Seoul - Pemerintah Korea Selatan mulai meninjau penerapan pajak pada apa yang disebut dengan layanan Over-the-Top (OTT) yang merupakan layanan dengan konten yang berjalan melalui jaringan internet, termasuk YouTube.

Menurut sumber industri terkait pada hari Kamis (15/8/19) lalu, Kementerian Sains, Teknologi, Informasi dan Telekomunikasi Korea Selatan baru-baru ini telah meminta kepada Lembaga Penelitian Legislasi Korea yang dikelola negara, untuk mempelajari kasus-kasus perpajakan digital di luar negeri, dan menilai kelayakan penerapan sistem serupa di dalam negeri.

Dilaporkannya, pemerintah Korea Selatan sedang mempertimbangkan untuk merevisi pembagian biaya dari dana pengembangan penyiaran dan komunikasi negaranya, dalam upaya memasukkan penyedia layanan OTT, seperti YouTube dan Netflix, di tengah perluasan pasar jasa dan penyiaran online.

Dibalik upaya pemerintah untuk mendorong perpajakan digital, pihak operator YouTube, Google telah dikritik karena membayar terlalu sedikit pajak di Korea Selatan, meskipun menghasilkan triliunan won dalam penjualan setiap tahunnya. Red dari koreaherald.com

 

Pekanbaru - Maraknya iklan obat tradisional dan suplemen kesehatan yang menggiurkan di tengah masyarakat, dikhawatirkan akan berdampak buruk jika tidak ada penanganan cepat. Terkait itu, BBPOM bersama Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID ) Provinsi Riau melakukan sosialisasi untuk media massa tentang “Hasil Pengawasan Iklan dan Ketentuan Iklan Produk Tradisional dan Suplemen Kesehatan di Provinsi Riau”, Rabu (25/9/2019).

Kepala BBPOM Pekanbaru, Mohamad Kashuri, memaparkan bahwa tugas BBPOM melaksanakan pengawasan obat dan makanan. Dalam pengawasan, BBPOM melakukan sejumlah tahapan, mulai dilakukan pelaku usaha. Menurutnya, pelaku usaha punya tanggung jawab produk yang dijual aman.

"Yang dilakukan BBPOM adalah memastikan produk yang beredar di masyarakat itu aman. Dan kemudian pengawasan dilakukan oleh konsumen, dalam hal ini masyarakat," jelas Mohamad saat membuka sosialisasi.

Dia menerangkan bahwa beredarnya obat ilegal karena adanya permintaan dan adanya iklan yang dibuat semenarik mungkin agar masyarakat tergiur. "Kalau tidak diawasi maka masyarakat akan mengkonsumsi produk yang tidak sehat. Iklan dan label perlu diawasi bersama," sebutnya.

Mohamad Kashuri mencontohkan kasus pelajar yang mendapatkan efek negatif setelah meminum minuman kemasan merk Torpedo. BBPOM menegaskan tidak ada yang salah dengan minuman tersebut, ada kode BBPOM dan juga dituliskan dengan jelas bahwa minuman tersebut tidak untuk anak-anak dan ibu hamil. "Iklan mungkin yang salah ditanggapi masyarakat," jelas Mohamad Kashuri.

Dalam pertemuan ini BBPOM menjelaskan bagaimana standar iklan obat, diantaranya bahwa produk yang diiklankan harus sudah mendapat NIE dari BBPOM. "Iklan obat tradisional dan suplemen kesehatan harus objektif, tidak menyesatkan," terangnya. Red dari datariau.com

 

Dekai -- Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Papua mengunjungi Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) Radio Bumi Sumohai (RBS) Yahukimo di Dekai, Jumat (20/9/2019) kemarin.

Ketua KPID Papua, Jacob Soububer, dalam dialognya di ruang studio RBS Yahukimo mengatakan, KPID dibentuk dengan tujuan untuk mengawal seluruh pengusulan baru dan menangani persoalan-persoalan yang terkait dengan penyiaran radio dan televisi di daerah, baik LPPL, radio swasta maupun televisi komunitas.

“Setiap kabupaten dan kota yang ingin mendirikan lembaga penyiaran radio lokal harus berkoordinasi dengan KPID. Dari situ kami akan mebackup dengan aturan sesuai undang-undang dan memprosesnya untuk mendirikan lembaga penyiaran di daerah, termasuk di kabupaten Yahukimo ini,” tuturnya.

Jack menjelaskan, pihaknya ke Yahukimo bertujuan untuk melihat dari dekat tahapan persiapan dan respon dari masyarakat dan Pemkab sehubungan dengan berdirinya RBS. Menurut info yang diterima KPID, radio ini milik Pemda.

Sementara, Whelly Reba, Koordinator bidang Perizinan KPID Papua, menguraikan proses pembentukan lembaga penyiaran di daerah harus didahului tahapan perizinan dengan mendaftar ke KPID dan selanjutnya menyusun visi dan misi lembaga tersebut.

Reba tegaskan, mendirikan sebuah lembaga penyiaran, harus mengikuti tahap demi tahap. “Lembaga penyiaran masukan data administrasi melalui KPID dan selanjutnya KPID akan turun melihat secara langsung kira-kira apa saja yang sudah dipersiapkan oleh lembaga penyiaran untuk mendirikan LPPL,” jelasnya.

Selain itu, kata dia, KPID juga akan lakukan dengar pendapat dari tokoh masyarakat, agama, adat, dan pemerintah, untuk menyerap tanggapan publik terkait pendirian sebuah LPPL di daerah.

Untuk LPPL RBS Yahukimo, menurut Whelly, tahapan demi tahapan sudah memenuhi standar. Hanya yang belum, penetapan Perda oleh pemerintah daerah. Red dari SUARAPAPUA.COM

 

Komisioner KPID DKI Jakarta foto bersama dengan para Guru dan siswa SMA Negeri 53 setelah mengikuti rangkaian kegiatan literasi, Senin (23/9/2019). 

Jakarta – Upaya mengelorakan “Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa” yang digagas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mulai massif dilakukan, salah satunya oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi DKI Jakarta. Kali ini, KPID bertandang ke salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di bilangan Jakarta Timur. 

Saat membuka kegiatan literasi, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi DKI Jakarta Kawiyan mengajak para siswa untuk bersikap cerdas dan bijak dalam menyikapi tayangan-tayangan televisi. Orang yang cerdas dan bijak adalah orang yang mampu memilih dan memilah tayangan televisi.  

"Dengan cara seperti itu para siswa akan memperoleh manfaat dari tayang televisi yang mereka saksikan. Dan bisa menangkis dan menangkal konten-konten negatif dari tayangan televisi," ujar Kawiyan di depan siswa SMA 53 Jakarta, Senin (23/9/2019).

Kelas Literasi itu diikuti oleh kurang lebih 250 siswa, dihadiri Kepala Sekolah Dra. Sri Rukmini Satiti, M.Pd, anggota DPRD DKI Jakarta Riano P. Ahmad. Sementara, dua komisioner KPID DKI yaitu Rizky Wahyuni dan Arif Fathurrahman menjadi narasumber literasi bertema "Membangun Budaya Literasi dalam Era Milenial".

Kawiyan menambahkan, para siswa SMA bisa menjadi mitra atau mendukung misi KPID dalam upaya membentuk penonton yang cerdas dan siaran berkualitas. Caranya dengan ikut menyebarkan wawasan yang diperoleh dari kelas literasi ini kepada teman dan keluarga. **

 

Denpasar -  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat secara resmi memberikan sanksi teguran tertulis kepada film animasi Spongebob Squarepants beberapa waktu lalu. Karena beberapa adegan dalam kartun tersebut mengandung unsur kekerasan. Namun terlepas dari itu, stasiun televisi (TV) memang menyajikan banyak tayangan. Mulai dari kartun hingga sinetron.

Lalu, seperti apa pengamatan Luh Ayu Aryani, sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Bali, ketika anak-anak ini disuguhkan oleh tayangan TV yang beragam, mulai dari kartun hingga sinetron?

1. Anak-anak cenderung tidak melihat satu tayangan TV saja

Aryani mengungkapkan, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk janin dalam kandungan. Jumlah anak mencapai 34 persen dari keseluruhan populasi Indonesia.

"Kesukaan mereka soal film berbeda-beda. Ada yang suka film kartun, ada yang suka film pengetahuan, olah raga, sinetron, film budaya dan sebagainya," ujarnya saat dihubungi, Kamis (19/9) lalu.

Dari pengamatannya, anak-anak cenderung tidak melihat satu tayangan TV saja. Sebab hal ini dipengaruhi oleh banyak hal, satu di antaranya terkait pola asuh keluarga.

"Tidak semua anak suka satu jenis film saja. Kesukaan mereka biasanya sesuai dengan usia dan fase tumbuh kembang mereka, kondisi lingkungan, pola asuh keluarga, masyarakat dan negara yang selalu ada tantangannya," jelas Aryani.

2. Bukan sinetron maupun kartun yang dipermasalahkan, melainkan seberapa jeli orangtua mengasuh anaknya

Menurut Aryani, tidak masalah jika anak-anak menonton tayangan sinetron dibandingkan kartun. Asalkan jangan sampai kelewatan.

"Bukankah sinetron satu keniscayaan di lingkungan anak yang disuguhkan oleh semua saluran televisi? Jadi itu jangan terlalu dimasalahkan," katanya.

Aryani justru menekankan, sebenarnya yang menjadi masalah terletak pada orangtua yang harus jeli melakukan pengasuhan terhadap anak, bukan tayangan TV.

"Masalahnya justru pada orangtua. Seberapa jeli mampu melihat potensi dan bakat yang berkembang pada anak, untuk kemudian melakukan dimensi pengasuhan dengan baik dan tepat. Ini saya katakan, karena fase perkembangan setiap anak tidak ada yang sama. Di usia tertentu, anak satu lebih suka nonton sinetron, sementara anak yang lain lebih suka kartun," jelasnya.

3. Orangtua harus memberikan bekal pengetahuan pada anak

Orangtua sebagai guru rupaka atau orang yang melahirkan, memberi makan, mendidik, memberi identitas, melindungi dari marabahaya dan membangun karakter anak, hendaknya selalu positif pada anak. Misalnya membekali diri pengetahuan dan keterampilan pengasuhan anak dalam keluarga, masyarakat maupun negara.

"Orangtua juga harus mampu membangun komunikasi, memberi perhatian, cinta dan kasih sayang pada anak sehingga anak mampu mengontrol panca indranya ketika melihat kenyataan di luar dirinya dengan selektif, apakah itu baik atau buruk, apakah itu boleh atau tidak, apakah patut atau tidak untuk diterima, ditiru atau dilaksanakan," ungkapnya.

Kenapa orangtua harus ekstra keras melakukan hal seperti itu?

"Ini penting agar kita tidak selalu menyalahkan dan menghukum anak. Bahwa anak dengan mudah dan cepat meniru sisi berisiko dari sinetron. Saya yakin itu karena kurangnya fungsi dan peran orangtua dalam pengasuhan terhadap anak dalam fase tumbuh kembangnya," tambah Aryani.

4. Bagaimana jika anak-anak menonton sinetron yang ada adegan tawuran dan lainnya?

Dari penjelasan di atas, Aryani berharap orangtua mau introspeksi diri agar melakukan fungsinya dengan baik. Apalagi saat ini sudah memasuki era millennial.

"Karena itu, mari kita sebagai orang dewasa introspeksi diri, sudahkah melakukan fungsi pengasuhan dengan baik. Sudahkah membekali diri dengan pengetahuan, wawasan dan keterampilan pengasuhan dengan memadai di era millennial ini," ujarnya.

"Masalahnya bukan pada jenis filmnya kartun atau sinetron. Yang terpenting untuk anak, yang ramah anak. Tidak ada unsur kekerasan bullying, pornografi atau hal lain yang belum layak ditonton anak," imbuh Aryani.

Lalu bagaimana jika anak-anak menonton sinetron yang ada adegan tawuran, kenakalan atau percintaan? Menurut Aryani, apapun adegan yang disajikan dalam sinetron, orangtua perlu menjelaskannya pada anak secara jelas.

"Tawuran itu terjadi karena konflik sosial, kenakalan itu terjadi karena kurangnya perhatian dan kasih saya orangtua pada anak atau perpecahan keluarga, dengan percintaan itu adalah proses pengenalan karakter anak laki dengan perempuan untuk belajar tumbuh dewasa tetapi bukan untuk melakukan adegan dewasa," katanya.

Dengan penjelasan-penjelasan seperti itu, anak-anak telah dibekali oleh pengetahuan secara kognitif untuk menjalani hidupnya kelak.

"Dengan begitu, anak menjadi terbekali pengetahuan kognitif, dan sikap (Afektif) dan termasuk nantinya tindakan (Psikomotorik) dalam menjalani kehidupannya. Dampak menerima, menyerap, melakukan dengan meniru adegan kekerasan itu baru akan terjadi jika anak lepas dari penanaman nilai-nilai luhur dan kering akan kasih sayang dan perhatian orangtua plus keluarga yang terpecah," tutup Aryani. Red dari IDN Times 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.