- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 10132
Jakarta - Anggota Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyahri, mengatakan bahwa efek buruk dari penggunaan internet perlu diwaspadai, terutama efek kecanduan gadget pada anak. Hal ini disampaikannya dalam webinar Seminar Merajut Nusantara dengan tema “Mengatasi Dilema Efek Buruk Kecanduan Gadget dan Pembelajaran di Era Digital”, Sabtu (13/2/2021).
"Para orang tua harus menegakkan prinsip disiplin dan memberikan contoh untuk membatasi dirinya dengan gadget. Masyarakat di lingkungan tempat tinggal anak juga harus memiliki empati dalam penggunaan gadget, gerakan membatasi anak dalam menggunakan telepon pintar ini jangan sampai kehilangan keceriaan sosisalisai dan interaksi secara langsung,“ lanjutnya.
Menurut Abdul Kharis, untuk mewujudkan hal itu perlu diciptakan intergrasi antara orangtua dan pemerintah serta lembaga pendidikan untuk memberikan perhatian agar tidak terjadi kecanduan gadget terhadap anak.
Dalam seminar yang sama, Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, menyatakan lebih satu tahun Indonesia menyelenggarakan pembelajaran secara daring. Menurutnya, hal ini membuat anak jadi lebih lama berinteraksi dengan gadgetnya.
“Dan itu bukan hanya sekedar bermain mencari hiburan, tapi untuk tuntutan pendidikan karena sekolah yang diadakan via daring. Dirjen Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI mengatakan bahwa pada tahun 2020, sudah 218 ribu sekolah melaksanakan belajar daring,” kata Andre, panggilan akrabnya.
Berdasarkan catatan WHO, saat ini ditemukan penyakit gangguan jiwa baru pada anak yang dinamakan dengan Screen Depedency Disorder (SDD). Peneliti di Amerika menyatakan aliran saraf seseorang yang mengakses gadgetnya terlalu banyak cenderung memiliki kesamaan aliran saraf dengan seseorang yang kecanduan narkoba.
“Hal ini tentu perlu menjadi perhatian bagi negara dan orangtua, bagaimana kondisi psikis anak, jangan sampai kecanduan gadget karena sekolah pun sekarang diselenggarakan via online,” kata Budi Lestari, Psikolog Klinis, dalam webinar tersebut.
Terkait hal itu, lanjut Budi, perlu ada penguatan dan edukasi digital dari orang tua dengan situasi pembelajaran jarak jauh ini. Menurutnya, orang tua harus bisa jadi guru untuk anaknya. “Menjadi pendidik untuk anak bukan hanya mengajar tapi harus mendampingi dan membimbing keahlian anak ketika proses belajar di rumah dan mengontrol penggunaan gadgetnya,” katanya.
Kasus kecanduan gadget pada anak mulai marak terjadi di Indonesia sejak 2019. Setidaknya, di akhir tahun itu, terkonfirmasi di sejumlah Rumah Sakit Jiwa di Jawa Barat, Solo, Bekasi, Semarang dan Bogor telah menangani puluhan pasien anak berusia 11-16 tahun yang menderita gangguan jiwa akibat kecanduan gadget dan game online. Mereka harus menjalain terapi di rumah sakit tersebut.
“Tidak hanya orangtua, tentu negara juga harus memikirkan hal ini. Di beberapa negara seperti Uni Eropa, Amerika, dan Australia, aturan ketat mengenai perilaku anak di dunia digital sudah ada. Di Indonesia, melalui Kominfo sudah mengusulkan rancangan undang-undang data pribadi atau RUU PDP mengenai pembatasan usia penggunaan media sosial menjadi minimal 17 tahun. Hal ini merupakan langkah yang baik dan semoga RUU ini segera disahkan oleh DPR,” tutup Yuliandre. */Bia