Jakarta -- Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Ubaidillah menyatakan bahwa KH Abdul Wahab Chasbullah merupakan ulama yang menjadi motorik berdirinya media-media Nahdlatul Ulama (NU).
Hal ini ia sampaikan saat membacakan Manaqib KH Abdul Wahab Chasbullah dalam rangka Maulid Nabi Muhammad SAW & Haul Akbar 52 KH. Abdul Wahab Chasbullah Pehlawan Nasional, Inisiator, Pendiri dan Penggerak NU.
“Suatu peristiwa yang hemat saya juga tak kalah pentingnya adalah saat beliau menjadi motorik lahirnya media NU untuk pertama kali dan menjadikan kediamannya sebagai ruang percetakan,” tuturnya saat membacakan Manaqib di Masjid Istiqlal, Minggu (15/10/2023).
Ubaidillah menyebut salah satu media yang dimotori berdiri adalah Swara Nahdlatoel Ulama dan Berita Nahdlatoel Oulama. Kehadiran media di kalangan NU, menurutnya, mendorong Nahdlatul Ulama menjadi organisasi yang adaptif di tengah perkembangan dan diskursus keagamaan dan kebangsaan waktu itu.
“Mendudukkan NU adaptif dalam penyebaran Islam Aswaja An-Nahdliyah, pun pemikiran para kiai dan ulama berlatar pesantren menjadi dikenal banyak khalayak,” lanjutnya.
Adaptasi gerakan ini mendorong transformasi ide dan gagasan para kiai dan ulama kalangan pesantren termasuk NU secara organisasi.
“Hal ini, tentu saja tidak lepas dari prakarsa Kiai Wahab yang menghadirkan media NU untuk mentransformasikan pemikiran kiai dan ulama, termasuk NU secara organisasi itu sendiri,” ungkapnya.
Gus Ubaid, sapaan akrabnya, berharap agar para penerus meneladani perjuangan dan nilai ulama yang hidup di tiga zaman tersebut untuk terus meneladaninya untuk kebaikan masa depan.
“Dan harapannya, teladan dan nilai Kiai Abdul Wahab Chasbullah terus tersemat dan menyala dalam tiap diri penerusnya, untuk masa depan yang lebih bermartabat,” imbuhnya. *
Pangkalpinang – Pengaturan media baru dengan mencantolkannya dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran dinilai sangat memungkinkan. Namun demikian, aspek-aspek yang juga krusial seperti penguatan siaran lokal jangan sampai ditinggalkan. Hal ini untuk memastikan tujuan dari demokratisasi penyiaran seperti keragaman konten. Keragaman kepemilikan dan pengembangan potensi daerah (alam dan manusia) berjalan baik.
Dalam Diskusi Publik RUU Penyiaran yang berlangsung di Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Selasa (12/10/2023), Ketua KPID Babel Muhammad Adha Al Khodri, mengingatkan hal tersebut. Menurutnya, penguatan konten lokal dalam revisi UU Penyiaran lebih difokuskan ke pelaksanaannya. “Ini menjadi sesuatu hal yang penting dalam revisi undang-undang penyiaran,” katanya di depan peserta diskusi.
Muhammad Adha beralasan, implementasi siaran lokal 10% yang mestinya dijalankan oleh induk jaringan tidak berjalan maksimal. Dia mencontohkan untuk jam tayangnya, rata-rata konten lokal disiarkan di waktu tidak produktif.
“Itu kita baru bicara jam tayang saja. Permasalahan ini tidak hanya terjadi di Babel, tapi juga hampir di seluruh Indonesia. Tidak ada perubahan. Konten lokalnya disiarkan di jam-jam orang sedang tidur. Ini menjadi fokus kami untuk mendorong konten lokal dapat lebih konsisten dilaksanakan oleh lembaga penyiaran,” katanya.
KPID menilai pengaturan konten lokal secara tegas ini akan berdampak positif pada pengembangan daerah. Potensi di daerah akan lebih dikenal, baik dari sektor alam maupun manusianya. “Ini sebuah spirit untuk mengangkat keunikan sumber daya di daerah untuk tujuan peningkatan ekonomi. Ini kunci penting bagi kita semua. Dan di era digital ini, jika fokus melaksanakan 10%, hal ini akan ikut membuka lapangan kerja di daerah,” jelas Muhammad Adha.
Kendati demikian, Adha juga mengingatkan relevensi dari angka 10% siaran konten lokal yang harus dijalankan dengan situasi saat ini. Ini untuk meminimalisir adanya lembaga penyiaran yang hanya main asal comot program untuk memenuhi kuota tersebut. “Harapannya jangan angka ini dimain-mainkan,” tegasnya.
Sementara itu, Anggota KPI Pusat Tulus Santoso menyampaikan, kehadiran konten lokal merupakan salah satu bentuk dari perwujudan demokratisasi penyiaran. Ada porsi yang adil untuk masyarakat di daerah melalui keragaman konten tersebut. “Memang soal konten lokal ini sudah diatur. Tapi dalam praktiknya masih sulit diimplementasikan secara benar,” katanya.
Aspek bisnis menjadi kendala lembaga penyiaran untuk menerapkan keragaman konten. Hal ini juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh rating share (pemeringkatan program). “Saat satu TV menayangkan sinetron kemudian sinetron itu ratingnya bagus, maka semua TV akan berlomba-lomba memproduksi tayangan yang sama,” ungkap Tulus.
Karenanya, dia sependapat jika pengaturan konten lokal dan keragaman konten diatur secara tegas dalam RUU Penyiaran. Upaya ini akan ikut mendorong selera dan kecerdasan publik serta menciptakan tayangan yang mendidik. “Semangat revisi undang-undang penyiaran harus mampu mewujudkan demokratisasi frekuensi,” ujar Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat ini.
Harus segera “digolkan”
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pertiba Pangkalpinang, Safri Hariansyah mengatakan, kebutuhan UU Penyiaran yang baru sudah sangat mendesak. Ini untuk menjawab situasi terkini dari berkembangnya teknologi.
“Hukum harus mengadopsi hal-hal yang terjadi di masyarakat. Jadi hukum itu harus adaptif. Undang-undang ini semestinya menjadi high priorty untuk perubahan. Jadi harus segera digolkan,” katanya.
Safri menambahkan, saat ini konsumsi masyakat terhadap informasi dan hiburan tidak lagi bergantung dari media seperti TV dan radio. Mereka banyak yang beralih ke media baru. “Sayangnya, konten negatif di media ini tidak terawasi. Siapa yang berwenang mengawasinya,” ujarnya.
Di akhir paparannya, Safri berharap perubahan dalam RUU Penyiaran dapat semua aspek seperti kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum. “Karena negara ini negara hukum dan biar tidak bingung. Jika hal ini tidak dapat menjangkau aspek kepastian akan sulit. Karenanya, revisi undang-undang ini harus benar-benar dipikirkan dan diukur secara tepat. Karena secara teori jika telah diundangkan maka akan berlaku secara universial,” tandasnya. ***
Jakarta – Diseminasi Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV) 2023 telah sampai pada pembahasan untuk kategori program siaran anak. Pembahasan kategori ini digelar di Universitas Pembagunan Nasional (UPN) “Veteran” Jakarta, Selasa (10/10/2023). Melibatkan 12 perguruan tinggi negeri (PTN) se-Indonesia, kegiatan ini bertujuan mengukur sejauh mana kualitas program siaran televisi di Indonesia.
Rektor Univesitas UPN “Veteran” Jakarta, Dr. Anter Venus mengatakan, mengukur perilaku anak tidak bisa hanya dilihat dengan definisi atau pengamatan pribadi tanpa dilandasi oleh data. Indeks kualitas yang digagas KPI bersama 12 PTN, salah satunya UPN Veteran Jakarta ini, merupakan ukuran terperinci dari apa yang dilihat anak. Hal ini nantinya tercermin dari sebuah bagian dalam produk sosial.
”Dimensi kultural pun tak lepas dari latar belakang setiap anak untuk tumbuh dan berkembang. Bagaimana anak bertindak itu bersumber dari media penyiaran yang memiliki pengaruh cukup tinggi,” kata Anter saat memberikan materi di kegiatan diseminasi tersebut.
Dia menambahkan perkembangan industri media hari ini juga memengaruhi tumbuh kembang anak di lingkungan sosialnya. Dewasa ini, lanjut Anter, anak Indonesia tidak lagi menjadi generasi yang polos, melainkan juga memiliki nalar kritis, tajam dengan apa yang terjadi di lingkungannya. Interaksi anak sekarang memberikan sudut pandang tersendiri dari hasil penyerapan mereka melalui media penyiaran.
“Saya simpulkan dewasa ini anak Indonesia juga memiliki nalar kritis dan mampu memberikan pendapat mereka berdasarkan hasil interaksi mereka. Anak jangan lagi dianggap meraka adalah generasi yang polos, namun memiliki kemampuan kritis berdasarkan hasil interaksi dengan lingkungan terdekat yang mematangkan mereka,” jelasnya
Anggota KPI Pusat yang juga penanggung jawab IKPSTV, Amin Shabana menuturkan, ikhtiar pihaknya dalam mewujudkan siaran ramah anak tentu sejalan dengan seluruh civitas akademika di UPN Veteran Jakarta. Berdasarkan data yang dimiliki KPI Pusat dari Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), terdapat 924 Lembaga Penyiaran sudah bermigrasi dari siaran analog ke siaran digital. Hal ini mendasari bahwa KPI membutuhkan sejumlah pakar untuk menentukan kualitas siaran televisi.
“Mengukur sebuah kualitas terlepas dari Analog Switch Off (ASO) tidak hanya menyikapi satu prespektif sebagai regulator yang bermain dalam sejumlah aturan,” tutur Amin.
Lebih lanjut, Amin menilai, dimensi dari sebuah penilaian yang dilakukan oleh unsur informan ahli merupakan data valid untuk mengukur sebuah tayangan tersebut berkualitas. Ke depan, dia berharap forum diseminasi ini, khususnya untuk kategori program anak, dapat menyatukan ekosistem penyiaran di tanah air. Bersinergi dan menguatkan peran Lembaga Pendidikan (universitas), bukan hanya mengejar kepopuleran sebuah program acara, tapi kualitas tayangannya.
“Salah satu temuan yang menarik dari IKPSTV, KPI akan mendorong ekosistem penyiaran digital khusus tayangan yang ramah anak. Berbagai informasi dan tayangan dari media sosial menjadi tantangan yang berat, bukan saja KPI tapi juga masyarakat umum,” kata Amin.
Sebelum acara berlangsung, dilakukan penandatanganan Implementation Agreement antara KPI Pusat dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UPN Veteran Jakarta terkait pelaksanaan Indeks Kualitas Program Siaran Televisi. Kegiatan ini dihadiri oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UPN Veteran Jakarta, Dr. S. Bekti Istiayanto, Koresponden Ahli Ketegori Anak IKPSTV, Aniek Irawati, Pengendali Lapangan Wilayah Jakarta, Vinta Sevilla, dimoderatori oleh Dr. Kusumajanti dan sejumlah akademisi Ilmu Sosial dan Politik. Syahrullah
Pangkalpinang – Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran diharapkan dapat menguatkan peran dan kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Selain itu yang tak kalah pentingnya, revisi ini ikut memasukkan aturan pengawasan terhadap media baru.
Harapan itu mencuat dalam Diskusi Publik RUU Penyiaran dengan tema “Dinamika Pengawasan Lembaga Penyiaran dan Media Baru” yang digelar KPI Pusat di Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Rabu (11/10/2023).
Ketua KPI Pusat Ubaidillah, saat membuka diskusi publik ini menyampaikan, revisi UU Penyiaran akan menjawab kebutuhan publik terhadap regulasi yang adaptif (sesuai kondisi). Revisi ini sekaligus akan menjawab tantangan dari berkembangnya media-media baru.
Kehadiran media baru menyebabkan setiap orang bebas mengakses informasi serta hiburan. Tetapi apakah informasi dan hiburan tersebut layak untuk mereka. “Kita tahu sekarang masyarakat bisa menyaksikan film tidak hanya dari bioskop tapi juga melalui media baru, melalui smart phone, dengan platform dari media yang lain kita bisa menikmati film-film. Tetapi apakah semua film yang melalui media itu mendidik, sesuai dengan aturan undang-undang, tentu saja tidak,” ujar Ubaidillah.
Terkait hal itu, KPI merasa perlu membuka ruang diskusi atas masalah tersebut. Kendati masalah itu belum menjadi kewenangan KPI. “Memang ini belum menjadi kewenangan kami. Tapi hampir setiap hari kami, baik di KPI Pusat maupun di KPID, banyak menerima aduan dari publik terkait konten-konten yang ada di platform tersebut. Padahal KPI hanya memantau TV dan radio sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang,” papar Ubaidillah.
Revisi yang diharapkan menguatkan kelembagaan KPI, harus diberengi perhatian terhadap posisi KPID. Pasalnya, sejak 2016, keberadaan KPID tergerus aturan PP (Peraturan Pemerintah) No.18. “Mereka jadi tidak memiliki sekretariat. Anggaran yang tadinya melalui APBD berubah menjadi hibah. Hibah pun sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing. Sehingga tupoksi KPID tidak semuanya terakomodir,” ungkap Ketua KPI Pusat.
Ubaidillah juga menyampaikan pentingnya lembaga pemeringkatan alternatif atau pembanding dalam klausul revisi UU Penyiaran. Sehingga tidak hanya satu lembaga pemeringkat yang menjadi tolak ukur. Lembaga survei pemanding ini akan menyeimbangkan data yang dibutuhkan media seperti yang sudah banyak diterapkan negara-negara lain.
Perlunya media baru diatur juga disampaikan Anggota KPI Pusat Tulus Santoso. Menurutnya, media ini terlalu bebas tanpa adanya pengawasan. "KPI belum masuk ke ranah tersebut, karena memang undang-undang nomor 32 tahun 2022 hanya mengamanatkan KPI untuk mengawasi penyiaran terestrial TV dan Radio, yang siaran terestrial. Tetapi kalau over-the-top (OTT) seperti Netflix, Youtube, media sosial, KPI tidak mempunyai kewenangan," katanya di tempat yang sama.
Momentum agar media ini diatur cukup terbuka. Pada saat bersamaan Komisi I DPR RI sedang membahas RUU Penyiaran. Karenanya, Tulus berharap aturan terkait media baru dapat masuk dalam RUU Penyiaran. "Sehingga ada keberimbangan pengaturan, jangan hanya televisi dan radio ada aturan mainnya, tetapi di media baru harus ada aturan mainnya juga," ujarnya.
Lebih lanjut ia mengungkapkan alasan perlu adanya regulasi, karena tujuan utama penyiaran untuk nilai-nilai bangsa dan ketakwaan, hanya saja di media baru hal itu belum terjadi. "Karena jika isi penyiaran diamanatkan tujuan nilai-nilai bangsa, ketakwaan. Tetapi di media baru itu malah tidak terjadi, dan regulasi tidak ada. Siapa yang kemudian yang mengawasi itu? Tidak ada, harapan kami pengaturan di media baru segera dibentuk agar ada yang mengawasi," tandas Tulus.
Diharapkan tuntas secepatnya
Sementara itu, Anggota DPR RI dari Komisi I Rudianto Tjen menyatakan, revisi UU Penyiaran telah mencapai tahap final. Draft finalnya akan diajukan kembali ke Badan Legislasi (Baleg) untuk di sinkronisasi.
“Harapan kita hari ini, sebelum kita lempar ke badan legislasi nasional, KPI punya inisiatif untuk berdiskusi supaya undang-undang ini betul-betul merefresentasikan harapan masyarakat. Para narasumber dapat mengusulkan pasal-pasal konkrit ke Komisi I. Paling tidak sebelum kita final, adik-adik dapat memperkaya undang-undang ini dan mudah-mudah undang-undang ini dapat disahkan dalam waktu tidak lama,” tutur Rudianto.
Dia juga menyampaikan keinginan hasil revisi UU ini dapat menguatkan lembaga penyiaran dan lembaga lain terkait penyiaran. Sehingga urusan penyiaran bisa memberi andil positif dalam membangun bangsa secara baik.
Di akhir paparannya, Rudianto berharap revisi UU ini dapat memperkuatkan posisi KPI dalam mengawasi seluruh penyiaran termasuk media baru. “UU ini bisa memperkuat KPI dalam mengawasi.” tandasnya.
Dalam diskusi ini, para peserta mendapatkan paparan materi dari para narasumber antara lain Anggota KPI Pusat Tulus Santoso yang berbicara kebutuhan revisi dari UU Penyiaran. Lalu dilanjutkan Ketua KPID Bangka Belitung M. Adha Al Kodri tentang akselerasi peningkatan konten lokal. Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pertiba Pangkalpinang Safri Hariansyah menyampaikan materi soal quo vadis UU Penyiaran.
Dalam diskusi ini, turut hadir Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza, Anggota KPI Pusat I Made Sunarsa, Aliyah, Muhammad Hasrul Hasan serta sejumlah Anggota KPID dari Provinsi Babel. ***
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendorong pemerintah untuk segera menerbitkan regulasi terkait early warning system pada televisi digital. Dengan teknologi penyiaran saat ini, penempatan sistem peringatan dini bencana sangat memungkinkan untuk terealisasi, sehingga dapat melindungi publik dari dampak kerusakan besar akibat bencana alam. Hal ini disampaikan anggota KPI Pusat yang juga Koordinator Bidang Pengelolaan Kebijakan dan Sistem Penyiaran (PKSP) Hasrul Hasan, dalam diskusi publik di Universitas Negeri Jakarta dengan tema “Peran Media dalam Peringatan Dini Bencana”, (9/10).
Hasrul mengatakan, dalam hal bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami, televisi memegang peran sangat besar dalam menyampaikan peringatan dini ke publik. Dalam sepersekian detik setelah informasi diterima dari Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), lembaga penyiaran harus menyiarkan kembali kepada publik. “Sehingga, bagian terpenting dalam mata rantai informasi kebencanaan dapat segera disampaikan,” ujarnya. Apalagi menurut data Nielsen, hingga saat ini televisi masih menjadi peringkat pertama sumber informasi bagi masyarakat.
Diskusi yang digelar dalam peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana bekerja sama dengan Yayasan Nusahima. Turut hadir Rektor UNJ Komaruddin, Direktur Peringatan Dini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Afrial Rosya, dan Corporate Secretary SCM Gilang Iskandar. Sebagai perwakilan dari lembaga penyiaran, Gilang Iskandar menyampaikan, media baik broadcast dan online hanya bertugas menyampaikan informasi peringatan dini yang diterima dari lembaga yang berwenang seperti BMKG. Sebelum menyiarkan, media memiliki mekanisme kontrol dan seleksi untuk memastikan validitas dan akurasi setiap informasi terkait potensi bencana. “Meski pada praktiknya masih terdapat kebingungan, terkait leading sectornya,” ungkap Gilang. Di satu sisi, tambahnya, media juga perlu mendapat pemahaman soal sistem penanggulangan bencana, kode etik peliputan bencana, serta safety and security saat melakukan liputan kebencanaan.
Hal ini diamini oleh Fredy Candra selaku pegiat PRB. Menurut Fredy, komponen penting dalam sistem peringatan dini, selain tersedianya informasi yang valid, juga memastikan penerima informasi memahami informasi tersebut dan mengetahui apa yang perlu dilakukan kemudian. People centered menjadi penting dalam membangun Early Warning System yang efektif” tambahnya.
Dalam penyampaian sambutan kunci Rektor UNJ, Komarudin mengatakan, informasi peringatan dini kepada masyarakat harus akurat, benar, dapat dipertanggungjawabkan dan oleh karenanya harus berdasarkan sumber yang otoritatif dari pemerintah. Jangan sampai masyarakat menerima informasi hoaks dan menjadikannya rujukan. Karena jika itu terjadi justru akan menyebabkan kerentanan sosial yang justru menimbulkan masalah baru di masyarakat.
Dari diskusi publik ini juga disimpulkan bahwa penyebaran informasi peringatan dini bencana, pengetahuan masyarakat tentang risiko perlu terus dibangun melalui strategi komunikasi dan informasi yang tepat. Selain itu, kapasitas respon masyarakat dalam menghadapi berbagai potensi krisis juga harus diperkuat. Dengan kesadaran masyarakat atas potensi bencana yang kemudian dipadankan dengan sistem peringatan dini yang optimal, diharapkan dampak kerusakan akibat bencana tersebut dapat diminimalisir.
Mohon untuk siaran tv kartun tayo di selesaikan jam 9 . Karena jika sampai jam 22 lebih mengganggu anak untuk tidur malam . Padahal tidak boleh anak tidur lebih dr jam 10 malam . Karena mengganggu hormon pertumbuhan .terimakasih