Depok - Pemanfaatan konten media sosial sebagai materi dalam program siaran televisi harus mendapatkan pengaturan yang lebih rinci, mengingat konvergensi media saat ini kerap kali mengabaikan aturan yang sudah ada. Dalam program infotainment di televisi misalnya. Kerap kali mengambil konten dari saluran media sosial artis untuk diolah sedemikian rupa dengan penambahan narasi tertentu, tanpa ada wawancara ulang dengan artisnya. Bagaimana pun juga, ada aturan yang berbeda antara penayangan konten di media sosial dan lembaga penyiaran. 

Bahasan ini mengemuka dalam Diskusi Kelompok Terpumpun/ Focus Group Discussion (FGD) Informan yang digelar dalam rangka Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode pertama tahun 2021 untuk wilayah Jakarta, (28/5). Dalam pembukaan FGD tersebut, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Agung Suprio mengungkap tantangan bagi KPI ke depan, baik dalam menyongsong digitalisasi penyiaran ataupun konvergensi media yang sudah berlangsung saat ini. 

Dunia penyiaran dan media sosial saat ini saling bersimbiosis untuk tetap eksis dalam industri media. Banyak tayangan media sosial yang viral, diangkat oleh televisi di layar kaca, ujar Agung. Misalnya pernikahan artis atau seleb media sosial yang disiarkan di televisi. Agung memperkirakan fenomena siaran seperti ini ke depan akan semakin banyak. Untuk itu, dia menilai, harus ada sinergi antara pemerintah yang saat ini memiliki kewenangan dalam pengaturan media sosial dengan KPI yang berwenang mengawasi layar kaca, tambahnya. 

Hal lain yang terungkap dalam FGD Informan yang digelar KPI bekerja sama dengan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) adalah tentang opini redaksi yang dinilai kerap kali muncul dalam pemberitaan. Menurut informan ahli untuk kategori program berita, dalam sample program yang dinilai pada riset ini, ditemukan narasi pemberitaan yang tidak didukung fakta. Baik fakta berupa data ataupun pendapat narasumber. Memang redaksi dapat memiliki pendapat atau opini sendiri, namun harus dinyatakan oleh pihak lain dalam hal ini narasumber. 

Catatan lain dalam kategori program berita adalah tidak menyajikan tayangan yang keji. Informan ahli menemukan adanya berita yang memuat konten sadis, seperti suami membakar istri dan perempuan yang memakan kucing. Jika mengutip teori kultivasi dalam komunikasi, berita seperti ini dikhawatirkan dapat menginspirasi masyarakat untuk melakukan tindakan serupa. 

Kategori lain yang juga dibahas dalam FGD adalah program anak, variety show, berita, talkshow, religi dan wisata budaya. Riset Indeks yang digelar KPI ini berlangsung secara bergiliran di sebelas kota lainnya, yaitu Medan, Padang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Pontianak, Banjarmasin, Denpasar, Makassar dan Ambon.  Dalam FGD ini, para informan ahli berkesempatan menyampaikan konfirmasi penilaian atas sample program yang menjadi obyek riset. 

Sebagai sebuah program prioritas nasional, diharapkan dari riset ini angka indeks untuk semua kategori dapat mencapai angka tiga. Pada Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi tahun 2020, nilai rata-rata yang diperoleh sudah mencapai 3,14. Namun masih ada tiga kategori yang mendapatkan angka di bawah standar yang ditetapkan KPI, yakni infotainment, sinetron dan variety show. 

 

Jakarta - Riset Indeks Program Siaran Televisi yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan sebuah usaha dalam menghambat kuatnya penggunaan data kuantitatif dalam rating siaran dari lembaga pemeringkatan siaran yang sudah ada. Lembaga penyiaran, dalam disain kontennya, salah satunya berkiblat riset kuantitatif sebuah lembaga pemeringkat siaran. Hal ini berimplikasi adanya duplikasi program siaran yang memiliki rating tinggi, oleh berbagai stasiun televisi, sekalipun kualitasnya buruk. 

Karenanya Riset KPI sangat strategis untuk memberikan nilai pembanding dari data pemeringkatan yang sudah ada. Apalagi, pangkal persoalan kualitas konten siaran kita salah satunya karena tidak melalui riset audiens. Melainkan  mengambil data mentah dari lembaga pemeringkat. Hal tersebut disampaikan Wakil Rektor I Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA) Yogyakarta, Prof Iswandi Syahputra, dalam pembukaan Diskusi Kelompok Terpumpun/ Focus Group Discussion (FGD) Informan dalam rangka Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode pertama tahun 2021 di wilayah Yogyakarta, (27/5). Turut hadir dalam FGD, Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Hardly Stefano Pariela, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) UIN SUKA Dr Mochammad Sodik, dan Pengendali Lapangan Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi di Yogyakarta, Bono Setyo.  

Iswandi berharap, hasil dari FGD ini dapat disosialisasikan seluas-luasnya pada publik. “Terutama tentang hasil yang diperoleh dari FGD ini,” ujarnya. Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN SUKA ini juga mengingatkan tentang prinsip dasar sebuah industri, yakni dengan modal sekecil-kecilnya, produksi sebesar-besarnya, distribusi seluas-luasnya, keuntungan setinggi-tingginya. Hal ini juga berlaku pada industri penyiaran di Indonesia.

Ini juga yang mendasari kenapa lembaga penyiaran cenderung mengikuti sebuah program yang sudah popular, tanpa melakukan riset audience. “Kalau di luar negeri, program siaran dibuat dengan riset mendalam sehingga dapat menghasilkan program yang diminati banyak orang,” ujarnya. Sedangkan di Indonesia lebih memilih membeli hak siar. Ini juga yang menjadi penyebab konten siaran televisi cenderung seragam, ungkapnya. 

Dalam industri televisi, Iswandi juga mengungkap ada entitas lain yang saling berkaitan, yakni regulator, konten siaran dan publik. “Kehadiran kita di sini untuk membahas konten televisi,” ujarnya. Kalau hasil dari FGD ini mencerahkan, tentu dapat berimplikasi pada perilaku menonton di masyarakat. Perilaku menonton dapat berakibat pada turunnya rating dari program siaran yang memang berkualitas buruk. “Dengan sendirinya konten pun akan berubah,” tambahnya lagi. 

Tentang KPI sendiri, Iswandi mengakui sebagai regulator senjata KPI saat ini satu per satu mulai dipangkas. Padahal untuk dapat menjadi regulator penyiaran yang berwibawa, harus ada kewenangan besar bagi KPI. “Saya mendukung revisi undang-undang dengan memberlakukan undang-undang penyiaran sebagai lex spesialis”, tegasnya. KPI dapat fokus di konten siaran dan berhak menjatuhkan sanksi denda. Menurutnya, jika KPI sudah diberikan kewenangan seperti itu, baru bicara tentang demokrasi penyiaran yang lebih sehat dalam lanskap penyiaran ke depan. Karenanya, tutup Iswandi, revitalisasi regulasi penyiaran menjadi sangat penting dan strategis bagi KPI dalam usaha memperbaiki dan meningkatkan kualitas konten siaran di Indonesia. 

 

 

Jakarta -- Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengamanatkan digitalisasi siaran televisi paling lambat dilaksanakan 2 tahun sejak UU tersebut ditetapkan. Konsekuensi dari digitalisasi ini, selain menghemat frekuensi berikut kecanggihan audio-visual televisi, adalah semakin banyaknya industri penyiaran televisi.

Hal itu disampaikan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, dalam Dialog Interaktif  dengan tema "Kontribusi Lembaga Penyiaran untuk Daerah" yang diadakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Lampung, bertempat di Unsilent Kafe, Lampung, Senin (24/5/2021). Dalam kesempatan itu, Agung menyampaikan presentasi bahwa peran KPI semakin besar dan posisinya harus dikuatkan.

"Semakin banyak televisi tumbuh akibat digitalisasi, peran KPI kian besar. KPI Pusat dan Daerah musti memastikan informasi yang layak, menghibur dan mendidik bagi masyarakat. Ini tugas yang sangat besar," ujarnya.

Selain itu, Agung juga mendorong agar KPI secara kelembagaan diperkuat. "Digitalisasi sudah termaktub di UU Ciptaker. Idealnya dalam revisi UU Penyiaran hubungan kelembagaan KPI diatur menjadi hierarkis," lanjutnya.

Apabila hierarkis, otomatis secara kelembagaan baik dari anggaran akan diatur oleh APBN dan akan dibantu oleh sekretariat. "Ini yang mesti menjadi perhatian kita semua. Semakin banyak industri televisi, mesti dibarengi dengan penguatan pengawasan," tutupnya.

Hadir dalam acara tersebut Ketua Komisi I DPRD Provinsi Lampung Yosi Rizal, Kepala Dinas Kominfo Provinsi Lampung Ganjar Jationo sebagai Narasumber. Turut hadir beberapa Anggota Komisi I DPRD Provinsi Lampung, Balai Monitor dan perwakilan Lembaga Penyiaran Berjaringan dan Lembaga Penyiaran Lokal. **/Met

 

 

Yogyakarta - Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi kembali digelar oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bekerja sama dengan dua belas perguruan tinggi di dua belas kota besar di Indonesia. Riset periode pertama tahun 2021 ini telah memasuki tahapan Diskusi Kelompok Terpumpun/ Focus Group Discussion yang melibatkan informan ahli dalam melakukan pendalaman penilaian serta konfirmasi lanjutan atas penilaian yang dilakukan terhadap delapan kategori program siaran televisi. Adapun kategori program siaran yang dinilai adalah berita, talkshow, sinetron, variety show, religi, anak, wisata budaya, dan infotainment. 

Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Hardly Stefano Pariela menjelaskan, riset yang dilakukan KPI terhadap program siaran televisi adalah untuk menilai kualitas. Maka, angka indeks menjadi alat bantu untuk memudahkan penilaian. Namun demikian, tambah Hardly, yang jauh lebih penting adalah catatan dan rekomendasi yang diberikan oleh para informan ahli di balik angka indeks tersebut. Hal tersebut disampaikan Hardly dalam pembukaan FGD di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA) Yogyakarta (27/5), yang turut dihadiri oleh Wakil Rektor I UIN SUKA Prof Iswandi Syahputra, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) UIN SUKA Dr Mochammad Sodik, dan Pengendali Lapangan Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi di Yogyakarta, Bono Setyo.  

Dalam kesempatan tersebut Hardly memberi tantangan pada forum agar tidak hanya mendiskusikan sebatas pernyataan yang ada dalam instrument riset. “Saya mengajak untuk mendiskusikan secara lebih mendalam berbagai dinamika penyiaran sehingga forum ini memungkinkan untuk berdiskusi melampaui instrument riset yang sudah ada,” ujarnya. Harapannya, riset yang dikembangkan KPI sejak tujuh tahun lalu menjadi riset yang lebih progresif.  

Lebih jauh Hardly juga mengingatkan tentang pentingnya diseminasi hasil riset kepada seluruh pemangku kepentingan masyarakat. Selain melakukan diseminasi sebagaimana yang sudah disiapkan oleh pihak Dekanat, Hardly mengusulkan untuk melakukan diseminasi dengan menggunakan perangkat sosial media yang sedang tren, seperti Podcast. “Setidaknya untuk diseminasi, kita bisa melakukan 10 kali siaran Podcast”, ujarnya. Dua kali untuk pendalaman riset dari KPI Pusat dan pengendali lapangan. Sedangkan sisanya untuk wawancara informan ahli sesuai kategori riset yang dinilai. Dengan demikian pendapat informan ahli tidak sekedar tercatat dalam dokumen riset belaka, namun juga dapat disiarkan lewat ruang-ruang publik. Ini tentu dapat menjadi sebuah pemantik diskusi bagi para mahasiswa dan sivitas akademika untuk ikut memberikan penilaian ataupun pendapat pribadi. “Sehingga diseminasi bukan hanya hasil riset, tapi juga prosesnya dapat menjadi dinamis dan memantik kepedulian masyarakat untuk menjadi bagian dalam upaya mendorong peningkatan kualitas siaran televisi.  

Gagasan ini diharapkan Hardly dapat direalisasikan UIN SUKA sebagai pelopor dan memberi inspirasi bagi daerah lain yang juga melakukan riset serupa. Diseminasi melalui serial podcast ini juga menjadi upaya memenuhi ruang-ruang digital dengan konten positif dan bermanfaat. “Sehingga digital deviden yang didapat dari digitalisasi penyiaran, tidak sekedar menimbulkan residu konten negatif di dunia maya, namun juga memberikan penguatan dan manfaat yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya.

Foto: Dok UIN SUKA

 

Jakarta – Pesatnya perkembangan teknologi membuat dunia memasuki era baru yang sering dikenal dengan era digital. Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari mengatakan, perubahan zaman ke arah digital digunakan untuk menggambarkan situasi pola asuh anak ke arah perubahan era daring. Era baru ini memiliki tantangan tersendiri dalam mengasuh sang buah hati. 

“Orang tua harus lebih bijak memberikan kebebasan pada anak untuk mengakses internet dan berselancar di dunia maya. Kegiatan belajar dengan teknologi digital ini tentunya harus tetap dengan pengawasan orang tua,” kata Kharis.

Kenyataannya, kata Kharis, peran orang tua sangat penting dalam mengawasi perilaku buah hati saat menggunakan perangkat digital. Mengingat kemudahan informasi yang dapat diakses tanpa batas, hal ini sejatinya sangat baik, namun juga terdapat ancaman yang bisa saja menjadi dampak buruk pada perilaku anak. “Saat ini anak menuggunakan gadget sudah menjadi hal yang lumrah. Namun disamping itu juga pola asuh orang tua menjadi ekstra mengawasi anaknya saat menggunakan gadget,” tambahnya.

Pada kesempatan yang sama, Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis mengatakan, peran orangtua dalam kemajuan teknologi dikaitankan dengan pendidikan anak sangat penting khususnya dalam mengawasi perilaku buah hati saat menggunakan perangkat digital. Pasalnya, kemudahan informasi yang dapat diakses tanpa batas. Mengutip data statista tahun 2020, dari 202 juta penduduk Indonesia yang menggunakan internet diantaranya berusia antara 13-17 tahun.  

Fakta lain menyebutkan, dampak negatif penggunaan internet banyak terjadi pada kategori usia anak sekolah. Merujuk data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) jumlah kasus pengaduan anak terkait pornografi dan kejahatan online (korban dan pelaku) mencapai angka 1.940 anak pada tahun 2017-2019. 

“Kejahatan siber yang terjadi pada anak menurut data tersebut adalah anak korban kejahatan seksual online dan bahkan menjadi pelaku kejahatan online, anak juga menjadi pelaku dan korban perundungan dan sebagainya,” ungkap Yuliandre saat menjadi pemateri dalam diskusi berbasis daring yang diselengarakan oleh Badan Aksesbilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komuniaksi dan Informatikan dengan tema “Tantangan Pola Asuh Anak DI Era Digital”  di Jakarta, Minggu (23/5/2021).

Lebih lanjut, Andre mengatakan, keluarga sebagai garda terdepan pembentukan karakter anak perlu mengembangkan pola asuh atau pola interaksi yang edukatif dan efektif. Pola asuh orangtua dalam lingkungan keluarga sangat menentukan nilai-nilai yang didapatkan oleh anak. 

“Peran pola asuh orangtua tidak hanya berkutat dengan pola pendidikan dan jangan membandingkan dari  tahun sebelumnya. Perubahan kebiasaan yang begitu pesat juga seperti berkembangnya teknologi saat ini harus menajdi perhatian setiap orang tua,” pungkas Andre. **/Man

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.