Palu – Kekuatan media penyiaran harus diarahkan untuk memperkuat ketahanan nasional dan budaya untuk memperkuat identitas kebangsaan di tengah percaturan global. Lewat media penyiaran, kontribusi untuk penguatan nilai-nilai kebangsaan dan institusi demokrasi dapat dilakukan lebih massif. Termasuk membangun Indonesia dari pinggiran, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia yang memiliki daya kompetitif di dunia internasional, serta mendorong kemandirian ekonomi. Hal tersebut disampaikan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Yuliandre Darwis, dalam sambutan membuka Seminar Utama Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 2018 di Palu, (2/4).

Yuliandre menjelaskan bahwa perubahan teknologi dan komunikasi telah mengubah cara masyarakat dalam mengonsumsi informasi,  sehingga berdampak pada perubahan cara kehidupan berbangsa. Selain itu dirinya menyinggung pula pekerjaan rumah yang besar bagi dunia penyiaran. “Belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Penyiaran, persoalan status anggaran kelembagaan KPID, hadirnya informasi hoax dan hatespeech yang mengarah pada ujaran kebencian, serta program siaran yang masih berorientasi rating dan ekonomi”, ujarnya. Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran sudah menegaskan, selain berfungsi ekonomi, media penyiaran seharusnya memberi informasi yang benar, mengedukasi publik, menjadi kontrol dan perekat sosial kebangsaan. Jika fungsi-fungsi ini dijalankan dengan seimbang maka lembaga penyiaran dapat telah menunjukkan peran dalam memperkuat nilai-nilai kebangsaan, memperkokoh NKRI, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD 1945.

Dalam kesempatan tersebut hadir pula Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn) Dr. Moeldoko yang menjadi pembicara. Moeldoko menegaskan bahwa KPI baik di pusat maupun di daerah dapat menjadi pahlawan dalam mengawal perubahan di era Revolusi Industri 4.0. “Untuk bisa menjadi pahlawan, syaratnya harus menjadi pemberani. Berani bersuara dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, dalam menghadapi dunia yang berubah sangat cepat, kompleks dan penuh risiko,” katanya. Hal tersebut disampaikan Moeldoko dalam seminar utama Rakornas KPI yang bertema “Menjaga Keutuhan NKRI melalui Dunia Penyiaran yang Sehat dan Berkualitas”.

Selain Moeldoko, hadir sebagai narasumber antara lain Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, Wakil Ketua Komisi I DPR-RI Asril Tanjung, dan pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr Jimly Asshiddiqie, SH. Seminar ini dihadiri oleh anggota KPI Pusat dan KPI Daerah dari seluruh Indonesia. 

Sekarang ini, menurut Moeldoko, masyarakat sering diombang-ambingkan dengan informasi yang simpang siur dan tidak benar. “Contohnya, seringkali pemerintah dituding hanya membangun fisik, membangun infrastruktur saja. Padahal, jika dipahami lebih jauh, dalam pembangunan fisik dan infrastruktur, di dalamnya terkandung upaya membangun konektivitas, membangun mentalitas masyarakat, membangun peradaban manusia. Jika hanya memperhitungkan aspek politik atau ekonomi saja, maka pembangunan hanya akan bertumpu di Pulau Jawa.

Sementara itu, Menkominfo Rudiantara mengatakan, “penyiaran yang sehat hanya bisa diwujudkan jika industrinya sehat. Bisnisnya harus berjalan baik dan berkualitas”. Hal itu pula yang  m enjadi dasar pemikiran diselenggarakannya proses pelayanan perizinan secara elektronik. Di samping itu menurut Rudi, Kemenkominfo mendapat tuntutan dari Komisi I DPR untuk meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), terutama dari sektor penyiaran. Menurut catatan Kemenkominfo, PNBP yang didapat kementerian yang dipimmpinnya mencapai 20 triliun. “Sumbangan PNBP dari sektor penyiaran sebesar 102 miliar dengan rincian 92 miliar dari televisi dan 10 miliar dari radio”, ujarnya. 

Pada kesempatan itu, pakar Hukum Tata Negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan, Undang-Undang Penyiaran No 32 tahun 2002 itu lahir dengan penuh kontroversi. “Ini adalah salah satu Undang-Undang yang tidak diteken oleh Presiden pada waktu itu. Kenapa tidak diteken, sumber masalahnya ada pada ketidaksukaan industri penyiaran terhadap Undang-Undang ini.” ujarnya.

Jimly menambahkan bahwa sekarang ini, terdapat tiga pasar bebas yang sudah mendunia. Pertama bisnis pasar bebas. Di Indonesia, terdapat KPPU yang berfungsi mengendalikan pasar yang bebas tersebut. “KPPU diperlukan oleh negara untuk mengendalikan bisnis pasar bebas,” katanya.

Kedua, adalah politik pasar bebas. Mulai dari presiden sampai dengan kepala desa menjadi komoditas yang diperebutkan. “Artinya, jabatan politik itu diperebutkan. Itu perlu dikendalikan, sehingga KPU dan Bawaslu menjadi dibutuhkan,” papar Jimly. Ketiga adalah media pasar bebas. Pasar itulah yang seharusnya dikendalikan oleh KPI. Oleh karena itu, KPI tersebut harus diperkuat, karena keberadaannya merupakan amanat reformasi. 

Tterkait urgensi hadirnya regulasi penyiaran yang baru, jika draf undang-undang penyiaran tidak juga disahkan, Jimly berpendapat terobosan hukum yang dapat diambil untuk mengisi kekosongan hukum adalah Peraturan Presiden (Perpres). Menurutnya, Perpres lebih mudah diwujudkan ketimbang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Terkait penguatan KPI dalam regulasi penyiaran yang baru, Wakil Ketua Komisi I DPR-RI Asril Tanjung menegaskan bahwa DPR telah sepakat dengan hal tersebut. Termasuk rencana format kelembagaan KPI dan KPI Daerah yang menjadi struktural.  Asril menegaskan, di negara demokratis manapun, media penyiaran senantiasa diatur oleh hukum. Media penyiaran memiliki regulasi ketat dibandingkan media cetak. Namun regulasi tersebut juga diharapkan bersifat demokratis bagi setiap pemangku kepentingan, pungkasnya.

Menkominfo Rudiantara menyampaikan presentasi di depan peserta Rakornas KPI 2018 di Palu.

Palu – Berlarut-larutnya pembahasan revisi Undang-undang Penyiaran di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, dan Pakar Hukum Tata Negara, Jimmly Ashidiqie, kembali angkat bicara. Mereka mendesak DPR segera menetapkan UU Penyiaran. Jika tidak, Pemerintah diminta mengambil alih dengan menerbitkan Peraturan Penganti Undang-undang atau Perpu.

“Undang-undang Penyiaran tahun 2002 sudah harus diganti dengan UU Penyiaran Baru. Jika tidak ada kemajuan di Baleg, sebaiknya Pemerintah mengambil alih saja,” Jimly Asshiddiqie pada saat menjadi narasumber Smeinatr Utama Rapat Koordinasi Nasional KPI tahun 2018, di Hotel Swiss Bell, Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), Senin (2/4/2018).

Menurut Jimly, penetapan UU Penyiaran baru sudah sangat mendesak karena kepentingan besar terkait perkembangan teknologi dan media yang begitu cepat. Hal penting lainnya menyangkut aturan mengenai hubungan media dengan bisnis. “Hal ini sangat serius karena sekarang ini dunia sedang menghadapi persoalan tersebut,” katanya.

Jimly juga mendesak adanya penguatan kelembagaan KPI di UU Penyiaran baru. Peran KPI yang strategis di masa mendatang menjadi alasan utama harus diperkuat. “Dalam pasar bebas media nanti, KPI lah yang harus mengatur,” tegasnya.

Sementara itu,  Menkominfo Rudiantara, mengatakan alasan mendesak UU Penyaran harus segera ditetapkan karena nilai ekonomi yang tinggi. Menurutnya, 7 tahun setelah switch off pada 2020, nilai ekonomi yang ada dalam bisnis digital mencapai 39,9 milyar US Dollar atau setara dengan 500 trilyun Rupiah. 

“Dari nilai itu, pemasukan pajak yang diterima Negara dalam tujuh tahun itu mencapai 5,5 Trilyun. Selain itu, kesempatan untuk lapangan kerja juga semakin banyak. Setidaknya ada 230 ribu orang yang mendapatkan kesempatan bekerja. Hal ini lah yang paling penting,” kata Rudiantara. 

Rudi mengatakan pihaknya tidak memerpersoalkan teknologi multi mux atau single mux pelaksanaan digitalisasi karena yang paling penting adalah proses digitalisasi sudah berjalan dan sudah ada payung hukumnya yaitu UU Penyiaran baru. “Kami harap DPR segera menetapkan UU Penyiaran yang baru tersebut,” tandasnya. ***

 

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, saat memberi sambutan sebelum Seminar Utama Rakornas KPI 2018.

 

Palu – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat), Yuliandre Darwis, meminta lembaga penyiaran tidak ikut terbawa arus politik yang dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan publik terhadap media. Hal itu disampaikannya saat membuka Seminar Utama Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI tahun 2018 di Hotel Swiss Bell Silae, Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), Senin (2/4/2018).

“Pemilukada 2018, Pemilihan Umum Legislatif dan Pilpres 2019 menjadi tantangan bagi lembaga penyiaran untuk menjaga prinsip independensi, adil dan proposional dan tidak diintervensi. Pembelaan media  yang terlalu jauh terhadap pihak atau golongan tertentu akan membuat lembaga penyiaran kehilangan kepercayaan publik,” kata Andre," panggilan akrabnya.

Menurut Andre, media penyiaran harus mengedepankan prinsip independensi, netralitas, adil dan proposional dalam upaya menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menepis isu-isu yang sensitif seperti SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). “Hal inilah yang harus dilakukan lembaga penyiaran untuk menjaga keutuhan NKRI sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan,” tambahnya.

Dalam kesempatan itu, Ketua KPI Pusat mengungkapkan lembaga penyiaran yang sudah mendapatkan izin siaran harus tetap diberi arahan dari regulator. Hal ini agar konten-konten yang disampaikan tidak melenceng dari aturan serta berkualitas. “Kita harus menjaga hal itu. Jangan kita tidak peduli karena ini tugas dan kewajiban kita,” katanya.

Andre juga mengatakan KPI tidak bisa bekerja sendiri untuk menuntaskan semua masalah yang terjadi di bidang penyiaran. Karenanya, forum Rakornas KPI 2018 ini sangat penting untuk memutuskan hal yang strategis di bidang penyiaran. “Saya minta Pemerintah untuk memperhatikan problematika kelembagaan KPID yang mengalami banyak kesulitan,” ujarnya. 

Andre menyampaikan, Rakornas KPI akan membahas agenda di tiga bidang yakni Kelembagaan, Isi Siaran dan Perizinan atau PS2P (Penyelenggaran Sistem Penyelenggaraan Penyiaran). Hal yang paling mendesak dibahas soal kelembagaan KPID. ***

 

Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal (Purn) Moeldoko.

Palu - Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menegaskan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dapat menjadi pahlawan dalam mengawal perubahan di era Revolusi Industri 4.0.

“Untuk bisa menjadi hero, menjadi pahlawan, syaratnya harus menjadi pemberani. Berani bersuara dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, dalam menghadapi dunia yang berubah sangat cepat, kompleks dan penuh risiko,” katanya di depan peserta Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI 2018 di Hotel Swiss Bell Silae, Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), Senin (2/4/2018). 

Sekarang ini, kata Moeldoko, masyarakat sering diombang-ambingkan dengan informasi yang simpang siur dan tidak benar. Menurutnya, seringkali Pemerintah dituding hanya membangun fisik, membangun infrastruktur saja. Padahal, jika dipahami lebih jauh, dalam pembangunan fisik dan infrastruktur, di dalamnya terkandung upaya membangun konektivitas, membangun mentalitas masyarakat, membangun peradaban manusia. 

Moeldoko mengatakan, jika hanya memperhitungkan aspek politik atau ekonomi saja, maka pembangunan hanya akan bertumpu di Pulau Jawa. Kebijakan seperti itulah yang membedakan politisi dan negarawan. ***

 

Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah, Longki Djanggola.

 

Palu -- Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Longki Djanggola, menyampaikan apresiasi dan terimakasih kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang menetapkan daerahnya, Kota Palu, sebagai tuan rumah Peringatan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) ke-85 dan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI 2018. Hal itu disampaikannya pada saat memberi kata sambutan di acara puncak Peringatan Harsiarnas di Ballroom Hotel Mercure, Palu, Sulteng, Minggu (1/4/2018).

Menurut Longki, momentum Harsiarnas dan Rakornas KPI dapat mendorong pertumbuhan dan pengembangan daerahnya yang memang membutuhkan bantuan berbagi pihak termasuk elemen termasuk media penyiaran, baik radio maupun televisi.

“Informasi sudah menjadi kebutuhan masyarakat, sehingga kualitas penyiaran yang baik dan benar tentunya akan memotivasi masyarakat untuk mendukung perjalanan pembangunan suatu daerah. Penyiaran telah menjadi penggugah penting dalam keberhasilan pembangunan di daerah,” katanya di depan tamu undangan acara Peringatan Harsiarnas.

Longki menambahkan, Peringatan Harsiarnas harus diresapi makna sejarahnya karena di dalamnya banyak terkandung energi positif yang memberi nafas baru terhadap kehidupan bangsa melalui penyiaran yang berkualitas.

“Saya mengajak lembaga penyiaran yang ada di Sulawesi Tengah sebagai mitra pemerintah daerah untuk senantiasa untuk meningkatkan peran dan tanggungjawab dalam mewujudkan kodrat informasi yang terpercaya dan mengangkat kearifan lokal dengan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan penyiaran,” tandasnya.

Dia berharap dimensi sejarah penyiaran tahun ini menjadi inspirasi bagi semua kalangan untuk lebih banyak berbuat bagi bangsa dan negara serta menjadikan Indonesia bicara baik. “Dari Sulawesi Tengah, Indonesia Bicara Baik,” katanya yang disambut tepuk tangan meriah dari para undangan,

Dalam kesempatan itu, Longki menyampaikan, Sulteng akan memasuki usia ke 54 pada 13 April mendatang. Menginjak usia tersebut, Dia berharap dapat memicu pertumbuhan daerah sehingga mampu bersaing dengan daerah lain. ***
   

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.