- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 2608
Ciputat -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memastikan setiap lembaga penyiaran (TV dan radio) boleh melakukan proses kreatifitasnya dengan cara apa saja. Bahkan, KPI tidak melarang lembaga penyiaran mengejar rating demi peningkatan finansial usahanya. Namun, yang paling penting dan ditekankan KPI adalah muara dari kreatifitas yakni moralitas konten siaran.
“Proses kreatifitas boleh melakukan apa saja, mengejar rating juga boleh. Karena ini bagian dari dinamika industri, namun harus berujung pada moralitas dari program siaran yang punya kemanfaatan bagi publik,” kata Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, saat menjadi narasumber acara Literasi dan Sosialisasi Pengawasan Isi Siaran KPI di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (16/11/2022).
Hardly menegaskan, pihaknya tidak pernah mengeluarkan larangan untuk membatasi proses kreatifitas di TV dan radio. Menurutnya, proses kreatifitas merupakan hak lembaga penyiaran dan tugas KPI memastikan kreatifitas tersebut menghasilkan produk siaran yang membawa pesan moral yang baik.
“Sejauh mana suatu program siaran itu membawa pesan moral yang baik pada masyarakat. Itu yang diawasi oleh KPI, tentunya berdasarkan regulasi,” tuturnya.
Meskipun begitu, Hardly meyakinkan jika siaran di TV cenderung lebih aman dan nyaman bagi masyarakat ketimbang informasi atau siaran yang berasal dari media baru. Salah satu tolak ukur pihaknya memastikan siaran di TV aman dan juga baik adalah melalui pengukuran Indeks Siaran TV secara berkala. Dalam hal ini KPI bekerjasama dengan 12 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di 12 Kota.
“Dari hasil riset indeks kualitas siaran TV tahun 2022 menujukkan, 6 dari 8 program kategori program siaran yang diteliti sudah berkualitas. Masih ada dua kategori program siaran yang indeksnya belum berkualitas, yaitu infotaiment dan variety show,” jelas Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat ini.
Terkait program siaran jurnalistik atau berita, Hardly mengaitkan dengan situasi yang terjadi saat ini dimana informasi dari media baru datang bak air bah. Meskipun paling sering diakses masyarakat, namun informasi melalui media baru tidak selalu benar.
“Segala dinamika di media penyiaran, khususnya di program siaran jurnalistik, berada dalam koridor etika jurnalistik dan P3SPS. Sehingga informasi melalui siaran TV dapat menjadi rujukan, karena akurasi dan kualitas informasinya lebih terjamin,” paparnya.
Hal ini juga sejalan dengan hasil riset status literasi digital Indonesia tahun 2022 yang dilakukan oleh kementarian komunikasi dan informatika. Hasil riset ini menunjukkan data bahwa media yang paling sering diakses masyarakat Indonesia adalah media sosial, namun media yang informasinya paling dipercaya adalah TV.
Menurut Hardly, program siaran berita di TV ibarat oase di tengah belantara disinformasi. Program siaran ini termasuk salah satu program siaran berkualitas berdasarkan hasil riset KPI beberapa tahun belakang. Pencapaian ini diperoleh setelah melalui rangkaian bahasan yang mengacu pada 6 dimensi pengukuran.
“Ke enam dimensi dalam kategori program siaran berita yakni pertama, tidak menyampaikan berita bohong. Kedua, mengedepankan prinsip praduga tak bersalah. Ketiga, akurat. Keempat, tidak menampilkan muatan sadis. Kelima, adil, berimbang dan tidak berpihak. Dan keenam, faktual dan tidak memasukkan opini redaksi. Hal ini menunjukkan dan menegaskan bahwa program siaran berita di televisi ibarat oase informasi di tengah belantara disinformasi,” tegasnya.
Pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heriyanto, menyampaikan berbagai pandangannya terkait program siaran berita di TV. Menurutnya, media massa dalam hal ini TV harus menjadi media yang kredibel atau sebagai rujukan di tengah era keberlimpahan informasi seperti sekarang.
Dia juga menekankan pentingnya penguatan sumber daya manusia (SDM) penyiaran untuk siap bertarung dan adaptif menghadapi dinamika zaman yang cepat berubah. Industri penyiaran pun harus mengikuti pola perubahan ini. Tapi yang paling utama, lanjut Gun Gun, media harus tetap independen serta menjalankan fungsi profetik media.
“Jika kemudian kita bicara soal jurnalistik sebagai bagian yang penting maka jurnalistik harus menghadirkan kebenaran faktualnya. Jangan menjadi alat melegitimasi pemebenaran dari kelompok-kelompok tertentu,” ujar Gun Gun.
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Indonesia Publik Institute, Karyono Wibowo, menekankan pentingnya literasi yang berkecukupan ke masyarakat tentang media dan pemberitan terlebih menjelang perhelatan Pemilu 2024. Pembekalan ini dapat menangkal propaganda hoax yang nantinnya akan digunakan para kontestasi untuk memengaruhi pemilih. “Literasi ini juga berkaitan dengan state of mine,” katanya.
Karyono juga memperhatikan pola penggunaan internet oleh kontestasi melalu media sosial. Menurut dia, literasi ini menjadi modal bagi pemilih untuk mendapatkan informasi yang benar. “Publik jadi tabayun atau kritis sebelum menyebarkan informasi. Dan program literasi bangsa kita masih rendah seperti menyimak dan membaca. Indonesia berada di urutan kedua terendah dalam membaca. Maka sangat penting kegiatan literasi-literasi seperti ini,” ujarnya. ***