Batam - Selain industri jasa dan industri berat lainnya, Kota Batam juga menggiurkan bagi para pengusaha TV Kabel. Bahkan, jenis usaha penyiaran ini semakin menjamur di Kota Batam.

Menjamurnya TV Kabel di Batam, juga menyisakan satu permasalahan mengenai izin resmi atau Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) yang masih banyak tidak dikantongi oleh para pemilik TV Kabel Batam.

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kepulauan Riau (Kepri), Tito Suwarno menyampaikan, dari puluhan usaha TV Kabel atau TV berbayar di Batam, yang sudah mengantongi izin resmi dan lengkap sebanyak 12 TV Kabel. Sementara sisanya memiliki IPP tetapi sudah habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang.

"Terkait masih adanya tv kabel atau tv berbayar yang tetap beroperasi meski IPP mati atau bahkan belum mengantongi IPP, kami akan melakukan monitoring dan evaluasi dalam waktu dekat, mengecek keberadaan dokumen-dokumen terhadap pengelola lembaga penyiaran berlangganan, dalam hal ini tv kabel di Batam," ungkap Tito, Senin (14/01/2019).

Keberadaan TV Kabel atau jaringan TV berbayar sendiri di Batam tak hanya melalui jaringan kabel di atas tanah. Namun ada juga jaringan tv berbayar yang menanam kabelnya dalam tanah.

"Kami dari KPID ini tak memiliki kewenangan menindak tv kabel yang tak berizin nekat beroperasi dengan mencari provit atau keuntungan. Kewenangan KPID sendiri hanya mengingatkan, mengimbau kepada pengelola tv kabel atau tv berbayar agar secepatnya mengurus atau melengkapi dokumen perizinan seperti IPP, agar operasionalnya legal, bukan ilegal, atau melanggar aturan penyiaran," lanjutnya. Red dari Batam Today.Com

 

Denpasar - Dalam hal menonton siaran televisi, boleh dibilang masyarakat Bali Utara atau Buleleng lebih maju dibandingkan Bali selatan. Hal ini karena masyarakat Buleleng mengakses siaran televisi melalui akses parabola atau satelit, sedangkan masyarakat Bali Selatan cenderung mengakses siaran televisi teresterial menggunakan antena televisi biasa. 

Walaupun harus diakui terdapat masyarakat di wilayah Bali Selatan ada juga mengakses siaran televisi menggunakan parabola. Akses siaran televisi melalui parabola tentu menjadi sebuah pilihan untuk mendapatkan hiburan ataupun informasi, karena wilayah Buleleng masuk dalam daerah blank spot (daerah diluar jangkauan pancaran gelombang electromagnetik/tidak terjangkau TV terestrial). 

Siaran melalui parabola juga ada pilihannya yaitu siaran berlangganan, dimana pelanggan harus membayar dan siaran free to air (FTA) atau siaran yang dapat diakses tanpa harus membayar alias gratisan. Cukup banyak siaran gratisan melalui parabola yang dapat dinikmati, mulai dari siaran televisi induk jaringan yang berada di Jakarta (atau yang dulu disebut siaran nasional) ataupun siaran luar negeri yang sudah tayang di saluran satelit FTA. Sayangnya siaran melalui parabola tersebut hanya dapat dinikmati kalangan menengah ke atas, sedangkan masyarakat Buleleng pada kalangan bawah sangat berharap mendapatkan siaran televisi teresterial.

Harapan masyarakat Buleleng untuk dapat mengakses siaran televisi teresterial seakan mulai terbuka ketika media memberitakan pertemuan Gubernur Bali I Wayan Koster dengan Menteri Menteri Komunikasi dan Informatika RI Rudiantara yang kebetulan sedang berada di Bali pada Sabtu (12/1) lalu. Dimana Gubernur Bali menyampaikan bahwa warga Buleleng akan segera bisa menikmati siaran televisi tanpa harus menggunakan parabola sebelum pemilu dan yang pertama adalah siaran TVRI. Sedangkan TVRI melalui website tvri.go.id mengklaim bahwa sejak 18 Desember 2018 siaran TVRI sudah dapat dinikmati warga Buleleng, dengn menggunakan antena UHF di channel/saluran 42. 

Hal ini menyusul telah diperbaikinya transmisi TVRI di Kintamani, kabupaten Bangli, sehingga siaran TVRI dapat dinikmati warga Buleleng dengan mudah. Dimana berdasarkan dari hasil uji siaran, masyarakat  wilayah Bengkala, Bungkulan dan Tejakula sudah dapat menikmati siaran TVRI. Apabila dicermati memang harapan Gubernur Bali tidak muluk-muluk, hanya berharap terwujudnya akses tontonan televisi gratis di Buleleng sehingga masyarakat bisa mendapatkan informasi perkembangan-perkembangan sosial yang terjadi khususnya pembangunan yang terjadi di Bali. 

Dengan mendapatkan informasi secara cepat, diharapkan akan mengurangi kesenjangan antara Bali Utara dengan Bali Selatan. Namun apakah benar masyarakat Buleleng pada umumnya ingin mendapatkan siaran televisi gratisan, ataukah sebenarnya masyarakat Buleleng sangat berharap mendapatkan siaran lokal atau konten lokal? Jika hanya berharap siaran gratisan tentu masih bisa didapatkan dari siaran televisi free to air yang juga dapat diakses melalui parabola. Apalagi akses menggunakan parabola akan memberikan sajian gambar yang lebih bagus. 

Apabila masyarakat Buleleng berharap informasi perkembangan di Bali, maka yang sangat dibutuhkan sebenarnya adalah siaran lokal. Siaran lokal tersebut baik berasal dari siaran televisi lokal murni ataupun dari siaran televisi lokal berjaringan. Berbicara terkait siaran lokal, maka di Buleleng sudah terdapat lembaga penyiaran televisi lokal murni dan lembaga televisi lokal berjaringan. Lembaga penyiaran televisi yang telah bersiaran di Buleleng dan telah mengantongi ijin penyelenggaraan penyiaran tetap yaitu Nirwana TV, Citranet, Big TV, Viva Sport, RTV, dan Dewata Citratama TV.

Lembaga-lembaga penyiaran inilah yang harusnya didorong untuk memenuhi kebutuhan siaran lokal masyarakat Buleleng. Mengingat sebagai lembaga penyiaran yang menggunakan frekuensi publik sudah barang tentu memiliki kewajiban untuk memberikan informasi atau siaran lokal yang disiarkan secara gratis. Melalui Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) dapat mendorong lembaga penyiaran lokal murni dan lokal berjaringan yang ada di Buleleng untuk memenuhi kebutuhan siaran muatan lokal.

Siaran muatan lokal merupakan kewajiban bagi lembaga penyiaran dan pelaksanaan serta definisi siaran muatan lokal juga sudah sangat jelas. Dalam Pedoman Prilaku Siaran (P3) pada pasal 1 ayat (15) disebutkan bahwa program lokal adalah program siaran dengan muatan lokal yang mencakup program siaran jurnalistik, program siaran faktual, dan program siaran nonfaktual dalam rangka pengembangan potensi daerah setempat serta dikerjakan dan diproduksi oleh sumber daya dan lembaga penyiaran daerah setempat. 

Pada pasal 68 Standar Program Siaran (SPS) ayat (1) menyebutkan Program siaran lokal wajib diproduksi dan ditayangkan dengan durasi paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk televisi dan paling sedikit 60% (enam puluh per seratus) untuk radio dari seluruh waktu siaran berjaringan per hari. Selanjutnya pada ayat (2) terdapat ketentuan bahwa 30 persen dari siaran lokal harus ditayangkan pada prime time. Lembaga penyiaran secara bertahap juga wajib meningkatkan persentase program siaran lokalnya  hingga 50 persen dari seluruh waktu siaran berjaringan perhari.

Harapan Gubernur Bali agar TVRI khususnya TVRI Bali mengambil peran dalam upaya memberikan layanan siaran bagi masyarakat Buleleng tentu sangat wajar. Pertama karena TVRI merupakan lembaga penyiaran yang menggunakan frekuensi publik dan dana publik melalui APBN. Kedua karena TVRI Bali menjadi satu-satunya lembaga penyiaran publik yang ada di Bali. Ketiga karena TVRI Bali dengan tagline “TV-ne Semeton Bali” harus membuktikan komitmenya bahwa siarannya 50 persen merupakan siaran lokal Bali dan dapat ditonton seluruh masyarakat Bali. 

Permasalahannya kemudian, untuk dapat memberikan layanan siaran hingga seluruh wilayah Buleleng TVRI membutuhkan perbaikan dan peningkatan peralatan pemancar. Upaya TVRI untuk melakukan perbaikan dan perluasan layanan dan jangkauan siaran ini seharusnya mendapatkan dukungan dari pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten Buleleng. Dukungan tersebut dapat berupa dukungan dari segi kebijakan, peralatan maupun dukungan dari segi pendanaan. Masyarakat Buleleng tentu tidak hanya berharap hanya dapat menonton siaran TVRI semata, tapi juga siaran lembaga penyiaran lain yang ada di wilayah Bali Selatan. Khususnya lembaga penyiaran swasta atau siaran lembaga penyiaran lokal berjaringan.

Permasalahannya kemudian adalah mengapa lembaga penyiaran swasta belum membangun stasiun pemancar untuk melayani wilayah Buleleng? Kendala utamanya adalah hingga saat ini Pemkab Buleleng, Pemprov Bali, KPID Bali, Balai Monitor, Diskominfo Bali dan Buleleng hingga saat ini belum menentukan lokasi yang menjadi titik pembangunan pemancar. Lokasi titik pancar untuk Buleleng harus ditetapkan dulu sehingga masyarakat yang ingin merelai siaran televisi memiliki satu arah antenna yang sama. Jangan sampai masyarakat yang menggunakan antena televisi biasa ketika hendak pindah saluran televisi juga harus memindahkan arah antena televisi. Akibat belum adanya lokasi titik pemancar bersama ini juga menyebabkan masyarakat Buleleng belum bisa menikmati siaran lembaga penyiaran lokal yang sudah bersiaran di Buleleng. Ibaratnya “mecarikan nanging mekente”, maksudnya yaitu lembaga penyiaran lokal sudah ada tersedia di Buleleng, tetapi tidak dapat dinikmati oleh masyarakat akibat titik lokasi pancaran tidak sama.

Faktor lain yang menyebabkan lembaga penyiaran lokal berjaringan di wilayah Bali Selatan enggan untuk bersiaran ke Buleleng karena potensi iklan dan pendapatan dipandang masih kecil sehingga tidak menutupi kebutuhan biaya operasional. Selain memang daya layanan dan jangkauan siaran dari Bali selatan tidak sampai ke Bali utara akibat hambatan pegunungan. Justru lembaga penyiaran yang ada di Buleleng berusaha untuk dapat pindah siaran ke Bali Selatan, karena potensi iklannya dipandang lebih menjanjikan.  

Hambatan-hambatan yang ada harus segera diselesaikan agar masyarakat Buleleng mendapatkan layanan siaran dan kebutuhan informasinya terpenuhi. Namun keterbatasan akses siaran televisi teresterial di wilayah Buleleng juga dapat dipandang sebagai peluang bagi Pemerintah Kabupaten Buleleng. Peluang tersebut yaitu peluang membangun lembaga penyiaran publik lokal. Dengan lembaga penyiaran publik lokal maka informasi di daerah Buleleng dapat tergali hingga tingkat desa. Pada sisi lain SDM penyiaran yang ada di Buleleng dapat dikembangkan sehingga dapat sejajar dengan yang ada di Bali Selatan ataupun di daerah lainnya di Indonesia.

Solusi lain yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan siaran dari lembaga penyiaran yang ada di Bali yaitu pembentukan peraturan daerah (perda) terkait penyiaran. Banyak hal yang bisa diatur dalam perda tersebut nantinya, mulai dari kewajiban mengenai siaran muatan lokal hingga etika dalam penyiaran adat dan budaya yang ada di Bali. Bahkan dalam perda tersebut bisa juga dimuat terkait penggunaan bahasa Bali dalam siaran, sebagai bentuk kontribusi lembaga penyiaran dalam melestarikan seni dan budaya Bali. Begitu juga dapat dimuat terkait aturan mengenai Nyepi Siaran, sehingga terdapat pedoman dalam pelaksanaan penghentian siaran saat Nyepi. Red dari tulisan I Nengah Muliarta diambil dari Berita Bali

 

Mahasiswa Universitas Negeri Padang (UNP) bersama Ketua KPI pusat usai menyambangi Kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Jakarta, Rabu (9/1/2019). 

 

Jakarta – Mahasiswa Universitas Negeri Padang (UNP) mengkritisi cara berbahasa Indonesia di sejumlah program acara, baik televisi maupun radio. Menurut mereka, penggunaannya tidak memenuhi standar berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal itu disampaikan mereka saat menyambangi Kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Jakarta, Rabu (9/1/2019). 

“Banyak yang menggunakan bahasa campuran dan ini terjadi tidak hanya di televisi tapi juga radio. Seharusnya menggunakan bahasa Indonesia itu secara baik dan benar. Bagaimana KPI menilai hal ini dan apakah ada aturan yang mengatur,” kata Hanny Putri, salah satu mahasiswa.

Mahasiswa UNP, Stany menyampaikan harapan agar semua stasiun televisi menyampaikan informasi secara berimbang dan netral. Menurut dia, televisi yang pemiliknya ikut berpolitik tidak boleh menyiarkan informasi hanya untuk kepentingan politiknya saja. “Ada ketidaknetralan di televisi dan akhirnya timbul saling hujat,” katanya.

Koordinator bidang Penelitian dan Pengembangan KPI Pusat, Andi Andrianto, menyampaikan pihaknya terus mendorong lembaga penyiaran untuk menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar. Bahkan, lanjut dia, KPI Pusat melalui KPID mendorong penggunaan bahasa daerah dalam siaran lokal yang harus dipenuhi televisi berjaringan. 

Sementara itu, Ahmad Fakhriul Badhi, meminta Mahasiswa menjadi agen perubahan untuk mengubah penyiaran di tanah air menjadi baik dan berkualitas. “Kami juga meminta mahasiswa mengawal proses revisi UU Penyiaran yang sedang berlangsung dan juga mendorong adanya regulasi yang mengatur media sosial,” tandasnya. 

Di akhir pertemuan itu, Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, menyampaikan apresiasinya atas masukan mahasiswa untuk kebaikan penyiaran di Indonesia. ***

 

 

Mataram - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Nusa Tenggara Barat (NTB) gencar mengkampanyekan siaran sehat untuk rakyat dengan menggelar Sharing Session Jurnalistik NTB Bangkit, bekerjasama dengan Yayasan Pundi Amal Peduli kasih SCTV dan Indosiar. 

Untuk memperkuat kampanye siaran sehat, KPID NTB menggandeng kampus UIN Mataram untuk mengadakan berkerja sama. Proses penandatangan MoU sudah dilakukan beberapa waktu lalu.

Ketua KPID NTB, Yusron Saudi, mengatakan agar mahasiswa lebih bergairah dan berkreatifitas dengan menghadirkan acara-acara yang bervariasi. Menurutnya, MoU antara KPID dengan institusi pendidikan dipandang cukup strategis. 

“KPID betul-betul ingin menggaungkan penyiaran sehat untuk rakyat dengan menggandeng semua pihak. Melalui MoU ini kami berharap, mahasiswa lebih peduli dan lebih berpartisipasi aktif. Kami tahu di sini ada jurusan komunikasi,” katanya.

Yusron berharap ke depan mahasiswa lebih melek siaran di NTB. Serta lebih banyak memberikan siaran sehat dan terus memantau siaran yang ada.

Sementara itu, Rektor UIN Mataram, Prof Dr Mutawali M.Ag mengatakan, kedatangan KPID sebagai respon positif atas keberadaan UIN Mataram. Apalagi di NTB, UIN menjadi satu-satunya perguruan tinggi yang memiliki radio. “Kunjungan mereka akan jadi motivasi, khususnya bagi Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK). Untuk terus berkreasi, dan mengembangkan radio,” kata Mutawalli.

Kesempatan bertemu KPID digunakan Rektor untuk berdiskusi tentang pengembangan televisi di kampus UIN Mataram. Mutawalli menilai di era digital, keberadaan radio dan televisi sangat penting. Red dari Radar Mandalika

 

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur, Ahmad Afif Amrullah, ketika di Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an Nurul Islam (Stiqnis) Karangcempaka, Bluto, Sumenep, Jawa Timur, Ahad (6/1/2019).

 

Sumenep - Kasus salah tulis ayat Al-Quran dalam program religi yang disiarkan salah satu stasiun televisi berjaringan secara nasional beberapa bulan lalu menjadi topik hangat pada seminar tentang peran pesantren dalam wajah penyiaran Indonesia. Seminar yang dihadiri oleh Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur, Ahmad Afif Amrullah, itu diselenggarakan di Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an Nurul Islam (Stiqnis) Karangcempaka, Bluto, Sumenep, Jawa Timur, Ahad (6/1/2019).

Dalam kesempatan tersebut, Afif menyampaikan bahwa kasus tersebut dapat dilihat dari dua sudut pandang. Di satu sisi, pihak stasiun TV bisa jadi memang kurang jeli dalam memilih narasumber atau ketika melakukan proses quality control saat bersiaran sehingga terjadilah peristiwa itu. Namun di sisi lain, yang harus dipertanyakan adalah, mengapa peran seperti itu tidak diisi oleh kalangan pondok pesantren yang dikenal memiliki pengetahuan dan pengamalan agama yang mumpuni? “Harusnya, pesantren dapat mengambil peran ini,” jelasnya di hadapan sekitar 50 orang peserta seminar.

Oleh karena itu, peran strategis seperti itu hendaknya dapat dilakukan para santri. Sebab di era modern seperti sekarang ini, pendidikan agama dan dakwah Islam harus dikembangkan melalui berbagai platform, salah satunya adalah melalui lembaga penyiaran televisi dan radio. "Jika pondok pesantren atau santri tidak mengambil peran strategis ini, maka yang tampil adalah orang lain," tegas Afif.

Namun untuk tampil di televisi atau radio, penguasaan ilmu agama yang mumpuni saja belum cukup. Sebagai layaknya sebuah industri, para santri juga hendaknya dapat memahami tuntutan yang melingkupinya. "Mulai dari tampilan diri yang memesona, suara yang memukau, gestur dan pilihan kata yang menghibur, serta tentu saja kemampuan public speaking yang meyakinkan," kata dosen di Universitas Sunan Giri (Unsuri) Surabaya tersebut. Namun ia yakin, banyak santri atau alumni pesantren yang memiliki semua kriteria tersebut. “Masalahnya, kapan ada keberanian dan semangat untuk berkiprah di dunia yang lebih luas. Tidak hanya sebagai ustadz atau ustadzah, tapi bisa juga sebagai artis atau tim kreatifnya,” sergahnya.

Selain peran tersebut, Afif juga mengajak pesantren untuk berperan mewujudkan siaran sehat dengan cara lain. Jika dimungkinkan, kalangan pesantren bisa memiliki dan mengelola lembaga penyiaran sendiri. Baik dalam bentuk lembaga penyiaran swasta atau komunitas sebagamana diatur dalam UU No 32/2002 tentang Penyiaran. "Di Jawa Timur sudah banyak pesantren yang mengelola TV atau radio sendiri. Dengan begitu pesantren bisa menjadikan saluran media untuk menebarkan konten-konten siaran yang sehat dan bermanfaat sekaligus memperluas jangkauan dakwahnya," tambah Afif.

Berikutnya, pesantren juga bisa berperan dengan cara mendukung KPI atau KPID untuk bersama-sama mengedukasi masyarakat agar bisa memilah dan memilih siaran berkualitas serta meninggalkan siaran yang tidak berkualitas. "Nah, kalau saat menonton televisi atau radio Anda merasa ada yang meresahkan, silakan lapor kepada KPI atau KPID Jatim. Nanti kalau terbukti ada pelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3SPS), pasti akan diberikan sanksi," jelas alumni UIN Sunan Ampel Surabaya ini. 

Seminar tersebut diselenggarakan sebagai rangkaian peluncuran portal Pondok Pesantren Nurul Islam Sumenep (www.nuriska.id). Hadir sebagai narasumber lain adalah Syaifullah Ahmad Nawawi selaku Kepala Biro NU Online Jawa Timur. Red dari KPID Jatim

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.