- Detail
- Dilihat: 7688
Jakarta - Proses revisi Undang-Undang Penyiaran saat ini telah menjadi perhatian publik, diantaranya adalah Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Jakarta yang menyelenggarakan diskusi terkait hal tersebut pada 21 Januari lalu. Hardly Stefano Pariela, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran menyampaikan tentang perlunya penguatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai wujud peran serta masyarakat dalam pengawasan penyiaran.
Hardly menilai, dalam draf RUU Penyiaran per 7 Desember 2016, sebenarnya dapat dilihat adanya usaha memberikan penguatan kewenangan pada KPI. Namun demikian, ada kewenangan lain yang dipangkas dari KPI, yakni penanganan proses perizinan. “Dalam draft ini proses perizinan diserahkan sepenuhnya kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika”, ujarnya. Padahal, menurutnya, KPI seyogyanya tetap diberikan kewenangan dalam proses perizinan.
Hal lain yang menurut Hardly patut diapresiasi dalam draft RUU ini adalah kewajiban penayangan konten lokal sebesar 20 persen. “Kalau bicara ke-Indonesiaan hari ini, konten lokal memang harus ditingkatkan, mengingat isi siaran televisi saat ini sangat Jakarta sentris”, ujarnya. Jika televisi dinilai sebagai produsen budaya, tentunya konten lokal harus dioptimalkan kehadirannya di layar kaca. Selain itu, Hardly juga berharap, dengan hadirnya konten lokal, lembaga pemeringkatan siaran televisi ikut menghitung nilai ratingnya. “Sehingga, secara bisnis konten lokal juga dapat dijual pada pengiklan”, paparnya.
Namun usulan peningkatan jumlah konten lokal justru mendapat penolakan dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI). Ketua Umum ATVSI, Ishadi SK, yang hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut mengaku keberatan dengan kewajiban penayangan konten lokal sebanyak 20% sehari. Menurut Ishadi, ATVS berpendapat konten lokal tetap dibatasi hanya 10% dari jam siaran. Pertimbangannya, industri televisi membutuhkan tambahan peralatan, tenaga professional dan konten yang memenuhi syarat di 50 lokasi di setiap stasiun siaran. “Tentu saja hal ini menyebabkan munculnya additional cost yang sangat besar”, ujar Ishadi.
Catatan lain dari ATVSI atas draft Revisi Undang-Undang adalah tentang kewajiban Universal Service Obligation (USO) sebesar 1,75% dari pendapatan kotor per tahun. Hal ini, papar Ishadi, seyogyanya ditolak karena bertentangan dengan sifat hakikat penyiaran free to air. “Stasiun televisi (FTA) tidak memungut biaya jasa apapun kepada penonton televisi”, ujarnya. Bahkan selama ini setiap stasiun penyiaran sudah dibebani dengan BHP dan IPP yang besarannya rata-rata lima miliar per tahun. ATVSI menilai haruslah dibedakan antara jasa telekomunikasi dan jasa penyiaran. Beban tambahan untuk USO ini tentu sangat memberatnya industri penyiaran yang ada.
Sementara itu, dari Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI), Eris Munandar memberikan tiga catatan penting atas drat Revisi Undang-Undang ini. Secara tegas ATSDI mendukung pilihan single multiplekser dalam pelaksanaan digitalisasi penyiaran ke depan. “Asosiasi selalu minta mux diselenggarakan oleh TVRI”, ujar Eris. Tentunya dengan catatan adanya support anggaran untuk pembangunan infrastruktur digital yang dilakukan TVRI. Eris juga mengharapkan adanya Analog Switch Off (ASO) yang jelas waktunya. “Tanggal, bulan dan Tahun dilaksanakannya ASO harus jelas, dan ditetapkan oleh Undang-Undang”, ujar Eris. Sehingga masyarakat dapat mempersiapkan diri, dan industri pun mulai menghitung mundur dalam menyambut digitalisasi.
Sebagai penutup, Hardly menegaskan bahwa KPI mendukung industri penyiaran untuk tetap berkembang dan mendapatkan keuntungan, namun dengan tetap memperhatikan kualitas isi siaran. Industri harus menyadari tanggung jawab yang diembannya, sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. Hardly juga meminta masyarakat terus mengawal proses revisi Undang-Undang Penyiaran yang tengah dibahas Komisi I DPR RI saat ini, untuk memastikan regulasi yang dihasilkan tersebut dapat memberikan manfaat yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat.