Jakarta - Pelaku industri penyiaran saat ini (existing) harus bersiap dengan hadirnya lebih banyak lagi pemain yang akan terjun dalam dunia penyiaran, mengingat frekuensi yang tersedia sekarang sudah lebih banyak sebagai konsekuensi pemanfaatan frekuensi yang diterapkan dalam digitalisasi penyiaran. Migrasi penyiaran dari sistem analog ke sistem digital sendiri, sebagaimana amanat Undang-undang Cipta Kerja, selambat-lambatnya dilaksanakan dua tahun sejak regulasi ini diundangkan.  Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafidz menyampaikan hal tersebut dalam Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa yang digelar secara daring oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan tema “Berkreasi Melalui Media Penyiaran di Era Digital”, (21/10).

Menurut Meutya, digitalisasi penyiaran ini sangat mendukung hadirnya keberagaman konten dan keberagaman kepemilikan, yang merupakan pilar penopang kehadiran demokratisasi penyiaran. “Saat ini kepemilikan media bisa dikatakan hanya terpusat pada lima hingga sepuluh pemilik,” ujarnya. Tak heran jika kemudian konten siaran di televisi cenderung seragam dan itu-itu saja. Sedangkan dalam penyiaran digital ke depan, tambah Meutya,  dengan banyaknya pemain dalam dunia penyiaran, maka dengan sendirinya televisi harus mengubah dirinya dengan menghadirkan konten siaran yang lebih tersegmentasi. Misalnya televisi khusus hiburan, televisi pendidikan ataupun televisi olah raha sebagaimana terjadi di negara demokrasi maju lainnya.  “Dengan demikian harapan kita untuk menghadirkan keberagaman  konten dapat tercapai,” ujarnya. 

Terkait soal konten siaran, Meutya menilai, pengelolaan sumber daya manusia (SDM)  penyiaran yang kreatif, terampil dan professional sangat dibutuhkan agar dapat menghadirkan konten yang berkualitas. Apalagi jika dikaitkan dengan tujuan undang-undang penyiaran yang menginginkan hadirnya tayangan mencerdaskan. “Kalau saat ini televisi dianggap belum dapat memberikan pencerdasan, perekat sosial dan lainnya kecuali hiburan, ini mungkin hasil dari SDM yang juga belum siap,” ujar Meutya. Kita punya pekerjaan rumah untuk dapat membuat SDM penyiaran yang siap membuat konten-konten berkualitas dan sesuai arah dan tujuan diselenggarakannya penyiaran. Meutya berharap selain melaksanakan literasi kepada publik, KPI juga ikut memberikan pelatihan pembuatan konten kreatif untuk SDM penyiaran sebagai pengembangan digital talent. 

Menyambung pembicaraan tentang talenta digital yang disampaikan oleh Meutya, harus diakui bahwa saat ini televisi memang memberi peluang yang besar bagi kalangan milenial untuk berkiprah dan berkreasi. Diantaranya diantaranya menjadi produser, juru kamera, reporter, ataupun jadi talent. Untuk talent sendiri, sudah banyak lembaga penyiaran yang menyelenggarakan program pencarian bakat atau talent search. Ini adalah peluang-peluang yang harus dapat dimanfaatkan oleh kalangan milenial guna berkiprah di dunia penyiaran. Hal ini dikemukakan Hardly Stefano Pariela, Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan yang turut hadir sebagai nara sumber.

Terkait perkembangan teknologi digital saat ini, menurut Hardly semua orang dapat membuat konten. Namun belum tentu semua konten yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik dan layak untuk hadir di lembaga penyiaran baik itu televisi atau pun radio. “Di satu sisi televisi dan radio  juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan inspirasi positif bagi masyarakat,” ujarnya. 

Untuk itu Hardly mengajak kalangan milenial untuk ikut berkiprah dan berkreasi dalam dunia penyiaran, sebagai sebuah usaha meramaikan dunia penyiaran dengan konten-konten yang berkualitas. Jika saat ini ada yang mempertanyakan keberadaan program-program siaran yang tidak berfaedah, Hardly mengajak peserta GLSP daring ini untuk memahami proses produksi sebuah program siaran di televisi. Ketika lembaga penyiaran membuat program siaran, salah satu pertimbangan adalah potensi penonton. “Kalau penontonnya banyak, maka program itu akan terus disiarkan,” terangnya. Namun jika penontonnya tidak ada, sebaik apapun nilai atau value yang melekat di dalamnya, dapat dipastikan program tersebut tidak diproduksi lagi. Hal ini dikarenakan jumlah penonton berbanding erat dengan jumlah iklan yang akan membiayai program ini. 

Berangkat dari realitas ini pula, Hardly mengajak peserta untuk meningkatkan kapasitas literasi. Selain mampu memilih dan menyeleksi program siaran yang sesuai dengan kebutuhan, Hardly berharap publik juga ikut memberikan kritikan dan masukan pada KPI atas program siaran yang dinilai bermuatan negatif. Selain itu yang juga sangat penting adalah memberikan apresiasi pada program siaran yang baik. Bagi lembaga penyiaran, apresiasi dari publik ini sangat dibutuhkan untuk mendukung kerja mereka dalam menjaga kesinambungan program-program yang berkualitas. Di lain sisi, ujar Hardly, apresiasi terhadap program siaran berkualitas juga dapat dilakukan dengan memviralkan program ini sehingga makin dikenal orang banyak yang berimplikasi pada peningkatan jumlah penonton. 

Peran serta masyarakat seperti inilah yang dibutuhkan KPI  dalam menjaga medium frekuensi yang digunakan lembaga penyiaran. Hardly meyakini kualitas siaran banyak ditentukan oleh penonton. Menurutnya, penonton yang cerdas dapat mendorong hadirnya program siaran berkualitas, dan program siaran berkualitas akan mendukung hadirnya publik dan masyarakat yang cerdas. 

Dalam kesempatan tersebut KPI juga menghadirkan Lyodra Margaretha Ginting sebagai narasumber yang membagi pengalaman dan perjuangannya dalam memuncaki ajang pencarian bakat Indonesian Idol sesi 10. Selain itu, itu turut hadir pula Dini Putri selaku Direktur Program dan Akuisisi RCTI, yang memaparkan strategi televisi di era digital, khususnya terkait program ajang pencarian bakat. 

 

Jakarta -- Potensi berita hoax politik dan juga covid-19 di media sosial menjelang berlangsungnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada Desember mendatang diprediksi meninggi. Hal ini dikhawatirkan dapat menurunkan jumlah partisipasi masyarakat untuk memilih yang ditargetkan mencapai 77.5 persen.  

Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, mengatakan salah satu upaya untuk meredam berita hoax terkait politik dan covid yakni dengan memanfaatkan lembaga penyiaran, TV dan radio. Berdasarkan data survey dari masyarakat telekomunikasi atau Mastel, saluran yang paling banyak menyebarkan berita hoax melaui sosial media. 

“Media kovensional seperti media cetak dan televisi persentasenya di bawah 9 persen. Bahkan, untuk radio sangat kecil angkanya jika dipersentase hanya 1,2 persen. Ini artinya media konvensional khususnya lembaga penyiaran jadi sebuah keniscayaan menjadi rujukan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas dan clear,” kata Nuning di sela-sela Rapat Koordinasi (Rakor) Pengawasan Penyiaran, Pemberitaan, dan Iklan Kampanye Pilkada 2020 di Lembaga Penyiaran yang diselenggarakan di Bandar Lampung, Lampung, Senin (19/10/2020).

Selain minim hoax, lanjut Nuning, belakangan ini media penyiaran  mendapat kepercayaan besar dari  masyarakat. Hal ini dibuktikan dari hasil survey EdelmenTrust yang mengkonfirmasi bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap media konvesional terus meningkat.

“Menurut survey itu, tingkat kepercayaan masyarakat tehadap media sosial semakin turun. Menilik hasil itu, saya sangat menekankan penyelenggara pemilihan untuk memanfaatkan media penyiaran sebagai media untuk sosialisasi, literasi kepemiluan dan kampanye. Media penyiaran ini juga sangat tepat dan baik sebagai media pendidikan politik dan jauh lebih efektif dibanding dengan media-media lainnya,” tegas Nuning di depan KPID, perwakilan Bawaslu dan lembaga penyiaran. 

Nuning juga menyampaikan, banyak keuntungan jika melakukan kerjasama dengan media penyiaran. Pasalnya, lembaga penyiaran yang sudah konvergensi dan memiliki jaringan media lain seperti link streaming, media on line, media sosial dan jaringan lainnya. 

“Ini jadi sangat strategis, tidak hanya di ruang khusus masyarakat pendengar radio atau pemirsa televisi saja misalnya, tapi juga akan menjangkau pengguna sosial media. Istilahnya, jika berkerjasama dengan lembaga penyiaran itu beli satu untung banyak. Jadi banyak ruang untuk sosialisasi,” tambahnya.

Dalam kesempatan itu, Nuning menyoroti pendeknya waktu iklan kampanye di media penyiaran yang hanya 14 hari. Menurutnya, kondisi ini harus jadi kajian dalam pemilu atau pilkada berikutnya karena waktu 14 hari dinilai kurang intensif apalagi di masa pandemi covid19.

“KPI selalu mendorong agar penyelenggara Pemilu membuka ruang sosialisasi dan pendidikan politik tidak hanya 14 hari. Ini selalu kita dorong di awal-awal sebelum ada PKPU 11/2020 tentang kampnye . Pasalnya, pada saat pandemi sekarang, media sosialisasi dan kampanye lewat media penyiaran sangat aman dan juga jauh dari hoak. Media penyiaran dapat meminimalisir kerumunan dan kontak fisik berkerumun tapi targetnya dapat mencapai ribuan orang. Bahkan jika melibatkan teman-teman televisi jaringan, targetnya jadi lebih banyak,” kata Nuning. 

Dia juga mengusulkan pada penyelenggaraan Pilkada berikutnya agar spot iklan kampanye tidak harus 10 spot per-hari. Bisa dirata-rata menjadi tiga spot per-hari tapi dapat ditayangkan sepanjang masa kampanye. ***

 

Bandar Lampung – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bergerak cepat dan mulai melakukan rapat koordinasi dengan daerah (KPID, Lembaga Penyiaran Lokal, Bawaslu Daerah dan KPUD) terkait pelaksanaan pengawasan penyiaran pemberitaan dan iklan kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020. Lampung menjadi daerah pertama yang dikunjungi KPI untuk menyosialisasikan kebijakan terkait pengawasan penyiaran dan iklan kampanye Pilkada 2020 di lembaga penyiaran.

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, saat membuka Rakor tersebut mengatakan, Pilkada tahun ini harus tetap dilangsungkan meskipun dalam keadaan pandemi covid-19. Menurutnya, proses pemilihan ini dapat berjalan dengan aman asalkan mengikuti secara disiplin protokol kesehatan yang sudah ditetapkan. 

“Kunci semua ini adalah perubahan perilaku manusia atau masyarakat. Pemerintah sudah menyosialisasikan protokol covid ketika akan masuk bilik dan di lapangan. KPU juga telah membatasi sedemikian rupa kampanye di lapangan dan mengalihkan ke kampanye di media serta virtual,” jelasnya saat membuka kegiatan tersebut langsung di Kota Bandar Lampung, Lampung, Senin (19/10/2020).

Agung menceritakan bahwa ada lima puluh negara yang telah melakukan Pemilu pada saat pandemi. Sebagian negara tersebut ada yang sukses dan gagal. Contoh negara yang gagal adalah Iran sehingga menyebabkan partisipasi pemilih anjlok. “Bahkan di kota Teheran jumlah partisipasi hanya 20 %. Selain itu, kegagalan keduanya, pemilu di Iran justru menimbulkan kluster baru covid,” katanya. 

Adapun contoh yang sukses yakni pemilu di Korea Selatan (Korsel). Partisipasi pemilih pada Pemilu saat pandemi di Negeri Ginseng justru paling tinggi sejak 20 tahun. Menurut Agung, Korsel sukses karena kampanye tentang pemilu aman saat covid yang massif melalui media penyiaran. “Jadi sebelum pemilu dilakukan, TV di korsel meyakinkan kepada pemilih untuk tidak khawatir untuk datang ke TPS dan melakukan pemilihan. Hal ini sudah mulai dilakukan TV berjaringan kita,” katanya.

Terkait pemanfaatan media penyiaran dan jaringan internet untuk sosialisasi dan kampanye, Agung sangat mendukung. Menurutnya, Pilkada 2020 dapat sukses dari segi partisipasi dan juga penyelenggaraan berkat media penyiaran.

“Kita mengadopsi cara Korea Selatan. Pilkada ini menjadi pilkada yang bersejarah dan kita berharap pasrtisipasinya sangat tinggi hingga 70 persen. Hal ini, mau tidak mau kita harus kampanye di lembaga penyiaran biar bisa mencapai taget tersebut. Indonesia akan menjadi negara yang dijadikan contoh bagi negara lain dalam pelaksanaan pemilu jika ini berhasil,” kata Agung menambahkan.

Dalam kesempatan itu, Agung juga mendorong peran pemerintah provinsi untuk membantu KPID untuk menyosialisasikan bagaimana cara Pilkada yang baik dan benar saat pandemi. “Masyarakat harus tahu bagaimana memilih yang benar sesuai dengan protokol covid. Saya berharap pilkada ini sukses dan sesuai dengan protyokol covid,” tandasnya. ***

 

 

Bandar Lampung -- Dalam situasi pandemi sekarang ini, lembaga penyiaran memiliki peran penting guna meningkatkan partisipasi pemilih dan suksesnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2020 melalui sosialisasi, pemberitaan, dan iklan kampanye. 

Namun demikian, terkait penyiaran Pilkada ini, KPI mengingatkan seluruh lembaga penyiaran untuk tidak terjebak atau dinilai terlibat dalam praktik politik praktis. Pasalnya, praktik ini berpotensi melanggar aturan P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) KPI yang akan merugikan lembaga penyiaran tersebut sekaligus peserta Pilkada.

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, mengatakan agar tidak terjadi praktik seperti yang dikhawatirkan di atas, pihaknya meminta lembaga penyiaran untuk memperhatikan empat hal yang menjadi substansi (kata kunci) dalam pedoman penyiaran yakni adil dan proposional, dilarang memihak, dilarang dibiayai peserta serta tunduk pada regulasi lembaga yang berwenang (PKPU, PKPI, Peraturan Bawaslu dan sebagainya).

“Tidak boleh ada pembiayaan dari peserta pemilihan. Karena dalam aturan P3SPS disebutkan dilarang dibiayai kecuali iklan. Nah dalam peraturan tentang pilkada, iklannya pun sekarang tidak boleh dari peserta tapi dari peyelenggara Pemilu,” kata Hardly saat menjadi narasumber Rapat Koordinasi (Rakor) Pengawasan Penyiaran dan Iklan Kampanye Pilkada Serentak 2020 di Bandar Lampung, Senin (19/10/2020).

Dia juga berharap lembaga penyiaran khususnya di Lampung untuk menjaga asas keberimbangan dan proporsional pemberitaannya di masa kampanye. Pada saat masa tenang, lembaga penyiaran diminta untuk menjaga kondusifitas daerah dan nasional. 

“Apa itu menjaga kondusifitas yaitu tidak lagi menyiarkan hal-hal yang terkait dengan kampanye. Jadi ketika di masa tenang liputan kampanye jangan lagi dimunculkan termasuk jajak pendapat, termasuk hal-hal yang bisa mempengaruhi preferensi pemilih. Biarlah di masa tenang itu menjadi waktu memberikan waktu kontemplasi bagi para pemilih. Jadi tidak perlu lagi dibombardir dengan berbagai informasi tentang pasangan calon di masa tenang,” tegas Hardly.

Kemudian, di hari H atau hari pemungutan suara, lembaga penyiaran diminta tidak mempengaruhi pilihan pemilih dengan tidak menayangkan jajak pendapat sebelum TPS (tempat pemungutan suara) tutup. “Jangan juga meliput aktivitas salah satu pasangan calon secara berlebihan,” kata Hardly.

Hal lain yang juga penting, lanjut Hardly, lembaga penyiaran harus ikut terlibat mengawal hasil pemilihan dalam proses penghitungan manual berjenjang. “Saya titip betul kepada lembaga penyiaran soal ini. Meskipun ada hitungan cepat, namun harus terus disampaikan bahwa penghitungan suara resmi adalah yang dilakukan penyelenggara secara manual berjenjang. Media penyiaran juga perlu terlibat menyampaikan informasi kepada masyarakat tentang proses dan dinamika penghitungan suara tersebut. Ini juga merupakan bagian dari mengawal proses pilkada,” ujar Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat ini.

KPI juga meminta dan mendorong lembaga penyiaran menjadi instrumen resolusi konflik pasca pemilihan. Menurut Hardly, setelah Pilkada, masyarakat tidak boleh dibiarkan dalam konflik berkepanjangan akibat perbedaan pilihan. Diakui, pemilihan ini bisa menyebabkan terpecah, terpolarasi atau terbagi dalam kelompok. 

“Saya sangat berharap lembaga penyiaran bisa menjadi resolusi konflik. Ketika pemilihan sudah selesai, maka siapapun pemimpin terpilih harus diterima sebagai proses demokrasi. Resolusi ini harus disampaikan terus menerus dan jangan membiarkan konflik itu terjadi dan berlanjut pasca pemilihan. Ini beberapa hal yang bisa diperankan lembaga penyiaran,” kata Hardly.  

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI, Aziz Syamsuddin, mengingatkan lembaga penyiaran untuk beradaptasi dalam penyiaran Pilkada di masa pandemi. Menurutnya, beberapa hal penting harus diperhatikan seperti menjalankan protokol kesehatan covid. 

Selain itu, Putra daerah Lampung ini, meminta lembaga penyiaran dan seluruh stakeholder penyelenggaraan Pilkada seperti KPU, Bawaslu, TNI dan Polri, agar melakukan pengawasan secara intensif pada Pilkada baik itu pada saat proses kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara hingga penetapan pemenang Pilkada. 

“Di dalam hal ini lah perlu ada adaptasi yang cepat dan diperlukannya lembaga penyiaran. Makanya saya menyambut baik antara KPI Pusat yang berinisiasi melakukan rapat koordinasi agar proses pilkada baik pemberitaan dan iklan kampanye di Pilkada agar berjalan dengan sukses dan baik. Kita berharap dalam proses ini dapat melakukan hal yang baik dan bekerjasama dengan semua pihak untuk menegakkan kedisiplinan pilkada,” kata Aziz diawal kegiatan tersebut.

Dalam Rakor itu hadir sejumlah Anggota KPID, perwakilan Bawaslu, KPUD dan lembaga penyiaran di Lampung, turut hadir Ketua KPI Pusat, Agung Suprio dan Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah. ***

 

 

Serang - Kawasan perbatasan antarnegara dan daerah blankspot, harus diakui kurang begitu menarik untuk dikelola dalam rangka menunaikan hak informasi masyarakat melalui pemerataan siaran. Secara karakteristik, dua wilayah ini sulit dilayani lantaran adanya hambatan secara geografis dan ekonomis. Namun dengan adanya digitalisasi penyiaran, hambatan tersebut diharapkan dapat menemui jalan keluar. 

Menurut Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Mulyo Hadi Purnomo, digitalisasi penyiaran memiliki nilai strategis di wilayah perbatasan antarnegara. Siaran digital menjadi benteng penjaga ke-Indonesiaan di wilayah perbatasan, baik dalam konteks kebudayaan dan kemasyarakatan. “Dengan siaran digital ini, kita dapat menjaga kebudayaan Indonesia tetap eksis di wilayah perbatasan dan tidak diganggu oleh siaran yang meluber dari negara tetangga,””ujarnya. 

Hal ini disampaikan Mulyo dalam Sosialisasi dan Publikasi Menjaga Indonesia dan Perbatasan Melalui Penyiaran Digital, yang digelar KPI bekerja sama dengan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo),(16/10). 

Digitalisasi ini pun, menurut Mulyo memberikan banyak kemanfaatan dengan terbukanya wilayah-wilayah baru untuk diakses televisi sebagai bahan liputan. Selama ini karena wilayah perbatasan tidak terjangkau dan masyarakat pun kesulitan mengakses  siaran televisi dan radio dalam negeri, maka masyarakat pun tidak terliput dan tidak hadir di ruang siar kita. “Sehingga seolah-olah melupakan wilayah perbatasan sebagai  bagian dari Indonesia kita, “ tegasnya. Padahal ada kekuatan ekosistem dan kekuatan ekonomi daerah di perbatasan yang dapat menjadi dimanfaatkan. Harapannya, dengan digitalisasi peluang di wilayah perbatasan ini dapat dioptimalkan. 

Migrasi penyiaran dari analog ke digital direncanakan dapat terealisasi pada tahun 2022. Tentunya migrasi secara serentak (Analog Switch Off) ini akan  membuahkan  digital deviden, atau keuntungan digital. Mulyo berharap kelebihan pemanfaatan frekuensi ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan informasi melalui internet. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang, ketika sekolah tidak bisa dibuka, semua terbantukan dengan jaringan internet dan juga siaran televisi maupun radio. Internet juga diharapkan tidak saja berguna untuk pendidikan formal seperti penyediaan ruang-ruang belajar dari penyedia layanan,tapi  juga untuk pengembangan pengetahuan dan daya kritis masyarakat.  Selain itu, Mulyo meyakini,  pemanfaatan frekuensi internet ini dapat memacu pertumbuhan ekonomi kreatif. 

Mulyo berharap, dengan ASO ini, masyarakat dapat merasakan perubahan signifikan terhadap kualitas layanan siaran. Selain kualitas gambar yang  baik, konten siaran juga menjadi lebih beragam, sebagaimana hari-hari ini sudah mulai menunjukkan perkembangan keberagaman konten tersebut. 

Hadir pula secara daring Wakil Ketua Komisi X Agustin Wiljung Pramestuti. Dalam kesempatan ini Agustin menyampaikan pandangannya tentang penyiaran digital yang menempatkan KPI sebagai lembaga yang memiliki peranan penting menjaga konten siaran. Menurutnya yang harus ditekankan dalam menjaga Indonesia di Perbatasan adalah menyemangati masyarakat yang tinggal di perbatasan agar merasa sama sama dengan masyarakat Indonesia yang tinggal di ibukota kabupaten terdekat. “Harus kita akui wilayah perbatasan mebutuhkan perhatian besar dari pemerintah,”ujarnya. 

Dengan adanya kepastian Analog Switch Off, Agustin berharap  kita mulai memoles wajah di perbatasan. “Karena jika sudah masuk era digital di perbatasan, harus disadari akan terlihat jelas oleh dunia luar, bagaimana perbatasan antarnegara diurus selama ini,” tegasnya. 

Menjaga Indonesia dan perbatasan melalui penyiaran digital semestinya tidak hanya dimaknai pada perbatasan yang bersifat fisik, tapi juga perbatasan di dunia digital sendiri. Sebagai pimpinan dari Komisi X yang membidangi masalah pendidikan, Agustin menyoroti aktivitas anak-anak sekolah yang memegang gadget dengan kuota cukup untuk browsing internet tanpa pengawasan. Menurutnya, perbatasan ini juga sangat penting diperhatikan untuk selalu dijaga. 

Sementara itu narasumber dari kalangan industri yang hadir dalam sosialisasi dan publikasi tersebut adalah Wawan Julianto selaku Vice President Broadcast Operational Trans TV.   Secara rinci Wawan menyampaikan tiga tantangan besar bagi industri dalam melaksanakan siaran di wilayah perbatasan. Pertama adanya luberan atau spill over siaran asing di wilayah perbatasan. Secara teknis, ujar Wawan, tidak dapat dihindari karena frekuensi sifatnya merambat dari udara dan tidak mungkin diblok. Hal ini yang kemudian membuat masyarakat di perbatasan rawan terpapar propaganda ideology asing, yang juga berbahaya bagi keamanan nasional. Tantangan selanjutnya adalah potensi ekonomi yang kurang di wilayah perbatasan.  Yang terakhir belum optimaknya infrastruktur penunjang di wilayah perbatasan. Namun demikian, dengan segala tantangan besar tersebut, Trans Media punya komitmen kuat untuk tetap menyelenggarakan penyiaran di perbatasan sebagai wujud peran serta mendukung pemerintah dalam pemerataan informasi untuk publik. 

Narasumber lain yang juga memberikan materi adalah anggota Komisi I Helmy Faishal Zaini, Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Mimah Susanti, serta Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemenkominfo Prof Widodo Muktiyo, dengan moderator dari KPID Banten, Alamsyah. 

KPI sendiri, menurut Mimah, tetap membutuhkan support dari masyarakat dalam melakukan pengawasan konten penyiaran digital.  Mengingat jumlah lembaga penyiaran yang akan hadir nanti akan menjadi lebih banyak. Tentunya sinergi dengan publik menjadi salah satu kekuatan dalam kiprah lembaga ini menjaga konten siaran agar selaras dengan arah dan tujuan berbangsa dan bernegara. 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.