- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 47614
Jakarta - Keikutsertaan televisi dan radio dalam sistem informasi bencana merupakan hal yang sangat strategis dalam upaya memberikan informasi masyarakat tentang potensi bencana yang hadir. Bahkan peran serta lembaga penyiaran tersebut dapat memberikan dampak signifikan dalam upaya meminimalisasi korban dan kerugian atas terjadinya bencana.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Yuliandre Darwis menyampaikan pula, bahwa keterlibatan televisi dapat mereduksi potensi tersebarnya hoax tentang bencana yang biasa muncul dan marah di sosial media. Hal tersebut disampaikan Yuliandre dalam kegiatan Indian Ocean Wavew Exercise 2018 (IOWave 18) yang diselenggarakan oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) , bertempat di Kantor Pusat BMKG, Jakarta,(05/09).
Dalam kegiatan rutin dua tahunan ini, dihadiri pula oleh Rahmat Triyono, selaku Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Dr. Hartuti P. Rahayu dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Perwakilan Kemaritiman Ari Rahman serta Dr. Eka Sakya Ketua Incident Command System (ICS).
Kejadian bencana alam di Lombok menjadi catatan bagi KPI untuk terus mendorong lembaga penyiaran berkontribusi lebih banyak dalam informasi kebencanaan, khususnya inormasi gempa bumi dan tsunami, ujar Andre. Hal ini juga diamini oleh Rahat Triyono yang megatakan bahwa pihaknya sudah memiliki Standard Operational Procedure (SOP) dalam penyebarluasan peringatan dini untuk media sejak tahun 2012. “Apabila berita tersebut merupakan informasi gempa bumi, media dapat menindaklanjuti dengan menayangkan running text. Namun jika informasi peringatan dini tsunami, media berkewajiban menindaklanjutinya dengan menayangkan stop press sesuai dengan landasaan hukum yang berlaku”, ujar Rahmat.
Dalam kesempatan terpisah, Komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan, Ubaidillah mengingatkan bahwa sistem peringatan dini bencana yang dibuat oleh BMKG haruslah sepenuhnya menjadi acuan bagi lembaga penyiaran, baik televisi dan radio, dalam menyiarkan bencana. “Media memang harus mengambil peran dalam mata rantai sistem peringatan dini bencana”, ujarnya. Sosialisasi bencana tersebut, ujar Ubai, tidak semata-mata dilakukan pada saat terjadi bencana, melainkan juga pada pra bencana (mitigasi), tanggap darurat, serta rehabilitasi dan recovery, ujarnya.
Kesadaran wawasan nusantara kita juga harus ditingkatkan dengan memahami bahwasanya Indonesia dikenal sebagai kawasan ring of fire, cincin api. “Sehingga, potensi bencana akibat aktivitas gunung berapi seperti gempa vulkanik ataupun erupsi, sangatlah besar”, papar Ubai. Dirinya mengingatkan pula bahwa lembaga penyiaran dapat mengoptimalkan edukasi masyarakat terkait kebencanaan ini lewat Iklan Layanan Masyarakat (ILM). Bahkan dalam evaluasi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran, KPI juga memberikan penilaian terhadap peran serta televisi dalam sistem informasi bencana. Selama ini, keterlibatan aktif baru ditunjukkan oleh televisi yang mengambil format siaran berita. Ubai berharap, ke depannya seluruh televisi dengan format siaran apapun, selalu tanggap dalam siaran bencana. Hal ini tentu menjadi kontribusi penting dunia penyiaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan di negeri ini.