- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 41955
Jakarta -- Industri televisi di tanah air mulai banyak diisi oleh perempuan. Mereka berperan sebagai pengisi program, jurnalis, news anchor, floor direktor bahkan sebagai direksi di lembaga penyiaran. Ketika perempuan sudah terjun dan mendominasi televisi, seharusnya ini mempengaruhi perspektif keadilan gender dan penghormatan perempuan pada seluruh program siaran.
“Semakin banyak perempuan yang terjun ke industri penyiaran. Harapannya ada nilai-nilai pemberdayaan dan penghormatan terhadap hak-hak perempuan yang selama ini sedikit banyak ditampilkan di layar kaca dengan gambaran yang eksploitasi. Perempuan masih menjadi obyek berita maupuan obyek program siaran,” kata Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, saat mengisi acara webinar Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) dengan tajuk “Perempuan dan Media”, Rabu (14/10/2020).
Menurut Nuning, posisi perempuan di media penyiaran dibagi menjadi tiga peran yakni sebagai penonton, pengisi materi program acara dan tim produksi. Sebagai penonton, perempuan dapat memengaruhi seperti apa iklan yang akan tayang di televisi karena perempuan masih menjadi penentu konsumsi keluarga terhadap satu produk.
“Jika berdasarkan data kepemirsaan yang disampaikan, 56 persen penonton TV adalah perempuan. Menjadi wajar jika yang jadi target iklan adalah perempuan. Ini menjadi catatan kami untuk mendorong agensi iklan agar beriklan di tayangan berkualitas dan tidak mendiskriditkan perempuan serta program-program yang tidak melecehkan perempuan,” katanya.
Sedangkan perempuan sebagai pengisi dan menjadi materi program, menurut Nuning, dapat dilihat dari beberapa judul sinetron yang eksploitatif dan mendiskiriditkan perempuan.
“Jika judulnya itu semakin wow dan diskriminatif akan makin diminati. Ini menjadi catatan kami dan menjadi tanggungjawab bersama untuk melakukan edukasi. Apabila masyarakat semakin cerdas, masyarakat semakin teredukasi untuk memilih program siaran berkualitas dan baik. Saya kira suatu keniscayaan industri penyiaran akan menghadirkan apa yang diinginkan masyarakat. Agar tidak ada lagi judul yang bombastik dan mendiskriditkan,” kata Nuning.
Berikutnya posisi perempuan pada tim produksi. Melihat data bahwa jajaran direksi di lembaga penyiaran sudah banyak dipegang perempuan. Menurut Nuning, kabar ini cukup menggembirkan dan diharapkan sangat berpresfektif perempuan. “Ketika perempuan menjadi decision maker atau penentu kebijakan akan menentukan arah program yang tentu jadi lebih melindungi perempuan, anak dan keluarga,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Nuning menyampaikan strategi KPI terkait perlindungan perempuan dalam siaran yakni dengan penengakan regulasi. Aturan menyangkut perlindungan perempuan menjadi prioritas dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Upaya lain yang dilakuan KPI yakni bersinergi dengan sejumlah stakeholder seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), lembaga penyiaran serta lembaga swadaya masyarakat seperti Maju Perempuan Indonesia.
“Kita mensinergikan program dan pijakan dalam hal meliterasi masyarakat agar lebih cerdas, masyarakat bisa memilih program siaran yang berkualitas. Tentu upaya ini dalam rangka mendorong perlindungan dan pemberdayaan masyarakat dari berbagai sektor kehidupan,” jelasnya.
KPI juga melakukan inovasi guna menegakkan kesetaraan gender di seluruh sektor. Karena itu, kata Nuning, perlu ada keterwakilan perempuan dalam setiap pengambil kebijakan dan hal ini tentu mengharuskan posisi perempuan tidak boleh hilang dalam sebuah tatanan organisasi seperti KPI atau KPID.
“Kami sangat terpukul ketika ada beberapa KPID yang tidak ada perempuannya. Dalam persfektif regulator, ini akan menghambat karena tidak ada persfektif perempuan dalam pengambil keputusan agar perempuan tidak lagi dieksploitasi, didiskriminasi dan lain sebagainya. Ini harus didorong untuk menghadirkan persfektif perempuan dalam konteks pengawasan siaran. Selain itu, KPI juga memberikan apresiasi kepada lembaga penyiaran yang telah memproduksi program siaran yang peduli kepada perempuan,” tegasnya.
Ketidakadilan gender
Di awal acara, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( Menteri PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyampaikan, hingga saat ini ketidakadilan gender bagi perempuan masih terjadi di media penyiaran. Menurut dia, masyarakat Indonesia cenderung masih erat dengan pandangan patriarki yang mempersepsikan peran utama perempuan ada di ranah domestik, misalnya sebagai ibu rumah tangga. Gambaran tersebut dapat dilihat melalui media penyiaran.
"Gambaran perempuan saat ini yang dapat kita lihat melalui media penyiaran masih lekat dengan ketidakadilan gender, di antaranya terletak pada stereotipe. Perempuan hanya diberikan peran pada sektor domestik serta isu kehamilan, pengasuhan dan pendidikan," kata Bintang saat membuka kegiatan literasi tersebut.
Bintang mengatakan, praktik eksploitatif juga terjadi pada perempuan di media penyiaran, contohnya, kasus prostitusi. Isi pemberitaan di media penyiaran dinilai cukup mengeksploitasi perempuan dari berbagai sisi. "Demikian juga kekerasan, di mana kasus-kasus perkosaan yang kerap menyalahkan dan menganggap perempuan sebagai pemicu perkosaan," ujarnya.
Dia mengatakan, perempuan harus diberikan akses dan kesempatan lebih luas sehingga potensi dan kemampuannya pun berkembang maksimal. "Saya yakin pemberdayaan perempuan adalah kunci dari kesuksesan pembangunan bangsa, perjuangan perempuan untuk dapat didengar, dipertimbangkan, dan menempati posisi penting masih menjadi permasalahan bagi kita semua," tutur Bintang.
Bintang mengatakan, dibutuhkan upaya serius untuk meminimalisir ketidakadilan gender pada media penyiaran. Diperlukan kesadaran dan komitmen dari para pelaku usaha di bidang penyiaran, salah satunya dengan menguatkan pedoman responsif gender yang telah ada maupun mendukung pengembangan pedoman yang sudah ada agar lebih efektif.
Sementara itu, Koordinator Maju Perempuan Indonesia, Lena Maryana, menyatakan keterwakilan perempuan di media penyiaran akan mewakili penonton perempuan. Menurut dia, menghadirkan perempuan dalam kehidupan bernegara sangat penting.
“Karena itu, kami mendorong adanya kesadaran gender di semua kalangan termasuk dalam hal pemutusan kebijakan oleh negara. Ini tidak mudah karena penentu kebijakan mayoritas adalah laki-laki,” kata Anggota DPR RI Periode 2014-2019 ini.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Programing SCM, Harsiwi Achmad, mengatakan media tidak bisa berjuang sendiri jika tidak didukung semua aspek. “Perjuangan media tidak sampai di sini. Kami akan terus berupaya memperbaiki tayang-tayangan kami untuk dapat meninggikan derajat perempuan di industri media,” katanya.
Harsiwi menyatakan komitmen lembaganya untuk penonton perempuan. Pertama, telah ada pembatasan terhadap penampilan perempuan yang hanya mengadalkan fisik bukan kualitas kemampuan. “Ini sudah kami batasi betul. Sehingga ketika nonton dangdut akademi misalnya, tidak ada penyanyi yang suaranya jelek atau hanya mengandalkan fisik. Dan pembatasan ini tentunya juga berlaku pada program lain,” tuturnya.
Sekarang, lanjut Harsiwi, pihaknya juga sudah mengubah image acara dangdut yang mengeksploitasi perempuan dengan goyangan menjadi berdasarkan kualitas suara dan berpenampilan sopan. ***