Jakarta - Anggota Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyahri, mengatakan bahwa efek buruk dari penggunaan internet perlu diwaspadai, terutama efek kecanduan gadget pada anak. Hal ini disampaikannya dalam webinar Seminar Merajut Nusantara dengan tema “Mengatasi Dilema Efek Buruk Kecanduan Gadget dan Pembelajaran di Era Digital”, Sabtu (13/2/2021).

"Para orang tua harus menegakkan prinsip disiplin dan memberikan contoh untuk membatasi dirinya dengan gadget. Masyarakat di lingkungan tempat tinggal anak juga harus memiliki empati dalam penggunaan gadget, gerakan membatasi anak dalam menggunakan telepon pintar ini jangan sampai kehilangan keceriaan sosisalisai dan interaksi secara langsung,“ lanjutnya.

Menurut Abdul Kharis, untuk mewujudkan hal itu perlu diciptakan intergrasi antara orangtua dan pemerintah serta lembaga pendidikan untuk memberikan perhatian agar tidak terjadi kecanduan gadget terhadap anak.

Dalam seminar yang sama, Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, menyatakan lebih satu tahun Indonesia menyelenggarakan pembelajaran secara daring. Menurutnya, hal ini membuat anak jadi lebih lama berinteraksi dengan gadgetnya. 

“Dan itu bukan hanya sekedar bermain mencari hiburan, tapi untuk tuntutan pendidikan karena sekolah yang diadakan via daring. Dirjen Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI mengatakan bahwa pada tahun 2020, sudah 218 ribu sekolah melaksanakan belajar daring,” kata Andre, panggilan akrabnya.

Berdasarkan catatan WHO, saat ini ditemukan penyakit gangguan jiwa baru pada anak yang dinamakan dengan Screen Depedency Disorder (SDD). Peneliti di Amerika menyatakan aliran saraf seseorang yang mengakses gadgetnya terlalu banyak cenderung memiliki kesamaan aliran saraf dengan seseorang yang kecanduan narkoba.

“Hal ini tentu perlu menjadi perhatian bagi negara dan orangtua, bagaimana kondisi psikis anak, jangan sampai kecanduan gadget karena sekolah pun sekarang diselenggarakan via online,” kata Budi Lestari, Psikolog Klinis, dalam webinar tersebut. 

Terkait hal itu, lanjut Budi, perlu ada penguatan dan edukasi digital dari orang tua dengan situasi pembelajaran jarak jauh ini. Menurutnya, orang tua harus bisa jadi guru untuk anaknya. “Menjadi pendidik untuk anak bukan hanya mengajar tapi harus mendampingi dan membimbing keahlian anak ketika proses belajar di rumah dan mengontrol penggunaan gadgetnya,” katanya. 

Kasus kecanduan gadget pada anak mulai marak terjadi di Indonesia sejak 2019. Setidaknya, di akhir tahun itu, terkonfirmasi di sejumlah Rumah Sakit Jiwa di Jawa Barat, Solo, Bekasi, Semarang dan Bogor telah menangani puluhan pasien anak berusia 11-16 tahun yang menderita gangguan jiwa akibat kecanduan gadget dan game online. Mereka harus menjalain terapi di rumah sakit tersebut.

“Tidak hanya orangtua, tentu negara juga harus memikirkan hal ini. Di beberapa negara seperti Uni Eropa, Amerika, dan Australia, aturan ketat mengenai perilaku anak di dunia digital sudah ada. Di Indonesia, melalui Kominfo sudah mengusulkan rancangan undang-undang data pribadi atau RUU PDP mengenai pembatasan usia penggunaan media sosial menjadi minimal 17 tahun. Hal ini merupakan langkah yang baik dan semoga RUU ini segera disahkan oleh DPR,” tutup Yuliandre. */Bia

 

 

 

Jakarta – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Agung Suprio, menyampaikan terima kasih atas respon dari masyarakat terkait kebijakan protokol kesehatan di televisi. Pada dasarnya, ujar Agung, kebijakan yang diambil KPI merupakan bentuk dukungan atas usaha pemerintah dalam menanggulangi pandemi di negeri ini. Ini juga merupakan bentuk kontribusi KPI sebagai regulator penyiaran, dalam usaha bersama seluruh komponen anak bangsa menekan laju penyebaran virus yang hingga saat ini telah tembus di angka 1 juta penduduk yang terinfeksi. Hal tersebut disampaikan Agung, menjawab masukan publik terhadap kebijakan protokol kesehatan di lembaga penyiaran yang ditetapkan KPI. 

Kebijakan KPI dalam melibatkan lembaga penyiaran dalam kampanye penanggulangan laju Covid-19 melalui penerapan protokol Kesehatan, sejak awal telah menuai pro dan kontra, ujarnya. Namun, KPI dan Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 menyadari posisi lembaga penyiaran yang sangat vital sebagai media pencegahan. Pertama karena alasan jangkauan siaran televisi dan radio yang hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Kedua, karena sosok figur publik yang menjadi pengisi acara di televisi dan radio. Satgas Covid-19 dan KPI sangat menyadari betul, popularitas dan kekuatan para pesohor pada para pengikutnya. Maka dari merekalah pesan protokol itu diharapkan dapat tersampaikan, sekaligus memberi contoh bagi publik atas ketaatan mereka mematuhi protokol kesehatan. KPI juga menyadari ada kesulitan yang dirasakan dalam implementasi kebijakan ini. “Termasuk adanya kesan bias atas kebijakan tersebut pada program-program yang lain,” ujar Agung. Di satu sisi, untuk produksi sinetron, KPI telah meminta agar dilakukan penyesuaian dalam pembuatan adegan. 

Dalam konteks penerapan protokol kesehatan, ada otoritas Satgas Covid-19 yang lebih memahami kondisi terkini dan kondisi darurat yang harus ditanggulangi. Dalam rapat koordinasi antara KPI, Satgas Covid-19 dan lembaga penyiaran, penegakan protokol kesehatan juga bertujuan untuk memberikan perlindungan pada pelaku industri penyiaran. Penggunaan masker misalnya, adalah sebuah kebijakan yang didasari pada kajian dari Satgas Covid-19. Masker ini tidak dapat digantikan dengan hanya menggunakan face shield sebagai pelindung wajah belaka. “Jika memang hendak mengenakan face shield, harus dilengkapi dengan pemakaian masker,” tuturnya. Selain merupakan usaha untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19 pada lokasi pengambilan gambar, juga menjadi bentuk edukasi kepada publik untuk tetap disiplin mengenakan masker saat berinteraksi dengan orang lain.

Penyiaran bukanlah sebuah ruang hampa yang lepas dari realitas khalayak dan masyarakat di sekitarnya. Justru penyiaran merupakan medium yang saling menghubungkan antar khalayak. Adanya tuntutan untuk memberikan kelonggaran atas protokol kesehatan di televisi dan radio justru akan menjadikan penyiaran semakin asing dari khalayaknya sendiri. Saat pengetatan dan pembatasan sosial kembali ditingkatkan lewat aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tentu tidak ada alasan untuk mengendorkannya pada tampilan televisi. 

Agung menegaskan, KPI tentu sangat terbuka dengan adanya masukan dan kritik dari masyarakat ini. Termasuk juga tuntutan perlakuan yang adil pada seluruh program siaran di televisi dan radio. “Kami menyadari, di tengah imbauan masyarakat untuk beraktivitas dari rumah, siaran televisi menjadi salah satu alternatif hiburan banyak dinikmati masyarakat,” ujarnya. Tayangan berkualitas harus terjaga bahkan harus ditingkatkan dan terus meminimalisir kemungkinan dampak negatif yang timbul. KPI juga terus mencari solusi terbaik dan adil untuk pengutamaan protokol kesehatan di televisi. Ketika tayangan TV terlihat mengabaikan protokol kesehatan tentu KPI dituding melakukan pembiaran, namun saat melakukan penegakan kebijakan protokol kesehatan KPI juga mendapatk kritikan. Sebagai lembaga yang merupakan representasi publik, tentunya KPI sangat siap dan menjadikan kritik sebagai masukan sambil mencari solusi yang baik agar semua pihak menjadi nyaman, aman, dan tenang di rumah hingga pandemi ini terkendali dan teratasi. Kritik adalah bukti bahwa masyarakat peduli dan selalu memberikan koreksi dan menginginkan tayangan berkualitas. “KPI akan segera berkoordinasi dengan segenap pemangku kepentingan penyiaran serta Satgas Covid-19, untuk mengambil langkah paling baik,” ungkapnya. Kami tetap berkeyakinan, kiprah televisi dan radio sangat besar dalam menjaga bangsa ini dari pandemi. Baik itu lewat sosialisasi dan literasi Covid-19, ataupun lewat program siaran yang mengedukasi secara langsung atau pun tidak, agar masyarakat ikut serta berperan aktif menuntaskan pandemi di negeri ini, pungkas Agung.

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat untuk segera melakukan pembenahan terhadap infrastruktur RRI di Mamuju Sulawesi Barat (Sulbar) yang rusak parah akibat gempa bumi sebulan lalu. Hingga saat ini, siaran RRI Mamuju belum dapat beroperasi secara normal dari yang sebelumnya bersiaran 5000 watt.

“Saat ini, RRI Mamuju hanya dapat bersiaran dengan kekuatan 100 watt saja. Jadi yang dapat tercover hanya kota Mamuju saja. Daerah di luar itu belum dapat menerima siaran RRI,” kata Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, dalam kesempatan siaran di RRI Mamuju, Kamis (11/2/2021).

Reza menambahkan, keberadaan RRI di wilayah bencana seperti Mamuju sangat tepat. Menurutnya, saat ini, masyarakat di Sulbar membutuhkan informasi yang cepat, akurat serta terpercaya, khususnya terkait bencana. 

“Saya berharap agar RRI menjadi sentral informasi penanganan bencana dan juga sebagai media peringatan dini bencana. Nantinya, siaran RRI dibantu relai oleh radio lain. Saat bencana kita butuh bergandengan tangan, agar masyarakat tidak mendapatkan informasi bohong atau tidak benar,” jelas Reza yang pada saat lawatan tersebut didampingi Ketua KPID Sulbar, April Azhari Hardi, Ketua KPID Sulsel, Hasrul Hasan dan Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran sekaligus Komisioner KPID Sulsel, Riswansyah Muchsin.

Dalam kesempatan itu, Reza mendorong KPID Sulbar untuk mengkoordinir seluruh lembaga penyiaran khususnya radio untuk bekerjasama dengan RRI dan menjadikannya sebagai radio utama yang siarannya direlai oleh radio-radio swasta atau publik lainnya di Sulawesi Barat untuk informasi tentang bencana.

“Kita harus saling bahu membahu, baik itu dengan Pemerintah, KPID dan lembaga penyiaran, untuk informasi yang bermanfaat bagi masyarakat,” ujar Echa, panggilan akrabnya.

Selain itu, Koordinator bidang PS2P KPI Pusat ini, menyarankan KPID bekerjasama dengan semua pihak atau stakeholder terkait untuk membuat program hiburan bagi masyarakat terdampak bencana. “Programnya dalam bentuk hiburan untuk untuk trauma healing bagi masyrakat khususnya anak-anak yang menjadi korban bencana tempo lalu. Siaran program ini bisa juga melalui radio,” tutupnya. *** 

 

 

Jakarta - Pandemi yang melanda dunia akibat Corona Virus Disease-19 (Covid-19) telah mengharuskan masyarakat melakukan adaptasi kebiasaan baru guna menekan jumlah penyebaran virus tersebut. Selain menetapkan protokol kesehatan yakni mencuci tangan, menjaga jarak dan mengenakan masker (3M), pemerintah Indonesia juga membuat berbagai batasan sosial guna mengurangi mobilitas penduduk. Yakni dengan menetapkan kebijakan bekerja, belajar dan beribadah dari rumah. 

Dalam rangka mendukung pemerintah menanggulangi wabah Covid-19, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait penyelenggaraan penyiaran, khususnya di televisi. Wakil Ketua KPI Mulyo Hadi Purnomo mengatakan, kebijakan ini diambil mengingat televisi masih menjadi media dengan jangkauan penonton paling banyak dan memiliki daya duplikasi yang tinggi pada masyarakat. Karenanya dalam setiap program yang disiarkan kepada masyarakat, ketaatan terhadap protokol kesehatan merupakan sebuah keharusan. Mulyo juga mengungkap, kedisiplinan lembaga penyiaran terhadap protokol kesehatan menjadi perhatian penting dari berbagai pemangku kepentingan yang menangani penanggulangan Covid-19. Penegakan protokol kesehatan tidak akan efektif jika di televisi masih menyiarkan perilaku abai terhadap kewajiban mengenakan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Hal ini disampaikan Mulyo dalam rangka publikasi hasil evaluasi kepatuhan televisi terhadap protokol kesehatan dalam penyelenggaraan penyiaran di masa pandemi Covid-19 periode Januari 2021, di kantor KPI Pusat (11/02). 

Sebagai regulator penyiaran yang bertugas mengatur dan mengawasi setiap konten siaran, KPI telah menerbitkan kebijakan untuk menyiarkan sosialisasi pencegahan penyebaran Covid-19 baik melalui Iklan Layanan Masyarakat (ILM) atau pun program lainnya oleh televisi dan radio. KPI juga mengeluarkan Keputusan KPI (KKPI) nomor 12 tahun 2020 tentang Dukungan Lembaga Penyiaran dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Persebaran Covid-19.  Berdasarkan KKPI tersebut, KPI menetapkan 7 (tujuh) hal yang menjadi parameter kepatuhan program siaran dalam menjalankan protokol kesehatan, yakni sebagai berikut: 

1. Jaga jarak 1-2 meter;

2. menggunakan masker dan/atau pelindung wajah;

3. tidak melakukan adegan kontak fisik;

4. menayangkan Video Tapping (rekaman) atau penyematan informasi bahwa sebelum siaran dimulai lembaga penyiaran telah melakukan sterilisasi ruangan, peralatan dan perlengkapan shooting serta protokol kesehatan bagi para kru, talen, pembawa acara, maupun narasumber;

5. menghadirkan orang di dalam studio dengan tidak melebihi 25% dari kapasitas ruangan;

6. visualisasi adegan news anchor membuka masker pada saat memulai membaca berita dan mengakhirinya dengan menutup masker.

Sepanjang Januari 2021, KPI menemukan 37 tayangan televisi yang diduga melanggar protokol kesehatan yang bersumber dari 11 stasiun televisi. Sebanyak 36 tayangan berasal dari hasil tim pemantauan isi siaran, sedangkan 1 tayangan berasal dari pengaduan publik yang disampaikan ke KPI dan telah diverifikasi. Dari 37 tayangan ini, pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan didominasi dengan tidak mengenakan masker dan pelindung wajah, selain itu didapati juga tayangan yang tidak memperhatikan jarak fisik atau social distancing. 

Tayangan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan ini didominasi oleh program hiburan seperti variety show. Namun demikian, KPI juga mencatat program lain yang turut melakukan pelanggaran seperti program religi dan talkshow. Mulyo menekankan, evaluasi KPI atas kepatuhan terhadap dukungan lembaga penyiaran dalam upaya pencegahan dan penanggulangan persebaran Covid-19, tidak termasuk pada program siaran film, sinetron dan tayangan yang disiarkan ulang (re-run) yang diproduksi sebelum pandemi Covid-19. Atas temuan potensi pelanggaran ini, KPI akan menindaklanjuti dalam Rapat Pleno Penjatuhan Sanksi yang secara regular dilakukan. “ Nanti, Rapat Pleno akan memutuskan jenis sanksi yang dijatuhkan pada masing-masing program siaran yang terbukti melakukan pelanggaran,“ ujarnya. 

Dengan publikasi atas temuan tayangan dengan potensi pelanggaran ini, tambahnya, kami berharap masyarakat mengetahui lembaga penyiaran yang lalai dalam menjalankan protokol kesehatan pada setiap program siaran yang ditayangkan. Selain itu, publikasi ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi lembaga penyiaran dalam mengelola penyelenggaraan penyiaran yang selaras dengan usaha menuntaskan penyebaran pandemi di negeri ini. Usaha menuntaskan pandemi ini butuh kerja sama segenap pihak, termasuk penyelenggara penyiaran yang senantiasa menghadirkan program yang menjadi contoh dan dengan mudah ditiru oleh publik, pungkas Mulyo.

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai kebebasan pers saat ini harus diikuti dengan modernisasi regulasi media yang ada. Jika ini terwujud, persoalan celah hukum dan ketidakadilan pengawasan seperti antara media konvensional dan media baru, akan larut. 

Pendapat tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, saat menjadi narasumber acara “Ngobrol Bareng” secara daring yang diselenggarakan Universitas Dian Nusantara dengan tema “Hambatan Pers dalam Demokrasi di Indonesia”, Rabu (10/2/2021).  

Salah satu aturan yang menurut Agung harus direvisi secepatnya adalah Undang-undang No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Menurutnya, aturan dalam UU Penyiaran tidak dapat menyentuh dan mengatur media baru karena target utamanya (kewenangan) hanya mengawasi media penyiaran (TV dan radio). 

Ketidakmampuan ini, lanjut Agung, membuat industri penyiaran protes atas perlakuan yang tidak sama tersebut. “Ada sejumlah media penyiaran yang akhirnya melakukan judicial review  terhadap UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi terkait aturan pengawasan terhadap media baru. Sayangnya, hal itu ditolak oleh Mahkamah Konsitutusi karena UU Penyiaran hanya diamanatkan mengawasi media penyiaran,” jelasnya.

Jika dikaitkan dengan kebebasan pers yang dijalani oleh dua media tersebut, hal ini jelas timpang. Media penyiaran, ujar Agung, semua tindak tanduknya diawasi oleh UU. Penerapan kebebasan persnya pun ada dalam batasan tersebut. Adapun media baru, yang tidak memiliki payung regulasi, jelas terasa lebih bebas. 

“Padahal jika kita pahami, kebebasan itu harus bertanggungjawab, jika tidak akan anarkis. Oleh karenanya, kebebasan harus diatur tapi tidak untuk mematikannya. Sekarang ini, fungsi pers itu tidak hanya di media cetak ataupun media penyiaran, tapi juga media baru. Di dalam UU Penyiaran kebebasan juga diatur termasuk soal jurnalistik. Kebebasan itu diatur agar ada tanggung jawab pers terhadap masyarakat,” papar Agung.  

Selain soal pengawasan media baru, kata Agung, urgensi dari perubahan UU ini adalah soal masih banyaknya kesulitan KPI dalam menindak berbagai kesalahan siaran. Misalnya dalam menindak pelanggaran siaran kampanye yang tidak diatur dalam UU Penyiaran sekarang. “Perubahan ini untuk menjawab banyak kesulitan yang dihadapi KPI dalam menegakkan peraturan yang masih terhambat oleh lemahnya UU Penyiaran tahun 2002,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Agung menilai lembaga penyiaran sudah taat terhadap aturan dan memahaminya. “Yang jadi masalah sekarang adalah media baru. Pasalnya, siapapun bisa jadi jurnalis ini yang kemudian harus ada semacam komitmen kita bersama untuk memberikan literasi dan pengaturan. Pengaturannya seperti apa, ini yang harus kita formulasikan,” ujarnya.

Pada diskusi itu, turut hadir Komisioner KPI Pusat Periode 2013-2016, Bekti Nugroho, Pimpinan Redaksi Metro TV, Arif Suditomo, dan Anggota Dewan Pers, Jamalul Insan. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.