Jakarta – Gelombang desakan serta dukungan agar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektornik (UU ITE) segera direvisi datang dari berbagai kalangan. Berbagai kegaduhan yang timbul akibat dari adanya pasal karet dalam UU ini menjadi alasannya. Padahal UU yang dilahirkan pada 2008 ini diniatkan bukan untuk mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi melalui internet. 

Terkait wacana revisi UU tersebut, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat), Hardly Stefano, ikut mendukung rencana tersebut. Menurut dia, perubahan isi UU ITE khususnya pada pasal karet yang menjadi polemik di masyarakat harus dilakukan. Upaya ini dapat memberi ruang yang lebih dinamis pada kebebasan berpendapat dan berekspresi tanpa dibayangi adanya ancaman hukum pidana. 

“Memang ada yang berpandangan bahwa UU ITE ini diperlukan untuk mencegah dampak negatif dari dinamika komunikasi di internet. Namun tak sedikit pula yang berpandangan bahwa UU ITE ini merupakan UU karet yang berpotensi membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat,” ujar Hardly dalam Webinar yang diselenggarakan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (FDK UINSA) dengan tema “Kebebasan Berpendapat dan Wacana Revisi Pasal Karet UU ITE”, Senin (1/3/2021).

Jika UU ini direvisi, lanjut Hardly, pendekatan hukumnya sebaiknya berkaca pada UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU No.40 tahun 1999 tentang Pers. Menurutnya, kedua UU ini meskipun mengatur tentang kebebasan dan tanggungjawab berekspresi dan berpendapat dalam media mainstream (konvensional) tetapi mengedepankan pendekatan preemtif dan preventif dengan tetap melakukan tindakan imperatif. 

“Pelanggaran terhadap norma dalam UU Pers dilakukan melalui mekanisme verifikasi, mediasi dan penyampaian klarifikasi dan permintaan maaf secara terbuka. Sedangkan pelanggaran pada norma UU Penyiaran, selain dilakukan verifikasi dan mediasi, juga dikenakan sanksi administrasi. Sanksi pidana menjadi pilihan terakhir untuk dikenakan. Pola seperti ini dapat diterapkan dalam penanganan kasus pelanggaran UU ITE. Jadi lebih persuasi dan edukatif. Lantas, sebaiknya pola yang mengedepankan pendekatan represif dihilangkan dalam paradigma UU ITE hasil revisi nanti,” usul Hardly.

Kapolri memang sudah mengeluarkan Surat Edaran No.2 tahun 2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif pada 19 Februari lalu. Intinya surat tersebut memerintahkan seluruh penyidik kepolisian mengedepankan restoactive justice dalam penegakan UU ITE.  

“Keluarnya surat edaran dari Kapolri terkait penegakan UU ITE ini, kita anggap sebagai terobosan hukum, namun sekaligus menunjukkan bahwa memang ada yang kurang tepat dalam paradigma penegakan hukum UU tersebut. Dengan ancaman hukuman pidana, terlihat bahwa paradigma UU ITE lebih mengedepankan prinsip represif-imperatif. Surat edaran ini telah memberi nuansa restoactive, dengan mengedepankan persuasi dan edukasi, serta langkah preemtif dan preventif,” tutur Hardly.

Meskipun telah ada terobosan hukum, Hardly mengatakan surat edaran ini masih menjadi instrumen hukum yang lemah dibandingkan UU. Menurutnya, surat edaran adalah instrumen pengaturan internal dan pada akhinya harus tunduk pada UU sebagai landasan hukum positif yang legitimated. 

“Dapat dikatakan, SE Kapolri ini merupakan solusi sementara. Dibutuhkan solusi yang lebih sistematis dan komprehensif, salah satu opsinya adalah kembali melakukan revisi atas UU ITE atau membuat UU khusus tentang konten internet. Revisi maupun pembuatan UU baru terkait dinamika internet harus mampu mengatur titik keseimbangan antara kebebasan berekspresi di satu sisi dengan kemanfaatan berekspresi di sisi yang lain. Antara kebebasan berpendapat dengan tanggung jawab berpendapat. Juga mengatur titik kompromi antara kebebasan individu dengan norma sosial dan peraturan hukum yang berlaku,” jelas Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat ini. 

Hardly juga mengusulkan, untuk menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat, dibutuhkan semacam lembaga pengawasan dan abitrase konten atau informasi elektronik. Menurut dia, lembaga ini sebaiknya merupakan representasi perwakilan masyarakat atau civil society seperti Dewan Pers dan KPI. Bukan lembaga struktural pemerintahan. 

“Keberadaan lembaga pengawasan dan abitrase konten internet ini dapat dengan membentuk lembaga baru. Namun jauh lebih baik jika dapat mengoptimalkan lembaga negara independen yang telah ada dengan memberikan perluasan kewenangan,” tandas Hardly Stefano.

Dalam webinar tersebut, turut hadir narasumber lain yakni Anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya, Arif Fathoni, dan CEO sekaligus Editor Chief Telegraf.co.id danTelegraf.id, Koeshondo W. Widjojo. ***

 

Jakarta -- Anggota Komisi 1 DPR RI, Yan Permenas Mandenas mengatakan, masyarakat informasi itu ditandai dengan adanya perilaku informasi secara keseluruhan dan berkeadilan hingga pelosok wilayah di Indonesia. Menurutnya, penemuan informasi dengan tujuan tertentu sebagai akibat adanya kebutuhan untuk memenuhi tujuan tersebut.

Terkait hal ini, pandemi Covid-19 menambah pekerjaan rumah di Papua. Pasalnya, optimalisiasi pemanfaatan TIK (teknologi informasi dan komunikasi) di Papua tidak berkembang. Karena itu, pemerintah diharapkan bisa memberikan percepatan jaringan internet terutama di lembaga pendidikan yang ada di Papua.

“Harapan kami dari tanah Papua agar digalakan pembangunan infrastruktur di wilayah-wilayah terpencil dan di perbatasan sehingga masyarakat di sana ikut merasakan kemajuan teknologi sehingga mereka segera memenuhi kebutuhan informasi dan komunikasi tersebut,” kata Yan Permenas dalam seminar daring “Merajut Nusantara” yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), awal pekan ini.

Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis mengatakan, pemerataan jaringan internet perlu mendapatkan perhatian yang luas. Hari ini, kata dia, ketika semua orang bicara internet dan digital tentu semua akan melihat cakupan dan jangkauannya. Terkait ini, Papua yang berada di timur wilayah Indonesia masih menjadi pulau yang paling minim mendapatkan akses internet.  

“Kondisi geografis yang beragam serta minimnya ketersediaan infrastruktur, menjadikan masyarakat di beberapa wilayah mengalami kesulitan mengakses pelayanan pendidikan. Tidak semua daerah dapat sinyal. Papua menjadi pulau yang paling minim mendapatkan akses internet,” kata Yuliandre.

Ia menuturkan, berdasarkan hasil pengamatan antaranews di 2020 lalu, kurang lebih 66% wilayah Papua belum bisa mengakses layanan internet dan hal ini berdampak besar pada saat pandemi sekarang terutama untuk dunia pendidikan. Proses pembelajaran daring di Papua hanya dapat dilakukan oleh 48% siswa.

Saat masa pandemi, pembelajaran anak sekolah di Papua banyak dibantu lewat siaran radio khususnya di wilayah pedalaman. Wilayah-wilayah yang tidak terjangkau internet dan TV sangat terbantukan oleh siaran radio. 

“Pemuda Papua juga telah membuat aplikasi yang menggabungkan fitur pariwisata dan e-commerce yang menawarkan informasi wisata, akomodasi, transportasi, kuliner, toko, serta jasa yang sudah diverifikasi. Hal ini tentunya perlu kita apresiasi,” tandas Andre, panggilan akrabnya. */Man

 

Jakarta -  Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis mengungkapkan, dalam konsep Undang-Undang Penyiaran tahun 2002, semangat KPI adalah ingin memiliki data mandiri yang mencakup aspek kualitas siaran sehingga dapat menjadi bahan yang dapat memperbaiki mutu kualitas isi siaran.

“Jika terjadi pelanggaran oleh lembaga penyiaran, Kami memberikan sanki dengan ukurannya Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Inilah yang dijadikan landasan KPI dan mengukur kualitas siaran televisi,” kata Yuliandre saat menjadi pemateri acara diskusi berbasis daring yang diselenggarakan oleh Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia dengan tema “Konsep, Metedologi dan Mekanisme Penyusunan Indeks Kualitas Program Siaran Televisi,” di Jakarta, Selasa (23/2/2021).

Dalam hal ini, Pria yang akrab disapa Andre itu menegaskan, metode penelitian yang digunakan KPI harus mencapai tujuan dan fungsi KPI terhadap media penyiaran yakni bagaimana memperkukuh integrasi nasional. Menurut dia, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa menjadi tujuan utama dalam penyelenggaraan Riset Indeks Kualitas Siaran Televisi. 

“Hal ini menjadi perspektif umum. Jika kita bicara kualitas, kita butuh untuk menterjemahkan sebuah perspektif di industri penyiaran. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka membangun masyarakat mandiri adalah prioritas utama sehingga tercipta sebuah sistem yang demokratis, adil dan sejahtera serta menumbuhkan industri penyiaran yang sehat,” tegasnya.

Ketua Dewan Pakar Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Pusat ini menyatakan, KPI mendorong penelitian ini masuk dalam program prioritas nasional. “Saat ini, KPI sudah bekerja sama dengan 12 perguruan tinggi negeri di Indonesia, semangat untuk kebaikan dengan para pakar di bidangnya,” tutur Yuliandre.

Ketergantungan penyiaran terhadap rating begitu tinggi, karenanya butuh referensi lain dalam membuat program maupun panduan pemirsa dalam menonton. Riset ini bertujuan menilai kualitas program siaran televisi sekaligus mendorong terwujudnya kualitas konten siaran. “Riset ini memberikan output pada situasi untuk memperbaiki kualitas yang cukup luas jika diartikan, bukan ajang menjudge siaran,” katanya.

Sebagai tahapan, Andre mengatakan, proses riset dibagi menjadi per ketegori dan klustering dengan ragam program siaran. Diantarannya kategori program berita, talkshow berita, infotainmen, Variety Show, Sinetron, Wisata Budaya, Tayangan Anak, Religi dan Talk Show Non Berita. “Ketika informan berkumpul dan melakukan penilaian, FGD ini menjadi kunci dari penilaian para akademisi,” kata Andre.

Sampel tayangan bersumber dari 15 stasiun televisi berjarngan dalam periode selama 3 bulan. Dari 9 kategori terdapat sampel program televisi yang akan dianalisis dan diberikan nilai oleh informan. Dalam memberi penilaian harus ada kesesuaian antara skoring dengan alasan informan memberi penilaian.

“Jangan sampai ada skor dan pernyataan itu berbeda, kami turunkan dari sebuah kualitas antara skor dan pernyataan dengan hasil yang menyatakan kualitas atau tidak berkualitas. Selain itu, ada pendalaman analisis pernyataan sangat penting keran riset yang fokus pada penilaian kualitas siaran TV,” jelas Andre. 

Andre menegaskan, instrumen menilai kualitas konten televisi, rekomendasi bagi lembaga penyiaran dalam memperbaiki kualitas konten sebagai salah satu basis data akademisi dalam melakukan kajian penelitian maupun pengawalan terhadap isi siaran televisi. “Ini penting sebagai instrumen bagi civil society maupun komunitas pemantau penyiaran dalam mendorong perbaikan konten siaran televisi. Salah satu referensi bagi masyarakat dalam memilih siaran yang baik dan berkualitas,” tutup Andre. */Man

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memutuskan memberi sanksi administratif berupa teguran tertulis kepada program siaran “Status Selebritis” di SCTV. Program acara infotainmen ini kedapatan melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Pelanggaran ditemukan pada tayangan “Status Selebritis” tanggal 02 Februari 2021 pukul 07.25 WIB. Demikian ditegaskan KPI dalam surat teguran yang telah dilayangkan ke SCTV, 17 Februari 2021 lalu. 

Adapun bentuk pelanggaran berupa tayangan video yang bersumber dari instagram @manaberita yang berisi informasi tentang kehidupan pribadi seseorang (suami mempergoki istrinya selingkuh dengan seorang pria yang diduga oknum lurah). Pada tayangan itu terdapat juga rekaman video amatir yang ditampilkan secara berulang-ulang peristiwa suami melabrak dan meluapkan kemarahannya kepada pasangan tersebut.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan tampilan video tersebut telah melanggar 8 (delapan) Pasal dalam P3SPS sekaligus tidak mengindahkan Surat Edaran KPI Nomor 591/K/KPI/31.2/12/2019 tertanggal 17 Desember 2019 tentang Program Siaran Infotainment di Lembaga Penyiaran Televisi. “Kami menilai tayangan video tersebut tidak memperhatikan penghormatan terhadap hak privasi seseorang sekaligus perlindungan terhadap anak dan remaja dalam siaran. Padahal acuan ini telah diatur tegas dalam P3SPS KPI,” tegasnya, Rabu (24/2/2021).

Menurut Mulyo, pihaknya tidak akan mentolerir segala bentuk siaran yang mengekspose persoalan atau masalah pribadi orang dalam semua mata acara. “Tayangan seperti ini rendah kadar kemanfaatannya. Memang dapat memberi pelajaran tentang kehidupan berrumah tangga. Tetapi visual yang dimunculkan justru membuka kemungkinan dampak baru di masyarakat. Belum lagi kalau yang menontonnya anak-anak dan remaja, ini akan memberi pengaruh yang tidak baik bagi mereka,” kata Komisioner bidang Isi Siaran ini.

Ia meminta kepada SCTV dan seluruh lembaga penyiaran untuk lebih jeli, teliti dan berhati-hati sebelum menayangkan sebuah informasi ataupun video terlebih jika itu viral di masyarakat. “Tidak semua hal yang viral di media sosial mesti masuk ke dalam ruang siaran. Televisi saat ini banyak yang terlalu ceroboh mengambil muatan viral di media sosial demi sesuatu yang sensasional agar ditonton. Mestinya dilihat dan dipertimbangkan apa dampak dan  manfaatnya bagi masyarakat. Bagaimana pun televisi sebagai ruang publik ini harus dimanfaatkan sebesar-besar untuk kepentingan masyarakat lewat informasi dan siaran yang baik serta berkualitas,” tandas Mulyo. ***

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memutuskan memberi sanksi teguran tertulis untuk program siaran asing stasiun televisi RTV, Kamis (11/2/2021) pekan lalu. Teguran ini diberikan karena durasi waktu siar program siaran asing RTV melebihi batasan atau durasi waktu yang telah ditentukan. 

Dalam Undang-Undang No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran, durasi siaran untuk mata acara asing secara keseluruhan maksimum hanya 40% dari waktu siaran dalam sehari. 

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo mengatakan, pihaknya telah menghitung secara rinci seluruh siaran mata acara asing di semua TV dalam satu hari. Hasil dari pantauan antara tanggal 1 hingga 14 Januari 2021, KPI menemukan waktu siaran asing di RTV telah melewati batasan maksimal yang telah diatur dalam pedoman penyiaran dan UU Penyiaran. 

“Analisis pemantauan kami mencatat seluruh aktivitas siaran di lembaga penyiaran 24 jam penuh termasuk durasi siaran program acara asing. Dari pantauan itu, ditemukan siaran asing RTV telah melewati batas maksimum. Ini jelas telah melanggar UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 36 ayat (2) yang menyatakan bahwa isi siaran dari jasa penyiaran televisi yang diselenggarakan Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri,” jelasnya, Selasa (16/2/2021).  

Selain itu, kata Mulyo, lembaga penyiaran yang ingin menayangkan mata acara asing harus juga memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45 Ayat (1), di Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) KPI. “Kapatuhan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di antaranya UU Penyiaran dan P3SPS KPI terkait penyiaran asing harus dijalankan. Aturan itu telah menetapkan porsi setiap program acara, baik asing maupun lokal. Mestinya seluruh lembaga penyiaran dan khususnya RTV mengikutinya,” katanya.

KPI telah meminta klarifikasi dari RTV terkait temuan pelanggaran kelebihan durasi waktu program siaran asing dalam tayangannya pada 4 Februari 2021 lalu. Dalam kesempatan itu, mereka menyampaikan sejumlah alasan penyebab siaran asing mereka melebihi batasan.

Sebelumnya, KPI telah menjatuhkan sanksi teguran tertulis untuk stasiun televisi ANTV terkait siaran mata acara asing. Berdasarkan catatan KPI, siaran asing di ANTV telah melebih batasan yang diatur dalam UU Penyiaran dan P3SPS. “Kami akan memperlakukan hal yang sama jika ditemukan adanya kelebihan siaran asing di setiap lembaga penyiaran,” tegas Mulyo. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.