Jakarta – Menyikapi permintaan dari sebagian masyarakat yang menginginkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bertindak atas akan beredarnya film “Kucumbu Tubuh Indahku” (Garin Nugroho, 2019), dengan ini KPI Pusat perlu menyampaikan bahwa kewenangan, tugas, dan fungsi lembaga ini seluruhnya berlandaskan atas amanah dari Undang-undang No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Artinya, kewenangan KPI sebatas pada hal-hal yang menyangkut penyiaran dan isi siaran di lembaga penyiaran televisi dan radio.

Mengenai film dengan judul di atas, perlu diketahui bahwa ada perbedaan regulasi antara penyiaran dan perfilman. Persoalan boleh atau tidaknya sebuah film beredar di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semuanya diatur oleh Undang-undang Perfilman No.33 tahun 2009 dan atas izin lembaga yang dibentuk oleh UU Perfilman yakni Lembaga Sensor Film (LSF). 

Dari kacamata hukum yang dipahami KPI, Lembaga Sensor Film atau LSF berdasarkan UU Perfilman memiliki kewenangan penuh seperti meluluskan suatu film dan reklame film untuk diedarkan, dipertujukkan, dan atau ditayangkan kepada umum, memotong atau menghapus bagian gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang tidak layak untuk dipertujukkan dan atau tidak ditayangkan kepada umum. 

Mengacu dari penjelasan di atas, dapat diartikan KPI tidak memiliki kewenangan melakukan penindakan atau pencegahan atas beredarnya sebuah film karena acuan yang diterapkan KPI dalam bertindak adalah UU Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran KPI tahun 2012. 

“Undang-undang Penyiaran dan P3SPS lebih kepada pengaturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh disiarkan oleh lembaga penyiaran. KPI juga tidak dapat melakukan interupsi dan mendikte apa yang akan dibuat atau yang akan disiarkan lembaga penyiaran tersebut. Tapi ketika sebuah program acara telah disiarkan, barulah KPI bekerja dan dapat melakukan tindakan,”  kata Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Kamis (2/5/2019).

Dia menegaskan, KPI memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan negatif yang timbul dari sebuah siaran. Namun, KPI tidak bisa serta merta melakukan tindakan atas sesuatu yang bukan wewenangnya.

“Permasalahan film ini dan tuntutan sebagian masyarakat agar kami mencegah peredarannya, kami artikan sebagai bentuk kritik dan masukan publik atas sebuah konten dalam film yang tidak sesuai dan pantas dengan norma yang berlaku di tengah masyarakat. Namun sekali lagi, tututan tersebut juga harus diarahkan pada jalur yang tepat dan sesuai aturan hukum,” kata Andre, panggilan akrabnya. 

Untuk mengantisipasi hal serupa di masa mendatang, Ketua KPI mengusulkan agar jajaran pemerintah daerah dan dinas-dinas terkait dengan masalah ini untuk membentuk badan pengawasan atau sensor film sesuai dengan amanah UU Perfilman. ***

 

Jakarta – Lembaga penyiaran yang tidak menayangkan informasi secara berimbang dapat menyebabkan masyarakat sulit mencari edukasi tentang politik secara proposional. Pendapat tersebut disampaikan Mahasiswa Universitas Sains Al Quran (Unsiq) Wonosobo, Jawa Tengah, saat melakukan studi pengalaman lapangan ke Kantor KPI Pusat, Jakarta, Senin (29/4/2019).

“Kami menilai media yang tidak berimbang karena adanya keberpihakan. Hal ini akan menyebabkan susahnya masyarakat mencari edukasi politik yang benar dan baik,” kata Yanto, salah satu Mahasiswa Unsiq. 

Tak hanya soal keberimbangan informasi, mereka juga mengeluhkan masih adanya tayangan di lembaga penyiaran yang tidak mengedukasi. Menurut mereka, tayangan seperti ini dapat menyebabkan pengaruh tak baik bagi masyarakat. 

Menanggapi pendapat mahasiswa soal keberimbangan informasi, Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono, mengatakan hal itu dapat disebabkan karena sistem konglomerasi media sehingga sarat akan kepentingan politik. Namun demikan, tegas Komisioner bidang Isi Siaran ini, KPI akan melakukan tidakan tegas terhadap lembaga penyiaran yang melaukuan pelanggaran terhadap aturan penyiar. 

“Jika menemukan pelanggaran tentu akan kami beri. Kami ada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran sebagai pedoman bagi kami dalam mengawasi konten lembaga penyiaran,” jelas Mayong.

Mayong menambahkan, dalam mengawasi dan menerima aduan tayangan dari masyarakat, KPI memiliki mekanisme sendiri. Menurut dia, sanksi yang diberikan kepada lembaga penyiaran merupakan langkah perbaikan bagi lembaga penyiaran. “Sanksi yang diberikan ada teguran, penghentian sementara, dan pengurangan durasi,” katanya. 

Sanksi yang diberikan KPI ke lembaga penyiaran, Menurut Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, dapat merugikan lembaga penyiaran yang mendapatkan sanksi seperti penghentian sementara. “Kerugian materi akan sangat banyak didapat lembaga penyiaran meskipun sanksi penghentian tersebut hanya satu hari,” ungkapnya.

Selain kerugian materi, sanksi KPI terhadap lembaga penyiaran akan diakumulasi dan dapat mempengaruhi penilaian dalam perpanjangan izin siaran . “Tentuny hal ini akan jadi perhatian lembaga penyiaran,” tambah Dewi.

Di awal pertemuan, Dewi menjelaskan kepada mahasiswa tentang aturan boleh dan tidak boleh dilakukan lembaga penyiaran berdasarkan ketentuan P3 dan SPS KPI tahun 2012. Dewi juga meminta mahasiswa memanfaat ruang pengaduan yang dimilik KPI ketika mengeluhkan atau mengkritisi sebuah tayangan. 

“Kalian bisa mengadu melalui instagram, facebook, email, wesbsite KPI atau bisa langsung datang ke kantor KPI,” tandasnya. 

Sementara itu, Tenaga Ahli Penjatuhan Sanksi KPI Pusat, Irvan Priyanto, mengatakan program siaran yang banyak mendapatkan sanksi dari KPI yakni program variety show dan jurnalistik terkait aturan perlindungan anak dan norma kesopanan. “Akhir tahun lalu kami pernah menghentikan sementara program siaran Pagi-pagi Pasti Happy,” paparnya. ***

 

Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono, saat menyampaikan materi tentang “Program Jurnalistik dan Kekerasan dalam Kacamata P3SPS” di Sekolah P3SPS yang diselenggarakan KPID Sumut di Medan, 26-27 April 2019.

Medan - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumatera Utara menyelenggarakan Bimbingan Teknis (Bimtek) Sekolah P3SPS Angkatan III, di Medan, 26-27 April 2019 lalu. Sekolah yang berlangsung di Aula Kantor KPID Sumut menghadirkan Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono dan Dewi Setyarini sebagai pemateri utama.

Ketua KPID Sumut, Parulian Tampubolon saat membuka kegiatan bimtek mengatakan, sekolah ini guna memberikan bimbingan teknis kepada lembaga penyiaran untuk memewujudkan konten-konten program televisi dan radio yang berkualitas. 

“Kami ingin memberi pemahaman tentang P3 dan SPS kepada Lembaga penyiaran, memberikan perlindungan pada publik, serta menegaskan tugas KPI sebagai regulator yang mengawasi dan mengawal lembaga penyiaran,” katanya. 

Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono, saat menyampaikan materi tentang “Program Jurnalistik dan Kekerasan dalam Kacamata P3SPS” menjelaskan setiap produk jurnalistik di lembaga penyiaran harus tunduk pada UU Penyiaran serta P3 dan SPS KPI. 

Dia juga menekankan pentingnya menggunakan teknik pembuatan jurnalistik 5W+1H agar hasil karya jurnalistik yang akan disampaikan ke publik memiliki kualitas yang baik. “Bila pers atau wartawan mengambil informasi dan menyiarakan berita tanpa tahu dari mana sumber atau tanpa mencari sumber dan klarifikasi maka tidak ada beda antara pers dan sosial media,” kata Mayong. 

Mayong mengingatkan tentang kode etik jurnalistik dan setiap jurnaslis dalam penyampaian berita atau informasi harus independen, akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk serta profesional. 

“Lembaga penyiaran haruslah membuat produk-produk jurnalistik yang memiliki kualitas baik yang berasal dari sumber dan bisa dipertanggung jawabkan sesuai yang termaktub di Undang-undang Pers nomor 40,” kata Mayong. 

Sementara itu, Ketua KPID Sumut saat memberi materi tentang “Filosofi dan Sistem Penyiaran Indonesia” menjelaskan bahwa frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas yang digunakan oleh Lembaga penyiaran. Frekuensi dikatakan penting karena yang digunakan oleh lembaga penyiaran dapat berdampak negatif atau positif. 

“Bila bicara frekuensi di Lembaga penyiaran berarti bicara tentang informasi atau siaran yang akan diterima oleh masyarakat. Artinya, masyarakat harus menerima informasi yang baik, berkualitas dan mendidik. Terkait ini, kewenangan KPI adalah mengontrol lembaga penyiaran agar tak hanya memikirkan bisnis tapi juga bicara tentang konten isi siaran yang berkualitas dan bermartabat,” jelas Parulian. ***

 

 

 

 

 

  

 

Rembang – Dari jumlah 282 stasiun radio di provinsi Jawa Tengah, ternyata masih banyak yang kondisinya tidak sehat.

Dini Inayati, seorang komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah mengatakan radio-radio yang dikelola oleh group tertentu, hingga saat ini relatif mampu bertahan. Tapi radio yang berdiri sendiri cenderung tidak sehat, jumlahnya berkisar 70 an stasiun.

Ia mencermati ada sejumlah sebab, diantaranya manajemen masih setengah hati dalam mengelola, kemudian sumber daya manusia (SDM) kurang memiliki kapasitas, diperparah turunnya agenci iklan yang tertarik memasang iklan di radio.

“Memang iklan di radio dari agneci menurun drastis. Kemungkinan ini karena konsumsi masyarakat terhadap radio berkurang. Kalau radio yang dikelola group tertentu, saya kira mereka masih mampu bertahan. Meski dari sisi conten siarannya, banyak pelanggaran. Lha yang nyaris colaps ini, radio yang dikelola sendiri, tanpa ada group, “ ungkapnya.

Dini menimpali pihaknya melakukan sejumlah upaya, untuk menekan masalah tersebut. Diantaranya meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, kemudian membuat forum diskusi untuk menularkan ilmu, antara pengelola radio yang sehat dengan radio yang tidak sehat. Selain itu, KPID juga ingin menggelar survei radio, sekaligus rating program siaran. Ia berharap akan muncul data valid, untuk merangsang ketertarikan agenci iklan maupun memicu semangat pengelola TV dan radio lokal.

“Pelaku usaha radio-radio yang bagus kita datangkan, terus mereka berikan cerita suksesnya kepada radio lain. Kita juga pengin survey, seperti lembaga Ac Nielsen, karena banyak yang kesulitan menjual program, akibat minimnya survei. Dengan survei itu, agenci iklan punya pegangan data. Begitu juga pelaku media, akan berlomba-lomba membuat program yang diminati dan dibutuhkan masyarakat, “ imbuhnya.

Dini mengingatkan media-media lokal mesti mengikuti pergeseran selera pasar, sekaligus perkembangan zaman saat ini. Termasuk mengoptimalkan penggarapan media sosial, agar tidak semakin ditinggalkan masyarakat. Red dari r2brembang

 

Finalis Putri Muslimah Indonesia 2019 saat mengujungi ruang pemantauan isi siaran di Kantor KPI Pusat, Jumat (26/4/2019).

Jakarta – Finalis Putri Muslimah Indonesia 2019 ternyata memiliki pandangan kritis terhadap tayangan televisi. Mereka menilai masih ada tayangan yang belum sesuai harapan dan berdampak kurang baik.  

“Banyak film animasi anak yang tidak berbobot. Kadang membuat pikiran anak menjadi lain,” kata Ela salah satu finalis Putri Muslimah Indonesia saat berkunjung ke Kantor KPI Pusat, Jumat (25/4/2019).  

Selain itu, banyak pula tayangan yang menampilkan gimik-gimik negatif yang berefek kurang baik terhadap penonton. “Bagaimana cara KPI menanggapi tayangan gimik-gimik negatif ini,” kata Dea dari Aceh Utara.

Tak hanya itu, beberapa finalis acara Putri Muslimah Indonesia yang ditayangkan Indosiar menilai acara di layar kaca sekarang hanya fokus pada rating. Akibatnya, mereka tak memperhatikan unsur kualitasnya. “Bagaimana KPI menyikapi rating ini,” tanya Ela salah finalis kepada Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano dan Ubaidillah yang menerima langsung kedatangan mereka.

Menanggapi peryataan dan pertanyaan dari finalis Putri Muslimah Indonsia 2019, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano mengatakan, televisi memang lebih fokus pada rating ketika melihat tayangan karena jumlah penonton jadi patokan dalam memproduksi tayangan. 

“Kenyataan secara kualitas memang kurang. Oleh karena itu, kami juga melakukan pembinaan serta meliterasi masyarakat agar melihat tayangan yang berkualitas. Kami punya penghargaan untuk acara berkualitas namun jumlah penonton pemenangnya masih sedikit,” kata Hardly ke finalis yang rata-rata masih menjadi mahasiswi di sejumlah perguruan tinggi.

Menurut Hardly, KPI sangat terbuka bagi masyarakat yang meminta pihaknya untuk melakukan literasi media di manapun. “Gimik itu umum dan hal itu banyak ditemukan di tayangan agar menarik minat menonton. Namun yang harus ingat adalah aturan siaran yang ada di P3SPS KPI. Contoh acara dangdut di Indosiar juga menggunakan gimik tapi kami mendorong agar memperhatikan pakaian peserta serta pengambilan gambarnya,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Hardly berharap finalis Putri Muslimah Indonesia 2019 bisa menjadi wakil KPI sebagai duta penyiaran dan menjadi influencer yang positif melalui seluruh media yang ada. “Dengan pertemuan ini diharapkan peserta dapat informatif, kritis, serta ikut berpartisipasi dalam menciptakan dan mengawal penyiaran,” pintanya. 

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah, mengapreasiasi kedatangan para peserta Putri Muslimah Indonesia 2019. Menurutnya, informasi yang diperoleh mengenai KPI dan regulasi yang terkait penyiaran akan memberi wawasan dan pandangan baru bagaimana dinamika penyiaran di Indonesia. 

Ubaidillah juga meluruskan terkait masih banyak masyarakat yang salah mengadukan tayangan media sosial ke KPI karena pengawasan dan kewenangan itu ada di lembaga lain yakni Kementerian Kominfo. “Kami tentu berharap ke depannya KPI juga akan dapat memgawasi hal tersebut,” katanya.

Reseach Division Indosiar, Ekin Gabriel mengatakan, kunjungan Finalis Putri Muslimah Indonesia 2019 ke KPI Pusat untuk memberi pembekalan tentang penyiaran dan regulasi terkait. “”Kami mengadakan acara ini tidak hanya sekedar berlomba tapi ada sesi lain seperti kunjungan ke KPI. Kami ingin mereka mengenal KPI dan paham ketika masuk ke industry media,” katanya. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.