- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 12141
Jakarta - Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis mengungkapkan, dalam konsep Undang-Undang Penyiaran tahun 2002, semangat KPI adalah ingin memiliki data mandiri yang mencakup aspek kualitas siaran sehingga dapat menjadi bahan yang dapat memperbaiki mutu kualitas isi siaran.
“Jika terjadi pelanggaran oleh lembaga penyiaran, Kami memberikan sanki dengan ukurannya Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Inilah yang dijadikan landasan KPI dan mengukur kualitas siaran televisi,” kata Yuliandre saat menjadi pemateri acara diskusi berbasis daring yang diselenggarakan oleh Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia dengan tema “Konsep, Metedologi dan Mekanisme Penyusunan Indeks Kualitas Program Siaran Televisi,” di Jakarta, Selasa (23/2/2021).
Dalam hal ini, Pria yang akrab disapa Andre itu menegaskan, metode penelitian yang digunakan KPI harus mencapai tujuan dan fungsi KPI terhadap media penyiaran yakni bagaimana memperkukuh integrasi nasional. Menurut dia, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa menjadi tujuan utama dalam penyelenggaraan Riset Indeks Kualitas Siaran Televisi.
“Hal ini menjadi perspektif umum. Jika kita bicara kualitas, kita butuh untuk menterjemahkan sebuah perspektif di industri penyiaran. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka membangun masyarakat mandiri adalah prioritas utama sehingga tercipta sebuah sistem yang demokratis, adil dan sejahtera serta menumbuhkan industri penyiaran yang sehat,” tegasnya.
Ketua Dewan Pakar Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Pusat ini menyatakan, KPI mendorong penelitian ini masuk dalam program prioritas nasional. “Saat ini, KPI sudah bekerja sama dengan 12 perguruan tinggi negeri di Indonesia, semangat untuk kebaikan dengan para pakar di bidangnya,” tutur Yuliandre.
Ketergantungan penyiaran terhadap rating begitu tinggi, karenanya butuh referensi lain dalam membuat program maupun panduan pemirsa dalam menonton. Riset ini bertujuan menilai kualitas program siaran televisi sekaligus mendorong terwujudnya kualitas konten siaran. “Riset ini memberikan output pada situasi untuk memperbaiki kualitas yang cukup luas jika diartikan, bukan ajang menjudge siaran,” katanya.
Sebagai tahapan, Andre mengatakan, proses riset dibagi menjadi per ketegori dan klustering dengan ragam program siaran. Diantarannya kategori program berita, talkshow berita, infotainmen, Variety Show, Sinetron, Wisata Budaya, Tayangan Anak, Religi dan Talk Show Non Berita. “Ketika informan berkumpul dan melakukan penilaian, FGD ini menjadi kunci dari penilaian para akademisi,” kata Andre.
Sampel tayangan bersumber dari 15 stasiun televisi berjarngan dalam periode selama 3 bulan. Dari 9 kategori terdapat sampel program televisi yang akan dianalisis dan diberikan nilai oleh informan. Dalam memberi penilaian harus ada kesesuaian antara skoring dengan alasan informan memberi penilaian.
“Jangan sampai ada skor dan pernyataan itu berbeda, kami turunkan dari sebuah kualitas antara skor dan pernyataan dengan hasil yang menyatakan kualitas atau tidak berkualitas. Selain itu, ada pendalaman analisis pernyataan sangat penting keran riset yang fokus pada penilaian kualitas siaran TV,” jelas Andre.
Andre menegaskan, instrumen menilai kualitas konten televisi, rekomendasi bagi lembaga penyiaran dalam memperbaiki kualitas konten sebagai salah satu basis data akademisi dalam melakukan kajian penelitian maupun pengawalan terhadap isi siaran televisi. “Ini penting sebagai instrumen bagi civil society maupun komunitas pemantau penyiaran dalam mendorong perbaikan konten siaran televisi. Salah satu referensi bagi masyarakat dalam memilih siaran yang baik dan berkualitas,” tutup Andre. */Man