Jakarta - Penyelesaian masalah pornografi yang mengancam masa depan anak-anak Indonesia harus dilakukan melalui lintas kementerian/ lembaga, termasuk juga mengikutsertakan kelompok-kelompok masyarakat yang secara konsisten menyuarakan perlawanan terhadap pornografi. Dalam rangka menggagas solusi tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyelenggarakan Diskusi Terbatas dengan topik “Pemetaan Kerentanan Anak Terhadap Pornografi”, yang melibatkan lembaga-lembaga negara terkait, seperti Komisi Perlidungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Film (LSF), (27/2).

Dalam kesempatan tersebut, Komisioner KPI Pusat bidang pengawasan isi siaran Dewi Setyarini menjelaskan langkah-langkah yang sudah diambil KPI Pusat dalam melindungi anak-anak Indonesia dari bahaya terpapar muatan pornografi. Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) hanya ada 4 pasal yang terkait dengan perlindungan anak dari pornografi, namun belum terperinci. Selain itu, KPI telah berusaha agar lembaga penyiaran berlangganan tidak menjadi medium penyebaran muatan pornografi yang masif.

KPI sendiri pernah mengeluarkan surat edaran pada seluruh penyelenggara LPB untuk tidak menyalurkan TV 5 Monde kepada pelanggannya, karena terbukti memiliki muatan pornografi yang vulgar. Dewi juga melihat bahwa keberadaan kunci parental seharusnya menjadi keharusan untuk disediakan penyelenggara LPB, termasuk sosialisasi penggunaannya. “Sehingga konsumen dapat mengatur akses penggunaan televisi sesuai dengan peruntukan yang tepat”, ujar Dewi.

Ke depan, menurut Dewi, ada tugas besar bagi KPI untuk mengisi regulasi-regulasi yang bolong, agar perlindungan terhadap anak-anak dari bahaya pornografi di penyiaran dapat dilakukan lebih optimal.  Terkait LPB ini, Ketua KPI DKI Jakarta Adil Quarta Anggoro mengakui adanya kesulitan dalam pengaturan yang lebih tegas.

Sementara itu Maria Advianti dari KPAI menilai perlu adanya kesepakatan klasifikasi antara pencegahan dan penanganan, peran dan kewenangan, serta kontribusi peran. Maria juga mengusulkan agar penanganan masalah pornografi ini harus dijadikan program multi years, sehingga tidak berhenti pada satu tahun anggaran saja. Selain itu, Maria berharap adanya sinergi antara kementerian dan lembaga, dengan organisasi masyarakat yang memiliki jumlah massa yang besar dalam rangka penanganan pornografi.

Beberapa peserta rapat lain ikut memberikan saran, diantaranya, Elly Risman dari Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH),  C Musiana Y (Lembaga Sensor Film), AKBP Nona Pricilia Ohei  dan Rita W. Wibowo (Bareskrim Polri), serta Hariqo Wibawa Satria (Kwartir Nasional Gerakan Pramuka).

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menerima aduan dari Yayasan Scorpion Indonesia (LSM pemerhati satwa) mengenai eksploitasi satwa dalam tayangan di sejumlah stasiun televisi, Selasa, 28 Februari 2017. Ada sekitar 28 catatan Yayasan Scorpion Indonesia terkait tayangan yang melakukan eksploitas terhadap satwa.

Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis saat menerima aduan tersebut mengatakan, laporan dari Yayasan Scorpion Indonesia akan dikaji KPI Pusat apakah muatannya memang melanggar aturan P3 dan SPS KPI. Dalam aturan P3 dan SPS terdapat pasal mengenai pelarangan eksploitasi satwa secara berlebihan. “Kita membutuhkan kajian mengenai batasan eksploitasi itu seperti apa. Kami akan teliti ini sesegera mungkin,” katanya.

Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah yang ikut dalam pertemuan itu menegaskan, pihaknya akan mengambil tindakan jika memang terdapat pelanggaran terhadap P3 dan SPS KPI.

Sementara itu, Investigator Senior Yayasan Scorpion Indonesia, Marison Guciano menyampaikan, pihaknya meminta KPI Pusat agar mengeluarkan imbauan kepada stasiun televisi untuk tidak menayangkan konten eksploitasi terhadap satwa liar.

Menurutnya, tayangan dengan konten eksploitasi satwa liar akan berkontribusi terhadap tidak pekanya masyarakat pada kekerasan terhadap binatang. Ini juga mengajarkan anak-anak untuk menganggap hewan hanya sebagai obyek yang akan digunakan dan disalahgunakan untuk hiburan.

“Pelatih hewan dan showmen sering kali terlibat dalam penguatan negatif, seperti mencambuk dan mencolok hewan, memaksa mereka untuk melaksanakan trik yang tidak wajar dan menunjukkan bahwa hewan hanya bisa dikendalikan oleh rasa sakit dan rasa takut,” jelas Marison kepada wartawan yang hadir dalam pertemuan tersebut.

Dalam kesempatan itu, Morison menyampaikan bahwa secara global sudah banyak negara yang melarang penggunaan satwa liar dalam pertunjukan. “Berbagai dukungan, termasuk media televisi pada eksploitasi satwa liar adalah bertentangan dengan tren yang kita lihat di seluruh dunia dimana ada keprihatinan untuk kesejahteraan hewan dan pengakuan dari teknik kasar dalam pertunjukan hewan yang sepenuhnya tidak dapat diterima,” tandasnya. ***     

Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melakukan lawatan ke kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Senin, 27 Februari 2017. Lawatan ini untuk berkonsultasi dengan KPI Pusat terkait persoalan pengawasan DPRD terhadap pelaksanaan penyiaran di daerah. Delegasi DPRD Provinsi DIY dipimpin langsung Ketua DPRD DIY, Yoeke Indra Agung Laksana diterima langsung Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, Ubaidillah, Mayong Suryo Laksano dan Kepala Sekretariat KPI Pusat Maruli Matondang.

Di awal pertemuan, Ketua DPRD DIY Yoeke menyampaikan inventarisasi permasalahan penyiaran di daerahnya antara lain mengenai penyelenggaraan dan fungsi KPID terkait keluarnya surat dari Mendagri tertanggal 30 Desember 2016, belum terpenuhinya kuota siaran lokal sebesar 10% untuk televisi dan 60% untuk radio, banyaknya lembaga penyiaran komunitas yang bersiaran tanpa izin, masalah yang timbul setelah masa izin penyiaran sejumlah lembaga penyiaran yang habis, belum terbentuknya kesadaran bermedia sehat di kalangan masyarakat serta belum adanya aturan terkait penyiaran melalui streaming.

“Kami ada delapan pertanyaan yang sudah kami siapakan terkait daftar masalah yang kami sebutkan tadi. Kami berharap jawaban dari KPI Pusat dapat memberi masukan dan gambaran mengenai hal-hal yang kami sampaikan tadi,” kata Yoeke.

Sementara itu, KPI Pusat melalui Komisioner Agung Suprio menjawab beberapa hal yang ditanyakan seperti kuota konten lokal 10% untuk televisi dan 60% untuk radio. Menurutnya, apa yang dikeluhkan DPRD sangat beralasan karena kebutuhan konten 10% bagi daerah sangatlah ditunggu. Selain soal kuota, hal lain yang tak selaras harapan adalah jam tayang untuk konten lokal. Jam tayangan konten lokal cenderung ditaruh pada jam-jam tengah malam mendekati subuh. Padahal, keinginan masyarakat daerah menyaksikan siaran lokal pada saat primetime.

Komisioner KPI Pusat lainnya, Ubaidillah mengatakan perihal fungsi KPID dan penganggarannya bisa mencontoh beberapa KPID seperti DKI Jakarta. Namun demikian, persoalan ini akan dibahas secara detail pada saat Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI se-Indonesia di Bengkulu, akhir Maret nanti. “Kita akan menghadirkan Mendagri untuk membahas hal ini dan mencarikan jalan keluarnya. Tapi, kita juga akan mengajak Kementerian Kominfo untuk ikut,” katanya.

Mayong Suryo Laksono menambahkan, KPID merupakan muara dari semua proses perizinan dimulai. Jadi, keberadaan KPID sangatlah sentral dalam rangkaian proses penyelenggaraan penyiaran. “Kami akan mengajak instansi terkait membicarakan hal ini. Kita akan bahas ini dalam Rakornas nanti,” katanya. ***

Serpong – Tanggungjawab yang dipikul Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sangatlah besar dan tak hanya terbatas dengan persoalan teknis saja. Menciptakan tatanan penyiaran yang ciamik disertai perbaikan kualitas konten yang sesuai harapan adalah diantara tanggungjawab besar tersebut.

Terkait peningkatan kualitas konten siaran, salah satu tugas KPI adalah terus mendorong terciptanya sumber daya manusia (SDM) penyiaran yang berkualitas dan baik. Upaya itu merupakan tanggungjawab KPI yang terus menerus dilakukan dengan berbagai cara salah satunya terjun langsung ke lembaga penyiaran dan bimbang teknis penyiaran (Sekolah P3 dan SPS KPI).

“Tanggungjawab ini bagian dari tujuan KPI menciptakan konten-konten yang bermutu dan baik bagi publik. Kami tak pernah lelah turun ke lapangan menemui langsung pihak lembaga penyiaran untuk menyatakan maksud baik ini,” kata Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, disela-sela menyampaikan presentasi di depan Rapat Kerja Daerah KPID Banten di Hotel Merlyn In, Serpong, Banten, Senin, 27 Februari 2017.

Peningkatan kualitas konten lokal, lanjut Andre, bentuk antisipasi dari ketergantungan kita terhadap produk konten asing yang diakuinya memang lebih baik dari segi kualitas dibanding konten dalam negeri. “Kita harus membangun jati diri kita melalui konten-konten lokal yang berkualitas dengan lebih dahulu membangun sumber daya manusia yang bermutu dan penuh kreatifitas,” katanya.

Ia juga menceritakan bagaimana konten luar negeri mulai menguasai layar kaca televisi di tanah air. Kondisi ini tak lepas dari rendahnya mutu program lokal seperti sinetron yang makin diperparah ongkos produksi yang selangit. “Biaya pembuatan satu episode sinteron kita bisa mencapai angka 400 jutaan. Sedangkan harga satu episode acara sinetron luar tidak lebih dari 100 juta. Dari segi bisnis saja sudah jelas pilihan mana yang lebih menguntungkan,” ungkap Andre yang juga Presiden Ibraf ini.

Hal yang paling dikhawatirkan Andre adalah pada saat alih teknologi dari analog ke digital. Jika mutu konten dalam negeri tidak ada peningkatan, hasilnya slot kanal yang disediakan untuk siaran akan dikuasai konten-konten luar yang dari mutu dan harga menang banyak dari kita. “Jangan sampai nanti pada saat alih teknologi, konten asing lebih dominan ketimbang konten lokal kita. Kita harus bersama-sama mengembangkan konten lokal kita,” tuturnya penuh harapan.

Andre optimis harapannya dapat tercapai disebabkan pemilik-pemilik lembaga penyiaran khususnya televisi merupakan orang-orang negarawan. Mereka tentunya memiliki pemikiran yang sama dengan KPI yaitu menciptakan konten siaran yang baik, sehat, penuh manfaat dan aman bagi semuanya.

Dalam kesempatan itu, Ketua KPI Pusat menyatakan bahwa kebijakan KPI melakukan tindakan terhadap program siaran yang melanggar aturan P3 dan SPS merupakan bentuk dari pembinaan terhadap lembaga penyiaran supaya dapat lebih berkembang dan memperbaiki diri. “KPI tidak ingin disebut membunuh kreatifitas, tapi KPI ingin membantu lembaga penyiaran menciptakan hal-hal yang baru dan bermutu,” katanya diamini Ketua KPID Provinsi Banten Ade Bujhaeremi yang duduk disampingnya.

Sementara itu, di tempat yang sama, Kepala Bagian Hukum dan Perencanaan Sekretariat KPI Pusat, Umri menjelaskan perencanan program dan penganggaran Sekretariat KPI Pusat. Menurutnya, untuk menciptakan dan meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan KPID harus juga diimbangi dengan penganggaran dan perencanaan program kerja yang jelas. ***

Bandung – Kesengajaan beberapa kelompok media internasional yang menggunakan frase “Teror Islam” dalam menyajikan berita tentang aksi teror dinilai sebagai upaya membuat persepsi kontra terhadap Islam. Upaya membentuk pandangan negative terhadap Islam itu harus dicegah dengan terus memberikan informasi yang benar dan menyampaikan bahwa Islam itu agama damai. Pandangan tersebut disampaikan Presiden RTUK, Ilhan Yerlikaya, dalam sambutannya di pembukaan Konferensi Internasional dan Pertemuan Tahunan Ibraf ke 5 di Bandung, beberapa hari lalu.

Menurut Ilhan, semua negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam atau OKI harus secara bersama-sama menentang persepsi yang salah tersebut melalui kebijakan pendistribusian informasi yang benar untuk disebarkan media di negara-negara anggota OKI. 

Pada saat kondisi seperti ini, lanjut Ilhan, sangat penting bahwa media profesional berbicara kebenaran, obyektif, dan tidak menggunakan media sebagai senjata. Media pun harus memiliki tanggung jawab sosial dari setiap keputusan editorial yang dibuat.

“Setiap media profesional harus sangat sensitif dalam menangani aksi teror dan memastikan bahwa mereka tidak memberikan kontribusi untuk setiap program yang akan melayani tujuan teror. Ini tidak boleh dilupakan bahwa tujuan teror adalah agar suara mereka didengar oleh massa dan untuk mempengaruhi agenda populer,” kata Ilhan di depan peserta pembukaan Internasional Conference di Hotel The Trans Luxury, Bandung.

Ia menjelaskan media harus menyadari bahwa mereka mungkin akan mengalami ketidaksengajaan membuat propaganda untuk teror bahkan ketika mereka mengutuknya. Media tidak boleh membiarkan suara teroris untuk didengar atau sebaliknya melayani tujuan mereka yang melakukan aksi teror.

Media massa memiliki efek terhadap pengembangan budaya dan ekonomi kerjasama di tingkat internasional. Dalam konteks ini, Ilhan menceritakan, produksi drama televisi Turki sebagai ekspor budaya ke pasar global dalam beberapa tahun terakhir. Drama Turki telah diakui secara luas untuk nilai-nilai produksi yang tinggi dan prestasi teknis.

Didorong oleh kemajuan itu, RTUK telah mengevaluasi perannya sendiri dan peran yang mungkin dari pihak yang berwenang dari Republik Rakyat Cina dan Republik Korea pada tahun 2016 dengan tujuan untuk mengembangkan budaya dan kerjasama ekonomi dengan negara-negara ini melalui co-produksi.

Ilhan juga menceritakan, Radio dan Televisi Dewan Tertinggi (RTUK) didirikan pada tahun 1994 sebagai otoritas tunggal di Turki untuk sektor penyiaran dan lingkungan media audio visual pada umumnya. RTUK mengatur dan memonitor pergerakan 2 Miliar USD sektor audio visual di mana lebih dari 1700 radio, televisi dan on-demand penyedia layanan media ada sebagai pelaku pasar. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.