Bogor -- Televisi Nasional Republik Indonesia (TVRI) siap berkomitmen un tuk bersiaran secara digital sesuai dengan aturan pemerintah. Hal itu diutarakan Direktur Utama TVRI, Iman Brotoseno, saat mengisi acara Sosialisasi dan Publikasi Menjaga Indonesia dan Perbatasan Melalui Penyiaran Televisi digital yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bersama dengan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI), secara daring di Bogor, Senin (26/11/2020).

“Sejak tahun 2016 TVRI sudah mulai untuk bersiaran secara digital, dimulai dengan pembangunan Infrastruktur penyiaran,” ujarnya.

Iman juga menyampaikan, TVRI daerah juga sudah siap melakukan penyiaran digital. “Saat ini, TVRI memiliki 29 stasiun regional, fasilitas CDN (conten delivery network) penyiaran, dan 361 pemancar. Hingga saat ini, TVRI terus menyiapkan infrastruktur untuk memfasilitasi penyiaran digital di daerah,” imbuhnya.

Menurutnya, TV digital memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan penyiaran analog  diantaranya varian program akan lebih banyak, kualitas tayangan semakin baik, penghematan spektrum, dan adanya fitur interaktif. 

Di sisi lain, penyiaran digital juga memberi kemanfaatan untuk pemerintah, pemirsa, maupun lembaga penyiaran. Selain itu, sistem baru ini dapat membuat efisiensi atau operation cost bagi lembaga penyiaran jadi lebih murah. “Akan juga memunculkan peluang bisnis kreativitas anak muda sebagai konten kreator. Sedangkan bagi pemerintah akan meningkatkan digital deviden yang bermanfaat untuk berbagai aspek,” jelas Iman.

Sebelum menutup presentasi, Iman menegaskan pihaknya siap melakukan Analog Switch Off pada 2022 mendatang. “Kami telah melakukan 6 tahap uji coba siaran digital dan mencoba menambah titik di 108 lokasi. Selain itu, lokasi pemancar digital TVRI terdapat di 74 wilayah yakni 18 wilayah layanan perbatasan dan 46 wilayah layanan di luar perbatasan,” pungkas mantan Ketua Asosiasi Pekerja Film Iklan Indonesia.

Kegiatan virtual yang dihadiri ratusan peserta ini bertujuan mensosialisasikan penyiaran digital . Acara diisi oleh beberapa narasumber diantaranya Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid, Anggota Komis I DPR RI, Junico Siahaan, Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, Dirut TVRI, Iman Brotoseno, dan Koordinator Subdit Layanan Televisi Kominfo, Sukamto. Vel/*

 

Jakarta - Kemampuan iklan kampanye memberi pengaruh  dan preferensi pemilih dalam Pemilhan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu alasan yang menjadi dasar pentingnya pengaturan iklan kampanye baik di media cetak maupun di media elektronik. Selain itu, iklan kampanye dalam catatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga terkait dengan preferensi politik dari pemilik media yang berpotensi menjadikan media sebagai mesin politik. Alasan lain adalah tingginya tingkat penetrasi informasi melalui  media massa kepada publik. Dengan demikian, iklan media harus diatur sedemikian rupa agar tidak hanya menguntungkan pihak-pihak yang punya kedekatan dengan pemilik media.  Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Hardly Stefano Pariela menyampaikan hal tersebut pada kesempatan webinar "Optimalisasi dan Sistem Filtrasi Iklan Kampanye pada Pilkada 2020” yang diselenggarakan oleh Lembaga Sensor Film (LSF) secara virtual, (24/11). 

Pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3 & SPS) KPI 2012 memiliki pengaturan tentang perlindungan kepentingan publik, namun terkait dengan iklan kampanye pemilihan kepala daerah KPI juga merujuk pada pengaturan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara. Dalam penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, KPI berada dalam Gugus Tugas Pengawasan bersama dengan KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Pers. Kontribusi KPI adalah dengan melakukan pengawasan atas pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye di televisi dan radio. Dalam menyiarkan program siaran dan iklan tentang pemilihan kepala daerah, lembaga penyiaran harus memperhatikan beberapa kaidah kampanye, ujar Hardly. Yakni harus sopan, tertib, edukatif, bijak dan yang paling penting tidak provokatif. 

Pada forum tersebut Hardly mengungkapkan tentang aturan dalam P3SPS bahwa program siaran dalam bentuk promo film dan atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor (STLS) yang dikeluarkan oleh lembaga berwenang. Dirinya mengingatkan bahwa iklan kampanye pun harus memiliki STLS.

“Karena dibutuhkan STLS, maka pada proses filtrasi pra tayang, KPU dapat membentuk tim bersama dengan KPI dan LSF untuk memeriksa kesesuaian materi iklan dengan berbagai regulasi,” ujarnya.  Hardly juga menyampaikan bahwa ada larangan dalam siaran iklan di lembaga penyiaran tentang pemuatan minuman beralkohol, rokok, adegan kekerasan, eksploitasi anak dan sebagainya. Hardly juga menyebutkan bahwa KPI selama ini telah bekerjasama dengan Bawaslu untuk mendeteksi potensi pelanggaran iklan kampanye pasca tayang.

Ada beberapa catatan atas potensi pelanggaran iklan kampanye dalam Pilkada dan Pemilu. Diantaranya penayangan iklan di luar jadwal yang ditetapkan KPU, tidak memenuhi kaidah kampanye, tidak memiliki surat tanda lulus sensor, serta melebihi jumlah maksimal spot per hari. Potensi pelanggaran lainnya adalah penggunaan sisa spot iklan oleh peserta Pilkada. Adanya keterbatasan anggaran dari KPU Daerah untuk memfasilitasi 10 spot iklan, ujar Hardly, menjadi celah yang berpotensi dimanfaatkan oleh peserta pilkada. “Kalau tidak ada kejelian mengawasi hal ini, sisa spot iklan dapat digunakan dan dibayar langsung oleh peserta,”tambahnya. Untuk itu, KPU perlu menyampaikan secara terbuka media mana saja yang diajak bekerjasama (media partner) dan berapa iklan spot iklan per hari yang dipasang pada masing-masing media (media plan). “Jadi KPI, Bawaslu maupun publik dapat mengetahui jika ada iklan kampanye di luar yang difasilitasi KPU”, tegas Hardly. 

Hardly juga menyampaikan catatan atas pengaturan iklan kampanye. Menurutnya, pengaturan iklan kampanye yang terlalu ketat, serta adanya keterbatasan KPU daerah dalam memfasilitasi akan mengurangi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang pasangan calon. Sementara di sisi yang lain informasi melalui media baru khususnya sosial media sangat bebas dan pengaturan yang minim. Perlu ada ruang lebih besar  bagi lembaga penyiaran dalam menyiarkan iklan kampaye Pilkada, sepanjang ada kerjasama dari berbagai lembaga terkait untuk melakukan pengawasan. 

Atas catatan tersebut, Hardly menyampaikan rekomendasi  bahwa Iklan kampanye di media massa perlu diatur dengan menggunakan dua konsep, yaitu fasilitasi oleh penyelenggara dan mandiri oleh peserta, sebagaimana berlaku pada pemilu 2019 yang lalu. Namun demikian dia menilai tetap diperlukan pembatasan durasi dan frekuensi tayang iklan,supaya jangan sampai ada peserta yang beriklan sepanjang hari. Hardly juga mengusulkan agar iklan di media massa dapat dilakukan sepanjang masa kampanye, tidak dibatasi pada 14 hari saja. Tentunya tetap dibutuhkan kerja sama dan sinergi agar lembaga terkait dalam melakukan filtrasi dan pengawasan terhadap iklan kampanye, pungkasnya. (Foto: Teddy Rantono)

 

Jakarta -- Komisioner Komisi Penyiaran Indoensia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis, mengapresiasi visi Presiden RI, Joko Widodo, untuk menerapkan konsep digital dengan banyak keuntungan dan kelebihan di dalamnya. Hal itu disampaikannya pada saat seminar berbasis daring yang diselenggarakan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) dengan tema “Pemanfaatan TIK Dalam Edukasi dan Sosialisasi Penanggulangan Covid-19” di Jakarta, Senin (23/11/2020).

Menurut Yuliandre, digitalisasi ini juga dapat memperluas kesempatan bagi sektor ekonomi kreatif. Peluang ini perlu ditangkap dalam rangka pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19. “Wabah Covid-19 ini telah mempercepat adaptasi masyarakat terhadap praktik digital,” kata pria yang akrab disapa Andre ini.

Terkait Covid-19, KPI tidak pernah berhenti untuk mendorong dan mengawal terkait penayangan Iklan Layanan Masyarakat (ILM) yang disosialiasikan melalui media penyiaran tentang penanganan covid 19. 

Menyangkut kemajuan industri digital, Andre berharap kemajuan ini dapat dibarengi dengan regulasi yang mengatur serta melindungi para pelaku industri kreatif. “Saat ini, masyarakat perlu diberikan perlindungan baik dari sisi konten maupun ekonomi. Regulasi dan aturan yang menyangkut media baru harus segera ada, mengingat perkembangan dunia digital saat ini begitu pesat, saring sebelum sharing,” pungkasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta, mengatakan kasus Covid-19 saat ini belum ada konsistensi penurunan. Kondisi ini terjadi karena belum maksimalnya penanganan, sementara masyarakat belum patuh menerapkan protokol kesehatan. “Ini menjadi catatan, angka rata-rata nasional ini cukup tinggi sedangkan ada dorongan untuk beraktivitas kembali,” kata Sukamta

Dia menilai kepatuhan terhadap protokol kesehatan semakin hari makin menurun. Menurutnya, upaya pencegahan harus dilakukan agar jangan sampai pelayanan rumah sakit menjadi kolaps. “Maka itu harus dimulai dengan upaya preventif dan promotif. Saya menghimbau agar masyarakat tetap menerapkan protokol kesehatan dan pembatasan sosial berbasis komunitas,” ujar Sukamta. Man/*

 

 

Jakarta -- Digitalisasi penyiaran tidak hanya soal kemudahan masyarakat mengakses informasi serta kebaikan dari fasilitas teknologinya. Tapi bagaimana sistem siaran baru ini dapat menyuguhkan sebuah tontonan atau isi siaran yang berkualitas, edukatif dan memberi dampak positif bagi masyarakat khususnya di daerah.

Ketua Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI), Eris Munandar, dalam acara Sosialisasi dan Publikasi Menjaga Indonesia dan Perbatasan Melalui Siaran TV Digital untuk wilayah Sulawesi Utara (Sulut) yang diselenggarakan secara daring dari Bekasi, Jawa Barat, Senin (23/11/2020), mengatakan harus ada penguatan konten agar alih teknologi siaran ini tidak berlangsung sia-sia. 

“Konten di era digitalisasi ini harus memberi wawasan harus juga memberi edukasi kepada masyarakat agar masyarakat bisa merasakan nikmatnya tayangan yang dihadirkan di media. Pelaku media siaran di era digital harus juga menghadirkan tayangan yang penuh esensi dan mengurangi program siaran yang penuh sensasi,” kata Eris. 

Menurut Eris, digitalisasi akan melahirkan banyak TV baru. Kehadiran pemain baru ini bisa memanfaatkan ceruk-ceruk yang masih sangat besar dalam digital. Peluang itu antara lain potensi kearifan lokal, budaya lokal, wisata dan sumber daya lokal yang sangat banyak dan belum di eksplorasi dan dibuka lebih detail oleh media yang saat ini ada. 

“Kehadiran TV-TV baru di era digital ini, baik TV Lokal maupun TV jaringan, dapat membawa angin segar bagi masyarakat Indonesia bahwa seluruh potensi budaya atau kearifan lokal itu harus menjadi penyemangat kita menghadirkan konten-koten berkualitas,” ujar Eris. 

Hasil rekomendasi Rakornas ATSDI, beberapa waktu lalu, dari 64 anggota jaringan TV yang di bawah ATSDI agar melaksanakan 20 persen konten lokal tayang di jam produktif. “Ini sebagai komitmen kita kepada bangsa negara dan kepada masyarakat agar kita bisa menghadirkan konten lokal di luar konten jaringan di jam produktif,” tambahnya.

Dia menambahkan, dengan alih teknologi ini, porsi konten lokal dapat ditempatkan pada jam produktif dan ini menjadi apresiasi bagi masyarakat daerah bahwa potensi daerahnya ada di layar kaca mereka. “Dengan era baru ini, dengan keberagaman konten ini, saya punya keyakinan bahwa masyarakat Indonesia bisa menghadirkan konten-konten yang luar biasa dengan konten lokal yang ada di sekitar. Tumbuhnya konten kreator bisa menjadi penambah gerak langkah para pemilik media dan para penyelenggara konten untuk bekerjasama dan berkolaborasi untuk memunculkan konten lokal yang bisa diakses masyarakat di daerah lainnya,” tutur Eris.

Datangnya era siaran digital menjadi tantangan bahwa keberagaman konten menjadi keniscayaan. Keberagaman ini harus  menghadirkan kualitas dan kreatifitas karena inilah roh dari sebuah media. “Era digital ini adalah eranya konten is the king, konten adalah segalanya, jadi pemirsa tidak mengalihkan layarnya ketika media bisa menghadirkan konten yang berkualitas,” tandas Ketua ATSDI ini. ***/Foto: AR

 

 

Jakarta -- Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, mengingatkan seluruh lembaga penyiaran untuk tidak menayangkan atau menampilkan konten-konten berbau radikalisme, terorisme serta kata-kata kasar dalam siaran. Ini untuk meminimalisir terjadinya efek negatif di masyarakat yang dikhawatirkan mengganggu kenyamanan publik.

Hal itu disampaikannya ketika menjadi salah satu narasumber acara yang diselenggarakan Humas Polisi Republik Indonesia (Polri) dengan tema “Peran Humas Polri dalam Manajemen Media Guna Menciptakan Pilkada 2020 yang Kondusif” di Bidakara, Jakarta, Senin (23/11/2020).

Saat ini, lanjut Agung, hampir di sejumlah daerah di tanah air sedang berlangsung kegiatan kampanye untuk Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) pada 9 Desember 2020. Kondisi ini membutuhkan persiapan dan antisipasi yang maksimal agar tidak terjadi hal buruk yang tidak diinginkan.

“Rasa aman dan damai harus dijaga agar proses Pilkada dapat berjalan dengan aman dan lancar. Hal ini tentunya membutuhkan dukungan dan bantuan semua pihak termasuk media penyiaran lewat penyiaran yang menyejukan sekaligus berimbang dan adil bagi semua calon,” kata Agung. 

Terkait Pilkada ini, Agung juga menyampaikan upaya lembaganya dalam mengawasi isi siaran kampanye di lembaga penyiaran. Pengawasan ini untuk memastikan tidak adanya pelanggaran oleh lembaga penyiaran sehingga isi siarannya dapat adil, berimbang dan proporsional.

“Bedanya dengan bawaslu itu bila ada pelanggaran dalam kampanye langsung ke kontestan (calonnya) tetapi kalau KPI yang ditegur itu lembaga penyiarannya. Kami sudah mengadakan MOU dan membentuk gugus tugas antara KPI, Bawaslu, KPU dan Dewan Pers,” ujarnya di depan peserta acara tersebut.

Dalam kesempatan itu, Agung menyampaikan, permasalahan belum adanya pengawasan di media baru. Menurutnya, KPI belum ada kewenangan untuk mengatur media seperti youtube, netflix dan media sosial lainnya. “Undang-undang No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran hanya mengatur lembaga penyiaran. KPI itu belum mempunyai mandat untuk mengatur media baru tersebut,” katanya.

Menurut Agung, saat ini siaran TV relatif lebih bersih dibandingkan dengan media baru. Selain itu, lembaga penyiaran seperti TV dan radio ini masih menjadi referensi utama masyarakat mengkonfirmasi berita. “Konsumsi media baru terus meningkat tapi masyarakat masih mempercayai dan mengkonfirmasi ke TV. Jadi kesimpulannya masyarakat masih mempercayai TV,” tutupnya.  

Dalam acara itu, turut hadir narasumber antara lain Staf Ahli Menteri Kominfo, Henry Subiakto, Anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa, dan Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.