Jakarta - Peneliti Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) Nina Mutmainnah mengatakan terdapat 13 program anak-anak di televisi yang masuk ke dalam kategori "bahaya" karena mengandung muatan negatif seperti kekerasan, mistis, muatan dewasa dan bahasa kasar yang cukup tinggi.

"Muatan negatif pada program acara anak-anak yang masuk kategori bahaya bukan lagi merupakan bentuk pengembangan cerita tetapi sudah menjadi inti cerita," kata Nina dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis.

Selain program acara anak yang berkategori "bahaya", YPMA juga menetapkan 14 program acara berkategori "hati-hati" dan 37 program acara masuk kategori "aman". Pengkategorian tersebut berpijak pada kajian YPMA terhadap program acara anak-anak di televisi selama 10 tahun, yaitu dari 2006 hingga 2015.

Kajian tersebut menemukan kebanyakan acara anak-anak di televisi, yaitu 59 persen dari 1.401 program acara, termasuk kategori "tidak aman". YPMA kemudian mengkaji kembali 64 program yang masuk ditayangkan di televisi hingga 2017.

"Program yang masuk kategori hati-hati umumnya relatif seimbang antara muatan positif dan negatifnya. Seringkali tayangan berkategori hati-hati memberikan hiburan serta pendidikan dan nilai positif tetapi juga memuat kekerasan, mistis, muatan dewasa dan bahasa kasar yang tidak terlalu mencolok," tuturnya.

Umumnya, program acara berkategori "hati-hati" menampilkan muatan antisosial seperti perundungan, sifat materialistis, pemalas, cengeng dan egois. Adegan perundungan dan perkelahian seringkali ditampilkan dalam balutan komedi.

Sedangkan program acara yang masuk kategori "aman" biasanya memiliki cerita yang jenaka dan mengandung muatan pembelajaran dalam rangkaian cerita yang dekat dengan keseharian anak.

"Biasanya karakter utama digambarkan memiliki karakter pemberani, ringan tangan, berjiwa pemimpin, cerdas dan gemar berpetualang. Sekalipun kadang digambarkan agak nakal dan keras kepala, tetapi di bagian akhir mereka digambarkan membayar kenakalannya secara bertanggung jawab, kata Nina.

Menurut Nina, program acara yang "aman" jarang menampilkan karakter antagonis yang benar-benar jahat. Bahkan, penonton akan sulit mengenali karakter yang masuk dalam kategori jahat karena biasanya mereka hanya karakter yang melakukan kekeliruan kemudian memperbaiki sebagai konsekuensi atas perbuatannya.

Biasanya, program acara "aman" mengandung muatan kurikulum tersembunyi, yaitu isi program yang membantu anak untuk mempelajari sesuatu yang sehat bagi tumbuh kembang anak.

YPMA mengadakan diskusi publik bertema "Mencari Acara Televisi Berkualitas untuk Anak". Selain Nina, pembicara lainnya adalah Staf Khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Fernandez Hutagalung dan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Dewi Setyarini. Red dari antara news

Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio.

 

Jakarta – Dinas Kominfo Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, berencana menghidupkan kembali  siaran Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) TV Merauke setelah vakum beberapa tahun belakangan. Hal itu disampaikan KPID Papua dan Dinas Kominfo Kabupaten Merauke saat kunjungan kerja ke Kantor KPI Pusat, Kamis (9/11/2017).

Ketua KPID Papua, Jakob Soububer mengatakan, Pemerintah Kabupaten Merauke melalui Bupatinya berkeinginan untuk menghidupkan siaran TV Merauke yang vakum. Menurutnya, TV Merauke sangat dibutuhkan masyarakat setempat yang haus akan informasi mengenai daerahnya. “Kami berharap KPI Pusat mendukung langkah ini,” katanya kepada Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, yang menerima langsung kunjungan tersebut.

Jacob menceritakan masalah anggaran menjadi penyebab siaran TV Merauke berhenti bersiaran. Padahal, TV Merauke sudah memiliki kelengkapan infrastruktur sebagai Stasiun TV. “Mereka sudah memiliki studio, pemancar dan hal teknis lainnya,” tambahnya.

 

Ketua KPID Papua, Jakob Soububer.

Sementara itu, Agung Suprio, menyambut baik pengaktifan kembali siaran TV Merauke. Menurutnya , keberadaan TV publik lokal  membantu masyarakat Merauke untuk memperoleh informasi mengenai program pembangunan Pemda setempat.

Agung berharap TV Merauke segera menyampaikan kelengkapan administrasi yang sudah lengkap ke KPI Pusat dan Kominfo. “KPI akan bantu untuk berbicara kepada pemerintah agar dapat memberikan kembali izin siaran TV Merauke yang ditarik karena berhenti di tengah jalan,” katanya. ***

 

Menkes Nila Moeloek dan Ketua KPI Pusat Yuliadre Darwis saat bertemu di Kantor Menkes, Selasa (7/11/2017)

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) melakukan pertemuan dengan Menteri Kesehatan Nila Moeloek membahas permasalahan siaran dan iklan kesehatan dan makanan di media penyiaran di Kantor Menteri Kesehatan, di Jalan Rasuna Said, Selasa (7/11/2017). Pertemuan tersebut menyepakati dibentuknya Pokja (Kelompok Kerja) antara KPI, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), BPOM yang nantinya melibatkan Lembaga Sensor Film (LSF).

Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan, dibentuknya kelompok kerja untuk menghindari tumpang tindih dalam penanganan siaran dan iklan kesehatan atau pangan di media penyiaran. Pokja akan membuat semacam aturan atau prosedur pencegahan dan penindakan terhadap siaran atau iklan pangan dan kesehatan yang tidak sesuai dengan aturan dan kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan.

“Pokja ini akan mempermudah kerja KPI dalam mengawasi dan melakukan tindakan terhadap siaran dan iklan kesehatan atau pangan. KPI tidak bisa sendiri,” katanya.

Selain itu, lanjut Menkes, tindakan pencegahan dan pengawasan tersebut untuk meminimalisir masuknya informasi yang tidak benar atau yang membodohi masyarakat.

Sementara itu, Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis menyatakan sangat mendukung langkah Menkes yang ingin membentuk Pokja terkait persoalan siaran dan iklan kesehatan dan pangan di media penyiaran. Menurutnya, Pokja ini akan mempermudah kinerja KPI terutama dalam kaitan kebutuhan data dan kajian para pakar atau ahli dibidang kesehatan dan pangan. “Kita bisa mensinergikan hal ini,” katanya yang diamini Komisioner KPI Pusat yang hadir pada pertemuan tersebut antara lain Hardly Stefano, Nuning Rodiyah, Ubaidillah dan Dewi Setyarini.

Pengawasan terhadap siaran dan iklan kesehatan dan pangan juga akan melibatkan KPID di 33 Provinsi. Keterlibatan KPID sangat penting karena mereka memiliki kewenangan terhadap pengawasan media penyiaran lokal (TV dan Radio) yang notabene banyak menyiarkan tayangan dan iklan yang dipermasalahkan. ***

Sujarwanto Rahmat Arifin

 

Kendari - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengharapkan seluruh media harus netral dalam penyiaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara 2018.

Wakil Ketua KPI pusat, S Rahmat M Arifin, di Kendari Kamis, mengatakan setiap media harus bisa menjaga independensi dan netralitasnya dalam penyiaran pilkada agar semua pasangan calon (Paslon) kepala daerah mendapatkan perlakuan yang sama dan adil.

"Media penyiaran harus bisa menjaga amanah terutama di dua titik yaitu independensi dan netralitas, sebab media harus bisa menjaga `medan perang` pilkada yang benar-benar merata dan adil bagi pasangan calon dan masyarakat," ujarnya, pada acara Diskusi Publik bertemakan Netralitas Lembaga Penyiaran pada Pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur 2018.

Ia mengatakan, dalam pengawasan pilkada Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Tenggara harus membentuk gugus tugas dan kerja sama dengan lembaga-lembaga terkait yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Tak hanya itu, lanjut S. Rahmat, jika ada media yang melakukan pelanggaran maka KPID tidak segan akan menindak lembaga penyiaran yang melanggar.

"Bagi media penyiaran yang melanggar maka KPID akan menindak lembaga penyiaran baik itu Lembaga Penyiaran Publik (LPP), Lembaga Penyiaran milik Swasta (LPS), maupun LPP TV kabel yang melakukan pelanggaran atas peraturan Pemilu," tegas Rahmat.

Diskusi publik yang diikuti puluhan media penyiaran di Sultra baik televisi, radio dan perusahaan tivi kabel berlangsung selama 2-3 jam di kantor sekertariat KPID Sultra Kendari. Red dari Antara

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memenangkan gugatan Partai Berkarya dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia atas Surat Edaran KPI tentang larangan Iklan Politik di media penyiaran.  Atas putusan PTUN tertanggal 3 Oktober 2017 yang menganulir Surat Edaran KPI nomor 225/K/KPI/31.2/04/2017 tersebut, KPI yang merupakan wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran menilai putusan tersebut mencederai kepentingan publik sebagai pihak yang paling berhak atas penggunaan frekuensi. Pengajuan banding KPI telah disampaikan pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) pada 13 Oktober 2017.

Komisioner KPI Pusat bidang pengawasan isi siaran Dewi Setyarini menjelaskan, berdasarkan pantauan KPI dalam kurun waktu tahun 2016 hingga tahun 2017 terdapat beberapa lembaga penyiaran yang sangat gencar menayangkan iklan terkait politik, maupun mars/hymne politik. Dari sampel tayangan yang diolah KPI pada tahun 2016, mars atau hymne politik tersebut tayang rata-rata 6 sampai 9 kali dalam sehari dengan durasi sekitar 60 (enam puluh) detik.

Seringnya iklan terkait partai politik tersebut tayang di media penyiaran yang pemiliknya berafiliasi langsung dengan pimpinan partai politik yang beriklan, telah menimbulkan keresahan masyarakat. Hal tersebut disampaikan melalui berbagai jalur pengaduan ke KPI dengan meminta agar tayangan iklan partai politik dihentikan. “Data di KPI menunjukkan antara Juli hingga November 2016 saja terdapat sekitar 108 pengaduan yang disampaikan baik melalui twitter, facebook, email, maupun SMS,” ujar Dewi.

Surat Edaran tentang pelarangan Iklan Politik yang menjadi obyek sengketa tersebut, diterbitkan dalam rangka menjaga agar penyiaran yang menggunakan frekuensi publik, dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan publik, bukan kepentingan kelompok tertentu ataupun kepentingan pemilik, sebagaimana tertuang dalam regulasi penyiaran.

Pasal 36 (4) UU No. 32 tentang Penyiaran menyatakan bahwa “Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu”, pasal 11 Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) ayat 1 menyatakan, “Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik”, dan ayat 2 “lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran”.

Begitu pula pasal 11 Standar Program Siaran (SPS) ayat 1 menyatakan bahwa “Program siaran wajib dimanfaatkan untuk kepentingan publik dan tidak untuk kepentingan kelompok tertentu”, dan ayat 2 menyatakan bahwa “Program siaran dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemiliki lembaga penyiaran bersangkutan dan/atau kelompoknya.

Sebelum dikeluarkannya Surat Edaran, KPI telah melakukan beberapa upaya, antara lain klarifikasi terhadap lembaga penyiaran yang menayangkan iklan dan atau mars/hymne partai politik, menerbitkan surat peringatan, hingga memberikan Teguran Tertulis pertama kepada lembaga penyiaran tersebut untuk menghentikan penayangan iklan atau mars/hymne terkait partai politik. Namun demikian, beberapa lembaga penyiaran tetap menayangkan iklan dan atau mars/hymne tersebut.

KPI menilai dalil gugatan yang disampaikan sangatlah keliru karena Surat Edaran ditujukan kepada lembaga penyiaran yang pengawasannya merupakan wilayah kewenangan KPI, dan bukan ditujukan kepada partai politik. Untuk itu KPI menilai bahwa penggugat yang merupakan partai politik tidak memiliki kepentingan untuk mengajukan gugatan TUN terhadap obyek sengketa.

KPI berpendapat surat edaran ini tidaklah menyebabkan usaha pendidikan politik pada masyarakat tercederai karena adanya pembatasan dan pelarangan.  Partai politik tentunya memiliki kebebasan untuk melakukan pendidikan politik pada rakyat dalam bentuk lain, selain penayangan iklan ataupun mars/hymne di televisi dan radio. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, iklan partai politik tidaklah termasuk dalam pendidikan politik.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.