Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus mendorong peningkatan kualitas konten siaran di semua kategori program acara. Upaya peningkatan kualitas ini tidak hanya akan memberikan rasa aman dan nyaman masyarakat, tapi akan ikut menekan dan menangkal siaran-siaran yang tidak selaras dengan etika, budaya, norma dan nasionalisme.

Hal itu dikemukakan Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, saat menjadi pemateri dalam acara diskusi berbasis daring dengan tema “Wacana Ideologi dan Gerakan Transnasional di Layar Televisi Indonesia” yang diselenggrakan oleh Institut Agama Islam Imam Al Ghazali (IAIIG) Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (7/8/2020)

“Saat ini, KPI sedang membahas dinamika permasalahan yang di penyiaran seperti skema regulasi penyiaran. Kami memiliki sikap yang tegas untuk membuat peta tanggungjawab dan wewenang wajah penyiaran Indonesia dalam upaya menegakan aturan arus penyebaran informasi di kehidupan masyarakat,” jelasnya. 

Dia menambahkan, saat ini, jumlah radio berizin di Indonesia mencapai 2.097 dan televisi mencapai 1.106 itu termasuk kategori 16 free to air secara nasional. Menurut Andre, panggilan akrabnya, kewenangan KPI Pusat mengawasi bagian induk jaringan TV. Jika mengarah pada skema regulasi, KPI tidak berhak mengintervensi TV sebelum konten itu dibuat dan baru bisa bergerak di fase pasca produksi konten. 

“Dan, salah satu tugas dan fungsi utama dari KPI adalah menjaga sisi moralitas ideologi bangsa melalui pengawasan konten siaran di media mainstream selama 24 jam setiap harinya,” kata Yuliandre Darwis.

Lebih lanjut, Mantan Presiden OIC Broadcasting Regulatory Authorities Forum (IBRAF) ini menegaskan, merujuk pada Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Pasal 6 diterangkan bahwa Lembaga Penyiaran wajib menghormati perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan yang mencakup keberagaman budaya, usia, gender, dan/atau kehidupan sosial. 

“Disinilah peran KPI yang menjujung tinggi semangat persatuan dan memupuk rasa nasionalisme di ranah penyiaran,” katanya.

Lebih lanjut, kata Yuliandre, KPI tidak berjalan sendiri untuk mengawal ranah penyiaran Indonesia. Beberapa waktu lalu, katanya, KPI Pusat bersinergi dengan Kementerian Agama, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengah harapan dapat mengawal arah konten dakwah keagamaan di lembaga penyiaran yang selaras dengan koridor agama dan aturan penyiaran. 

“Upaya ini untuk mengikis adanya kesalahan atau pelanggaran terhadap nilai agama dan aturan tersebut,” tutur Yuliandre.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota Ombudsman RI, Ahmad Suaedi, mengatakan perkembangan teknologi ke arah dunia digital di lingkup agama memiliki efek positif dan juga negatif. Pada era digital, seluruh dunia sudah masuk bagian dari globalisasi. Secara historis, globalisasi yang mengarah ideologis Islam transnasional dimulai dengan masuknya ke tengah sistem kekuasaan. Dari sana kemudian ada paham dari barat yang berhadapan dengan ideologi islam. 

“Kekerasan yang sudah masuk ke ranah TV adalah kekerasan yang memiliki nilai jual. Kita tidak bisa melawan era globalisasi yang mempengaruhi ideologi. Pergulatan ini menjadi perkembangan Islam di dunia modern,” ucapnya

Ahmad Suaedi mengatakan paham radikalime membentuk organisasi yang abstrak dan cenderung mengklaim memiliki sebuah negara namun tidak memiliki wilayah. Ideologi radikal ini tumbuh berkembang seiring perkembangan teknologi yang bergerak dengan ketidakpastian. 

“Sebab ideologi dan gerakan Islam transnasional memiliki banyak bentuk. Setidaknya ada kapitalisme atau neoliberalisme. Gerakan kapitalisme global atau neoliberalisme yang merusak lingkungan dan tidak memiliki rasa empati terhadap kemiskinan dan kesenjangan,” katanya. *

 

 

Jakarta -- Jakarta -- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) tengah menyiapkan rekrutmen Calon Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulut periode 2019-2022. Hal itu disampaikan Ketua Komisi A DPRD Provinsi Sulut, Vonny J. Paat, saat melakukan kunjungan kerja ke Kantor KPI Pusat, Jumat (7/8/2020).

“Kami ingin mengetahui lebih banyak dan mendapatkan masukan dari KPI Pusat terkait proses rekrutmen KPID. Rencananya, pemilihan akan dilaksanakan tahun ini juga,” katanya saat diterima langsung Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, serta Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano dan Nuning Rodiyah.

Menanggapi rencana ini, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, mengingatkan soal keterwakilan perempuan dalam kepengurusan KPID Sulut periode baru nanti. Menurutnya, sudut padang dan sensitifitas gender sangat penting dalam memberi masukan terkait keputusan atau kebijakan yang berhubungan dengan persoalan konten siaran tentang  perempuan, anak dan remaja. 

“Saya harap sekurang-kurangnya kuota 30 persen perempuan ini dapat terpenuhi atau seperti komposisi keanggotaan KPID Sulut saat ini yang lebih dari 50%. Kita harus juga menjamin anak dan remaja dapat informasi yang layak,” kata Nuning.

Selain kuota perempuan, Nuning juga meminta DPRD Provinsi Sulut menjamin adanya kesinambungan kerja KPID dari periode lama ke periode baru. Apalagi dalam waktu dekat akan berlangsung Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. 

“Pilkada yang mendatang kemungkinan akan banyak dilakukan di media, Karena kampanye terbuka di luar ruang dibatasi, apalagi yg melibatkan kerumunan orang dalam skala banyak. Hal ini menjadi pekerjaan besar bagi KPID karena beban pengawasan makin berat. Karena itu, saya berharap ada kesinambungan kerja dan menjadi prioritas. Jika memungkinkan Anggota KPID Sulut terpilih sebelum Pilkada,” pinta Nuning.

Dalam kesempatan itu, Nuning mengapresiasi dukungan yang berikan Komisi I DPRD kepada KPID Sulut dalam pelaksanaan kinerja KPID selama ini, dan berharap agar dukungan tersebut untuk ditingkatkan agar kinerja semakin baik. 

Dukungan soal pentingnya kuota perempuan dalam kepengurusan KPID juga dilontarkan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio. Menurutnya, perempuan harus ditempatkan dalam posisi krusial dan potensial. 

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, menjelaskan peran penting KPID sebagai wakil publik dalam bidang penyiaran di daerah. Menurutnya, ada tiga fungsi utama KPI dan KPID yang krusial antara lain perizinan, pengawasan dan pelibatan publik dalam pengawasan konten. “Karenanya jangan ada kekosongan kepengurusan KPID di daerah,” katanya. ***

 

Jakarta - Pengaturan media baru jangan dipahami sebagai upaya mengekang kebebasan berpendapat ataupun berekspresi di tengah masyarakat. Perkembangan sosial baik secara global dan regional sekalipun, tentunya sudah tidak memungkinkan lagi untuk kembali pada era saat dikekangnya kebebasan berekspresi. Pengaturan ini diperlukan untuk mencegah dampak negatif sekaligus untuk mengoptimalkan dinamika digital saat ini agar berdampak positif bagi publik. Komisioner bidang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Hardly Stefano Pariela menyampaikan hal tersebut dalam Seminar Daring yang diselenggarakan Lembaga Sensor Film (LSF) dengan tema “Realitas dan Kebijakan Media Baru di Indonesia”, (06/8). 

Hardly menegaskan bahwa kita tidak mungkin melawan gerak sejarah peradaban manusia yang semakin maju dalam era digital ini. Namun harus dipahami pula, bahwa keyataan saat ini menunjukkan media baru memiliki pengaruh yang demikian kuat di tengah masyarakat serta dampak sosial yang besar melebihi media konvensional yang lebih dahulu eksis. Jika saat ini media yang dianggap arus utama mendapatkan pengaturan, ujar Hardly, seharusnya media baru pun menerima perlakuan yang serupa. 

Dalam kesempatan itu Hardly memaparkan perbandingan kondisi media baru dan media lama atau media konvensional seperti radio dan televisi saat ini. Menurutnya perlu konsensus bersama untuk menyepakati hal-hal yang harus mendapat pengaturan lebih rinci dalam  media baru, seperti misalnya konten kekerasan, seksualitas, dan radikalisme. Hardly berpendapat harus ada  pengaturan yang seragam baik di media baru atau pun media lama guna memberikan perlindungan bagi publik atas muatan siaran yang dianggap berbahaya dan menimbulkan disharmoni di tengah masyarakat.  

Pengaturan media baru ini, menurut Hardly, harus juga mencakup perlindungan atas konten karya anak bangsa, diantaranya mencegah terjadinya pembajakan baik secara sengaja ataupun tidak. Termasuk juga memberikan kesempatan bagi karya dalam negeri ini untuk terakomodasi dalam berbagai platform media. “Data yang ada menunjukkan pengguna internet di Indonesia mencapai 174 juta, tentu menjadi pasar potensial bagi sineas dalam negeri,” ujarnya.  Selain itu, Hardly juga memandang perlunya pengembangan industri konten kreatif dalam negeri serta pecegahan dampak dari konten yang negatif. Hal penting yang perlu diperhatikan juga adalah terkait pendapatan negara dari industri konten ini. Dengan adanya pengaturan terhadap media baru, potensi pendapatan negara juga meningkat. 

Sedangkan terkait kelembagaan pengawasan, Hardly menegaskan lembaga apapun yang akan mengawasi media baru menjadi kewenangan dari pembuat undang-undang. Namun menurutnya yang penting lembaga tersebut haruslah representasi dari civil society. “Bukan merupakan representasi ataupun kekuatan negara,” tegasnya. Harus perwujudan dari masyarakat sipil yang mampu melakukan pengaturan secara dinamis berdasarkan partisipasi publik. 

KPI sendiri hingga saat ini tetap menjalankan amanat undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran, yakni bersama masyarakat  ikut mengawasi televisi dan radio. Harapannya di tengah disrupsi digital ini, televisi dan radio dapat menjadi referensi siaran baik dan berkualitas, minimal dengan dampak negatif yang jauh lebih kecil. 

Selain regulasi, dalam era disrupsi informasi saat ini, Hardly menilai kapasitas literasi media masyarakat menentukan kualitas informasi dan hiburan yang diproduksi, direproduksi maupun disebarkan. Dengan kapasitas literasi yang baik,  Hardly meyakini masyarakat dapat terlibat dalam membangun peradaban digital, dan bukan menjadi residu atau sampah peradaban digital. “Sehingga ke depan kita dapat membangun peradaban digital berbasis berbagai konten lokal di Indonesia,”pungkasnya.

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memutuskan memberi sanksi administratif teguran tertulis untuk program siaran jurnalistik “Special Report” yang ditayangkan iNews TV. Program berita ini ditemukan menayangkan konten yang melanggar ketentuan P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) KPI tentang pelarangan menayangkan adegan interogasi pihak kepolisian terhadap tersangka tindak kejahatan.

Berdasarkan uraian dalam surat teguran untuk program siaran “Special Report” iNews TV, pada tanggal 9 Juli 2020 pukul 15.40 WIB program ini menampilkan pemberitaan berjudul “Balita Diperkosa dan Dibunuh”. Di dalam berita itu terdapat proses tayangan interogasi kepolisian terhadap tersangka tindak kejahatan tersebut. Pada penayangan proses interogasi tersebut, gambar dan suara ditampilkan secara jelas beberapa pertanyaan petugas kepolisian dan jawaban tersangka, di antaranya alasan, cara, tujuan, dan alat yang digunakan untuk membunuh korban serta ungkapan pernyataan pembenaran dan alasan memperkosa korban. Muatan tersebut juga ditayangkan dengan pengulangan gambar dan suara yang sama tentang hal-hal di atas secara menyatu bersambungan.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan segala bentuk proses interogasi yang dilakukan pihak kepolisian terhadap tersangka tindak kejahatan tidak boleh (dilarang) disiarkan ke publik. Menurutnya, proses interogasi merupakan ranah hukum yang sensitif terlebih menyangkut kasus pembunuhan dan perkosaan.

“Dalam proses interogasi akan banyak penjelasan atau jawaban dari tersangka mengenai proses kejahatan yang diduga dilakukannya. Dan jika hal ini masuk dalam ruang publik akan memberi sebuah gambaran jelas tentang proses kejahatan tersebut. Hal ini kami nilai kurang baik karena khawatir soal dampaknya,” jelas Mulyo, Kamis (6/8/2020). 

Dalam SPS KPI tahun 2012 Pasal 43 huruf b disebutkan program siaran bermuatan kekerasan dan/atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik wajib mengikuti ketentuan yakni tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian terhadap tersangka tindak kejahatan. “Ini pasal yang dilanggar oleh tayangan tersebut. Hal ini harus menjadi acuan bagi program pemberitaan ketika akan menayangkan berita terkait kasus kejahatan,” kata Mulyo.

Mulyo juga mengingatkan iNews dan seluruh lembaga penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik agar tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS). ***

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sepakat memperbarui perjanjian kerjasama atau MoU (memorandum of understanding) yang pernah ditandatangani kedua lembaga pada 2015 lalu. Keinginan itu mengemuka pada saat pertemuan keduanya di Kantor BNPT, Selasa (4/8/2020).

Dalam pertemuan jelang sore itu, hadir Kepala BNPT, Boy Rafli Amar, Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza dan Nuning Rodiyah. Turut mendampingi Kabag Perencanaan, Hukum dan Humas, Umri. 

Terkait perpanjangan dan peningkatan kerjasama antara KPI dan BNPT, Kepala BNPT, Boy Rafli Amar, menyatakan pihaknya siap. Jika perlu, dalam waktu satu bulan, rencananya itu sudah terwujud. “Paling lama satu bulan perpanjangan kerjasama sudah dilakukan,” katanya pada pertemuan itu.

Dalam kesempatan itu, Boy menyoroti minimnya pengawasan terhadap media sosial. Pasalnya, kata dia, penyebaran paham-paham radikalisme atau ekstrimisme banyak melalui online. 

“Bentuk barunya terorisme sekarang individual lonely wolf terrorism. Jaringan terorisnya online. Makanya kadang pelakunya individu. Tapi yang individu ini tetap dibantu jaringan. Yang pelaku murni tunggal juga ada,” ungkap Boy.

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, menyambut baik percepatan MoU pihaknya dengan BNPT. Namun, lanjut dia, perpanjangan MoU tersebut harus penyesuaian dengan kondisi sekarang, misalnya mencakup pengawasan TV satelit dan media baru. “Nanti kita juga bisa libatkan Kemen Kominfo,” katanya.

Agung mengatakan, kekhawatiran pihaknya saat ini pada lembaga penyiaran yang tidak memiliki izin resmi seperti radio AM. “Kalau radio FM bisa diawasi karena berizin. Sedangkan AM tidak masuk izin dan jangkauannya seluruh Indonesia,” katanya kepada Kepala BNPT. 

Menyangkut media sosial, Agung mengusulkan adanya payung regulasi seperti yang diterapkan Australia. Di negara kanguru itu, semua media sosial diatur. “Kita baru mengincar pajak lewat subscriber. Kita bisa seperti Australia. Meski Australia liberal tapi medsosnya diawasi,” ujarnya.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, menjelaskan salah satu peran KPI yakni mencegah tumbuhnya embrio-embrio ekstrimisme melalui konten-konten di media penyiaran yang berpotensi mengancam integritas dan integrasi Bangsa. Berbagai upaya dilakukan KPI agar isi siaran lembaga penyiaran tidak mengarah ke penyebaran paham-paham tersebut.

“Kami mengawasi ketat konten-konten yang diindikasi bisa menyebarkan tentang kebencian dan paham tersebut. Kami juga tidak segan-segan meminta lembaga penyiaran untuk menjadi bagian yang turut serta menangkap gerakan terprisme dan radikalisme. Berkaitan pemberitaan tentang aksi terorisme, kita jaga betul agar tidak menampilkan aksi kekerasannya karena mungkin jadi inspirasi bagi khalayak pemirsa,” tutur Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat. 

Nuning juga menyoroti kebijakan open sky policy yang menyebabkan terbukanya wilayah udara Indonesia dari siaran-siaran luar melalui satelit. Menurutnya, siaran melalui satelit ini ada kemungkinan konten yang masuk dan diterima masyarakat kita tidak sesuai dengan norma dan memungkinkan mengandung paham radikal. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.