- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 17100
Jakarta - Mendapatkan sinetron dan film yang berkualitas baik tidak mungkin dengan mengandalkan produksi kejar tayang (stripping), yang hari ini produksi besok sudah ditayangkan. Sinetron Para Pencari Tuhan (PPT) yang langganan mendapat Anugerah dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diproduksi secara serius, dan sudah dimulai sejak dua bulan lalu untuk tayang bulan Mei tahun depan. Hal ini disampaikan sutradara senior Deddy Mizwar, dalam kegiatan diskusi kelompok terpumpun, “Mengembalikan Kualitas Sinetron di Indonesia”, yang diselenggarakan KPI Pusat, (16/12).
Dalam menggarap PPT ini, ujar Deddy, banyak proses kreatif yang harus dilewati. Mulai dari membahas tema besar, analisis karakter dan penulisan scene plot terlebih dahulu. Belakangan baru skenario dibahas bersama. Panjangnya proses yang dilewati ini penting untuk menjaga kualitas sinetron produksinya. Karena itu, Deddy selalu menolak untuk produksi stripping bagi sinetronnya. “Gak bisa untuk jaga kualitas, hari ini syuting besok sudah tayang!” ujar Deddy. Ada banyak elemen yang harus dipadupadankan dalam produksi sinetron. Penayangan sinetron boleh saja stripping, tapi produksi jangan, tegasnya.
Film adalah sihir dalam satu detik! Ujar Deddy. Untuk itu sistem produksi harus dijalankan dengan baik dan ideal. “Ada konsekuensinya saat kita membuat film, karena kita bicara tentang perilaku manusia yang dapat dipengaruhi oleh film”, paparnya.
Pemeran Bang Jack di sinetron PPT ini memegang teguh prinsip untuk hanya memproduksi film yang bagus dan berkualitas. Ia tidak mau rugi dua kali dengan membuat film atau sinetron yang jelek. Jika film dibuat dengan bagus, tentu banyak yang menonton. Namun jika film dibuat dengan jelek, uang habis dan dosa justru bertambah. Apalagi buat Deddy yang langganan pula menerima penghargaan Piala Citra ini, membuat film adalah bagaimana menjadikannya sebagai ladang ibadah.
Tentang banyaknya film atau sinetron berkualitas rendah yang masih memiliki banyak penonton, menurutnya, ini lebih dikarenakan masyarakat sudah tidak ada pilihan lagi di televisi untuk ditonton. Produksi film atau sinetron yang baik di televisi memang membutuhkan biaya yang cukup besar, namun tentu saja kualitas akan berbanding lurus dengan keuntungan ekonomis bagi rumah-rumah produksi maupun pengelola televisi. Sinetron baik dihadirkan oleh rumah-rumah produksi yang punya komitmen. Namun, dia berharap televisi juga komitmen pada sinetron atau film yang bagus pula. Jika televisi hanya berorientasi pada sekedar laku dan banyak ditonton, maka Deddy mempertanyakan logika apa yang hendak dibangun untuk kualitas sinetron di negeri ini.
Selain Deddy, diskusi yang dipandu oleh Wakil Ketua KPI Mulyo Hadi Purnomo ini, juga dihadiri oleh Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Ahmad Yani Basuki. Pada kesempatan tersebut, Yani memaparkan pedoman umum yang digunakan lembaganya dalam melakukan penyensoran. Selain itu, dirinya juga berpendapat bahwa film sebagai sebuah karya seni budaya yang dapat meningkatkan daya tahan bangsa ini atas intervensi budaya asing.
Yani berharap kearifan lokal di Indonesia dapat dioptimalkan oleh pelaku industri film. “Misalnya seperti film Silariang dari Makassar yang diakui secara nasional”, ujarnya. Jika sineas kita tidak peduli dengan kekayaan budaya dan kearifan lokal bangsa ini, maka kita hanya menjadi pasar saja dari sineas luar seperti Korea dan Hollywood yang siap menjadikan budaya kita sebagai inspirasi film mereka.