Jakarta -- Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI (Republik Indonesia) berkomitmen mempercepat proses perubahan Undang-Undang Penyiaran pada tahun ini. Hal ini agar ada payung hukum penyiaran yang komprehensif khususnya terkait penyiaran digital. Selain itu juga dalam rangka mendukung Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyambut era TV Digital yang akan dimulai secara utuh pada November 2022 mendatang.

“Kami berkomitmen melakukan pembahasan revisi undang-undang penyiaran. Ini sedang kami lakukan. Kami juga akan mendorong fungsi dan peran KPI untuk bisa dikuatkan untuk melaksanakan tugasnya. Pasalnya, ini menyangkut diversity of content. Tugas KPI nanti akan lebih berat karena tayangan-tayangan akan semakin banyak,” kata Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafidz, dalam pemaparan di acara “Bersiap Digital: Sambut Tahap Pertama ASO dari Aceh” yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Rabu (9/6/2021).

Siaran digital tidak hanya akan membuka ruang bagi keragaman konten tapi juga keberagaman kepemilikan. Artinya, informasi jadi tidak hanya dikuasai oleh sekelompok orang saja. “TV juga akan menjadi sedinamis dengan media-media sosial. Hadirnya TV digital akan dapat banyak  menghadirkan tayangan-tayangan kepada pemirsa,” tambah Meutya.

Namun demikian, Dia berharap hadirnya sistem baru ini dapat diikuti dengan sosialisasi yang massif ke masyarakat. Selain itu, masyarakat juga harus mendapatkan STB (set top box) agar dapat menerima siaran tersebut. “DPR akan melakukan pengawasan di bidang ini guna memastikan masyarakat yang belum dapat siaran digital dibantu dengan STB. Menyiapkan STB bagi masyarakat yang tidak mampu ini harus dipastikan,” tegasnya.

Sementara itu, Menteri Kominfo, Johnny G Plate, mengatakan pemerintah dan pihaknya telah mengeluarkan sejumlah regulasi pelengkap pelaksanaan ASO atau siaran digital. Regulasi itu terdiri dari Peraturan Pemerintah dan Permenkominfo No.6 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penyiaran. “Jadi sudah lengkap kerangka regulasi untuk menyelesaikan peralihan TV analog ke digital. Ini akan mengakhiri TV analog kita,” katanya.

Peralihan teknologi ini pun tidak serta merta dilaksanakan secara serentak dan langsung. Berkaca dari pengalaman di sejumlah negara yang telah melakukannya, proses ASO dilakukan secara bertahap dengan ikut mempertimbangkan kesiapan industri dan infrastrukturnya. 

“ASO di tahap awal nanti akan menjadi bahan awal evaluasi untuk tahap berikutnya. Ini bukan pekerjaan membalikan telapak tangan. Perlu dipikirkan sangat matang dan sangat teknis. Indonesia punya 701 pemegang izin penyiaran TV analog. Ini menjadi salah satu faktor kenapa pelaksanaan tahapan ASO tidak bisa dilakukan secara kilat,” jelas Johnny.

Dia juga menjamin ketersediaan slot bagi seluruh penyelenggaran siaran TV untuk bersiaran.  Menurutnya, hal ini dapat diperoleh dari alokasi 50% penyelenggara multiflekser yang dikelola pemerintah. “Tidak seluruh LP swasta, komunitas dan lokal akan menjadi penyelenggara multiflekser. Tetapi semua lembaga penyiaran yang membutuhkan slot penyiaran akan disediakan pemerintah sehingga tidak menganggu penyiaran dan menghambat masyarakat pemirsa TV di rumah,” tutur Johnny yang dalam kesempatan itu menyatakan kemitraan dengan KPI sangat bisa dihandalkan.  

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, menyambut baik rencana pembahasan RUU Penyiaran dalam waktu dekat. Menurutnya, kehadiran UU Penyiaran baru akan mendongkrak penguatan kelembagaan KPI terutama dalam kaitan pengawasan penyiaran agar lebih baik dan berkualitas dalam sistem siaran TV yang baru. 

“Memastikan konten berkualitas itu tugas KPI. Kami ucapkan apreasiasi kepada menteri kominfo dan Komisi I DPR RI. Membutuhan energi yang luar biasa untuk ASO ini. Tidak mudah karena jika lihat di beberapa negara butuh waktu yang lama. Indonesia memiliki TV free to air yang sangat banyak. Berbeda dengan AS yang sedikit. Kita mirip dengan Italia sehingga butuh waktu lama,” jelas Agung.

Agung menyatakan pihaknya berkomitmen memastikan keragaman dan konten siaran pada saat digital makin berkualitas. Menurutnya, TV digital sudah punya segmen dalam hal konten seperti Tempo TV soal berita. “Nanti akan muncul TV soal perempuan dan anak. Kita butuh koordinasi dengan kominfo untuk segmen anak dan perempuan harus dapat nomor remote yang sederhana. Yang nomor gemuk untuk TV hiburan. Seperti yang dilakukan Singapura. Jadi masyarakat lebih mudah mengakses TV-TV tersebut. 

Dalam kesempatan itu, Agung menegaskan slogan siaran digital tidak hanya soal jernih, bersih dan canggih, tapi juga berkualitas secara konten. Untuk tahap awal ASO pada 17 Agustus 2021, ada lima wilayah yang akan mulai beralih ke siaran digital antara lain Aceh, Kepulauan Riau (Kepri), Banten 1, Kalimantan Timur 1 (Kaltim 1), Kalimantan Utara 1 (Kaltara 1), dan Kalimantan Utara 3 (Kaltara 3). ***/Editor:MR

 

 

Bengkulu - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menjalankan tugasnya sebagai regulator penyiaran, tidak melakukan seleksi konten siaran sebelum ditayangkan. Pengawasan konten siaran dilakukan KPI pada saat televisi dan radio menyiarkannya ke tengah masyarakat. Hal ini diatur dalam regulasi penyiaran sebagai upaya memberi ruang pada kebebasan berekspresi melalui produksi program siaran. Namun demikian, ada koridor yang harus ditaati oleh lembaga penyiaran saat membuat konten-konten siaran, yakni Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI. Hal ini disampaikan Hardly Stefano Pariela selaku Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan, saat menjadi narasumber Literasi Media dengan tema Perempuan Berdaya di Hadapan Media yang diselenggarakan oleh KPID Bengkulu, di kota Bengkulu (9/6). 

Penyiaran di Indonesia saat ini telah hadir sebagai sebuah industri yang memiliki orientasi pada keuntungan pendapatan. Produksi program siaran di televisi dan radio, tentu membutuhkan pembiayaan yang biasanya akan dipenuhi lewat pemasangan iklan. Pengiklan sendiri, ujar Hardly, dalam menempatkan produknya menggunakan survey kepemirsaan yang dapat memberikan data tentang jumlah penonton di suatu program siaran. Tentunya, dalam membuat sebuah program siaran, lembaga penyiaran akan berlandaskan pada potensi penonton yang tinggi. “Sehingga dapat mengundang banyak pengiklan yang akan meningkatkan pendapatan mereka,” ujarnya. 

Pada posisi ini akhirnya dapat disimpulkan bahwa wajah penyiaran kita saat ini adalah cermin dari wujud pilihan kita sendiri terhadap program siaran. Televisi mencatat dan merekam semua pilihan menonton masyarakat, dan menerjemahkannya dalam produksi program siaran selanjutnya, terang Hardly. 

Dari data kepemirsaan Nielsen sebenarnya ada perbedaan antara siaran yang diproduksi televisi dan minat masyarakat menonton. Durasi program yang diproduksi televisi paling banyak pada program siaran berita. Sedangkan durasi menonton masyarakat paling banyak di program hiburan seperti sinetron, film dan entertainment. Jadi kalau ada tuntutan untuk menghadirkan banyak kartun, maka tontonlah kartun. Demikian juga jika ingin banyak berita di televisi, tontonlah berita! ujarnya.

Hardly juga menyampaikan dinamika di industri pertelevisian nasional, yang hingga saat ini dipenuhi oleh 16 stasiun televisi  berjaringan. Ada persaingan yang demikian ketat dalam rangka memperebutkan pasar iklan yang membiayai produksi program, sehingga muncul strategi ATM di kalangan televisi. “Amati, Tiru dan Modifikasi”, terangnya. Inilah yang menyebabkan kerap kali  kita melihat ada kemiripan program siaran pada beberapa stasiun televisi.  “Karena semua yang disuka penonton itulah yang diproduksi televisi. Itulah kondisi televisi kita saat ini,” ucapnya. 

Kondisi ini, dikatakan Hardly, sebagai mekanisme pasar yang menjadikan produksi program televisi disesuaikan dengan keinginan penonton. Mekanisme pasar ini tentu tidak dapat dibiarkan terjadi, karena kerap kali program siaran yang digandrungi masyarakat tersebut mengandung potensi masalah dan bermuatan konten negatif. Pada kondisi seperti inilah, sebagai regulator penyiaran, KPI harus memastikan agar dalam memenuhi selera masyarakat, televisi dan radio tetap dalam koridor regulasi, yakni P3 & SPS. 

Di samping itu, KPI juga berkepentingan untuk melakukan intervensi terhadap selera menonton di masyarakat, guna menjaga kualitas program, lewat literasi. Harapannya, dengan literasi ini, masyarakat memiliki kemampuan untuk mengakses, menganalisisi, mengevaluasi dan mengkomunikasikan informasi dalam berbagai bentuk media. Kepada peserta yang terdiri atas perwakilan organisasi perempuan di Bengkulu, Hardly berharap melalui literasi ini, selain menjadi konsumen yang menggunakan media masyarakat juga mampu melakukan seleksi atas konten di media, khususnya televisi dan radio.

 

Dalam kesempatan ini, Hardly menyampaikan, KPI membuka mekanisme pelaporan dari masyarakat atas program siaran yang dinilai bermasalah. Namun, Hardly mengingatkan, saat ini juga menjadi penting untuk memberikan apresiasi atau menceritakan kembali program-program siaran yang baik dan berkualitas. Hardly mengajak kaum perempuan untuk mengambil peran strategis di hadapan media, sebagai salah satu upaya memberikan kebaikan pada keluarga dan juga lingkungan di masyarakat. 

Menurutnya, kaum perempuan harus berdaya di hadapan media dengan menjadikan media sebagai alat mendapatkan informasi bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar. Setidaknya saat menjadi konsumen media khususnya televisi, perempuan yang menjadi memegang peranan sangat penting dalam keluarga memperhatikan beberapa hal berikut. Klasifikasi program siaran yang memandu kesesuaian tayangan dengan usia penonton, membatasi dan mendampingi anak menonton televisi, dan memilihkan program siaran yang bermanfaat untuk dinikmati keluarga.  

Di samping itu, Hardly juga melihat perempuan memiliki kekuatan mempengaruhi publik terkait opininya atas sebuah program siaran. Realitas sekarang, warganet sudah sangat powerfull dalam melaporkan tayangan televisi yang buruk. KPI berharap, program-program siaran yang baik juga ikut disebarluaskan, dan diviralkan, ujar Hardly. Menjadikan program-program baik di televisi ini viral juga penting untuk memberi referensi pada masyarakat, bahwa ada banyak pilihan dalam menonton televisi. Apalagi terkadang program yang baik ini kurang mendapat apresiasi dari pengiklan, lantaran rendahnya tingkat kepemirsaan. Hardly berharap, potensi kaum perempuan dapat dimanfaatkan untuk sosialisasi program-program berkualitas di televisi. Dengan kritik dan apresiasi yang seimbang terhadap tayangan televisi, harapannya muncul resonansi yang positif dalam menjaga kesinambungan program siaran berkualitas di tengah masyarakat. Salah satunya dengan kontribusi kaum perempuan untuk ikut berbicara siaran yang baik, tutup Hardly./Editor:MR

 

 

Makassar - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berencana kembali menyelenggarakan Konferensi Penyiaran Indonesia. Acara yang sebelumnya digagas pada 2019 di Padang, Sumatera Barat, memiliki tujuan mengumpulkan hasil tulisan dan kajian para pakar di bidang penyiaran sekaligus hasil temuan dari Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang diinisiasi oleh KPI Pusat. Pada tahun ini, KPI Pusat bekerjasama dengan Univeritas Hasanuddin sepakat akan menggelar kembali kegiatan tersebut pada bulan September mendatang di Makassar, Sulawesi Selatan.

“Para peneliti akan berkumpul melakukan penelitian menengenai penyiaran dari segala aspek pada Konferensi Penyiaran ini. Ini diharapkan dapat menjadi masukan positif bagi stakeholder penyiaran di Indonesia,” ungkap Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, di Kantor Gubernur Sulsel, Selasa (8/6/2021).

Selain itu, Yuliandre berharap Konferensi Penyiaran ini dapat menjadi media sosisaliasi penerapan digitalisasi penyiaran atau ASO (analog switch off) yang nantinya akan dilakukan serentak pada 2 November 2022. Konferensi Penyiaran ini juga akan masuk dalam dalam rangkaian Dies Natalis Universitas Hassanudin. 

Pria yang ramah disapa Uda Andre menyampaikan bahwa Konferensi Penyiaran tahun ini akan mengambil tema “Mewujudkan Media Komunikasi dan Industri Penyiaran yang Sehat Tangguh dan Berbasis Kemanusiaan”. Harapannya kegiatan yang melibatkan para pakar ini dapat memacu akademisi untuk menambah khazanah aktualisasi ilmu komunikasi. “Disiplin ilmu lainnya untuk berdialog dan terus melahirkan penelitian perihal berbagai aspek dan dinamika pada media komunikasi dan penyiaran di Indonesia,” tegas Yuliandre.

Dalam kunjungan itu, tim KPI Pusat diterima langsung Asisten III Bidang Administrasi di Kantor Gubernur Sulsel, Tautoto T. Dalam kesempatan itu, Tautoto mengungkapkan pihaknya sangat mengapresiasi kegiatan Konferensi Penyiaran Indonesia yang bertujuan sebagai sarana edukasi bagi masyarakat Indonesia.

Selain itu, Toutoto berharap kepada lembaga penyiaran dapat mengangkat potensi sumber daya alam di daerah yang seharusnya bisa diekspose lebih jauh. Selain memiliki nilai atau potensi ekonomi yang dipublikasi, kehadiran lembaga penyiaran dapat mendorong mengundang investor untuk memajukan daerah tersebut.

“Pemprov pada prinsipnya sangat mendukung dan mengapreisasi kegiatan ini. Kami berharap para peneliti dapat memberikan masukan ke lembaga penyiaran, khususnya untuk mengangkat potensi sumber daya alam daerah,” tutur Tautoto T. */man

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berencana menerapkan sanksi administratif berupa denda kepada lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Denda yang akan dikenakan maksimal 1 Milyar untuk lembaga penyiaran TV dan 100 Juta bagi radio. Sanksi ini untuk memberi efek jera sehingga kesalahan serupa tidak terulang.

Rencana itu disampaikan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, pada saat rapat dengar pendapat (RDP) antara KPI, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Dewan Pers, Komisi Informasi dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Ruang Rapat Komisi I DPR RI, Senin (7/6/2021). 

"Pelanggaran atau ketidaksesuaian terhadap ketentuan terkait isi siaran dapat dikenai sanksi administratif denda. Dikenakan sebanyak-banyaknya Rp 1 miliar untuk televisi dan sanksi denda untuk radio lebih rendah yakni 100 juta maksimalnya," kata Agung.

Agung menjelaskan, sanksi administratif denda itu sebetulnya telah ada dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Namun, diakuinya bahwa sanksi tersebut berlum diberlakukan kepada lembaga penyiaran yang melanggar aturan.  

Menurut Agung, agar sanksi denda itu dapat dikenakan harus terlebih dahulu masuk ke PP PNBP sektor Kominfo. “Kita sudah berkoordinasi dengan kemenkeu dan kemenkominfo. Kita harapkan tahun ini PP-nya sudah bisa terbit sehingga bisa diterapkan sanksi dendanya,” ujarnya. Adapun sanksi denda ini, lanjutnya, merupakan sanksi peningkatan bertahap setelah melalui sanksi teguran tertulis.

Selain menyampaikan rencana penerapan sanksi denda, Agung memaparkan sejumlah program prioritas lembaganya diantaranya revisi P3SPS, Sosialisasi Siaran Digital dan membuat rancang bangun pengawasan siaran digital atau TV digital mengunakan teknologi AI (artificial intelligence). 

“Ke depan kita akan gunakan AI untuk memaksimalkan fungsi pengawasan. Hal ini juga berkaitan dengan akan makin tumbuhnya televisi-televisi digital,” katanya.

Program prioritas KPI yang lain dan sedang berjalan pembahasannya adalah revisi P3SPS. Revisi ini akan menyentuh berbagai sektor seperti tata cara penjatuhan sanksi hingga penegasan pasal-pasal antara lain penguatan nilai Pancasila, hedonistik dan perilaku konsumtif, muatan perilaku dan promosi LGBT, mistik horror supranatural dan hipnotis, perlindungan kepentingan publik, pengaturan visual iklan rokok, verifikasi sumber siaran, netralitas lembaga penyiaran, siaran kebencanaan dan siaran Pemilu. 

“Saat ini, KPI sedang dalam proses penyusunan paket regulasi tersebut. Diharapkan kita segera akan masuk pada tahap sosialisasi dan evaluasi internal, pembahasan dan meminta masukan dari asosiasi, uji publik dan nanti setelah final akan disahkan dalam Rakornas KPI,” tandas Agung.  

Dalam RDP tersebut hadir Menteri Kominfo, Johnny G Plate, Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, Ketua Dewan Pers, Muhammad Nuh, Wakil Ketua Komisi Informasi, Hendar J Kede. ***

Bengkulu - Literasi merupakan salah satu pilar penting dalam pelaksanaan digitalisasi penyiaran, untuk memberikan penguatan kepada masyarakat tentang konten siaran siaran yang layak ditonton saat berlimpahnya saluran televisi lewat digitalisasi. Tentu saja, selain literasi yang perlu gencar dilakukan adalah sosialisasi penyiaran digital ke tengah masyarakat, baik itu oleh pemerintah pusat dan provinsi, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atau pun lembaga penyiaran itu sendiri. Yang paling penting, dalam realisasi penyiaran digital adalah masyarakat memahami betul yang harus dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan informasinya masing-masing. Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Nuning Rodiyah menyampaikan hal tersebut dalam kegiatan Literasi Media dengan tema Milenial Bicang Tentang Siaran Berkualitas, yang diselenggarakan KPID Bengkulu, di kota Bengkulu, (8/6). 

Bicara soal literasi, diungkapkan oleh Nuning bahwa potensi merebaknya saluran televisi saat penyiaran digital sangat besar. Di Bengkulu sendiri, ujarnya, sudah ada tiga penyelenggara multiplekser yakni TVRI, Indosiar dan RCTI. Dari tiga multiplekser ini berpotensi menyediakan tiga puluh saluran televisi dengan Standar Definition, jika menggunakan teknologi High Definition jumlahnya bisa berkurang. 

“Kalau tidak ada edukasi kepada masyarakat bagaimana memilih saluran atau pun program siaran yang baik, tentu akan menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat,” ujarnya. Karenanya KPI berkepentingan untuk terus meliterasi publik, termasuk juga meningkatkan kapasitas literasi masyarakat, agar banyaknya saluran televisi saat siaran digital nanti dapat dirasakan betul manfaatnya. 

Dalam kesempatan tersebut Nuning menjelaskan pula mekanisme kerja KPI dalam melakukan pengawasan konten siaran. “KPI menonton dalam rangka mengawasi, berbarengan dengan waktu masyarakat menonton sebuah program siaran,” ujarnya. Jika setelah menonton dirasa ada potensi pelanggaran regulasi, masyarakat dapat dengan cepat mengekspresikan pendapatnya melalui media sosial, KPI justru melakukan verifikasi lebih jauh untuk kemudian dikaji kesesuaiannya dengan regulasi yang ada. Kalau memang ada pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS), maka dilakukan penilaian terhadap sanksi yang dijatuhkan. 

Berdasar pada Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, sanksi yang dapat dijatuhkan oleh KPI berupa teguran tertulis, penghentian sementara dan pengurangan durasi. KPI juga memungkinkan memberi rekomendasi untuk pencabutan izin, namun eksekusinya melalui pengadilan. Kepada peserta Literasi yang merupakan mahasiswa di perguruan tinggi yang ada di kota Bengkulu, Nuning juga menjelaskan beberapa pelanggaran yang memungkinkan untuk dijatuhkan sanksi penghentian sementara. P3 & SPS KPI memang memberikan perlindungan yang besar atas kepentingan anak dan remaja, karenanya pelanggaran untuk muatan eksploitasi seksual dan muatan kekerasan yang ekstrem berkonsekuensi langsung pada sanksi penghentian sementara.

Dengan mekanisme yang sudah ditetapkan oleh undang-undang, Nuning menjelaskan, KPI harus memastikan setiap langkah yang ditempuh memiliki pijakan regulasi yang kuat. Hal ini juga berkaitan dengan amanat undang-undang yang menugaskan KPI untuk menjaga dinamika industri penyiaran yang sehat. 

Pengawasan konten siaran ini, dilakukan KPI selama 24 jam setiap harinya. Nuning memastikan sanksi yang dijatuhkan KPI terhadap program siaran yang bermasalah bukan hanya didasari atas viral atau tidaknya kasus tersebut di tengah publik. “Selama ini KPI selalu melakukan publikasi atas setiap sanksi yang dijatuhkan melalui website resmi lembaga,” ujarnya. Jadi, tidak benar asumsi yang mengatakan lembaga ini hanya bekerja kalau ada aduan publik yang viral. “Karena faktanya, ada jauh lebih banyak sanksi yang dijatuhkan KPI tanpa harus menunggu viral di media sosial,” tegas Nuning.  

Dalam literasi ini turut hadir sebagai pembicara anggota Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu Usin Abidsyah Sembiring, perwakilan Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Bengkulu Indra Venny, serta moderator dari KPID Bengkulu Dyah Noor Intan. 

Digitalisasi penyiaran yang menurut Undang-Undang Cipta Kerja akan dimulai pada 2 November 2022 mendatang, tentu menjadi tantangan besar bagai seluruh pemangku kepentingan penyiaran di Indonesia. KPI sendiri merasa berkepentingan untuk memastikan masyarakat memiliki kecerdasan dalam memilah dan memilih media. Termasuk juga memberikan pemahaman tentang eksistensi KPI yang tetap melakukan pengawasan konten siaran, untuk  menjamin siaran yang diterima masyarakat selaras dengan tujuan diselenggarakannya penyiaran sebagaimana yang disebutkan oleh undang-undang. 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.