Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia (RI), Achmad Yani Basuki, di Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) KPI Angkatan XXVI di Kantor KPI Pusat di bilangan Jalan Djuanda Jakarta Pusat, Selasa (17/4/2018). (Foto by KPI/Agung Rahmadiansyah)

 

Jakarta -- Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia (RI), Achmad Yani Basuki, berbagi pengalaman, wawasan, regulasi sensor lembaganya, dan hubungan lembaganya dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) KPI Angkatan XXVI di Kantor KPI Pusat di bilangan Jalan Djuanda Jakarta Pusat, Selasa (17/4/2018).

Dalam presentasinya yang berjudul “Nilai Strategis Informasi Sebagai Konten Publikasi”, Yani mengatakan film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin. Karena itu, negara bertanggung jawab memajukan perfilman di Indonesia.

Menurut Yani, film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia Internasional. Oleh karena itu, lanjut Dia, film perlu dikembangkan dan dilindungi.

Di era globalisasi, tambah Yani, film dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari konten negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa.  “Dampak globalisasi membawa kemudahan dalam pertukaran budaya. Film juga disamping menjadi media komunikasi juga menjadi alat peneterasi budaya, berfungsi ganda,” kata Jenderal Purnawirawan bintang dua ini.

Yani menilai bangsa yang lemah komitmen budayanya akan mudah dipengaruhi oleh budaya asing dan cenderung konsumerisme. Perlindungan budaya, menurut Dia, hanya dapat dilakukan dengan membangkitkan kesadaran internal warga masyarakatnya.

Selain itu, Yani menyoroti dampak perkembangan teknologi seperti adanya konvergensi yang melahirkan e-cinema. Hal ini mengakibatkan penyensoran tidak bisa dibebankan hanya kepada LSF semata, tetapi menjadi tanggung jawab juga seluruh pemangku kepentingan. “Perkembangan teknologi ternyata lebih cepat daripada aturannya. Ini menyebabkan tidak bisa dijamah oleh aturan,” katanya.

Yani mendorong adanya literasi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam mengkonsumsi film atau informasi lainnya. “Kesadaran itu dapat dimulai dari orangtua dengan tidak mudah memberi kebebasan kepada anaknya menyaksikan film yang tidak sesuai dengan klasifikasi umur. Orangtua harus tega untuk melarang anaknya,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Ketua LSF ini menegaskan, setiap film yang sudah lulus sensor dari lembaganya kemudian masuk ke layar kaca, aturan yang berlaku adalah ketentuan Komisi Penyiaran Indonesia. ***

Berita terkait:

http://kpi.go.id/index.php/id/umum/38-dalam-negeri/34451-peserta-sekolah-p3sps-angkatan-xxviii

 

Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, di acara ATVSI. (Foto-foto by KPI/Agung Rahmadiansyah)

 

Jakarta - Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) menggelar pertemuan dengan Dirjen PPI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) RI, dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Senin (16/4/2018). Pertemuan yang dimulai jam 13.00 WIB ini membahas tentang masukan ATVSI untuk revisi Peraturan Dirjen PPI No. 22 Tahun 2016, bertempat di Board Room-Financial Club, Graha Niaga Lt. 27, Jl. Jend. Sudirman, Jakarta Selatan.

Dalam pertemuan tersebut, ATVSI memaparkan dua prinsip dasar revisi. Pertama adalah, memperbaiki kekurangan atau kelemahan dari Peraturan Dirjen No. 2 Tahun 2016. Kedua, membuat peraturan Dirjen  baru yang sederhana, efisien, efektif, mudah dalam penerapannya.

Berita terkait:

http://kpi.go.id/index.php/id/umum/38-dalam-negeri/34445-kpi-dukung-peringkasan-perizinan-lembaga-penyiaran

Menanggapi hal tersebut, Geryantika, Direktur Penyiaran Kominfo, mengatakan bahwa proses perizinan memang perlu percepatan, hal ini disesuaikan dengan arahan Presiden. "Proses perizinan perlu di percepat, biar investasi tidak terganggu," ujarnya.

Agung Suprio, Komisioner KPI Pusat menilai masukan ini ideal. "KPI mendukung masukan dari ATVSI juga apa yang disampaikan oleh Kominfo. Semuanya ideal, asalkan tidak bertabrakan dengan peraturan perundang-undangan yang lain," tegas pria yang akrab disapa Agung ini. ***

 

 

Jakarta - Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) memasuki angkatan XXVIII. Setelah pendaftaran dibuka pada 09 April 2018,  lebih dari 40 orang yang mendaftarkan diri hingga ditutupnya masa pendaftaran pada 12 April 2018. Peserta Sekolah P3SPS adalah praktisi lembaga penyiaran, mahasiswa dan masyarakat umum. Pelaksanaan program yang bertujuan untuk mengembangkan soft skill dan profesionalitas praktisi penyiaran ini tidak memungut biaya apapun. Penyelenggaraannya ditanggung oleh APBN.

Panitia mengumumkan peserta Sekolah P3SPS angkatan XXVIII yang dilaksanakan pada Selasa-Kamis, 17 - 19 April 2018. Kepada peserta yang lolos, diharapkan kedatangannya di Ruang Rapat KPI Pusat lantai 2 Jalan Ir. H. Juanda No. 36 pada pukul 08.30 dan membawa foto ukuran 3x4, dua lembar (satu lembar ditempel di sertifikat, 1 lembar untuk arsip).

Adapun peserta Sekolah P3SPS angkatan XXVIII adalah:

Nopri naldi (KPID Riau)
Bayu Murti Krisdianto    (I News Tv Biro Bandung)
Gita Aziza (UHAMKA)
Rizka Dwi Putri Mawardah (Mahasiswa)
Nusrat Begum (Mahasiswa)
Anita Sundari (Mahasiswa)
Dia Elsyah (Masyarakat)
Marissa Noverina Hidayat (Mahasiswa)
Anastasia Kristi Damayanti (METRO TV)
Imamah (Mahasiswa)
Hilda Rachmawati (Metro TV)
Achmad Faizal (Indosiar)
Rizman Gumilang    (Masyarakat)
Airlangga Segoro Banyubiru (Mahasiswa)
Muhammad Hasan Al Mahdi (Mahasiswa)
Izzatinnisa Tanjung (RTV)
Budi Satria Wibawa (RTV)
Aprino Khotib (METRO TV)
Abdul Rozak (Trans7)
Rini Dwi Pertiwi (Trans7)
Ega Ganjar Prayoga (Trans TV)
Resdianto Eko Prasetio (Trans TV)
Mochamad Achir (SCTV)
Rino Azhar (MNC TV)
Adhitia Purapratama (MNC TV)
Iqbal Syadzali    (iNewsTV)
Nofiyanti Tambunan (iNewsTV)
Rizki Nadiari (RCTI)
Muhammad Yusuf (TVRI)
Nuzuar Hasmedi (Transvision)

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, ketika menjadi narasumber acara Media Gathering dan Penyamaan Persepsi yang diselenggarakan Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) di Sentul, Bogor, Sabtu (14/4/2018).

 

Bogor – Lembaga penyiaran diminta tidak menonjolkan fenomena atau fakta tentang ujaran kebencian dan isu SARA khususnya dalam konteks kontestasi politik. Hal itu disampaikan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, ketika menjadi narasumber acara Media Gathering dan Penyamaan Persepsi yang diselenggarakan Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) di Sentul, Bogor, Sabtu (14/4/2018).

Menurut Hardly, yang harus dilakukan lembaga penyiaran ketika banyak beredar informasi mengenai hal itu adalah melakukan negasi jika hal itu merupakan sesuatu yang negatif. “Lembaga penyiaran, baik televisi maupun radio, harus mampu menempatkan posisi sebagai sumber rujukan informasi yang valid dan berkualitas bagi seluruh masyarakat,” katanya di depan puluhan wartawan yang hadir.

Dengan adanya berbagai rambu dalam memproduksi program siaran, lanjut Hardly, seharusnya tidak ada lagi tempat bagi tampilnya hoax, ujaran kebencian maupun isu SARA melalui media penyiaran.

Hardly mengatakan, ada tiga hal yang menjadi dasar ketika berbicara Pemilu. Pertama, bagaimana penyiaran membangun demokrasi dengan sehat," katanya. Kedua, membangun kondusifitas dengan informasi yang berkualitas dan valid. "Bukan berujaran kekerasaan dan kebencian," ucapnya.

Kemudian, Ketiga, kohesifitas media informasi pendidikan yang menjadi perekat sosial. Dalam kesempatan itu, Ia berharap kepada para pekerja media tetap melakukan verifikasi. "Kita berharap media memberikan sisi ketepatan berita dan pemanfaatan berita," paparnya. ***

 

Paris - Prancis telah lama berjuang untuk menahan gelombang masuknya bahasa Inggris yang membanjiri bahasa Molière. Tetapi sebuah petisi yang menyerukan program televisi untuk disiarkan dalam bahasa Inggris dengan subtitel mendapat dukungan dengan cepat dari berbagai pihak.

Petisi tersebut diluncurkan oleh Delphine Tabaries-Poncet, seorang guru bahasa di kota selatan Béziers yang khawatir bahwa bahasa Inggris muridnya yang tidak sempurna dapat menghambat masa depannya.

Dia menyadari nilai penting dari serial TV dan film dalam bahasa Inggris ketika seorang anak laki-laki Rumania berusia 15 tahun di sekolahnya, dapat berbicara bahasa Inggris jauh lebih baik daripada teman-teman sekelasnya.

Dia telah mencapai kelancaran berbahasa Inggris yang didapat dengan menonton televisi. Rumania sering menyiarkan film dan seri dalam bahasa Inggris. "Dia berbicara dengan sangat baik sehingga yang lain tidak bisa mengikutinya," katanya, awal Maret 2018.

Delphine prihatin bahwa kegagalan banyak anak sekolah Prancis untuk menguasai lingua franca global menghambat prospek karier mereka. Delphine sekarang mendesak Presiden Emmanuel Macron untuk mengambil tindakan untuk memasukkan lebih banyak bahasa Inggris ke penyiaran Prancis.

Permohonannya untuk menghentikan program-program bahasa Inggris dalam bahasa Prancis telah memperoleh ribuan tanda tangan hanya dalam beberapa hari.

Tetapi pasti akan memancing kontroversi di sebuah negara yang mencoba menangkis “invasi budaya Anglo-Saxon” dengan memberlakukan kuota untuk lagu-lagu Prancis yang diputar di radio dan film-film Prancis yang diputar di bioskop-bioskop.

Alex Martin, 55, seorang insinyur, berkata “Mengapa kita harus dipaksa menonton program dalam bahasa Inggris? Terlalu banyak orang yang sudah menggunakan kata-kata bahasa Inggris. Kami harus membela bahasa kami, dengan tidak membiarkan lebih banyak bahasa Inggris berada di Perancis.” Sumber dari https://www.telegraph.co.uk

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.