- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 1468
Surakarta - Perubahan aturan dan regulasi penyiaran sudah mendesak untuk segera disahkan untuk dijadikan panduan bagi setiap aktivitas siaran di Indonesia. Iklim penyiaran saat ini sudah bergerak menuju liberalisasi yang sangat kuat, salah satunya dikarenakan dunia yang semakin borderless yakni tanpa batas dan sekat geografis. Atas dasar itu juga, rancangan undang-undang yang sudah disusun Komisi I DPR RI, dapat segera berproses agar penetapannya sebagai undang-undang tidak terhambat lagi. Hal ini disampaikan Abdul Kharis Almasyhari, Wakil Ketua Komisi I DPR RI saat menjadi pembicara kunci kegiatan “Diseminasi Regulasi Siaran Religi di Televisi Kontemporer” yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), (13/11).
Kharis mengungkap, dalam draf RUU yang disusun Komisi I DPR, aturan terkait penyiaran akan melingkupi aktivitas siaran di seluruh media, baik itu media mainstream atau pun media dengan platform internet seperti Over The Top. Titik tekan dari RUU ini, ungkapnya, menghadirkan iklim penyiaran yang berkarakter Pancasila, yang merupakan ideologi bangsa ini. Harapannya, regulasi ini dapat menjauhkan hal-hal negatif dari generasi muda, yang hadir sebagai residu dari konten siaran. “Kami berharap, undang-undang ini lebih mampu mengantisipasi isi siaran yang hadir lewat platform mana pun juga,” tegasnya.
Kegiatan diseminasi yang dihadiri oleh mahasiswa UMS, membahas konten siaran religi di televisi dalam berbagai perspektif. Hadir sebagai narasumber pada kegiatan tersebut, Gun Gun Heryanto selaku Pengamat Media, M Aulia Asy Syahidin selaku Ketua KPID Jawa Tengah, Agus Triyono selaku akademisi, Amin Shabana selaku anggota KPI Pusat dan penanggungjawab Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV) dan Mimah Susanti selaku anggota KPI Pusat bidang Kelembagaan. Adapun sambutan dan pembukaan acara disampaikan oleh I Made Sunarsa selaku koordinator bidang kelembagaan KPI Pusat.
Dalam IKPSTV, program siaran religi tercatat selalu sebagai salah satu program yang mendapat nilai berkualitas. Meskipun ada fluktuasi nilai, ungkap Amin, secara umum program religi masih aman. Peningkatan yang diharapkan pada kategori ini adalah pertimbangan aspke kepentingan publik dan mengedepankan toleransi antar umat beragama. KPI sendiri, ujar Amin, sudah menerbitkan buku tentang religositas di layar kaca. Secara garis besar buku ini meliputi model siaran religi yang muncul di televisi dan juga perkembangan siaran da’wah di televisi.
Sementara itu, Mimah Susanti memaparkan tentang potret siaran religi di Indonesia, termasuk model program siaran religi yang dikemas sedemikian rupa oleh lembaga penyiaran. Mimah juga menggarisbawahi beberapa aturan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) tentang siaran keagamaan. “Diantaranya tidak boleh mempertentangkan ajaran dari masing-masing agama,” ungkapnya. Dalam melakukan pengawasan konten siaran, KPI selalu terbuka dengan aduan yang disampaikan masyarakat, termasuk untuk konten agama.
Menyambung yang disampaikan Mimah, Ketua KPID Jawa Tengah Aulia Asy Syahidin menyampaikan bahwa pihaknya pernah didatangi oleh kelompok guru yang keberatan dengan siaran keagamaan dari salah satu televisi lokal di Jawa Tengah. Dalam mediasi yang dilakukan KPID atas aduan tersebut, pihaknya menjelaskan pada pengelola televisi tentang kewajiban yang harus ditaati lembaga penyiaran dalam penyelenggaran siaran. Pada prinsipnya, KPI tidak berwenang mengintervensi keyakinan setiap kelompok masyarakat, ujarnya. Namun ada aturan yang telah ditetapkan negara dalam pengelolaan konten siaran di televidi dan radio, yang harus ditaati.
Catatan penting juga disampaikan oleh Gun Gun Heryanto selaku pengamat media dan juga akademisi dari Uniersitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Harus disadari tentang identitas Indonesia sebagai salah satu negara muslim terbesar, yang sejatinya adalah beragam. “Keberadaan muslim moderat di negeri ini harus dianggap sebagai sebuah kelebihan dan Indonesia adalah laboratorium sosial soal penghormatan terhadap perbedaan tersebut,” ujar Dekan Fakultas Dakwah di UIN Syarif Hidayatullah ini. Untuk itu, konten religi yang hadir di medium penyiaran juga sejatinya memberikan penghormatan atas keragaman tersebut.