Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memutuskan menjatuhkan sanksi administratif berupa teguran pertama untuk program siaran “Samudra Cinta” SCTV. Program acara sinetron ini telah melanggar aturan tentang norma kesopanan dan kesusilaan yang terdapat dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012.

Demikian ditegaskan KPI Pusat dalam surat teguran tertulis untuk program tersebut yang dilayangkan pada 30 September 2020 lalu. Adapun adegan yang melanggar terdapat pada tayangan “Samudra Cinta” tanggal 24 September 2020 pukul 19.43 WIB berupa tampilan seorang pria dan wanita di atas ranjang dalam posisi bertindihan dan berguling saling berganti posisi.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan adegan seperti itu dinilai tidak pantas ditampilkan pada jam yang semestinya ramah anak karena bertentangan dengan norma kesopanan dan kesusilaan yang ada dalam aturan KPI dan juga masyarakat. Meskipun dalam tayangan tersebut digambarkan sebagai pasangan suami istri dan keduanya dalam busana lengkap, adegan keromantisan seperti itu rawan ditiru oleh anak. 

“Kami menilai adegan tersebut memberikan pengalaman visual yang tidak baik. Adegan demikian juga tidak memperhatikan kepentingan anak. Anak masih rentan peniruan. Dalam klasifikasi R atau remaja, tayangan mestinya sensitif terhadap kepentingan tumbuh kembang anak. Memperhatikan kemungkinan anak juga ikut menonton. Karena itu, kami menyatakan sinetron Samudra Cinta telah melanggar aturan dan patut mendapatkan sanksi,” tegas Mulyo, Rabu (7/10/2020).

Menurut Komisioner bidang Isi Siaran ini, hal penting yang patut diperhatikan lembaga penyiaran pada setiap tayangan berklasifikasi R atau remaja adalah jeli dan berhati-hati terhadap isi tayanganya. Jangan sampai isinya mengandung unsur-unsur yang justru tidak sesuai dengan perkembangan psikologis remaja atau bahkan anak-anak.

“Mestinya tayangan sinetron berklasifikasi R ini mengandung cerita-cerita yang ada nilai edukasinya, budi pekerti, nilai sosial dan budaya, serta membangun remaja ke arah yang positif dan bukan sebaliknya. Hal ini tidak hanya saya mintakan kepada SCTV tapi juga seluruh pembuat konten cerita sinetron di tanah air. Mari kita membangun masa depan generasi kita dengan tontonan dan cerita yang berkualitas, edukatif serta solutif,” katanya.

Mulyo juga menyampaikan, KPI menerima banyak pengaduan dari masyarakat atas adegan dalam sinetron “Samudra Cinta” SCTV. Terkait aduan itu, KPI menyampaikan apresiasi dan terimakasih atas pengawasan yang dilakukan masyarakat terhadap siaran. Hal ini menunjukan masyarakat telah memiliki kesadaran tinggi dan kepedulian terhadap isi siaran yang baik dan berkualitas.

“Saya sangat menghargai hal ini dan berharap masyarakat dapat terus memberikan pengamatan kritisnya terhadap isi siaran ke KPI. Mesti menjadi perhatian juga kepada lembaga penyiaran bahwa masyarakat kita punya kepedulian dan kekritisan dalam menerima siaran. Maka, harus dipastikan isi siarannya aman dan bermanfaat,” tandasnya. ***

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Film (LSF) menandatangani perpanjangan nota kesepahaman bersama atau memorandum of understanding (MoU) tentang pengawasan isi siaran, Kamis (8/10/2020). Ketua KPI Pusat, Agung Suprio dan Ketua LSF, Romy Fibri, menandatangani langsung perjanjian kerjasama tersebut.  

Dalam sambutannya, Agung Suprio, mengatakan kerjasama ini akan menitikberatkan pada penyamaan pandangan dalam menyelesaikan persoalan siaran film dan iklan di lembaga penyiaran. Apalagi saat ini, LSF mencoba paradigma baru dalam melakukan sensor.

“KPI dan LSF berada dalam rel yang sama. Semua punya teks kami buat kesepakatan agar tidak saling tumpang tindih. Saya punya masukan, agar memasukkan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai teks bersama. Jika ada sinteron yang bias gender maka bisa tidak lulus di LSF,” kata Agung.

Agung berharap kerjasama kedua lembaga ini dapat berjalan secara progresif dan mendapat dukungan dari lembaga terkait seperti DPR. “PR kita sekarang bagaimana membuat tayangan seperti sinteron yang ditangani KPI dan LSF dapat sesuai dengan regulasi,” tuturnya.

Ketua LSF, Romi Fibri, mengatakan jika KPI dan lembaganya memiliki kemiripan dalam tujuan menciptakan tayangan yang baik, berkualitas dan mendidik. Hal ini dapat dilihat dari program kegiatan yang dilakukan kedua seperti KPI dengan bicara siaran baik serta gerakan literasi yang populer di masyarakat.

“LSF juga punya program sejenis seperti budaya sensor mandiri yang intinya sama yakni KPI dan LSF menginginkan tayangan di televisi maupun di bioskop isinya sehat dan masyarakat paham menonton film yang baik dan benar,” katanya.

Menurut Romi, penonton dalam hal ini masyarakat harus mengerti dan paham tentang siaran atan film apa yang akan mereka konsumsi. “Kalau filmnya dijagain, kalau menonton tidak mengerti maka akan jadi PR bersama. Mohon bantuan teman lembaga penyiaran, mari bersama mengkampanyekan ini, yakni memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia,” pintanya. 

Dalam kesempatan itu, Romi menyampaikan alasan kenapa MOU ini dilakukan karena kepedulian dan ingin selaras dalam kebijakan. “Konsep dan kepedulian sama, agar bisa seiring sejalan. Tentu akan saling menghargai rujukannya. UU Perfilman dan KPI UU Penyiaran. Lembaga penyiaran tidak perlu khawatir karena kami tahu rule of the game nya seperti apa,” tandasnya.

Usai penandatanganan MoU, acara dilanjutkan dengan diskusi yang dihadiri sejumlah narasumber antara lain Anggia Erma Rini sebagai Ketua Fatayat NU, Lena Mariyana (Anggota DPR 2014-2019), Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti dan Irsal Ambia. ***/Foto: AR

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan melakukan tindakan tegas terhadap lembaga penyiaran yang tidak menjalani disiplin protokol kesehatan atau covid-19 dalam siarannya. Selain memberi rasa aman dalam bersiaran, kepatuhan untuk menjalankan protokol ini akan menjadi contoh yang baik bagi masyarakat. 

Demikian disampaikan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, sesuai acara media gathering dengan para Pemimpin Redaksi dari lembaga penyiaran yang diselenggarakan secara daring di Jakarta, Senin (5/10/2020).

“Kami akan memberikan sanksi tegas untuk lembaga penyiaran yang tidak menjalankan protokol kesehatan covid. Hal ini sangat penting selain untuk memastikan kerabat kerja dan host seluruh program siaran tidak terpapar virus mematikan ini, juga jadi contoh masyarakat,” ujar Agung.  

Dia mengatakan, pihaknya juga mendapat surat dari Kementerian Kesehatan (kemenkes) yang meminta KPI untuk memberikan teguran kepada lembaga penyiaran khsusnya TV yang melanggar protokol kesehatan. “Kami juga bertemu dengan Ketua BNPB dan Satgas Covid, Donny Monardo dan beliau menyatakan dalam perang dengan virus ini sangat berkaitan dengan perubahan perilaku masyarakat,” kata Agung. 

Menurut Agung, perubahan perilaku ini memerlukan tindakan sosialiasi kepada masyarakat dan ini paling efektif lewat media penyiaran khususnya televisi. “TV dapat menjadi ujung tombak dari penumpasan pandemi hingga ditemukannya vaksin. Sebelum vaksin ini ditemukan, maka TV jadi ujung tombak untuk merubah perilaku masyarakat terkait pandemi,” jelasnya.

Dalam pernyataan dalam acara tersebut, Agung mengatakan KPI akan membuat Surat Keputusan KPI terkait siaran pandemi. Dia berharap keputusan KPI ini dipatuhi lembaga penyiaran. “Dan pertemuan ini adalah salah satunya untuk meminta masukan dari lembaga penyiaran sebelum keputusan itu dibuat,” katanya.

Pentingnya penegakan protokol covid dalam siaran turut disampaikan Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo. Menurutnya, masih ada lembaga penyiaran yang tidak menjalankan protokok ini secara benar dalam siarannya. 

“Untuk televisi yang bersiaran jaringan mohon sikap tegas untuk tidak menayangkan acara yang cenderung abai terhadap protokol. Ini harus jadi perhatian karena jangkauan siaran jaringan sangat luas dan kami juga banyak menerima surat aduan mengenai tayangan yang abaik protokol,” tandas Mulyo di ujung acara tersebut. ***/Foto: Agung Rahmadiansyah

 

 

 

Jakarta -- Mengapa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak melakukan pencegahan atau kontrol di awal tayangan sebelum terjadinya pelanggaran siaran? Pertanyaan seperti ini banyak dilayangkan masyarakat ke kolom aduan atau secara langsung ke KPI. Lantas bagaimana KPI menjawab pertanyaan kritis tersebut.

Menanggapi hal itu, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, menjelaskan bahwa secara regulasi KPI tidak memiliki kewenangan melakukan kontrol pada konten yang akan disiarkan, melainkan mengawasi konten pada saat telah disiarkan.

“Kalau kami melakukan kontrol sebelum disiarkan, maka prinsip yang berlaku adalah semua dilarang, kecuali yang diperbolehkan. Ini berarti prinsip yang represif. Sekarang ini merupakan era kebebasan untuk berekspresi, sekaligus kebebasan untuk memilih konten siaran,” kata Hardly di acara webinar Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) bertajuk “Masih Adakah Sensor Penyiaran?”, Rabu (7/10/2020).

KPI merupakan wujud peran serta masyarakat dalam penyiaran. Salah satu fungsi KPI adalah melakukan pengawasan konten atau materi siaran di lembaga penyiaran. “Pengawasan siaran ini dilakukan oleh kami pada saat konten tersebut sedang berlangsung atau telah disiarkan,” jelas Hardly.

Dia menambahkan jika konsep melakukan pengawasan setelah disiarkan, sebagaimana amanat UU Penyiaran, maka yang berlaku adalah prinsip “semua diperbolehkan, kecuali yang dilarang”. Hardly mengartikannya jika kebebasan itu tetap ada batasan. 

“Agar kebebasan ekspresi dan kebebasan memilih itu tidak menimbulkan dampak negatif, sebaliknya bisa membawa kemanfaatan bagi khalayak secara luas, maka perlu rambu – rambu sebagai koridor regulasi, yang disebut Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS),” jelas Hardly.

Pedoman ini beberapa isinya mengatur tentang klasifikasi program dan jam siaran bagi kelompok umur (anak, remaja, semua umur dan dewasa), norma kesopanan, perlindungan anak, privasi, kekerasan, pemberitaan yang benar dan yang lain. 

Namun begitu, Hardly menegaskan, P3SPS bukanlah instrumen sensor. Menurutnya, di era kebebasan membuat dan memilih konten, instrumen sensor ada pada lembaga penyiaran dan seharusnya ada pula pada pemirsa itu sendiri. “Jadi saya tegaskan bahwa KPI tidak pernah melakukan sensor terhadap program acara apapun. Kewenangan melakukan sensor ada pada Lembaga Sensor Film (LSF). Ini yang harus diketahui masyarakat,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Hardly menyampaikan pentingnya literasi bagi masyarakat agar semakin banyak yang peduli dan berperan serta dalam meningkatkan kualitas program siaran, melalui aktivitas yang disebut Bicara Siaran Baik. 

Menurut Hardly, ada tiga aktivitas yang dapat dilakukan oleh pemirsa yakni pertama dengan senantiasa memilih program siaran yang baik dan bermanfaat. Kedua, melaporkan dengan menggunakan bahasa yang baik, jika menemukan program siaran yang dinilai dapat menimbulkan dampak yang buruk. Ketiga, mengapresiasi program siaran yang baik, dengan terus membicarakannya, menjadikannya sebagai referensi menonton, bahkan menviralkannya agar semakin banyak yang menonton.

Logika produksi konten pada industri penyiaran itu sederhana yaitu bagaimana mendapatkan penonton sebanyak-banyaknya. Karena penonton yang banyak akan berpotensi mendatangkan pemasukan iklan yang banyak pula, sehingga program siaran dapat terus diproduksi.

Sebaliknya, lanjut Hardly, sebaik apapun kualitas suatu program siaran, jika penontonnya sedikit, maka pemasang iklan tidak tertarik, sehingga kurang atau bahkan tidak ada sama sekali pemasang iklan. Akibatnya program siaran baik, menjadi kekurangan atau bahkan tidak ada biaya produksi, dan akhirnya harus berhenti diproduksi.

“Dengan demikian, terdapat korelasi antara penonton dan tontonan yaitu penonton yang cerdas akan mendorong hadirnya tontonan yang berkualitas dan sebaliknya tontonan yang berkualitas akan mendorong penonton menjadi semakin cerdas,” tandasnya. 

Sementara itu, terkait soal sensor, Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, menegaskan hal yang senada dengan Hardly jika KPI tidak berwenang melakukan proses tersebut. “Ini yang harus diketahui dan dipahami oleh masyarakat,” katanya.

Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu diketahui soal ini bahwa ada proses pra tayang dan pasca atau setelah tayang. KPI, kata Reza, mulai melakukan tugas pengawasan siaran setelah program siaran itu tayang atau ditayangkan lembaga penyiaran.

Di ruang literasi yang sama, Anggota Lembaga Sensor Film (LSF), Fetrimen, menjelaskan mekanisme penyesoran di lembaganya. Menurutnya, sistem penyensoran LSF dilandasi dengan kebebasan berkreasi, berinovasi dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa. 

“Jadi kami tidak melakukan pembatasan berkreasi. Silahkan berkreasi, asal tidak melanggar kepada perilaku yang ditentukan oleh undang-undang. Pertama, film atau iklan itu tidak boleh mendorong khalayak umum melakukan kekerasan, perjudian, pornografi dan provokasi atau SARA dan tidak melecehkan nilai-nilai agama dan juga merendahkan harkat martabat manusia serta lainnya,” jelasnya.

Vice Presiden PR Trans7, Anita Wulandari, salah satu narasumber literasi, menerangkan proses siaran produksi di lembaga penyiaran yang mengikuti permintaan pemirsa (rating dan share) dan juga iklan. Minat ini, menurutnya, berubah-ubah mengikuti zaman. “Teknik amati, tiru dan modifikasi terjadi untuk persaingan dengan kompetitor dan memproduksi program yang lebih baik,” jelasnya.

Dia juga menyampaikan pentingnya mengendalikan remote kontrol jika pemirsa merasa tidak cocok dengan tayangan. “Jika anda tidak suka pada tayangan itu, maka sebaiknya ganti saja salurannya,” katanya. ***

 

 

Jakarta -- Diskusi bertajuk Media Gathering dengan Pemimpin Redaksi lembaga penyiaran, televisi dan radio, yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat secara daring, Senin (5/10/2020), menghasilkan sejumlah konklusi. Salah satunya meminta dan mendorong lembaga penyiaran melakukan fungsi kontrol sosial dengan juga mengedepankan kohesi sosial. Dalam diskusi ini hadir Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Widodo Muktiyo.

“Di tengah dinamika dan tantangan kehidupan berbangsa saat ini, upaya ini sangat tepat untuk menjaga ketentraman dan kenyamanan masyarakat. Salah satu opsi untuk menjaganya dengan cara menyiarkan program siaran yang mengedepankan jurnalisme harapan,” kata Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, usai acara tersebut.

Kemudian, kata Hardly, lembaga penyiaran diharapkan dapat mendukung upaya menjaga kondusifitas nasional pada saat pandemi terkait kebijakan pemerintah, pemilihan kepala daerah dalam bentuk sosialisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat. “Sosialisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat sangat efektif melalui saluran informasi media penyiaran. Jangkauannya pun sangat luas dan mudah diterima masyarakat,” ujarnya.

Menyikapi adanya beberapa agenda nasional  terkait penetapan sejumlah kebijakan yang akan berlangsung dalam waktu dekat, lembaga penyiaran diharapkan menyampaikan informasi secara berimbang dan mengedepankan kepentingan bangsa dalam setiap pemberitaannya. 

Lembaga penyiaran juga diminta untuk senantiasa menjalankan protokol kesehatan dalam proses produksi maupun peliputan berita. Persoalan ini menjadi perhatian karena berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan para pekerja di lembaga penyiaran, baik internal maupun eksternalnya. 

Di awal diskusi, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemkominfo, Widodo Muktiyo, mengatakan ada tiga poin penting yang harus diperhatian terkait Pilkada yaitu informasi harus memberi rasa aman atau damai, cerdas dalam pilih pemimpin dan masyarakat sehat. 

“Ini tidak gampang. Ini jadi pemikiran kita semuanya. Kalau kita bisa menguatkan kebersamaan dan kegotong royong kita mudah-mudahan segala sesuatu menyangkut jati diri bangsa bisa kita pejuangkan bersama-sama. Mari kita cari solusinya bersama,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Dirjen IKP sepakat jika komunikasi dengan media dilakukan dengan mengedepankan share of mininig terkait covid. Dia pun sepakat dengan warna pemerbitaan atau  konten yang diwarnai dengan narasi gembira atau positif. “Kami sangat senang jika catatan pemberitaannya menimbulkan optimisme kebangsaan,” pinta Guru Besar dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta. 

Sebelumnya, Wakil Pemimpin Redaksi TV One, Totok Suryanto, mengungkapkan harapannya agar media dan pemerintah bersatu dengan saling menjaga satu dan lainnya dalam situasi pandemi. “Dengan konteks tetap sehat, pemerintah harus jaga media. Media juga jaga pemerintah. Masyarakat juga jaga negara dan sebaliknya,” katanya.

Menurut Totok, menyikapi kondisi saat ini yang paling utama adalah bagaimana menyampaikan informasi yang dapat meningkatkan rasa optisme di masyarakat. Pasalnya, sekarang ini banyak yang menonton siaran TV. “Kita harus berubah dari paham angel media, angle berita. Kenapa kita sekarang tidak mengubah ke jalur kesembuhan. Tebar optimis jangan pesimis,” tegasnya.

Pemimpin Redaksi INews TV, Yadi Hendriana, mengatakan semua pemberitaan lembaganya telah melalui berbagai pertimbangan agar dampaknya tidak negatif di masyarakat. “Semua berita kami di televisi melihat impact-nya apa sehingga yang dilakukan harus itu mengedukasi publik,” katanya.

Yadi juga menyampaikan pentingnya koordinasi antara pemerintah dan media. “Dalam hal ini kami sangat terbuka dalam hal-hal kebaikan. Tapi, untuk soal media mengkritisi jangan dihalangi,” pinta Ketua Umum IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia).

Dalam kesimpulan pertemuan daring itu, lembaga penyiaran juga akan berkomitmen melakukan sinergi bersama pemerintah  dan seluruh pemangku kepentingan untuk menjaga kondusifitas kehidupan bermasyarakat di masa pandemi. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.