarakat agar terbekali dengan pengetahuan tentang menonton yang baik. Literasi yang tepat dan berkelanjutan dapat mengubah cara berpikir dan pandangan masyarakat terhadap tayangan. Misalnya, jika mereka menonton sinetron maka yang akan ditonton sinetron yang baik, berkualitas dan penuh nilai. 

“Kita harus melakukan intervensi kepada penonton agar beralih menonton tayangan berkualitas. Kita tidak melarang masyarakat nonton sinetron atau berita apapun tapi harus kita arahkan mereka nonton sinetron atau berita yang berkualitas,” kata Nuning kepada para peserta kegiatan pembekalan tenaga literasi media KPID Provinsi Jawa Timur, Kamis (23/9/2021) di Surabaya. Kegiatan ini merupakan kerjasama antara KPI Pusat dengan sejumlah KPID dalam rangkaian program Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang sudah berjalan sejak 2019. 

Menurut Nuning, para tenaga literasi yang sudah dibekali kemampuan meliterasi harus mampu dan berani menjadi juru bicara di tengah masyarakat tentang  memanfaatkan media. Publik yang tidak memahami dan mengerti bagaimana memilih siaran yang baik harus dibimbing. Selain juga meluruskan soal regulasi dan kewenangan KPI.

“Adik-adik ini peserta merupakan agen potensial sebagai agen literasi KPI,” ujarnya kepada peserta peserta yang sebagian diantaranya adalah mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Jatim dan Jawa Tengah.

Pada kesempatan yang sama, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano menambahkan, pola menonton siaran yang baik oleh masyarakat secara otomatis akan mengubah orientasi para produsen program maupun lembaga penyiaran. “Jika penontonnya sudah mulai menonton tayangan berkualitas, hal itu akan mengubah kualitas program kita. Sekarang ini arahnya sudah mulai ke sana,” tutur Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat ini.

Selain itu, Hardly meminta agen literasi untuk mengabarkan atau memviralkan hal-hal yang baik kepada masyarakat. “Bicarakan kepada orang-orang tentang siaran yang baik. Ini sesuai dengan motto kami yakni mari bicara siaran baik. Jadi mulai sekarang sampaikan yang baik-baik saja,” tandasnya.

Selain bicara tentang literasi dan sosialisasi, KPI juga mendorong keterlibatan masyarakat dalam mengawasi isi siaran. Menurut Nuning, pengawasan partisipasi ini dapat membantu KPI mengawasi isi siaran lembaga penyiaran khususnya di daerah. “Perlu diketahui bahwa jumlah lembaga penyiaran di tanah air berjumlah ribuan, terdiri dari 3000 radio dan 700 televisi. Karena keterbatasan infrastruktur dan sumber daya manusia maka peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk mengawasinya,” pintanya.

Dalam kegiatan bertajuk bimtek tersebut, ikut hadir Ketua KPID Jatim, Afif Amrullah, Komisioner KPID Jatim, Amalia Rosyadi Putri dan Immanuel Yosua Tjiptosoewarno. ***/Editor:MR

 

 

Surabaya -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus mendorong upaya peningkatan kualitas tayangan dengan program kegiatan “Bicara Siaran Baik” kepada masyarakat. “Bicara Siaran Baik” dapat diartikan sebagai upaya menjadikan tayangan atau program siaran yang baik sebagai pilihan utama atau satu-satunya.

“Ketika penonton sudah menjadikan siaran baik sebagai pembicaraan, hal ini akan berkontribusi mengubah pola produksi program siaran. Artinya, produksi tayangan akan mengikuti menjadi baik,” kata Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, di sela-sela talkshow kegiatan Akademi P3SPS yang diselenggarakan KPID Jawa Timur, Jumat (24/9/2021).

Menurut Nuning, kebiasaan membincangkan siaran baik ini harus dimulai dari diri sendiri kepada siapapun dengan memberi referensi tontonan yang baik, mendidik dan pantas. Jika hal ini terus dilakukan dan menjadi kebiasaan, dampak baiknya akan mengekor. 

Berdasarkan data kepemirsaan, saat ini jumlah penonton program acara hiburan di TV menempati peringkat tertinggi di banding program genre lainnya. Jika ditotal, antara penonton program acara sinetron, film dan hiburan lain persentasenya mencapai 72%. Adapun sisanya seperti program acara berita hanya 10%. Bahkan, untuk penonton program religi lebih kecil dari penonton berita.

“Ini menjadi PR kita bersama. Bagaimana menggeser penonton-penonton acara hiburan seperti sinetron  untuk beralih menonton sinetron baik dan kualitas. Karenanya, melalui program literasi dan bicara siaran baik, kita berharap tujuan yang baik ini dapat tercapai,” jelas Nuning.

Dalam kesempatan itu, Nuning meluruskan prasangka salah terhadap bluring atau pemburaman dalam tayangan seperti film kartun maupun program acara lain. Menurutnya, proses bluring dilakukan internal lembaga penyiaran bukan KPI. 

“Blur seperti pada acara kartun lebih dikarenakan kekhawatiran berlebihan dari lembaga penyiaran bersangkutan karena kurangnya pemahaman terhadap aturan penyiaran. Kata kunci dari perlu diblur atau tidak itu adalah apakah ada unsur eksploitasinya. Eksploitasi ini bisa datang dari mata kamera seperti pengambilan long, medium atau close up karena itu mewakili obyek yang disampaikan, atau pada durasi dari scene yang dimaksud." jelas Nuning.

Sementara itu, Komisioner KPID Jatim, Amalia Rosyadi Putri, mengatakan pedoman penyiaran (P3SPS) bukanlah untuk membelenggu kreativitas. Dia menekankan adanya perhatian terhadap penonton di bawah umur yakni anak dan remaja. Harusnya porsi program acara anak dalam sehari menimal 5% dari total waktu tayang TV.

“Saya juga berharap kepada teman-teman jurnalis untuk mengemas berita yang baik dan ramah anak. Pasalnya, ada efek yang bisa dirasakan mereka ketika nonton berita supaya mereka tidak mengalami trauma setelahnya,” pinta Amalia.

Pada kesempatan yang sama, Komisioner KPID Jatim, Malik Setiawan, menyoroti tayangan iklan kesehatan di TV. Menurutnya, iklan kesehatan yang hanya berdasarkan testimoni tanpa ada penjelasan akademisi ataupun para ahli sangat tidak baik. ***/Editor:MR

 

Surabaya -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus memastikan pemahaman terhadap aturan penyiaran khususnya Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) tahun 2012 dapat diterima dan dipahami secara utuh dan jelas oleh lembaga penyiaran dan seluruh komponen produksi di dalamnya. Dengan begitu, pengertian maupun pemahaman terhadap aturan ini tidak hanya secara tekstual saja tapi juga secara kontekstual.

“P3SPS harus dipahami secara tekstual dan kontekstual oleh seluruh insan penyiaran dan ini sangat penting. Oleh sebab itu, forum dialog seperti ini harus dilakukan secara berkala,” ujar Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, saat mengisi kegiatan Akademi P3SPS Angkatan VIII yang diselenggarakan KPID Provinsi Jawa Timur di Surabaya, Kamis (23/9/2021).

Dia mengatakan, P3SPS yang merupakan turunan dari UU Penyiaran tahun 2002 ini merupakan panduan, koridor dan rambu-rambu yang harus dipahami dan dipatuhi seluruh insan penyiaran. Pasalnya, pedoman ini dibuat atas dasar konsensus bersama seluruh stakeholder penyiaran di tanah air.

Namun begitu, lanjut Hardly, permintaan untuk mematuhi aturan ini jangan diartikan sebagai bentuk pemasungan terhadap kebebasan berkreasi. Menurutnya, pedoman yang sedang dalam tahap revisi ini dimaksudkan untuk menciptakan program siaran yang kreatif juga berisi nilai edukatif dan informatif.

“Implementasi P3SPS dalam proses produksi program siaran kami harapkan dapat menghasilkan konten yang baik dan berkualitas, serta menjadi parameter dalam produksi konten di berbagai platform informasi dan hiburan,” katanya kepada para peserta akademi yang berasal dari perwakilan lembaga penyiaran dan mahasiswa.

Hardly juga menjelaskan pemberian sanksi untuk lembaga penyiaran merupakan bentuk pembinaan lembaganya agar ada perbaikan terhadap tayangan. “Sanksi juga sebagai pencegahan adanya pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran lain. Misalnya, kita kasih sanksi untuk tayangan sinetron di salah satu TV yang kemudian dicermati oleh TV lain agar tidak mengulangi kesalahan atau pelangggaran yang sama. Jadi pembelajaran bagi lembaga penyiaran yang belum melakukan pelangggaran,” tegasnya.

Meskipun keputusan sanksi dapat membuat efek jera pada lembaga penyiaran, tetap saja ditemukan pelanggaran isi siaran di sejumlah TV. Menyangkut hal ini, Hardly menyebutkan beberapa penyebab, diantaranya karena kualitas konten kreator yang rendah. Kemudian, terjadinya proses produksi kejar tayang sehingga unsur kualitas konten tidak jadi prioritas. 

“Selain itu, kami menilai tim produksi kurang memahami regulasi  yang ada  yakni P3SPS. Mungkin juga ada kelalaian dari lembaga penyiaran. Dan yang terakhir disebabkan karena rating  dan share. Jangan-jangan ini disukai masyarakat yang kemudian menjadi stimulasi bagi lembaga penyiaran,” ungkap Hardly.

Menurutnya, harus ada upaya dan strategi intervensi untuk meminimalisir dan mungkin mengubah cara atau kebiasan masyarakat tersebut. Salah satunya dengan memasifkan peran literasi media untuk publik. 

“Literasi ini penting agar masyarakat dapat memilah dan memilih program acara yang baik dan bermanfaat bagi mereka. Jika hal ini sudah menjadi budaya, tentunya pola pembuatan atau produksi program acara akan mengikuti kebiasaan tersebut. Selain itu, edukasi ini untuk menghilangkan persepsi salah oleh masyarakat terhadap sensor dan blur yang selama ini dianggap sebagai kewenangan KPI. Padahal KPI tidak berwenang melakukan hal itu,” kata Hardly.

Dalam kesempatan itu, Hardly mengajak seluruh lembaga penyiaran, rumah produksi dan konten kreator menjadi teladan pendistribusi informasi yang selektif. “Informasi untuk masyarakat ini juga harus disampaikan dengan baik dan juga berkualitas,” tandasnya. ***/Editor:MR

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.