- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 34569
Jakarta -- Perubahan landskap industri penyiaran akibat digitalisasi membuat media penyiaran harus mengubah orientasi isi kontennya ke arah yang lebih spesifik. Jika media penyiaran khususnya TV masih berkutat dengan konsep lama yakni satu saluran bermacam model konten atau program, hal ini dikhawatirkan membuat TV tersebut sulit berkompetisi dan pada akhirnya ditinggalkan.
Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, mengatakan digitalisasi penyiaran akan mengubah landskap industri penyiaran di tanah air dan hal ini harus diantisipasi oleh stasiun TV. Salah satu upaya TV untuk mengimbangi perubahan itu yakni dengan mengubah arah konten TV menjadi lebih spesifik atau khusus seperti yang telah dilakukan oleh industri penyiaran radio.
“Landskap penyiaran kita ke depan seperti itu. Kita bisa lihat apa terjadi dengan radio hari ini yang sudah spesifik audiensnya. Nah, ke depan, TV kita arahnya akan seperti itu. Dalam konteks inilah saya meletakkan kenapa kita harus diversty of konten. Bukan berarti keragaman ini ada dalam satu siaran TV saja. Tapi harus spesifik konten berikut dengan audiensnya,” kata Hardly saat menjadi narasumber acara literasi media yang diselenggarakan KPID Provinsi Kalimantan Timur, Selasa (19/10/2021).
Saat ini, lanjut Hardly, siaran TV yang dinikmati masyarakat hanya terbagi dua kategori yaitu berjenis TV berita dan TV hiburan. Dia memprediksi, setelah kick off penyiaran digital pada 2022 mendatang, kategori TV hiburan akan tersegmentasi menjadi TV-TV dengan konten yang spesifik.
“Bisa jadi akan ada TV yang dari sore hingga malam menyiarkan sinetron, atau juga variety show atau juga infotainmane dan religi. Jadi dengan begini, jangan lagi ada tuntutan isi harus sama setiap siaran TV,” ujar Hardly.
Namun begitu, Hardly berharap, berubahnya landskap penyiaran dengan macam jenis TV tersebut harus diimbangi dengan porsi kemanfaatan konten yang disiarkan bagi masyarakat. Menurutnya, poin perubahan ini bukan seberapa banyak jenis durasinya tapi bagaimana isi siarannya mengandung hal yang baik, bernilai, inspiratif dan tentunya aman serta nyaman ditonton.
Terkait berubah model penyiaran akibat digitalisasi, Hardly juga mengingatkan persoalan yang terkait dengan perubahan tersebut yakni perlunya payung hukum yang jelas dan adil bagi seluruh pemain yang akan berkompetisi. Menurutnya, perlu ada pengaturan yang setara (equal) antara media penyiaran (TV dan radio) dengan media internet.
“Jangan sampai seolah-olah yang buruk itu hanya ada media penyiaran. Padahal jika kita lihat dan ketahui bahwa yang buruk itu ada dan lebih banyak di media baru. Jadi, saya menilai perlu dibuat regulasi yang equal bagi siapapun,” pinta Hardly.
Masih soal media baru, Hardly menilai konten yang bermasalah seperti kekerasan, pornografi hingga SARA lebih banyak ada dan terjadi di media baru. Menurutnya, isi di media lama lebih aman, nyaman dan bisa dipertanggungjawabkan. Kondisi ini tidak lepas karena adanya pengawasan dan paying regulasi yang hal ini tidak ada di media baru.
“Kenapa media lama bisa seperti itu, karena ada proses kontrol, ada juga perusahaan media yang memiliki mekanisme kontrol, jika melanggar ada dampaknya. Di media baru belum ada mekanisme pengaturan konten yang memadai. Karena itu, konten kreator di media penyiaran lebih professional dan lebih bisa diatur ketimbang media baru,” tutur Hardly.
Sementara itu, Wakil Pemimpin Redaksi Kompas TV, Yogi Arif Nugraha, mengatakan berubahnya arah penyiaran ke digital membuat banyak perubahan dalam industri penyiaran konvesional dan juga penonton seperti konsumsi informasi di masyarakat. Dia juga mengkhawatirkan migrasi teknologi yang cepat tidak diimbangi dengan proses edukasi atau literasi bagi masyarakat. “Teknologi bergerak cepat tapi literasinya lamban. Karena itu, saya mengapresiasi literasi yang diselenggarakan KPID Kaltim ini,” katanya.
Dalam kesempatan itu , Yogi mengingatkan soal dampak akibat informasi yang disampaikan media. Menurutnya, media yang baik akan berpikir soal dampaknya yang akan terjadi di masyarakat ketika sebuah informasi atau berita akan disiarkan. “Seringkali soal kecepatan menjadi hal yang tidak dipikirkan. Cara kerja dan dampak media harus dipikirkan. Apalagi lembaga penyiaran menggunakan kanal free to air,” tandasnya. ***/Editor:MR