- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 12003
Jakarta - Penerapan transformasi bisnis ekonomi kreatif berbasis elektronik di ranah digital tumbuh cepat seiring dengan pesatnya pertumbuhan potensi pasar ekonomi digital Indonesia. Pandangan tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, saat memandu jalannya diskusi bertema “Sukses Memanfaatkan Teknologi untuk Meningkatkan Daya Saing Usaha” di Jakarta (7/11/2019).
Yuliandre menilai perkembangan bisnis saat ini dan perlindungan terhadap potensi serta ekosistem bisnis digital, termasuk di dalamnya perlindungan hak cipta, menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan. Lalu timbul pertanyaan, perlindungan seperti apakah yang tepat dibutuhkan para stakeholders broadcaster Indonesia agar dijamin kesetaraannya?
Dalam kapasitasnya sebagai regulator penyiaran Indonesia, Andre, sapaan akrabnya melihat Indonesia sebagai salah satu pasar potensial untuk video content dan konten creator. Ia menilai, saat ini traffic terbesar video content ada di platform digital seperti sosial media atau Youtube.
Platform ini merupakan perkumpulan dan saat ini bisa dijadikan gabungan data yang berasal dari video professionally produced content yang diproduksi oleh para broadcasters dan Indonesian production houses dalam dan luar negeri.
“Para broadcasters dan Indonesian productions house belum mendapat rewarding system yang pantas untuk kreativitas dan kemampuannya dalam melahirkan karya dan ide yang cemerlang. Hal ini dikarenakan di ranah digital belum mempunyai gaya bisnis serta regulasi yang bisa mendukung hasil karya pelaku dunia broadcast dari pada para produsen content professional,” jelas Andre.
Selain itu, Ia melihat kreativitas pelaku ide gagasan konten penyiaran juga sangat dibatasi dengan aturan sensor yang super ketat, sedangkan content asing di Netflix dan sejenisnya tidak terlalu dibatasi. “Keadilan atau fairness dalam regulasi penyiaran tentu harus diatur,” pintanya.
Komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan menerangkan hal ini bisa diperbaiki dengan regulasi yang lebih baik dan aturan yang jelas. Dia mencontohkan local content bisa bersaing dengan content asing dengan parameter yang sama. Ini bisa diperbaiki dengan regulasi yang lebih jelas dan bukan hanya netral, tetapi lebih berpihak kepada pemilik local content.
Misalnya, aturan minimum jumlah konten lokal vs konten asing di platform streaming digital. Di industri FTA, lanjut Andre, menurut Undang – Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 dan P3SPS, jumlah maksimal konten asing adalah 30%. Namun di Netflix sangat timpang, belum ada aturan yang bisa masuk ke ranah media baru. Hal ini perlu diperhatikan demi perkembangan industry creative local content.
Selain itu, Andre mengutarakan aturan sensor yang ada saat ini sebaiknya harus disamaratakan dengan media baru. “Kalau di TV tidak boleh tampilkan ciuman dan belahan dada, maka sebaiknya di platform digital, hal yang sama juga diberlakukan,” kata Andre.
Kemudian dari segi administrasi dan bisnis ketentuan pajak juga harus sama. Jangan menjadikan Indonesia jangan hanya menjadi pasar bagi pemain asing, tetapi juga menjadi basis produksi dan pengembagangan para pelaku content creator berkembang dengan ide mereka. ***