Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Film (LSF) sepakat melakukan penguatan dan peningkatan skala kerjasama yang akan dituangkan dalam nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) pembaruan yang rencananya ditandatangani dalam waktu dekat.

Kesepakatan untuk memperbarui nota kesepahaman yang pertama kali ditandatangani pada 2012 lalu menguat pada saat pertemuan KPI Pusat dan LSF di Kantor LSF, Kamis (30/7/2020) lalu.

Dalam pertemuan tersebut, dibahas hal-hal yang kerap menjadi masalah dua lembaga ini dalam menerapkan aturan yang satu sama lain berbeda. KPI mengacu pada UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran), sedangkan LSF merujuk pada UU Perfilman No.33 tahun 2009. 

Hal ini membuat sudut pandang masing-masing lembaga tidak sama, salah satu contohnya mengenai batas usia dewasa (D) bagi penonton film atau tayangan di televisi. Berdasarkan ketentuan UU Penyiaran, batas usia dewasa yakni 18 tahun ke atas. Adapun dalam UU Perfilman, berusia 17 tahun ke atas.

Soal berapa batas usia dewasa ini, menjadi salah satu sorotan dalam presentasi yang disampaikan Anggota LSF, Ahmad Yani, saat pertemuan tersebut. Menurutnya, banyak temuan terkait ketidaksesuaian klasifikasi usia bagi penonton film di TV. 

“Film yang telah lolos LSF ternyata tidak sesuai klasifikasi usianya karena ada undang-undang yang berbeda. Dalam UU Perfilman klasifikasi usia untuk dewasa adalah 17 tahun plus. Hal ini akan menjadi masalah ketika film tersebut muncul atau ditayangkan di televisi,” kata Yani.

Belum lagi perbedaan waktu atau jam tayang untuk penonton dewasa di televisi. Yani menyatakan LSF berpatokan jam dewasa yaitu di atas pukul 23.00 atau 11 malam. Sedangkan KPI di atas jam 22.00 atau 10 malam. Karenanya, Yani berharap kolaborasi kedua lembaga ini bisa menyelesaikan sengkarut tersebut.

Persoalan beda sudut pandang (regulasi) ini diakui Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia dan hal menjadi kendala kedua lembaga dalam menjalankan fungsi pengawasan. Karenanya, pertemuan ini diharapkan dapat meningkatkan dan menguatkan isi perjanjian baru. 

Selain itu, lanjut Irsal, MoU ini menjadi batu pijakan bagi kedua lembaga menyelesaikan soal beda regulasi tanpa harus menunggu terlebih dulu revisi UU Penyiaran. “Kita dapat selesaikan dalam tataran teknis melalui nota kesepahaman dan saya rasa ini bisa menyelesaikan hal-hal tadi. Tapi tahap awalnya kita harus menguatkan landasan MoU dan soal teknis yang detail setelahnya,” jelas Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat ini.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti, menilai hasil inventarisir masalah antara KPI dan LSF menjadi acuan untuk meninjau kembali perjanjian kerjasama antara LSF dan KPI sebelumnya. Menurutnya, pembaruan kerjasama ini dalam upaya memperbaiki kualitas program siaran di TV. “Refleksi ini penting dan sinergi ini harus tetap berjalan,” katanya di awal pertemuan.

Lima poin usulan

Untuk lebih mempertajam isi kerjasama kedua lembaga ini, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, mengusulkan isi MoU merujuk pada persoalan pengawasan siaran, literasi, pembinaan stakeholder, media baru atau lain, serta dinamika industri TV dan film. “Kerjasama ke depan yang utama adalah soal bagaimana menghadapi dinamika film dan juga media baru. Kita harus dorong lahirnya kebijakan dan instrumen untuk media baru ini,” katanya di tempat yang sama.

Perihal media baru ini juga disinggung Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, dalam pertemuan. Menurutnya, konten yang dihadirkan platform OTT (over the top) ini menjadi keresahan karena banyak yang tidak sesuai dengan budaya, etika dan norma di Indonesia. 

“Jika regulasi yang menaungi media ini belum ada, kita harus duduk bersama. Kita harus ajak akademisi, orangtua membahas soal ini. Perlu ada juga literasi dan FGD mengenai hal ini. Kita perlu dorong bersama soal ini,” tegasnya.  

Di awal perrtemuan, Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto, berharap pertemuan kedua lembaga ini dapat memberi hasil yang positif dan menyelesaikan masalah yang ada. Menurutnya, kerjasama ini tidak lain untuk memberikan sumbangsih bagi negara dan masyarakat agar tontonan menjadi lebih baik. ***

Jakarta – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, menilai hadirnya etika pariwara Indonesia akan memberi dampak baik terutama dalam kaitan perlindungan terhadap masyarakat dari iklan yang tidak pantas khususnya bagi anak dan remaja. Hal itu disampaikannya saat menjadi salah satu narasumber kegiatan Webinar Swakrama Periklanan dengan tema Menjaga Marwah Etika Dalam Kepungan Teknologi serta Peluncuran Kitab  “Etika Pariwara Indonesia – Amandemen 2020” yang diselenggarakan Dewan Periklanan Indonesia  (DPI), Kamis (30/7/2020).

Menurutnya, acuan ini akan memberi proteksi pada program acara di media penyiaran dan media baru jika mengacu pada perlindungan budaya lokal dari terpaan budaya asing. “Berbeda dengan media terestrial, media baru belum memiliki regulator serta aturan yang jelas untuk pengaturannya. Oleh karena itu, etika periklanan ini memiliki peran yang vital dalam melindungi masyarakat,” tambah Agung.

Salah satu contoh, media terestrial  seperti TV memiliki aturan yang melarang tampilan visual rokok dan larangan iklan rokok di bawah Pukul  22.00 WIB. Aturan ini tidak ditemukan pada media baru. “Kita masih sering melihat iklan rokok di media baru tanpa adanya batasan waktu. Ini berpotensi dilihat anak -anak karenanya dibutuhkan adanya aturan yang jelas,” tutur Agung.

Sebelumnya, diawal acara, Wakil Menteri  Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Angela Tanoesudibjo mengapresiasi diluncurkannya etika pariwara Indonesia versi baru. Menurutnya, aturan ini akan mendorong industri kreatif yang ada di Indonesia. 

“Etika ini akan mendorong kemajuan UMKM di Indonesia khususnya di bidang industri kreatif. Dengan makin majunya UMKM, hal ini akan meningkatkan perekonomian nasional,” kata Angela sekaligus membuka kegiatan ini.

Ketua Umum Aosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution, mengatakan kepungan teknologi adalah sebuah keniscayaan. Menurutnya, mau tidak mau hal itu harus diikuti dan diadaptasi.

“Aturan periklanan dibutuhkan agar konten yang ditampilkan sesuai dengan norma yang ada di Indonesia serta melindungi masyarakat dari pengaruh buruk budaya asing. Namun akan lebih baik jika dibuat Undang-undang yang mengatur tentang periklanan,” jelasnya.

Dia juga menyakinkan jika televisi telah menjalankan fungsinya dengan baik dalam melindungi masyarakat dari pengaruh budaya asing. Hal ini dapat dilihat dari tayangan televisi yang sebagaian besar didominasi konten dalam negeri. 

Namun disisi lain, lanjut Syafril, terjadi fenomena pengiklan dalam negeri lebih memilih mengiklankan produk mereka di media luar. “Kejadian ini tentu sangat berdampak pada industri televisi. Oleh karena itu, akan lebih baik jika pemerintah membuat aturan terkait ini. Dengan demikian tentu akan meningkatkan pendapatan negara,” usulnya. 

Pada sesi tanya jawab, Agung berkesempatan menjawab pertanyaan salah satu peserta tentang perihal aturan iklan rokok yang ada di televisi yang berpotensi membunuh kreatifitas. Menurutnya, aturan iklan rokok yang ada di P3SPS KPI tahun 2012 sudah sesuai dengan aturan Kementerian Kesehatan tentang rokok. 

“Oleh karena itu, rokok baru dapat diiklankan di atas jam 10 malam itupun tanpa menampilkan visual atau wujud rokoknya. Larangan ini justri akan mendorong pengiklan untuk menciptakan iklan yang kreatif dan berbeda,” tutup Agung. *

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) berharap porsi program acara untuk anak di lembaga penyiaran khususnya televisi dapat ditingkatkan. Selain meningkatkan porsi tayangan anak, perlu inovasi baru menciptakan tokoh favorit atau dambaan anak seperti yang pernah diperankan Pak Tino Sidin.

“Sekarang ini tidak ada lagi tokoh seperti Pak Tino Sidin yang memberi bimbingan, pembelajaran dan disukai anak-anak. Jadi kita perlu lagi memunculkan orang-orang seperti beliau kembali ke layar kaca,” kata Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, saat pertemuan dengan Menteri PPPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, di Kantor Kemen PPPA, Jakarta Pusat, Rabu (29/7/2020).

Harapan ini, lanjut Reza, tak lepas dari kerinduan pada konten tayangan yang berkualitas, aman, menyenangkan dan memang teruntuk bagi anak di Indonesia. Pak Tino Sidin merupakan tokoh idola anak-anak di zamannya pada saat TVRI masih menjadi satu-satunya TV di tanah air.

Menurut Reza, tak hanya Pak Tino Sidin, program acara anak seperti si “Unyil” harus diperbanyak. Tayangan yang berisi dan mengajarkan tentang nilai-nilai baik dan hidup bersama dalam keberagaman seperti di acara “Unyil” harus diproduksi lebih banyak lagi. “Ini salah satu upaya melindungi anak kita dari tayangan yang tidak pantas dan tidak memberi nilai yang edukatif bagi mereka,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Reza mengusulkan adanya pembicaraan terbuka dengan lembaga penyiaran. “KPI, KPPPA serta lembaga penyiaran harus duduk satu meja membahas soal ini,” katanya kepada Menteri Bintang Darmawati.

Menanggapi usulan itu, Menteri Bintang menyatakan sepakat dan meminta untuk segera merealisasikan dengan diskusi kelompok terpumpun atau FGD yang dihadari ketiga komponen tersebut. “Usulan Pak Reza perlu ditindaklanjuti dan kalau bisa hal ini sudah harus dimulai sebelum pelaksanaan Anugerah Penyiaran Ramah Anak yang akan berlangsung akhir Agustus nanti,” katanya penuh semangat.

Ditambahkan Menteri PPPA, pembahasan antara KPPPA, KPI dan lembaga penyiaran perlu membicarakan secara intens bagaimana minat menonton anak-anak terhadap tayangan anak di televisi. “Pembahasan ini harus dapat menghasilkan rekomendasi. Bagaimana mengembalikan tayangan-tayangan yang dulu pernah menjadi tontonan favorit anak serta juga menghadirkan ketokohan yang dekat dengan anak seperti Pak Tino Sidin,” tandasnya. 

Dalam pertemuan itu, turut hadir Ketua KPI Pusat, Agung Suprio dan Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti. Di awal pertemuan, Agung Suprio dan Mimah Susanti, menjabarkan rencana penyelenggaran Anugerah Penyiaran Ramah Anak 2020 yang rencananya akan berlangsung pada 29 Agustus mendatang. ***

 

 

Jakarta - Kehadiran generasi muda sebagai da’i-da’I di televisi dan platform digital lainnya, merupakan sebuah fenomena yang baik sebagai usaha memenuhi konten siaran dengan nilai-nilai kebaikan. Bahkan, di era teknologi informasi sekarang, da’wah pun dilakukan dengan berbagai cara sehingga tidak tampil hanya dengan model satu arah atau monolog untuk dapat diterima lebih banyak kalangan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengingatkan, yang terpenting substansi da’wah yang disampaikan para da’i muda tidak terkaburkan dengan peran hiburan atau entertainmen yang tersematkan padanya. Hal tersebut disampaikan Irsal Ambia, Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Kelembagaan, dalam Literasi Daring yang mengusung tema “Da’wah Milenial di Televisi”, (29/7). 

Selain hal diatas, Irsal juga mengingatkan bahwa da’I muda  yang tampil di televisi harus memiliki kompetensi keagamaan yang baik, punya pemahaman tentang regulasi penyiaran, serta dapat menjaga etika antar umat beragama. 

Senada dengan Irsal, Ketua Komisi Da’wah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, M Cholil Nafis turut menyampaikan pendapatnya dalam forum literasi tersebut. Pada prinsipnya da’I yang tampil di televisi selain harus memiliki kompetensi dalam pemahaman keislaman,  dia juga harus mengerti tentang masalah khilafiyah dalam pertimbangan fikih. “Jangan membahas materi khilafiyah dalam waktu yang singkat di televisi, apalagi jika tidak mampu menyampaikan dengan narasi yang baik,” ujar Cholil. Hal ini menurutnya, untuk menghindari munculnya konflik di tengah masyarakat. Selain itu, Cholil berpendapat, da’i pun harus memiliki sikap yang bertanggungjawab terhadap publik. 

Secara khusus Cholil menilai perlunya generasi milenial didorong untuk menjadi da’I, mengingat kondisi demografi Indonesia juga didominasi oleh anak muda.  Diantara syarat yang harus dipenuhi adalah berusia di bawah 30 tahun dan memiliki latar belakang keilmuan yang baik. 

Dalam kesempatan tersebut, hadir dari kalangan milenial yang juga dikenal sebagai qori’ muda. Muzammil Hasballah dan aktor muda Syakir Daulay. Dalam pengakuannya, Muzammil mengatakan dirinya hanya akan menyampaikan bahasan da’wah yang memang dikuasainya. Selama ini Muzammil dikenal dengan kapasitasnya sebagai seorang qori’, maka hal itulah yang disampaikan pada publik. “Saya menghindari bahasan ikhtilaf dalam agama,“ ujarnya.  Muzammil mengatakan bahwa seorang da’I harus bertanggung jawab pada apa yang disampaikan. Prinsipnya adalah, Ai ilmu qobla qoul wal ‘amal, ilmu harus didahulukan sebelum perkataan dan perbuatan, ujarnya. Selain itu yang juga patut diperhatikan oleh para da’I yang tampil di media, adalah menjaga hati. Godaan yang demikian tinggi bagi dalam kehidupan di media akhirnya menjadi sebuah tolak ukur keikhlasan, apakah da’wah semata untuk Allah atau bertujuan mengejar popularitas. 

Syakir sendiri mengatakan dengan berkiprah di dunia entertain dia punya kesempatan untuk ikut memberikan nilai-nilai positif kepada generasi muda. Dia pun punya prinsip untuk tidak menyampaikan sesuatu yang di luar kapasitasnya. Laki-laki yang didaulat sebagai aktor muda inspiratif dalam Anugerah Syiar Ramadhan tahun 2020 ini mengatakan dunia artis ini menjadi wasilah kebaikan agamanya. Meski demikian, Syakir menegaskan bahwa ada prinsip-prinsip yang tetap dipegangnya dan tidak dapat diganggu gugat. Misalnya, aktu syuting yang tidak boleh berbenturan dengan jadwal belajar mengaji dengan guru-gurunya. 

Sedangkan bagi generasi muda yang ingin terjun dalam dunia da’wah,  Muzammil menegaskan persiapan yang paling penting adalah membekali diri dengan ilmu, terutama belajar dengan seorang guru. Hal ini juga disampaikan oleh Cholil Nafis, tentang pentingnya berilmu dengan guru. Sehingga materi-materi da’wah yang disampaikan, khususnya melalui medium televisi bukanlah hasil buah pikiran sendiri, melainkan ada rujukan dari para ulama-ulama terdahulu. 

Catatan lain dari KPI adalah tentang program religi yang hadir bukan dalam bentuk ceramah langsung. Irsal mengatakan bahwa dalam program religi berformat sinetron, reality dan hiburan lainnya, pesan da’wah yang hendak disampaikan terlalu lama diterima publik. KPI berharap, pesan-pesan kebaikan dan moral dalam program religi dapat dikemas dengan mudah ditangkap oleh masyarakat. “Tidak kabur dengan gimmick-gimmcik hiburan,” ujar Irsal. Hal ini dikarenakan da’wah milenial memang harus dikemas dengan kreatif hingga mampu membentuk sebuah lifestyle kebaikan yang sejalan dengan islam. 

 

 

 

 

Jakarta -- Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis, mengatakan fakta baru telah terjadi seiring dengan merebaknya wabah covid-19 di seluruh dunia. Berdasarkan data We Are Social semester pertama tahun 2020, adanya peningkatan akses pengguna internet hingga 6 jam 43 menit per hari.

“Berita online menjadi pilihan utama masyarakat di masa pandemi. Orang beraktivitas dan menggunakan internet menjadi salah satu cara menyalurkan waktu yang kosong. Alhasil, berita online juga menjadi pilihan masyarakat yang melakukan browsing di internet,” kata Yuliandre saat mengisi diskusi berbasis daring yang diselenggarakan oleh Universitas Sahid dengan tema “Tantangan Cyber Journalism di Masa Pandemi” di Jakarta, Sabtu (25/7).

Presiden OIC Broadcasting Regulatory Authorities Forum (IBRAF) 2017-2018 ini mengungkapkan, lahirnya media sosial menjadikan pola perilaku masyarakat mengalami pergeseran baik budaya, etika maupun norma. “Pada era digital seperti sekarang, masyarakat mengkonsumsi informasi dari banyak sumber media. Umumnya ketika ditanya tentang media, maka akan mengarah pada media cetak maupun penyiaran,” ujar Yuliandre. 

Pada 2017, lanjut pria yang baru berulangtahun ke-40 dan akrab disapa Andre ini, pembaca berita media online terus meningkat. Berita melalui media cetak semakin ditinggalkan. Selain lebih praktis, update berita online dinilai lebih cepat. Diyakini sejak 2017 sampai sekarang, setiap tahunnya ada peningkatan pembaca berita online.

Rektor Univeristas Sahid, Prof. Dr. Ir. Kholil mengatakan, dalam suasana yang terbatas ini agar senantiasa bertukar pikiran akan perkembangan komunikasi pada saat pandemi. Dalam prakteknya, komunikasi pada saat pandemi ini ada sisi baiknya dan ada sisi buruknya. Pandemi yang sekarang merubah perilaku dan mental manusia, mengarahkan kita untuk akrab kepada dunia digital.

“Dunia jurnalisme harus ikut perkembangan zaman. Bagaimana kemasan dalam dunia digital dengan perubahan kebiasaan masyarakat. Saya harap webinar ini sebagai arena untuk bahan diskusi kajian jurnalisme yang mengarah digital society,” kata Kholil saat membuka acara ini.

Chief Executive Officer (CEO) Detik Netwok, Abdul Aziz mengungkapkan, Covid-19 membuat semua elemen masyarakat di belahan dunia meraba-raba dan lebih cenderung kebingungan dalam menghadapi bahkan menanggulanginya. 

Dunia media, kata Abdul Aziz, mulai disibukan dengan pemberitaan baru yang melonjakan pemberitaan mengenai Covid-19. “Khusus detik.com pun yang platformnya digital memang mengalami lonjakan pembaca, ini salah satu hikmah dari Covid-19. Namun sisi bisnis lain mengalami penurunan yang sangat drastis,” katanya.

Dalam sisi industri media, saat ini menawarkan inovasi kreativitas untuk menarik brand agar mau beriklan di media cyber. “Beragam kreativitas dan memiliki jiwa entrepreneur yang tidak biasa agar brand dapat beriklan dengan ikut mangajak audience untuk tetap berkreativitas di rumah demi mencegah covid-19,” kata Abdul Aziz. 

Pada ruang diskusi yang sama, Wakil Pemimpin Redaksi SINDONews, Puguh Hariyanto mengatakan, media konvensional memang masih teruji kapasitasnya dalam menyajikan berita yang dapat di pertanggungjawabkan. “Saat ini terjadi fenomena inflasi informasi. Informasi yang di sampaikan harus jelas dari mana asalnya,” kata Puguh.

Selain itu, Puguh menambahkan, di tengah pandemi covid-19, media berperan dalam menyajikan informasi yang tak hanya akurat, tetapi juga mentransmisikan pesan yang mengedukasi dan mampu menambah optimisme publik. Sehingga, informasi yang disajikan media dapat berperan sebagai suplemen atau vitamin dalam memperkuat imunitas mental dan fisik masyarakat.

“Media untuk membentuk stigma yang positif dan mengedukasi pembaca lewat pemberitaan yang terkontrol. Di sisi lain, pembaca juga mesti cermat dalam menerima sebuah informasi,” katanya.

Chief Digital Officer KG Media, Dahlan Dahi mengungkapkan, Covid-19 menjadi realitas penyakit yang mengubah struktur sosial masyarakat. Perilaku pun perlahan mulai berubah dan dengan hadirnya media sosial di tengah masyarakat dianggap membawa dampak positif. 

Dahlan mengungkapkan tidak jarang masyarakat memanfaatkan media sosial sebagai tempat mencurahkan isi hatinya, memberi tahu keadaan kehidupan aslinya, berbisnis, menyebarkan informasi dan berkomunikasi hingga mancanegara. 

“Masyarakat jangan menelan mentah-mentah informasi. Maka itu, masyarakat membutuhkan literasi yang baik agar terhindar dari hoaks”. *

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.