Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melayangkan surat teguran tertulis untuk program siaran “Marimar” yang tayang di GTV. Berdasarkan pemantauan dan hasil analisis, KPI Pusat telah menemukan pelanggaran pada program yang ditayangkan GTV pada 30 Maret 2018 pukul 02.42 WIB. Hal itu dijelaskan dalam surat teguran KPI Pusat ke GTV, Selasa (17/4/2018).

Menurut keterangan Komisioner sekaligus Koordinator bidang Isi Siaran KPI Pusat, Hardly Stefano, program “Marimar” yang tayang pada 30 Maret 2018 kedapatan menampilkan adegan pria dan wanita berciuman bibir.

“KPI Pusat menilai muatan tersebut tidak dapat ditayangkan. Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas ketentuan tentang penghormatan terhadap norma kesopanan dan kesusilaan serta pelarangan adegan ciuman bibir.,” kata Hardly.

Pihaknya, lanjut Hardly, memutuskan bahwa tayangan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 9 dan Pasal 16 serta Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 9 Ayat (1) dan Pasal 18 huruf g. “Berdasarkan pelanggaran tersebut, KPI Pusat memberikan sanksi administratif teguran tertulis,” tegasnya.

Dalam Kesempatan itu, Hardly meminta GTV untuk menjadikan P3 dan SPS KPI Tahun 2012 sebagai acuan utama dalam penayangan sebuah program siaran. ***

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bertemu dengan pengurus Asosiasi Penyelenggara Multimedia Indonesia (APMI), Jumat (20/4/2018), di Kantor KPI Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat.

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bertemu dengan pengurus Asosiasi Penyelenggara Multimedia Indonesia (APMI), Jumat (20/4/2018), di Kantor KPI Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Pertemuan tersebut dimanfaatkan APMI untuk menyampaikan pendapat dan masukan terkait permasalahan lembaga penyiaran berlangganan (LPB) di bawah asosiasinya.

Dalam pertemuan itu, hadir Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Wakil Ketua KPI Pusat, Sujarwanto Rahmat Arifin, dan Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio. Sedangkan dari APMI dihadiri lengkap seluruh jajaran pengurusnya.

Ketua Umum APMI, Ade Tjendra, di awal pertemuan menyampaikan pendapatnya soal siaran-siaran asing yang masuk ke Indonesia melalui perangkat parabola. Menurutnya, siaran tersebut tidak mengindahkan adanya ketentuan perundang-undangan yang berlaku seperti pedoman siaran yang dibuat KPI. “Siaran asing tersebut dapat dinikmati dengan bebas bahkan tanpa sensor oleh masyarakat Indonesia,” katanya kepada KPI Pusat.

Ade mengatakan, para distributor parabola dan perangkat decoder seolah-olah sudah berperan sebagaimana layaknya LPB dengan menyediakan fasilitas untuk menerima siaran asing. Padahal, menurut Pasal 27 UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran secara tegas menentukan syarat-syarat sebuah LPB yang tidak pernah dipenuhi oleh para distributor tersebut.

Menurut Ade, pihaknya memandang sudah selayaknya setiap siaran asing yang mempunyai overspill siaran di Indonesia agar pemilik siaran melakukan pengacakan terhadap siarannya yang dapat ditangkap di sini.   

Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio mengatakan, persoalan siaran asing melalui teknologi parabola tidak lepas dari adanya kebijakan langit terbuka atau open sky policy oleh Pemerintah untuk menutup daerah-daerah blankspot di tanah air. Kebijakan ini hadir sebelum ada UU Penyiaran, sehingga persoalan teknologi parabola tidak masuk sebagai sebuah lembaga penyiaran. “Karena itu, tidak ada yang mengaturnya di UU Penyiaran,” jelasnya.

Menurut Agung, keberadaan parabola sudah ada sejak Orde Baru (Orba), sebelum LPB ada. Namun, sejak LPB mulai berkembang, jumlah pengguna parabola mulai berkurang terutama di wilayah perkotaan besar.  

Wakil Ketua KPI Pusat, S. Rahmat Arifin menambahkan, kebijakan langit terbuka memiliki jasa besar terhadap negara ini untuk menutup wilayah-wilayah yang belum terjangkau siaran.

Dalam kesempatan itu, Rahmat sepakat dengan APMI terkait konten yang tidak memiliki landing right harus segera disikapi. Permasalahan ini, kata Dia, akan didiskusikan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). “Karena ini berkaitan dengan konten tidak hanya sekedar informasi tapi juga menyangkut ideology bangsa,” tambahnya. ***

Jakarta - Upaya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam meningkatkan kualitas program siaran baik di televisi dan radio, tidak saja dalam bentuk penjatuhan sanksi. Kehadiran sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) yang dilaksanakan KPI setiap bulan, menjadi salah satu perangkat yang dimiliki KPI dalam meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di bidang penyiaran. Lewat Sekolah P3 & SPS ini, diharapkan pelaku industri penyiaran menjadi lebih paham tujuan terselenggaranya penyiaran, sebagaimana yang diamanatkan oleh regulasi. Hal ini tentu saja diharapkan berdampak pada membaiknya kualitas program siaran. Komisioner KPI Pusat bidang pengawasan isi siaran, Dewi Setyarini menyampaikan hal tersebut dalam acara seminar Pekan Komunikasi 2018 dengan tema Grasp the Endless Cycle: Dekonstruksi Selera Masyarakat Indonesia akan Konten Program TV Nasional yang diselenggarakan Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), (19/4).

Langkah lain yang juga dilakukan KPI dalam meningkatkan kualitas program siaran yakni dengan melakukan pembinaan terhadap lembaga penyiaran. “Pembinaan merupakan metode dialogis antara KPI dan pihak industri untuk mencari titik temu dalam menampilkan program siaran yang memiliki nilai atau value yang baik”, ujar Dewi. Namun demikian, sebagai regulator, tentu saja KPI tetap menjalankan tugasnya sebagai wasit yang menindak pelanggaran-pelanggaran P3 & SPS yang muncul di televisi dan radio.

Dalam seminar yang dihadiri mahasiswa Ilmu Komunikasi dari berbagai kampus ini, juga menghadirkan narasumber lainnya seperti peneliti dari London School of Public Relation, Lestari Nurhajati, Direktur Program dan Produksi SCTV dan Indosiar, Harsiwi Ahmad, serta Direktur Utama NET TV, Wisnutama Kusubandio. 

Pada kesempatan tersebut, Dewi menyampaikan bahwa setiap tahunnya sejak 2017, KPI melakukan evaluasi tahunan pada seluruh stasiun televisi yang bersiaran jaringan secara nasional. Untuk itu, Dewi berharap, adanya peran serta dari publik untuk memberikan masukan pada KPI terkait kinerja penyelenggaraan penyiaran setiap stasiun televisi. “KPI sangat terbuka atas setiap masukan dan kritik masyarakat”, ujar Dewi. Hal ini dimaksudkan agar KPI dapat hadir sebagai lembaga yang selalu optimal menjadi wakil publik dalam pengelolaan penyiaran.

Tak lupa, Dewi juga menyampaikan perjuangan KPI dalam menjaga isi siaran agar bersih dari kepentingan politik tertentu, lewat keluarnya surat edaran yang melarang munculnya muatan kampanye politik, termasuk mars partai tertentu. “Sayangnya surat edaran tersebut digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan KPI dinyatakan kalah!”, papar Dewi. Bahkan, tak menunggu lama, sehari setelah putusan tersebut keluar, mars partai tertentu yang hadirnya mengundang protes banyak pihak, kembali muncul di layar kaca.

Menanggapi perjuangan KPI dalam menata layar kaca sebagai medium yang adil bagi seluruh kontestan politik, moderator seminar Hendriyani meminta KPI lebih terbuka pada publik atas setiap langkah yang diambil. “Sehingga publik juga dapat memberikan dukungan yang lebih besar atas kebijakan KPI dalam menyuarakan kepentingannya”, ujar Hendri. 

Kehadiran survey Indeks Kualitas Program Siaran yang dilakukan KPI di 12 kota besar di Indonesia dengan melibatkan total 1200 responden, merupakan cara KPI dalam menilai kualitas program televisi lewat kacamata masyarakat. “Tanpa bermaksud menjadi tandingan dari lembaga pemeringkat yang ada, survey yang dilakukan KPI ternyata menunjukkan selera masyarakat yang berbeda dari hasil yang ada selama ini”, ujar Dewi.

Hasil survey KPI menunjukkan konsistensi penilaian masyarakat bahwa program siaran yang berkualitas terpusat pada tiga jenis program, yakni budaya, religi dan program anak. Sementara ketiga program ini justru tidak mendapatkan nilai yang bagus dari lembaga pemeringkat saat ini. Berbanding terbalik, program sinetron dan variety show yang dinilai rendah oleh Survey KPI, justru diapresiasi sangat baik oleh lembaga rating. Padahal pada program seperti inilah, muncul protes dan keluhan masyarakat tentang rendahnya mutu dan kualitas tayangan televisi.

Harsiwi Achmad selaku praktisi senior di bidang penyiaran menyatakan, kehadiran KPI sangatlah mengubah wajah dunia penyiaran di Indonesia. “Dulu film horor dan komedi dewasa dapat dengan bebas hadir di televisi”, ujarnya. Sekarang, dengan aturan yang sangat ketat film-film seperti itu tidak lagi mendapat tempat di TV. 

Terkait aturan ketat yang melingkupi industri penyiaran, dalam hal ini televisi dan radio, Wisnutama menyampaikan perspektifnya sendiri. Wisnu yang sekarang menjadi Ketua Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI) memaparkan tentang bisnis dunia penyiaran yang mendapatkan persaingan kuat dari dunia maya. “TV adalah bisnis yang sangat diatur ketat, atau highly regulated”, ujarnya. Namun pada saat yang bersamaan TV harus bersaing dengan dunia maya yang sama sekali belum ada aturannya. Wisnu berharap, persaingan bisnis konten siaran ini harus dilakukan dengan sehat. “Baik televisi lewat Free To Air ataupun yang muncul lewat internet harus sama-sama diatur”, ujarnya.

Apalagi, tambah Wisnu, pelaku industri penyiaran saat ini dimiliki oleh warga negara Indonesia, yang masih memiliki tanggung jawab moral terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan bisnis konten di internet sangat memungkinkan dimiliki oleh orang-orang asing, yang bisa jadi tidak peduli pada kewajiban menjaga keutuhan bangsa.

Akhirnya, masalah kualitas siaran yang dinilai masih belum sesuai harapan harus dilihat secara menyeluruh penyebabnya. Kehadiran regulasi yang adil bagi seluruh pelaku bisnis penyiaran, menjadi salah satu jalan keluarnya. Menurut Lestari Nurhajati, termasuk dengan menghadirkan lembaga pemeringkat program siaran secara mandiri yang berada di bawah lembaga negara, sehingga tidak terpolusi pada kepentingan pemasang iklan.  Lestari yang juga aktivis Koalisi Nasional untuk Reformasi Penyiaran (KNRP) secara khusus memberikan catatan agar regulasi penyiaran yang baru dapat mendukung terciptanya keberagaman konten dan keberagaman kepemilikan.

Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio.

 

Jakarta - Pelayanan perizinan penyiaran terus dipecut. Hal ini dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebagai upaya peningkatan investasi.

Geryantika Kurnia, Direktur Penyiaran Kominfo RI mengatakan percepatan perizinan dalam penyiaran akan dipercepat. "Selain dari dorongan Presiden Jokowi, percepatan ini juga diharapkan tidak menjadi penghambat investasi," ucapnya dalam rapat persiapan First Class Broadcasting Lisencing, Jumat (20/4/2018).

Rapat yang digelar di Ruang M. Natsir, Gedung Utama Kominfo RI ini juga dihadiri oleh Komisioner KPI Pusat Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran, Agung Suprio.

Menurutnya, deklarasi ini sepenuhnya KPI dukung. "Kita pasti dukung itikad baik Kominfo. Perizinan jadi cepat, investasi lancar," tegasnya. ***

Jakarta - Kehadiran tayangan televisi yang mengandung muatan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) dikhawatirkan memberikan efek duplikasi terhadap anak dan remaja. Hal ini diyakini karena televisi masih memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan bermasyarakat. “Sekalipun pada zaman sekarang, kecenderungan konsumsi televisi menurun, hasil riset menunjukkan bahwa televisi masih menjadi media yang memiliki kekuatan paling besar dalam mempengaruhi masyarakat”, ujar Hardly Stefano Pariela saat mengantar diskusi terbatas di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat tentang Pembatasan Konten Yang Mengandung LGBT Dalam Siaran Televisi, (17/4).

Dalam diskusi tersebut hadir pula narasumber dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Masduki Baidlowi, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Reza Indragiri Amriel,  Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Sandrayati Moniaga, dan dari praktisi media, Andi Chairil. Sedangkan komisioner KPI Pusat lainnya yang turut menghadiri diskusi terbatas tersebut adalah Mayong Suryo Laksono, Dewi Setyarini dan Nuning Rodiyah.

Menurut Masduki, frekuensi yang digunakan televisi pada dasarnya merupakan milik publik. Untuk itu dirinya mengingatkan KPI akan kewenangannya untuk mengontrol muatan televisi agar sesuai dengan regulasi guna terciptanya siaran yang cerdas dan menjunjung etika. Masduki menyampaikan pula tentang keresahan publik terhadap konten siaran yang berunsur LGBT. Padahal, dalam ajaran agama mana pun, praktik LGBT merupakan perilaku menyimpang.  Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI ini mengatakan, hal penting dari rekomendasi Fatwa MUI adalah negara diharapkan membuat regulasi yang dapat mengatur dan melakukan pencegahan atas berkembangnya aktivitas LGBT.

Sementara itu dari industri penyiaran mengakui adanya potensi penyebarluasan gaya hidup LGBT lewat tayangan di televisi. Padahal, ujar Andi Chairil, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI 2012 mengatur tentang perlindungan terhadap kepentingan anak dan remaja, serta perlindungan kepada kelompok minoritas. “Namun sayangnya kelompok inilah yang suka menjadi bahan olok-olokan dan celaan di televisi”, ujarnya.

Andi mengakui adanya eksploitasi konten LGBT oleh lembaga penyiaran di televisi. “Diantaranya muncul lewat gimmick dan personality atau gesture dari para pengisi acara”, ujarnya.  Beberapa contoh tayangan disampaikan Andi, termasuk kritiknya terhadap program jurnalistik yang menayangkan percakapan tentang LGBT tersebut secara vulgar.

Jika bicara tentang karya dan prestasi oleh orang-orang atau figur terkenal yang ditengarai memiliki orientasi seksual tidak normal, Andi melihat tidak ada diskriminasi dari televisi. Namun dirinya melihat kecenderungan terjadinya eksploitasi hal-hal privat tentang LGBT di layar kaca, termasuk dengan fenomena kehadiran “alay” dalam memeriahkan acara televisi yang sangat erat dengan faktor keekonomian.

Terkait potensi penyebarluasan gaya hidup ini, Reza Indragiri Amriel menyampaikan pula hasil riset yang menunjukkan semakin tinggi pemirsa terpapar tayangan LGBT, maka akan semakin tinggi penerimaannya terhadap kehadiran LGBT. Selain itu, tambah Reza, semakin muda usia pemirsa saat terpapar tayangan LGBT, makan semakin mudah memberikan penerimaan terhadap LGBT. Reza pun sangat memaklumi kekhawatiran banyak pihak atas eksploitasi materi LGBT di televisi. “Apalagi jika merujuk pada pandangan para ahli kesehatan jiwa di Indonesia tentang LGBT”, ujarnya.

Bicara tentang LGBT sendiri memang tidak bisa dilepaskan pada hak-hak setiap individu untuk diperlakukan sebagai manusia di sebuah negara yang merdeka. Sandrayati Moniaga mengungkapkan, warga LGBT diprediksi sudah mencapai sekitar 2-3 juta orang. Namun kelompok ini kerap kali mendapat berbagi bentuk kekerasan baik fisik, simbolik atau struktural. Komnas HAM sendiri merekomendasikan, sejalan dengan prinsip penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM setiap warga, agar KPI merumuskan kebijakan yang didasarkan pada prinsip HAM secara komprehensif, utamanya mencakup rumusan indikator dan indeks untuk isu spesifik.

Masukan terhadap KPI terkait eksploitasi LGBT ini disampaikan pula oleh perwakilan organisasi agama, diantaranya Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Perwalian Umat Budha Indonesia (Walubi). Pada prinsipnya semua agama hanya mengakui pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Dari KWI memberikan catatan, pelaku LGBT tetap harus diperlakukan dengan belas kasih. “Namun perilakunya jangan menyimpang di depan publik”, ujar Catherine yang hadir mewakili KWI. Terkait kemunculan di televisi, Catherine berharap pengelola televisi menyadari betul bahwa tayangannya memiliki pengaruh yang sangat luar biasa pada masyarakat.

Sedangkan dari Dr Sopa dari Muhammadiyah mempertanyakan kenapa permisivisme seperti itu dibiarkan muncul di televisi. Menurutnya, KPI harus segera lakukan intervensi dan literasi pada pelaku kreatif di industri penyiaran, agar produk-produk siarannya bebas dari eksploitasi LGBT, demi melindungi kepentingan dan masa depan anak-anak Indonesia.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.