(Komisioner KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran: Nuning Rodiyah)

 

Menjelang bulan suci Ramadhan, sebagai bulan yang selalu ditunggu berbagai pihak baik yang menunaikan ibadah puasa ramadhan maupun bagi sekelompok orang yang mendapat “berkah” bulan Ramadhan, sebagai Bulan Ibadah ada banyak sunnah Ramadhan yang dapat dilakukan oleh umat muslim untuk meningkatkan kualitas diri dalam berelasi dengan Allah YME, kaum muslimin menyiapkan waktu, tenaga dan anggaran untuk menjalani seluruh rangkaian ramadhan secara sempurna, dasar inilah yang kemudian ditangkap oleh banyak pihak sebagai peluang untuk dapat memberikan dukungan dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadhan.

Di sisi lain pada bulan Ramadhan terjadi tingkat konsumsi naik, baik konsumsi kebutuhan sehari-hari maupun tingkat konsumsi atas informasi dan program siaran yang ditayangkan di televisi. Terjadi perubahan kebiasaan menonton di bulan ramadhan, bergesernya prime time yang biasanya dimulali pukul 19.00 maju 1 (satu) jam menjadi pukul 18.00. dan juga terjadi penambahan jumlah penonton secara signifikan di jam-jam sahur, yang mana sebelum Ramadhan tingkat kepemirsaan pada puukul 02.00-05.00 adalah waktu dengan tingkat kepemirsaan paling rendah. Dan secara umum terjadi kenaikan konsumsi televisi di semua jam dengan perincian pada pukul 02.00-05.00 naik 36,2 %, pukul 05.00-16.00 naik sekitar 8%, pukul 16.00-19.00 naik  16 %, hanya saat tarawih penonton mengalami penurunan sejumlah 8 %. Dan naik kembali pada pukul 21.00 sejumlah 8 %.

Pada Ramadhan 2018, berdasarkan data yang dirilis AC Nielsen menyebutkan bahwa ada 3 perubahan terjadi saat bulan Ramadhan. Pertama, kebiasaan mengakses media. Pada lembaga penyiaran televisi terjadi peningkatan jumlah penonton sejumlah 17% dibanding penonton sebelum Ramadhan, durasi menonton televisi dari rata-rata menonton sehari 4 (empat) Jam 53 (lima puluh tiga) menit naik kurang lebih 26 (duapuluh enam) menit per hari menjadi 5 Jam 19 menit perhari. Perubahan pilihan program yang ditonton yang mana sebelum Ramadhan penonton lebih banyak menonton sinetron dan hiburan, pada bulan ramadhan selain dua program tersebut, penonton juga meningkat secara signifikan di program-program religi. dan perubahan juga terjadi pada pola menonton televisi, berupa kebiasaan menonton bersama keluarga cenderung banyak dilakukan selama bulan Ramadhan. Pada lembaga penyiaran radio masyarakat lebih banyak mendengarkan radio melalui radio tape dibanding melalui gadget dan masyarakat memiliki kecenderungan untuk lebih banyak mendengarkan program religi dengan peningkatan sebanyak 11 % selama bulan ramadhan 2018. Dan secara umum meningkat 13 persen untuk semua program di Radio.

Kedua, Kenaikan tingkat konsumsi atas barang, meliputi upgrade smart phone, mobil atau motor, penggunaan produk-produk tertentu khususnya pasta gigi atau cairan pembersih mulut, dan konsumsi produk sebagai persiapan Ramadhan terjadi peningkatan belanja pakaian, makanan dan belanja tiket hotel secara online. Ketiga, peningkatan belanja iklan dari produk-produk yang banyak dikonsumsi masyarakat selama bulan Ramadhan.

Berdasarkan data diatas maka betapa keberkahan Ramadhan bagi banyak pihak, bagi lembaga penyiaran, bagi pemirsa dan keluarganya, bagi agency pemasang iklan, bagi produsen produk yang diperlukan saat bulan ramadhan dan khusus bagi Komisi Penyiaran Indonesia yang melakukan pengawasan kepada lembaga penyiaran di Indonesia. Karena pada bulan Ramadhan adalah momentum yang tepat untuk mendorong lembaga penyiaran memproduksi dan menayangkan program siara yang berkualitas. Pada bulan ramadhan hadir program-program yang berkulitas, program sinetron seperti “amanah Wali”, “Aku Bukan Ustadz” di RCTI, “Roma Irama: Sinta dan Doa” di Indosiar, “Cuma Ada Di Sini” dan “Tiada Hari yang tak indah”di SCTV, kesemuanya adalah jajaran sinetron yang secara kualitas baik dan memiliki tingkat kepemirsaan tinggi dan tidak mendapatkan sanksi dari KPI. Selain sinetron hadir pula program hiburan yang syarat makna dan tidak sekedar program “guyonan”  tanpa diselipin makna dan ajaran-ajaran yang edukatif, program infotainment yang ditayangkan pada bulan ramadhan berdasarkan data hasil survey indeks kualitas program siaran tahun 2016 yang spesifik dapat diperbandingkan antara sampel program saat ramadhan dan sebelum ramadhan menunjukkan terjadinya kenaikan indeks kualitas program infotaninment dari 2,52 menjadi 2,64 dengan sampel program meliputi : E-News (Net TV),  Extra Seleb (RTV), Selebriti Siang (Trans 7), Seleb on News(MNC TV), Hallo Selebriti (SCTV), Fokus Selebritis(Global TV), Hot Kiss (Indosiar),  Insert (Trans TV), Silet (RCTI)  Dan yang paling Nampak secara jelas adalah wardrobe para pembawa dan pengisi program sangat aman dan jauh dari potensi ekspoitasi. Dan jumlah yang menjadi tolok ukur kepatuhan terhadap regulasi penyiaran adah tidak adanya temua pelanggaran pada bulan Ramadhan dan secara kuantitas sanksi mengalami penurunan dari tahun ke tahun khususnya pasal yang berkaitan dengan kekerasan, eksploitasi seksual dan diskriminasi terhadap kelompok masyarakat tertentu. Pada tahun 2018 catatan pengawasan selama Ramadhan potensi pelanggaran meliputi penghormatan terhadap hak privasi, perrlindungan anak dan remaja, serta perlindungan terhadap norma kesusilaan dan kesopanan. Artinya, bukan suatu kemustahilan program siaran yang berkualitas dapat terwujud di layar kaca kita, apalagi standar kualitas program siaran yang diproduksi oleh televisi bisa stabil dan konsisten sebagaimana kualitas program siaran di Bulan Ramadhan maka akan terwujud program siaran yg berkualitas, nir kekerasan, nir eksploitasi dan nirdiskriminasi dan televise dapat menjalankan fungsinya sebagai sungsi informasi, pendidikan dan perekat sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bulan Ramadhan bukan hanya momentum meningkatkan kualitas keimanan, tetapi juga sebagai momentum untuk meningkatkan kualitas program siaran.

Selamat datang Ramadhan, semoga lembaga penyiaran tetap konsisten memproduksi proram siaran yang berkualitas. 

 

Nuning Rodiyah

 

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat 

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta lembaga penyiaran radio untuk mengikuti pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran dalam memutar lagu. Hal ini untuk menghindari terjadinya pelanggaran akibat syair lagu yang mengandung kata kasar ataupun cabul, menggambarkan aktivitas seksual, maupun menjadikan perempuan sebagai obyek seksual. 

Hal itu disampaikan Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, pada saat acara pembinaan kepada lembaga penyiaran radio di Kantor KPI Pusat, Selasa (30/4/2019).

Apa yang disampaikan Dewi, sejurus dengan banyaknya temuan potensi pelanggaran siaran yang terjadi di radio khususnya pada program lagu. Pada Januari 2019, tim pengawasan KPI Pusat menemukan 7 potensi pelangaran. Pada Februari ada 17 potensi pelanggaran yang ditemukan KPI Pusat sedangkan pada Maret ada 92 temuan potensi. Adapun pada bulan April ada 54 temuan potensi pelanggaran, yang kebanyakan merupakan lagu mancanegara. 

"Lirik lagu mancanegara memang akan berhadapan dengan persoalan tafsir, karena bisa jadi berada di wilayah karya dengan estetika, maka kita akan lihat konteks dan jam tayang," jelas Dewi.

Menurut Dewi, kegiatan pembinaan ini salah satu upaya KPI untuk menyamakan persepsi regulasi penyiaran dengan lembaga penyiaran radio. Intinya, KPI tidak melarang siaran lagu tapi harus disesuaikan dengan aturan yang berlaku. “Yang harus menjadi perhatian adalah soal klasifikasi jam tayangan atau siaran. Kemudian, lagu yang diputar sudah merupakan versi edit, atau clean version dari pihak label," katanya

Catatan lain yang harus diperhatikan, yakni pihak label diharapkan tetap memperhatikan norma yang berlaku di masyarakat dan menyiapkan versi radio edit. “Kami juga minta music director setiap radio memperhatikan P3SPS KPI sebagai acuan untuk lagu yang akan ditayangkan,” tegas Dewi.  

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, menambahkan bahwa diskusi yang dilakukan dengan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) menyatakan setiap lagu di radio tetap disiarkan namun disesuaikan dengan regulasi. “Harapan kami, pertemuan ini dapat menjadi landasan kami dalam mengambil keputusan,” tuturnya.

Dalam pertemuan tersebut, hadir Ketua Labeler Indonesia. Dia menyampaikan bahwa sosialisasi jangan hanya dilakukan kepada radio dan label saja tapi juga kepada pihak pencipta lagu melalui asosiasi, agar mereka juga paham aturan yang ada. ***

 

Mataram - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Nusa Tenggara Barat (NTB) mengelar Bimbingan Teknis (Bimtek) Sistem Informasi Manajemen Perizinan Penyelenggaraan (Simp3) terintegrasi Online Single Submission (OSS) untuk lembaga penyiaran di NTB.

Kegiatan yang dihadiri oleh 66 Lembaga Penyiaran dan LPPL, Kamis (2/5) dilaksanakan bertujuan agar lembaga penyiaran di NTB dapat terfasilitasi dalam proses perizinan di bidang Penyiaran di NTB.

"Tujuan acara ini bagaimana agar teman- teman terfasilitasi memiliki jalur komunikasi untuk segera memiliki akun OSS," kata Kepala KPID NTB Yusron Saudi, saat membuka Bimtek di Mataram.

Yusron menjelaskan, dengan memiliki OSS ini pemilik lembaga penyiaran  akan mudah memberikan laporan tahunan kepada pemerintah pusat yakni di Kementrian Komunikasi dan Informasi.

"Jika semua sudah mendaftar di OSS, kita di KPID bisa dengan cepat memonitoringnya, karena data sudah tersambung langsung  ke sistem kita di KPID," katanya.

Menurutnya, hal ini juga akan memudahkan lembag penyiaran jika sudah mendaftar melalui OSS, karena bisa mengirim data melalui sistem online tanpa harus bersurat. Red dari kataknews.com

 

Jakarta – Menyambut datangnya bulan suci Ramadhan 1440 Hijriah, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengingatkan seluruh lembaga penyiaran untuk menghormati umat Muslim yang menjalankan ibadah puasa Ramadhan dengan tidak menyiarkan konten yang dapat mengganggu kekhusyuan ibadah tersebut. KPI juga meminta semua acara bertemakan Ramadhan lebih mengedepankan unsur edukasi ketimbang canda berlebihan.

Permintaan tersebut itu disampaikan Komisioner bidang Isi Siaran KPI Pusat, Nuning Rodiyah, saat berbicara di depan perwakilan lembaga penyiaran yang diundang dalam kegiatan kelompok diskusi terpumpun menyambut Ramadhan 2019, di Kantor KPI Pusat, Kamis (2/5/2019).

Menurut Nuning, pada saat Ramadhan  konten bernafaskan suasana bulan suci akan dikemas dalam beberapa program acara seperti news, kuliner, realty show, variety show dan lainnya. Peningkatan kreatifitas kemasan program, kata dia, jangan sekedar  memanfaatkan suasana dengan menamai program dengan tempelan ramadhan, sedangkan isi acaranya tak mencerminkan nafas bulan suci. 

“Peningkatan jumlah program acara bertajuk ramadhan dan religi berdasarkan pengalaman 2018 juga diikuti dengan meningkatnya jumlah penonton sebesar 26 persen dan ini harus diantisipasi lembaga penyiaran dengan kehati-hatian dalam menyajikan setiap program acaranya terutama acara bertemakan Ramadhan dengan tetap mengikuti aturan penyiaran yakni P3 dan SPS KPI, terlebih karena terjadinya perubahan pola menonton, dan munculnya primetime ke dua yaitu saat sahur, maka prinsip perlindungan anak dan remaja harus di kedepankan. Karena jam sahur berhimpitan dengan jam yang diizinkan program klasifikasi D ditayangkan" katanya.

Kehatian-hati dalam produksi program siaran meliputi penyampaian materi tentang keagamaan di program acara seperti sinetron, reality show, talkshow dan lainnya. Nuning mencatat, salah satu program yang akan jadi perhatian khusus pengawasan adalah acara hiburan. 

“Kami berharap program ini lebih memperhatikan kekhusyuan bulan ramadhan karena pada tahun 2016 terdapat program acara Battle Dance yang menampilkan peserta pria dan wanita badannya berhimpitan saat melakukan tarian,” ujar Nuning memberi beberapa contoh.

Sorotan tentang kurangnya proposionalitas konten dakwah dengan hiburan dalam program siaran ramadhan mesti disikapi dengan sejumlah upaya salah satunya penambahan unsur edukasi tentang keagamaan. “Banyak program hiburan yang judul programnya ditempeli kata-kata ramadhan, namun kontennya sepanjang program hanya berisi hiburan saja tanpa mengedepankan unsur yang bernuansa ramadhn. kami himbau lembaga penyiaran agar dalam program acara tersebut ada segmen yang menyampaikan materi ramadhan dan mengedepankan prinsip penghormatan pelaksanaan ibadah ramadhan,” pinta Nuning.

"KPI juga berharap Ramadhan adalah momentum peningkatan kualitas program siaran, dan kualitas tayangan ramadhan tahun ini dapat meningkat dibanding sebelumnya dan juga terus bertahan indeks kualitasnya meskipun bulan Ramadhan selesai," harap Nuning.

Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, menambahkan untuk acara infotaiment yang didalamnya terlalu banyak membuka aib atau ghibah agar di kurangi pada saat bulan ramadhan. Selain itu, iklan yang menampilkan orang makan atau minum agar dikemas menjadi lebih baik. “Jadi agar orang yang berpuasa tidak tergoda atau tetap menjaga kekhusyuan ramadhan. Dan, tetap jadi P3SPS sebagai pedoman dalam tayangan ramadhan,” tandasnya.

Terkait iklan makanan dan minuman, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, menjelaskan bahwa memang tidak ada larangan untuk menampilkan iklan tersebut yang perlu lembaga penyiaran perhatikan adalah untuk tidak mengeksploitasi adegan makan dan minum.

Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, K.H M. Cholil Nafis, menekankan pentingnya peningkatan kualitas dakwah di lembaga penyiaran. Menurutnya, dakwah di televisi berarti belajar agama lewat televisi, jadi dakwah itu bukan sekedar tontonan tetapi juga menjadi tuntunan.

Terkait kualitas pendakwah, Cholil menyoroti banyaknya pendakwah yang diundang televisi karena jumlah viewers atau followers yang banyak, padahal dia bukan ahli agama. “Tolong dibedakan antara ustadz dengan motivator. Dimohon juga untuk orang yang menguraikan hadist atau dalil itu untuk orang yang berkompeten dibidangnya,” tegasnya.

Cholil berharap, lembaga penyiaran dapat mengundang ustadz dengan kompetensi dan keilmuan yang benar agar tidak terjadi kesalahan dalam membaca ayat dan menyampaikan tafsir ayat tersebut. “Kami berharap Dai yang akan mengisi dakwah di televisi sudah bersertifikat dari MUI. Karena Dai yang bersertifikat sudah melalui pelatihan, uji kompetensi dan profesional,” katanya. 

Selain itu, kata Cholil, dakwah di media penyiaran terkadang terkendala durasi atau waktu. Sering terjadi pada saat penyampaian sebuah masalah dan belum selesai penjelasannya dari pendakwah, tiba tiba acara tersebut sudah terputus. Hal ini kadang menyebabkan kegaduhan dalam masyarakat.

Dalam kesempatan itu, Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono, mengingatkan lembaga penyiaran untuk mengkonsultasikan calon pendakwah atau Dai ke MUI. Selain itu, dia mewanti-wanti siaran live atau langsung agar lebih hati-hati dengan memberi pelapis untuk mengurangin terjadinya masalah yang tidak diinginkan. 

Dalam acara itu, turut hadir sejumlah Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) dari sejumlah provinsi. Mereka menyampaikan masukan kepada lembaga penyiaran soal tayangan ramadhan berdasarkan karakteristik masing-masing daerah. ***

 

 

Jakarta – Menyikapi permintaan dari sebagian masyarakat yang menginginkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bertindak atas akan beredarnya film “Kucumbu Tubuh Indahku” (Garin Nugroho, 2019), dengan ini KPI Pusat perlu menyampaikan bahwa kewenangan, tugas, dan fungsi lembaga ini seluruhnya berlandaskan atas amanah dari Undang-undang No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Artinya, kewenangan KPI sebatas pada hal-hal yang menyangkut penyiaran dan isi siaran di lembaga penyiaran televisi dan radio.

Mengenai film dengan judul di atas, perlu diketahui bahwa ada perbedaan regulasi antara penyiaran dan perfilman. Persoalan boleh atau tidaknya sebuah film beredar di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semuanya diatur oleh Undang-undang Perfilman No.33 tahun 2009 dan atas izin lembaga yang dibentuk oleh UU Perfilman yakni Lembaga Sensor Film (LSF). 

Dari kacamata hukum yang dipahami KPI, Lembaga Sensor Film atau LSF berdasarkan UU Perfilman memiliki kewenangan penuh seperti meluluskan suatu film dan reklame film untuk diedarkan, dipertujukkan, dan atau ditayangkan kepada umum, memotong atau menghapus bagian gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang tidak layak untuk dipertujukkan dan atau tidak ditayangkan kepada umum. 

Mengacu dari penjelasan di atas, dapat diartikan KPI tidak memiliki kewenangan melakukan penindakan atau pencegahan atas beredarnya sebuah film karena acuan yang diterapkan KPI dalam bertindak adalah UU Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran KPI tahun 2012. 

“Undang-undang Penyiaran dan P3SPS lebih kepada pengaturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh disiarkan oleh lembaga penyiaran. KPI juga tidak dapat melakukan interupsi dan mendikte apa yang akan dibuat atau yang akan disiarkan lembaga penyiaran tersebut. Tapi ketika sebuah program acara telah disiarkan, barulah KPI bekerja dan dapat melakukan tindakan,”  kata Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Kamis (2/5/2019).

Dia menegaskan, KPI memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan negatif yang timbul dari sebuah siaran. Namun, KPI tidak bisa serta merta melakukan tindakan atas sesuatu yang bukan wewenangnya.

“Permasalahan film ini dan tuntutan sebagian masyarakat agar kami mencegah peredarannya, kami artikan sebagai bentuk kritik dan masukan publik atas sebuah konten dalam film yang tidak sesuai dan pantas dengan norma yang berlaku di tengah masyarakat. Namun sekali lagi, tututan tersebut juga harus diarahkan pada jalur yang tepat dan sesuai aturan hukum,” kata Andre, panggilan akrabnya. 

Untuk mengantisipasi hal serupa di masa mendatang, Ketua KPI mengusulkan agar jajaran pemerintah daerah dan dinas-dinas terkait dengan masalah ini untuk membentuk badan pengawasan atau sensor film sesuai dengan amanah UU Perfilman. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.