Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta adanya evaluasi secara menyeluruh terhadap Mega Series Suara Hati Istri: “Zahra” yang dinilai memiliki muatan yang berpotensi melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI 2012. Evaluasi tersebut di antaranya mencakup  jalan cerita dan kesesuaiannya dengan klasifikasi program siaran yang telah ditentukan (R) serta penggunaan artis yang  masih berusia 15 tahun untuk berperan sebagai istri ketiga, Wakil Ketua KPI Mulyo Hadi Purnomo menyampaikan hal tersebut dalam pertemuan antara KPI dengan Indosiar dan Mega Kreasi Film selaku rumah produksi dari sinetron ini, (3/6). 

Pertemuan ini digelar sebagai tindak lanjut hasil pemantauan langsung KPI dan pengaduan masyarakat terhadap program siaran “Mega Series Suara Hati Istri: Zahra” atas didugakan melanggar prinsip perlindungan terhadap kepentingan anak dan perempuan. KPI sendiri telah menerima aduan dari masyarakat yang disampaikan lewat berbagai saluran media sosial, atas sinetron ini. Aduan tersebut dikarenakan adanya artis yang masih berusia 15 tahun untuk peran istri ketiga. Padahal dalam undang-undang perlindungan anak, usia 15 masih masuk kategori anak. Keberatan publik yang disampaikan ke KPI juga terkait muatan cerita yang sarat dengan kekerasan dalam rumah tangga dan romantisme suami istri yang berlebihan. Sehingga, jika dikaitkan dengan pemeran utama yang masih 15 tahun, tentu berpotensi melanggar hak-hak anak. 

Dalam pertemuan tersebut, Komisioner KPI Bidang Kelembagaan Nuning Rodiyah juga menyampaikan adanya tuntutan publik agar sinetron ini dihentikan. Namun KPI sendiri berkepentingan untuk menjernihkan masalah ini agar tindakan yang diambil sesuai dengan kewenangan dan juga berdasarkan regulasi yang ada.  

Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) Mohammad Reza yang turut hadir dalam pertemuan daring tersebut mengatakan, justifikasi atas realitas yang ada di masyarakat untuk kemudian diangkat ke layar kaca, jangan sampai melahirkan polemik. Di satu sisi, lembaga penyiaran dan juga pihak rumah produksi harus memahami regulasi yang terkait dalam sebuah konten siaran. Bukan sekedar undang-undang penyiaran, tapi juga undang-undang lainnya seperti perlindungan anak dan juga perkawinan. Reza berharap, kasus ini dapat menjadi pelajaran berharga, apalagi dari catatan KPI program sinetron ini sudah pernah mendapatkan sanksi teguran tertulis. 

Menyikapi penyampaian dari KPI, pihak Indosiar yang diwakili Direktur Program Harsiwi Ahmad berkomitmen untuk mengubah jalan cerita dari sinetron Zahra. Harsiwi memahami masukan terkait KDRT dan juga romantisme yang dibangun dalam cerita ini. Namun kalau dianggap sinetron ini menjadi promosi pernikahan dini, dirinya tidak sepakat karena dalam sinetron Zahra diceritakan telah lulus SMA. Sedangkan terkait poligami, ide awalnya adalah ingin memberikan gambaran proporsional poligami yang dapat menimbulkan masalah dan intrik. Meski begitu, Harsiwi menyatakan, pihaknya juga sudah bersiap mengganti pemeran Zahra dengan artis lain yang usianya sudah bukan remaja. Sehingga dapat memenuhi kepantasan usia atas peran yang diberikan dan alur cerita yang sesuai dengan jam penayangan.  Harsiwi menerangkan sinetron ini ke depan akan meniadakan adegan yang sensitif seperti KDRT yang dikeluhkan publik, serta disesuaikan dengan aturan yang ada.

Mulyo mengungkap, dari data media sosial KPI menunjukkan sentimen negatif yang cukup tinggi atas sinetron ini sejak 25 Mei lalu. Dirinya meminta pihak Indosiar memahami betul bahwa sinetron ini telah menarik perhatian publik. Apapun evaluasi dan perbaikan yang dilakukan, tentu akan mendapatkan perhatian publik. “Karena masyarakat memiliki keinginan terhadap perubahan yang dibawa dalam sinetron Zahra,” tegas Mulyo.

Guna melakukan realisasi atas evaluasi sinetron Zahra, Indosiar akan menghentikan sementara program siaran ini. Menurut Harsiwi, langkah ini diambil untuk memberi kesempatan waktu pada rumah produksi untuk menutup sementara cerita dan menyusun alur cerita lanjutannya. Dengan demikian, masukan dari masyarakat dan KPI terkait muatan sinetron ini, dapat diakomodir.  “Komitmen perubahan ini tentunya tidak hanya dilakukan untuk sinetron Suara Hati Istri, tapi juga di program lain dan sinetron lainnya,” pungkasnya.

 

 

 

Denpasar – Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV kembali diselenggarakan bersama 12 Perguruan Tinggi di Indonesia. Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis mengungkapkan pada tahun 2020, hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV tahap 1 dan 2 menyatakan dari 8 kategori program siaran hanya 5 kategori program siaran yang memenuhi standar berkualitas, yakni program siaran Wisata Budaya, Religi, Anak, Talkshow, dan Berita.

“Hal ini menjadi catatan, perlunya penilaian dan masukan yang lebih mendalam dan mendetil dari para informan terhadap tayangan-tayangan yang sudah diberikan,” tutur Yuliandre saat membuka acara kegiatan Diskusi Kelompok Terpumpunn atau Focus Group Discossion (FGD) “Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi Tahun 2021” yang dilakukan pada Jumat, (4/6/2021) di Mercure Hotel, Bali.

Dalam kesempatan itu, Andre, sapaan akrabnya, mengungkapkan harapan adanya temuan baru dalam 8 kategori yang dinilai, khususnya dalam program yang belum berkualitas yakni infotainment, variety show, dan sinetron. Dia melihat, khususnya sinetron, masih banyak yang menampilkan kekerasan, kata makian, dan bullying.

“Sinetron yang sekarang sedang viral juga masuk dalam sampel penilaian riset ini, misalnya Ikatan Cinta. Masukan-masukan untuk kategori program ini sangat diperlukan untuk pengawasan isi siaran KPI. Apalagi kemarin ada sinetron yang seakan mempromosikan pernikahan usia dini. KPI dan akademisi harus lebih kritis terhadap hal ini. Jangan sampai PH diberikan kebebasan namun kebablasan,” tegas Yuliandre.

Di akhir sambutannya, sebagai output kegiatan ini, KPI akan menindaklanjuti hasil riset ke dalam kegiatan Diseminasi dan Konferensi Penyiaran yang rencananya tahun ini akan diselenggarakan di Makassar. Kegiatan tersebut tentu tak lepas dari hasil penilaian kualitas siaran yang hari ini akan di diskusikan bersama-sama para ahli dari Univeristas Udayana.

Pada kesempatan yang sama, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Udayana, Dr. Drs I Gusti Putu Agus Sukaarjawa menyampaikan, pihaknya sangat mengapresiasi program Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV yang sudah berjalan kurang lebih 7 tahun ini. Sebanyak 8 informan yang merupakan pakar dari Universitas Udayana hadir dalam kegiatan ini untuk mendiskusikan lebih dalam program siaran yang sudah diberikan penilaian sementara. */man

 

Jakarta - Merebaknya protes masyarakat atas muatan sinetron “Zahra”, harus jadi momentum untuk meningkatkan sensitivitas publik terhadap isu perlindungan anak dan keadilan gender. Kehadiran anak yang berperan sebagai orang dewasa dengan konflik rumah tangga di sinetron tersebut, menunjukkan adanya ketidakpahaman atas regulasi. Baik itu yang termuat dalam undang-undang penyiaran, undang-undang perkawinan serta undang-undang perlindungan anak. Untuk itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak akan segera berkoordinasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) guna melakukan edukasi kepada lembaga penyiaran dan juga pengelola rumah produksi tentang perspektif perlindungan anak dan keadilan gender di media. 

Hal tersebut menjadi pembahasan dalam pertemuan antara Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga dengan KPI Pusat yang diwakili oleh Komisioner Bidang Kelembagaan, Nuning Rodiyah dan Hardly Stefano Pariela, di kantor KPPPA (3/11). 

Bintang menegaskan, dalam rangka pemenuhan hak anak dan juga perlindungan anak di media, seharusnya anak-anak diberikan peran sesuai dengan usianya. Kalau usia 15 tahun berperan sebagai orang dewasa sebagaimana yang muncul dari sinetron Zahra, bertentangan dengan usaha pemerintah menggencarkan pencegahan perkawinan anak dengan sosialisasi undang-undang nomor 16 tahun 2019 yang menyamakan batas usia minimal pernikahan antara laki-laki dan perempuan yakni 19 tahun. “Kita dihajar oleh sinetron yang dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah yang dapat dengan mudah menerima bahwa apa yang tampil di sinetron adalah benar,” ujar Bintang. Karena tidak adanya pemilihan dan pemilahan terhadap konten siaran yang dikonsumsi masyarakat. 

Sementara itu menurut Nuning Rodiyah, pelajaran penting dari sinetron Zahra ini, masyarakat memberikan perhatian yang besar terhadap isu perlindungan anak dan perempuan. Sensitivitas publik atas isu ini harus dijaga lewat program literasi ke masyarakat. “Sehingga, kalau muncul lagi muatan siaran yang tidak sensitive gender atau tidak memperhatikan perlindungan anak, masyarakat dapat segera bersuara dan memberikan koreksi,” ujarnya. 

KPI sendiri memiliki program Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) dalam rangka penguatan kapasitas literasi masyarakat. Lewat literasi ini, selain memberikan pemahaman tentang bagaimana menonton siaran baik dan meninggalkan siaran yang buruk, diharapkan dapat mengubah selera menonton di masyarakat yang akhirnya memaksa pihak televisi untuk hanya menyiarkan program yang berkualitas. Nuning berharap kerja sama dengan KPPPA juga dapat direalisasikan melalui literasi media guna memberikan sosialisasi terhadap urgensi perlindungan anak dan keadilan gender di tengah masyarakat. “Pelajaran penting dari sinetron Zahra, masyarakat punya perhatian yang besar terhadap isu-isu perlindungan anak dan juga perempuan,” ujarnya.  

Hal mendesak yang juga harus segera direalisasi adalah peningkatan kapasitas para pekerja rumah produksi dan lembaga penyiaran. Dalam pengamatan Nuning, kedua unsur penting dalam dunia penyiaran ini masih minim informasi tentang keadilan gender dan perlindungan anak. “Sehingga perlu ruang-ruang belajar bersama berkaitan dengan dua isu tersebut,” ujarnya. 

Hardly Stefano berpendapat, harus diakui adanya fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di masyarakat yang menginspirasi rumah-rumah produksi untuk diangkat dalam sebuah cerita di sinetron. Namun, menurutnya, harus ada lesson learned yang tegas muncul untuk tidak melegitimasi fenomena KDRT tersebut. Jika mengangkat fenomena tersebut, sinetron juga harus memberikan edukasi tentang solusi yang sudah disediakan negara atas KDRT. Menteri Bintang sangat mendukung jika materi edukasi dapat diselipkan dalam cerita di sinetron. Selama ini KDRT dianggap sebagai aib sehingga pihak yang menjadi korban enggan bicara. “Perempuan harus diedukasi untuk bicara dan melapor, jika mengalami KDRT,” ujarnya. Sehingga sinetron juga membantu memberikan solusi pada masyarakat tentang KDRT, bukan sekedar mengangkat fenomena belaka sehingga kerap kali dianggap publik sebagai pembenaran. 

Senada dengan Menteri Bintang, Nuning memaparkan bahwa program hiburan seperti sinetron dan film memiliki magnitude yang sangat tinggi. Sebanyak 60% pemirsa televisi menonton program hiburan. “Sudah seharusnya pesan-pesan positif dapat diselipkan dengan kemasan kreatif dalam program tersebut, ujarnya. 

Dalam pertemuan ini, hadir pula Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pribudiarta Nur Sitepu. Menteri Bintang berharap kerja sama kementeriannya dengan KPI dapat segera direalisasikan dalam waktu dekat. Baik dalam bentuk pembekalan untuk pelaku industri penyiaran, masyarakat umum, atau pun tim pengawasan isi siaran dari KPI agar lebih sensitive terhadap perlindungan anak dan juga keadilan gender. Foto: AR

 

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) siap mendukung  dan menyukseskan proses migrasi siaran analog ke digital (Analog Switch Off atau ASO) tahap pertama di enam wilayah di Indonesia yang rencananya akan dimulai pada tanggal 17 Agustus 2021 mendatang. Ke enam wilayah tersebut antara lain Aceh, Kepulauan Riau (Kepri), Banten 1, Kalimantan Timur 1 (Kaltim 1), Kalimantan Utara 1 (Kaltara 1), dan Kalimantan Utara 3 (Kaltara 3).

Hal itu disampaikan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, pada saat rapat koordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) di Kantor Deputi VII Bidang Kominfotur, Kemenkopolhukam, Kamis (3/6/2021).

Menurut Agung, salah satu upaya yang akan dilakukan KPI untuk mendukung program prioritas pemerintah yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Omnibuslaw Cipta Kerja tersebut adalah dengan program sosialisasi dan edukasi ke masyarakat. “Kita punya 33 KPID. Ini bisa jadi back up bagi pemerintah untuk sosialisasi migrasi analog ke digital,” ujarnya.

Proses perpindahan teknologi siaran dari analog ke digital yang dilakukan secara bertahap ini akan berlangsung hingga 2022 mendatang tepatnya di 2 November 2022. Pada tanggal tersebut, Kemenkominfo berencana akan mematikan secara menyeluruh siaran analog di seluruh wilayah di tanah air. Untuk menerima siaran digital, jika perangkat teknologi televisi yang digunakan telah memadai atau sudah digital maka secara otomatis siaran digital dapat diakses. Namun untuk televisi yang belum tersedia komponen digitalnya, harus menggunakan set top box (STB) atau alat penerima siaran digital.

Agung mengatakan pengadaan dan distribusi STB ke masyarakat menjadi prioritas utama yang harus dikedepankan selain sosialisasi dan edukasi. Pasalnya, sebagian besar masyarakat, terutama masyarakat menengah ke bawah dan terpencil, masih memiliki perangkat TV analog. “Ini yang harus kita pikirkan dan menjadi prioritas,” sahutnya.

Meskipun begitu, Agung optimis adaptasi migrasi siaran ini oleh masyarakat di kota-kota besar bisa lebih mudah. “Sekarang ini banyak TV yang sudah terformat dengan teknologi digital dan hal ini memudahkan kita untuk melakukan perpindahan,” katanya.

Dijelaskan Agung jika perpindahan sistem ini mesti dilakukan secara bertahap. Menurutnya, di beberapa negara yang sudah melaksanakan proses ASO, proses migrasi teknologi siarannya dilakukan secara bertahap. “Di Amerika Serikat, proses migrasi siaran analog ke digital dilakukan secara bertahap selama empat tahun. Adapun kita mencoba mencontoh cara Italia yang memulai proses migrasinya dari wilayah-wilayah seperti desa, daerah terluar atau terpencil,” jelasnya.

Dalam pertemuan tersebut, turut hadir Direktur Penyiaran Kemenkominfo, Geryantika Kurnia, Staf Khusus Menteri Kominfo, Niken Widiastuti, dan perwakilan dari Deputi VII Bidang Kominfotur Kemenkopolhukam. Rencananya, dalam waktu dekat, ketiga instansi akan melakukan sosialisasi siaran digital di sejumlah daerah. ***

 

Jakarta -- Tim Seleksi (Timsel) Pemilihan Calon Komisioner atau Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Banten melakukan kunjungan kerja ke Kantor KPI Pusat, Kamis (3/6/2021). Kunjungan ini dalam rangka rekrutmen Calon Anggota KPID Banten yang rencananya pendaftaran akan dibuka mulai awal Juni hingga Juli 2021 mendatang. 

“Maksud dan tujuan kami ke sini untuk konsultasi tentang tahapan dan proses seleksi yang kalau pada dasarnya dimuat dalam PKPI kelembagaan. Ada beberapa hal yang kami dalami lebih lanjut. Rencananya, proses pendaftaran mulai Juni ini hingga Juli,” kata Wakil Ketua Timsel Pemilihan Calon Anggota KPID Banten, Kusma Supriatna.

Setelah pemaparan mengenai mekanisme dan proses rekrutmen Calon Anggota KPID berdasarkan PKPI Kelembagaan oleh Kepala Sekretariat KPI Pusat, Umri, disampaikan berbagai arahan dan masukan oleh Komisioner KPI Pusat yang hadir dalam pertemuan. 

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, berharao Timsel dapat memilih calon-calon yang kompeten, memiliki kemampuan mumpuni di bidang penyiaran khususnya terkait siaran lokal serta digitalisasi. Menurutnya, kemampuan ini sangat mendukung pekerjaan sebagai Anggota KPID yang ke depan akan lebih menantang dengan adanya penyiaran digital.

“Kaitannya dengan seleksi, kalau bisa hal ini ditanyakan kepada calon-calon terkait soal pengawasan digital dan konten lokal. Banten itu meskipun jaraknya dekat dengan Jakarta tapi punya cirikas. Budayanya sangat beda dengan Jakarta. Kalau yang dipilih orang tepat dan melakukan yang baik, maka kita dapat pahala juga,” kata Agung.

Hal senada juga disampaikan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano. Menurutnya, Timsel harus dapat menggali konsistensi dan keseriusan calon terhadap lokalitas dalam wawancara. Pertanyaan harus dibuat seobyektif mungkin sehingga nilai yang keluar sesuai. “Kalau mau obyektif mereka buat makalah,” pintanya. 

Dia juga meminta Timsel untuk memperhatikan komposisi perempuan dalam calon yang mendaftar. Keterwakilan perempuan dalam pengurusan KPID sangat penting terkait pengambil kebijakan nantinya. ”Perlu ada perwakilan perempuan. 30% Komisioner KPID adalah perempuan,” tuturnya.

Sementara itu, Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, berharap setiap Calon Anggota KPID memiliki kemampuan mengembangkan radio yang saat ini sedang terpuruk. Kemampuan ini, dimaksudkan agar dapat menghidupkan lembaga penyiaran radio terkait eksistensinya. “Kami sangat berharap siaran radio bisa menegakkan NKRI,” katanya.

Mulyo juga menyampaikan pentingnya kemampuan analitik dan visi wawasan ke KPID an. Dia juga berharap yang dipilih oleh Timsel adalah pribadi yang punya kemampuan emosional yang baik. 

Dalam pertemuan itu, turut hadir Anggota Timsel, Prof. Dr. A. Syihabuin, Uib Muhabuddin dan Ade Bujhaerimi. ***/Foto: AR

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.