Jakarta - Upaya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam meningkatkan kualitas program siaran baik di televisi dan radio, tidak saja dalam bentuk penjatuhan sanksi. Kehadiran sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) yang dilaksanakan KPI setiap bulan, menjadi salah satu perangkat yang dimiliki KPI dalam meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di bidang penyiaran. Lewat Sekolah P3 & SPS ini, diharapkan pelaku industri penyiaran menjadi lebih paham tujuan terselenggaranya penyiaran, sebagaimana yang diamanatkan oleh regulasi. Hal ini tentu saja diharapkan berdampak pada membaiknya kualitas program siaran. Komisioner KPI Pusat bidang pengawasan isi siaran, Dewi Setyarini menyampaikan hal tersebut dalam acara seminar Pekan Komunikasi 2018 dengan tema Grasp the Endless Cycle: Dekonstruksi Selera Masyarakat Indonesia akan Konten Program TV Nasional yang diselenggarakan Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), (19/4).

Langkah lain yang juga dilakukan KPI dalam meningkatkan kualitas program siaran yakni dengan melakukan pembinaan terhadap lembaga penyiaran. “Pembinaan merupakan metode dialogis antara KPI dan pihak industri untuk mencari titik temu dalam menampilkan program siaran yang memiliki nilai atau value yang baik”, ujar Dewi. Namun demikian, sebagai regulator, tentu saja KPI tetap menjalankan tugasnya sebagai wasit yang menindak pelanggaran-pelanggaran P3 & SPS yang muncul di televisi dan radio.

Dalam seminar yang dihadiri mahasiswa Ilmu Komunikasi dari berbagai kampus ini, juga menghadirkan narasumber lainnya seperti peneliti dari London School of Public Relation, Lestari Nurhajati, Direktur Program dan Produksi SCTV dan Indosiar, Harsiwi Ahmad, serta Direktur Utama NET TV, Wisnutama Kusubandio. 

Pada kesempatan tersebut, Dewi menyampaikan bahwa setiap tahunnya sejak 2017, KPI melakukan evaluasi tahunan pada seluruh stasiun televisi yang bersiaran jaringan secara nasional. Untuk itu, Dewi berharap, adanya peran serta dari publik untuk memberikan masukan pada KPI terkait kinerja penyelenggaraan penyiaran setiap stasiun televisi. “KPI sangat terbuka atas setiap masukan dan kritik masyarakat”, ujar Dewi. Hal ini dimaksudkan agar KPI dapat hadir sebagai lembaga yang selalu optimal menjadi wakil publik dalam pengelolaan penyiaran.

Tak lupa, Dewi juga menyampaikan perjuangan KPI dalam menjaga isi siaran agar bersih dari kepentingan politik tertentu, lewat keluarnya surat edaran yang melarang munculnya muatan kampanye politik, termasuk mars partai tertentu. “Sayangnya surat edaran tersebut digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan KPI dinyatakan kalah!”, papar Dewi. Bahkan, tak menunggu lama, sehari setelah putusan tersebut keluar, mars partai tertentu yang hadirnya mengundang protes banyak pihak, kembali muncul di layar kaca.

Menanggapi perjuangan KPI dalam menata layar kaca sebagai medium yang adil bagi seluruh kontestan politik, moderator seminar Hendriyani meminta KPI lebih terbuka pada publik atas setiap langkah yang diambil. “Sehingga publik juga dapat memberikan dukungan yang lebih besar atas kebijakan KPI dalam menyuarakan kepentingannya”, ujar Hendri. 

Kehadiran survey Indeks Kualitas Program Siaran yang dilakukan KPI di 12 kota besar di Indonesia dengan melibatkan total 1200 responden, merupakan cara KPI dalam menilai kualitas program televisi lewat kacamata masyarakat. “Tanpa bermaksud menjadi tandingan dari lembaga pemeringkat yang ada, survey yang dilakukan KPI ternyata menunjukkan selera masyarakat yang berbeda dari hasil yang ada selama ini”, ujar Dewi.

Hasil survey KPI menunjukkan konsistensi penilaian masyarakat bahwa program siaran yang berkualitas terpusat pada tiga jenis program, yakni budaya, religi dan program anak. Sementara ketiga program ini justru tidak mendapatkan nilai yang bagus dari lembaga pemeringkat saat ini. Berbanding terbalik, program sinetron dan variety show yang dinilai rendah oleh Survey KPI, justru diapresiasi sangat baik oleh lembaga rating. Padahal pada program seperti inilah, muncul protes dan keluhan masyarakat tentang rendahnya mutu dan kualitas tayangan televisi.

Harsiwi Achmad selaku praktisi senior di bidang penyiaran menyatakan, kehadiran KPI sangatlah mengubah wajah dunia penyiaran di Indonesia. “Dulu film horor dan komedi dewasa dapat dengan bebas hadir di televisi”, ujarnya. Sekarang, dengan aturan yang sangat ketat film-film seperti itu tidak lagi mendapat tempat di TV. 

Terkait aturan ketat yang melingkupi industri penyiaran, dalam hal ini televisi dan radio, Wisnutama menyampaikan perspektifnya sendiri. Wisnu yang sekarang menjadi Ketua Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI) memaparkan tentang bisnis dunia penyiaran yang mendapatkan persaingan kuat dari dunia maya. “TV adalah bisnis yang sangat diatur ketat, atau highly regulated”, ujarnya. Namun pada saat yang bersamaan TV harus bersaing dengan dunia maya yang sama sekali belum ada aturannya. Wisnu berharap, persaingan bisnis konten siaran ini harus dilakukan dengan sehat. “Baik televisi lewat Free To Air ataupun yang muncul lewat internet harus sama-sama diatur”, ujarnya.

Apalagi, tambah Wisnu, pelaku industri penyiaran saat ini dimiliki oleh warga negara Indonesia, yang masih memiliki tanggung jawab moral terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan bisnis konten di internet sangat memungkinkan dimiliki oleh orang-orang asing, yang bisa jadi tidak peduli pada kewajiban menjaga keutuhan bangsa.

Akhirnya, masalah kualitas siaran yang dinilai masih belum sesuai harapan harus dilihat secara menyeluruh penyebabnya. Kehadiran regulasi yang adil bagi seluruh pelaku bisnis penyiaran, menjadi salah satu jalan keluarnya. Menurut Lestari Nurhajati, termasuk dengan menghadirkan lembaga pemeringkat program siaran secara mandiri yang berada di bawah lembaga negara, sehingga tidak terpolusi pada kepentingan pemasang iklan.  Lestari yang juga aktivis Koalisi Nasional untuk Reformasi Penyiaran (KNRP) secara khusus memberikan catatan agar regulasi penyiaran yang baru dapat mendukung terciptanya keberagaman konten dan keberagaman kepemilikan.

Jakarta - Kehadiran tayangan televisi yang mengandung muatan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) dikhawatirkan memberikan efek duplikasi terhadap anak dan remaja. Hal ini diyakini karena televisi masih memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan bermasyarakat. “Sekalipun pada zaman sekarang, kecenderungan konsumsi televisi menurun, hasil riset menunjukkan bahwa televisi masih menjadi media yang memiliki kekuatan paling besar dalam mempengaruhi masyarakat”, ujar Hardly Stefano Pariela saat mengantar diskusi terbatas di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat tentang Pembatasan Konten Yang Mengandung LGBT Dalam Siaran Televisi, (17/4).

Dalam diskusi tersebut hadir pula narasumber dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Masduki Baidlowi, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Reza Indragiri Amriel,  Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Sandrayati Moniaga, dan dari praktisi media, Andi Chairil. Sedangkan komisioner KPI Pusat lainnya yang turut menghadiri diskusi terbatas tersebut adalah Mayong Suryo Laksono, Dewi Setyarini dan Nuning Rodiyah.

Menurut Masduki, frekuensi yang digunakan televisi pada dasarnya merupakan milik publik. Untuk itu dirinya mengingatkan KPI akan kewenangannya untuk mengontrol muatan televisi agar sesuai dengan regulasi guna terciptanya siaran yang cerdas dan menjunjung etika. Masduki menyampaikan pula tentang keresahan publik terhadap konten siaran yang berunsur LGBT. Padahal, dalam ajaran agama mana pun, praktik LGBT merupakan perilaku menyimpang.  Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI ini mengatakan, hal penting dari rekomendasi Fatwa MUI adalah negara diharapkan membuat regulasi yang dapat mengatur dan melakukan pencegahan atas berkembangnya aktivitas LGBT.

Sementara itu dari industri penyiaran mengakui adanya potensi penyebarluasan gaya hidup LGBT lewat tayangan di televisi. Padahal, ujar Andi Chairil, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI 2012 mengatur tentang perlindungan terhadap kepentingan anak dan remaja, serta perlindungan kepada kelompok minoritas. “Namun sayangnya kelompok inilah yang suka menjadi bahan olok-olokan dan celaan di televisi”, ujarnya.

Andi mengakui adanya eksploitasi konten LGBT oleh lembaga penyiaran di televisi. “Diantaranya muncul lewat gimmick dan personality atau gesture dari para pengisi acara”, ujarnya.  Beberapa contoh tayangan disampaikan Andi, termasuk kritiknya terhadap program jurnalistik yang menayangkan percakapan tentang LGBT tersebut secara vulgar.

Jika bicara tentang karya dan prestasi oleh orang-orang atau figur terkenal yang ditengarai memiliki orientasi seksual tidak normal, Andi melihat tidak ada diskriminasi dari televisi. Namun dirinya melihat kecenderungan terjadinya eksploitasi hal-hal privat tentang LGBT di layar kaca, termasuk dengan fenomena kehadiran “alay” dalam memeriahkan acara televisi yang sangat erat dengan faktor keekonomian.

Terkait potensi penyebarluasan gaya hidup ini, Reza Indragiri Amriel menyampaikan pula hasil riset yang menunjukkan semakin tinggi pemirsa terpapar tayangan LGBT, maka akan semakin tinggi penerimaannya terhadap kehadiran LGBT. Selain itu, tambah Reza, semakin muda usia pemirsa saat terpapar tayangan LGBT, makan semakin mudah memberikan penerimaan terhadap LGBT. Reza pun sangat memaklumi kekhawatiran banyak pihak atas eksploitasi materi LGBT di televisi. “Apalagi jika merujuk pada pandangan para ahli kesehatan jiwa di Indonesia tentang LGBT”, ujarnya.

Bicara tentang LGBT sendiri memang tidak bisa dilepaskan pada hak-hak setiap individu untuk diperlakukan sebagai manusia di sebuah negara yang merdeka. Sandrayati Moniaga mengungkapkan, warga LGBT diprediksi sudah mencapai sekitar 2-3 juta orang. Namun kelompok ini kerap kali mendapat berbagi bentuk kekerasan baik fisik, simbolik atau struktural. Komnas HAM sendiri merekomendasikan, sejalan dengan prinsip penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM setiap warga, agar KPI merumuskan kebijakan yang didasarkan pada prinsip HAM secara komprehensif, utamanya mencakup rumusan indikator dan indeks untuk isu spesifik.

Masukan terhadap KPI terkait eksploitasi LGBT ini disampaikan pula oleh perwakilan organisasi agama, diantaranya Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Perwalian Umat Budha Indonesia (Walubi). Pada prinsipnya semua agama hanya mengakui pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Dari KWI memberikan catatan, pelaku LGBT tetap harus diperlakukan dengan belas kasih. “Namun perilakunya jangan menyimpang di depan publik”, ujar Catherine yang hadir mewakili KWI. Terkait kemunculan di televisi, Catherine berharap pengelola televisi menyadari betul bahwa tayangannya memiliki pengaruh yang sangat luar biasa pada masyarakat.

Sedangkan dari Dr Sopa dari Muhammadiyah mempertanyakan kenapa permisivisme seperti itu dibiarkan muncul di televisi. Menurutnya, KPI harus segera lakukan intervensi dan literasi pada pelaku kreatif di industri penyiaran, agar produk-produk siarannya bebas dari eksploitasi LGBT, demi melindungi kepentingan dan masa depan anak-anak Indonesia.

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, saat menghadiri pertemuan dengan Ketua dan Anggota Wantimpres, Menteri Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Komunikasi dan Informatika, TVRI, MNC, SCTV dan Indosiar membahas diseminasi informasi terkait penguatan ideologi pancasila untuk menanggulangi konten bermuatan sara, radikalisme, hoax, ujaran kebencian, termasuk konten yang melanggar UU (Undang-undang) tentang informasi dan transaksi elektronik serta KUHP, di Kantor Wantimpres, Selasa (17/4/2018).


Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mendukung upaya Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila dan penguatan karakter bangsa di masyarakat. Upaya tersebut sejalan dengan apa yang sedang dilakukan KPI yakni membangun karakter bangsa yang selaras dengan ideologi Pancasila melalui penyiaran yang sehat dan bermartabat.

Dukungan tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, saat menghadiri pertemuan dengan Ketua dan Anggota Wantimpres, Menteri Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Komunikasi dan Informatika, TVRI, MNC, SCTV dan Indosiar membahas diseminasi informasi terkait penguatan ideologi pancasila untuk menanggulangi konten bermuatan sara, radikalisme, hoax, ujaran kebencian, termasuk konten yang melanggar UU (Undang-undang) tentang informasi dan transaksi elektronik serta KUHP, di Kantor Wantimpres, Selasa (17/4/2018).

Menurut Yuliandre Darwis, KPI Pusat memiliki sejumlah program penguatan dan pengembangan karakter bangsa seperti literasi media, pembentukan forum masyarakat peduli penyiaran, hingga bimbingan teknis (bimtek) atau Sekolah P3SPS KPI. “Program-program tersebut mendorong penyadaran masyarakat untuk lebih bijak, berpikir positif dan bertindak sesuai dengan nilai dan etika bangsa ini,” katanya.

Upaya peningkatkan kualitas dan pengembangan karakter bangsa juga dilakukan KPI Pusat melalui program survey indek kualitas yang bekerjasama dengan 12 perguruan tinggi. Hasil survey ini menjadi kajian dan masukan lembaga penyiaran dan juga kalangan akademis bahwa program yang diinginkan publik adalah yang memang memiliki nilai, mendidik dan mencerdaskan.

Hal lain yang tak kalah pentingnya, kata Andre, adalah mendorong lembaga penyiaran dan seluruh stakeholder terkait mengembangkan konten-konten positif. Produksi konten positif yang berkesinambungan dapat meminimalisir dan menyaingi penyebaran konten-konten negatif atau pun informasi hoax.

Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah mengatakan, selain yang disampaikan Ketua KPI Pusat, KPI memiliki program pembangunan karakter dan nilai Pancasila melalui gerakan “Indonesia Bicara Baik”. Gerakan untuk mengajak masyarakat untuk berbicara baik ini dimulai dari kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), tempat KPI menyelenggarakan Peringatan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) ke-85 dan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI 2018, beberapa waktu lalu.

“Kami melibatkan banyak instansi, komunitas, lembaga swadaya masyarakat dan dunia pendidikan dalam gerakan “Indonesia Bicara Baik” ini. Dengan turun ke jalanan, gerakan khotbah bicara baik di masjid dan gereja, sosialisasi di media sosial, Kami ingin memantik kesadaran masyarakat untuk mulai berbicara baik. Itu bagian dari program pengembangan karakter yang kami lakukan,” kata Ubaidillah, usai pertemuan.

Selain itu, KPI juga sudah meminta kepada lembaga penyiaran sesuai amanat UU 32/2002 tentang Penyiaran untuk membuat ILM baik membuat sendiri atau menerima dari luar yang kontennya tentang penguatan ideologi Pancasila, karakter bangsa, semangat nasionalisme, bahaya narkoba, nilai-nilai keluarga, bahaya radikalisme. KPI meminta ILM ditayangkan pada jam-jam produktif, sehingga masyarakat bisa mengambil energi positif dari ILM tersebut.

Sementara itu, Anggota Wantimpres, Agum Gumelar mengatakan, penanaman nilai-nilai Pancasila tidak hanya menjadi jargon tapi menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Upaya ini juga harus didukung oleh semua kalangan termasuk media penyiaran melalui penyajian konten yang sesuai dengan kondisi yang ada sekarang.

“Jangan lagi penyajian konten itu bersifat retorika atau juga doktrin. Cara demikian sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang. Kita harus menciptakan masyarakat yang memiliki daya tahan terhadap hal-hal yang negatif,” tandasnya.

Dalam kesempatan itu, turut hadir Menteri Agama, Lukman Hakim Syaifuddin, Ketua Wantimpres, Sri Adiningsih, dan Anggota Wantimpres, Sidarto Danusubroto. ***

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano dan Nuning Rodiyah, saat menutup Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standat Program Siaran) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Angkatan XXVIII, Kamis siang (19/4/2018).

 

Jakarta -- Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standat Program Siaran) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Angkatan XXVIII, Kamis siang (19/4/2018), resmi ditutup oleh Koordinator bidang Isi Siaran sekaligus Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano. Kegiatan bertajuk bimbingan teknis (bimtek) yang berlangsung tiga hari (17-19 April 2018) dikuti 30 peserta yang terdiri atas kru produksi di lembaga penyiaran, masyarakat umum dan mahasiswa.

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, saat menutup kegiatan tersebut mengatakan, pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh di Sekolah P3SPS diharapkan dapat ditularkan ke lingkungan kerja maupun kampus. “Kami berharap peserta Sekolah P3SPS angkatan ini dapat menjadi duta bagi KPI di mana pun berada. Kalian sudah menjadi bagian dari keluarga KPI,” kata Hardly.

Hardly menyampaikan, kegiatan ini tidak hanya memberi pengetahuan baru bagi peserta sekolah, tapi juga bagi KPI. Banyak masukan dan sudut pandang baru yang muncul dari para peserta di setiap angkatan Sekolah P3SPS. “Kami pun mendapatkan hal-hal yang baru dari kegiatan ini,” tambahnya.

Dia berharap, kegiatan Sekolah ini dapat memotivasi peserta untuk terus mengembangkan dan mendorong kualitas penyiaran menjadi lebih baik dan maju. 

Pernyataan senada turut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah. Nuning berharap kegiatan ini dapat menjadi masukan dan bermanfaat khususnya untuk pekerja di lembaga penyiaran. “Jika melihat jawaban para peserta, hampir sebagian besar sudah memahami cara menganalisa sebuah tayangan dan kaitan dengan aturan yang berlaku,” tambahnya.

Sementara itu, Peserta Terbaik Sekolah P3SPS KPI Angkatan XXVIII, Rizman Gumilang, menyatakan sangat apresiasi dan mendukung adanya kegiatan Sekolah yang diselenggarakan KPI. “Banyak sekali materi yang bermanfaat untuk kami dan kami baru tahu jika pekerjaan KPI ini sangat berat,” paparnya. ***

Berita Terkait: 

http://kpi.go.id/index.php/id/umum/38-dalam-negeri/34454-ketua-lsf-peran-strategis-film-untuk-ketahanan-budaya-dan-kesejahteraan

http://kpi.go.id/index.php/id/umum/38-dalam-negeri/34451-peserta-sekolah-p3sps-angkatan-xxviii

 

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, menghadiri acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Fraksi Partai NasDem, Selasa (17/4/2018).

 

Jakarta - Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, menghadiri acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Fraksi Partai NasDem, Selasa (17/4/2018). Acara ini dibuka oleh Mayjen TNI (Purn) Supiadin (Anggota Komisi I DPR).

Dalam sambutannya, Supiadin mengatakan bahwa FGD ini penting karena Indonesia sudah memasuki era digital. "Revisi UU No 32 Tahun 2002 didorong oleh fenomena masyarakat yang mulai berubah di era digital," tuturnya.

Dalam FGD yang mengangkat tema "Quo Vadis Sistem Penyiaran; Single Mux, Multi Mux atau Hybrid?" ini, Agung Suprio ikut mendesak RUU Penyiaran segera disahkan. Agung menilai bahwa Indonesia terbilang sebagai negara tertinggal dari negara lain yang telah migrasi ke digital.

"Maka RUU Penyiaran penting untuk segera disahkan. Jika lamban, kita akan menjadi beban bagi negara-negara tetangga perbatasan. Seperti Malaysia dan Singapore yang telah migrasi ke digital," ungkap koordinator Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat ini.

Agung juga menilai bahwa jika tidak segera disahkan, negara akan mengalami kerugian triliunan rupiah. "Negara potensial kehilangan pemasukan negara dari dividen digital," tambahnya.

Acara ini juga dihadiri oleh Sulaeman L. Hamzah (Anggota Baleg RI), Ishadi SK (Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia) dan M. Mirdal Akib (Direktur Metro) sebagai narasumber. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.