Jakarta
- Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) memutuskan menjatuhkan sanksi administratif penghentian sementara selama  tiga (3) hari untuk program siaran “Dahsyat” di RCTI. Program yang tayang pada 28 Februari 2017 pukul 09.11 WIB dan 1 Maret 2017 pukul 08.49 WIB kedapatan melanggar aturan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI.

Demikian ditegaskan KPI Pusat dalam surat sanksinya yang disampaikan ke RCTI, Jumat (24/3/17).

Menurut keterangan KPI Pusat, pelanggaran program siaran “Dahsyat” memuat perkataan yang merendahkan seperti “p’a”, “pangeran sawan”, “ular kadut”, dan “jenglot”. Selain itu, terdapat adegan seorang pria yang mengendarai mobil dengan maju, mundur, dan rem mendadak dengan kondisi terdapat pria lain di dalam bagasi yang tertutup pada mobil tersebut.

Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas penghormatan terhadap nilai dan norma kesopanan dan kesusilaan, perlindungan terhadap anak, serta penggolongan program siaran.

Komisioner sekaligus Koordinator bidang Isi Siaran KPI Pusat, Hardly Stefano mengatakan, muatan perkataan dan perilaku tersebut seharusnya tidak ditayangkan karena dapat memberi pengaruh buruk pada khalayak yang menonton.

“Selama menjalankan sanksi tersebut, RCTI tidak diperkenankan menyiarkan program dengan format sejenis pada waktu siar yang sama atau waktu yang lain, sesuai dengan Pasal 80 ayat (2) SPS KPI Tahun 2012,” tambahnya.

Dalam surat sanksi penghentian sementara itu dijelaskan, sanksi penghentian sementara tayangan program “Dahsyat” RCTI selama 3 (tiga) hari dilaksanakan pada tanggal 13, 14, dan 19 bulan April tahun 2017. ***

 

Suasana diskusi tentang pembinaan sinetron di kantor KPI Pusat, Jumat (24/3/17).

 

Jakarta – Lembaga penyiaran dan rumah produksi (PH) diharapkan memaknai keberadaan regulasi penyiaran sebagai bahan masukan untuk pengembangan kreatifitas program. Jika ini dilakukan, persepsi bahwa regulasi sebagai penghambat kreatifitas berganti menjadi tantangan yang membangun.

Pandangan tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, dalam diskusi bertajuk pembinaan untuk program sinetron yang dihadiri perwakilan lembaga penyiaran dan rumah produksi di Kantor KPI Pusat, Jumat (27/3/17).

“Kita ingin regulasi itu dimaknai sebagai masukan untuk meningkatkan kreatifitas. Jika ini dilakukan, ide cerita sinetron yang mengangkat soal konflik akan mengarah pada konflik yang sportif dan membangun,. Cerita kebut-kebutan di jalan bisa dialihkan ke sirkuit yang sifatnya lebih sportif dan kompetitif. Begitu juga dengan perkelahian bisa dimasukan ke wilayah lomba. Jadi konfliknya membangun prestasi,” jelas Hardly.

Menurut Hardly, kreativitas membuat cerita harus memikirkan dampak terhadap penontonnya. Jika ceritanya mengandung pesan moral dan nilai sportivitas, tentunya akan berdampak positif bagi penonton, khususnya remaja atau anak-anak.

Kreativitas menulis cerita yang mengandung nilai-nilai positif, kata Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo laksono, merupakan tantangan besar bagi penulis skenario. Untuk membuat skenario cerita yang bagus jika program tersebut harus kejar tayangan memang akan sulit. “Karena itu, harus ada pembenahan menyangkut hal itu supaya kita tidak lagi terjebak pada persoalan klasik,” tambah Mayong.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah mengatakan, indeks kualitas program siaran untuk tayangan sinteron pada tahun 2016, secara umum masih di bawah tiga (3). Hanya sekali, indeksnya di atas tiga yakni pada saat bulan Ramadhan. 

“Peningkatan di bulan Ramadhan ini seharusnya menjadi momentum bagi lembaga penyiaran untuk mempertahankan kualitas tayangannya di luar bulan itu. Sebaiknya, nilai Ramadhan tadi ditarik keluar ke bulan-bulan setelahnya,” kata Nuning.

Terkait hal itu, Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini menyatakan bahwa hal itu merupakan tantangan bagi lembaga penyiaran dan rumah produksi untuk menjelajah ide cerita sehingga pesan yang ada dalam cerita bisa sampai ke penonton. ***

Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, menghadiri acara Sosialisasi Permen Kominfo No.18 tahun 2016 tentang Tata Cara Perizinan Penyiaran di Makassar, Kamis (23/3/17).

 

Makassar – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mulai mensosialisasikan tatacara pelayanan perizinan penyiaran yang baru melalui Peraturan Menteri Kominfo No.18 tahun 2016. Proses pelayanan perizinan penyiaran baru ini akan lebih cepat dan transparan.

Dalam acara sosialisasi Permen di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (23/3/17), Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio mengatakan, permen baru ini menegaskan kepastian soal waktu proses pelayanan mulai dari pendaftaran hingga terbit izin tetapnya.

“Pemohon izin akan mengetahui kejelasan waktu proses izin mereka sampai mana dan selesainya kapan. Jadi harapannya tidak ada lagi berlarut-larut,” kata Agung yang dalam kesempatan itu didampingi Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo, Ahmad M. Ramli.

Agung menambahkan bahwa aplikasi on line untuk proses perizinan seharusnya membawa paradigma baru para pemilik lembaga penyiaran untuk ramah terhadap teknologi informasi atau internet.

"Gaya berpikir konvensional yang selalu mengandalkan dokumen fisik harus segera ditinggalkan karena memakan biaya dan waktu. Perkembangan teknologi informasi harus dimanfaatkan untuk pelayanan yang cepat dan transparan," pungkas Agung.

Sementara itu, pemilik lembaga penyiaran lokal dan nasional yang menghadiri acara sosialisasi itu mendukung langkah Kemkominfo dan KPI untuk menerapkan permen 18 tersebut. 

"Permen 18 akan didukung oleh aplikasi perizinan on line yang akan semakin memudahkan pemohon untuk dapat memantau tahapan perizinan," kata Direktur Penyiaran Kominfo, Geryantika.  ***

Pontianak - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalbar angkat bicara menanggapi kondisi yang saat ini tengah dialami oleh Sekretariat KPID Kalbar atas ketiadaan kelembagaan sekretariat KPID sejak Januari 2017, dan menanggapi pernyataan Ketua Komisi I DPRD Kalbar.

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalbar, Muhammad Syarifudin Budi mengatakan eksistensi KPI adalah bagian dari wujud peran serta masyarakat dalam hal penyiaran, baik sebagai wadah aspirasi maupun mewakili kepentingan masyarakat (UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, pasal 8 ayat 1).

Legitimasi politik bagi posisi KPI dalam kehidupan kenegaraan berikutnya secara tegas diatur oleh UU Penyiaran sebagai lembaga negara independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran (UU Penyiaran, pasal 7 ayat 2). "Secara konseptual posisi ini mendudukkan KPI sebagai lembaga kuasi negara atau dalam istilah lain juga biasa dikenal dengan auxilarry state institution," tegasnya. Dalam rangka menjalankan fungsinya KPI memiliki kewenangan (otoritas) menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat.

Pengaturan ini mencakup semua daur proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian, operasionalisasi, pertanggungjawaban dan evaluasi. Dalam melakukan semua ini, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga negara lainnya, karena spektrum pengaturannya yang saling berkaitan.

Ini misalnya terkait dengan kewenangan yudisial dan yustisial karena terjadinya pelanggaran yang oleh UU Penyiaran dikategorikan sebagai tindak pidana.

Selain itu, KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam menampung dan menindaklanjuti segenap bentuk apresiasi masyarakat terhadap lembaga penyiaran maupun terhadap dunia penyiaran pada umumnya.

Keberadaan sekretariat KPID Provinsi Kalimatan Barat telah ditiadakan sejak Januari 2017 berikut dengan personalia dan anggarannya, karena konsekuensi dari dijalankannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (sebagaimana amanat UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah) oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.

Sebelum penataan kelembagaan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 18 tahun 2016, Sekretariat KPID merupakan salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tersendiri, sesuai Peraturan Mendagri Nomor 19 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tatakerja Sekretariat KPID dan Peraturan KPI Nomor 01/P/KPI/07/2014 tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia.

"Pokok persoalannya dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda itu dikatakan bahwa penyelenggaraan penyiaran tidak termasuk urusan pemerintahan baik urusan Daerah maupun Pusat, yang kemudian berimplikasi pada muatan PP No. 18 tahun 2016," paparnya.

Perlu digarisbawahi bahwa, keberadaan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah tidak mencabut UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Keberadaan UU Penyiaran merupakan aturan khusus (lex specialis) sedangkan UU Pemda merupakan aturan umum (lex generalis). Hal ini berlaku asas hukum lex specialis derogate lex generalis.

Dengan demikian, keluarnya PP nomor 18 tahun 2016 tidak serta merta diartikan bahwa KPID selaku lembaga negara independen ikut dibubarkan atau dileburkan, karena dasar pembentukan KPID adalah UU nomor 32 tahun 2002, yang mana pada Pasal 9 ayat (4) menyatakan KPI dibantu oleh sebuah Sekretariat yang dibiayai oleh negara dan ayat (6) menyebutkan bahwa Pendanaan KPI Pusat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan pendanaan KPI Daerah berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Selain itu, karena KPID lembaga independen yang kedudukannya sebagai lembaga kuasi negara, tidak tepat apabila sekretariat KPID Kalbar berada di bawah Dinas Kominfo seperti yang diwacanakan. Mengingat dengan masuknya KPID dalam struktur pemerintahan daerah, maka timbul persoalan jaminan independensi bagi lembaga ini. Belum lagi berkaitan dengan legitimasi produk perijinan penyiaran yang dikeluarkan oleh KPID dan menyulitkan posisi KPID dalam menindaklanjuti kasus sengketa penyiaran yang melibatkan pemerintah. "Ketika menangani sengketa kami tidak boleh menjadi bagian dari lembaga lain," jelas Budi.

UU Nomor 23 Tahun 2014 merupakan aturan umum berkaitan dengan pembagian kewenangan pusat dan daerah. Sedangkan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan aturan khusus yang mengamanatkan kewenangan pembentukan Sekretariat KPID dan pembebanan anggarannya.

Kelembagaan Sekretariat KPID Provinsi Kalimantan Barat telah sah secara hukum karena telah dibentuk sesuai peraturan yang berlaku, yaitu UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, mendasarkan pada kriteria pembentukan OPD berdasarkan Peraturan Mendagri Nomor 19 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tatakerja Sekretariat KPID dan PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.

Hingga saat ini Menteri Dalam Negeri juga belum mencabut Peraturan Mendagri Nomor 19 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tatakerja Sekretariat KPI Daerah, sehingga peraturan tersebut masih berlaku, meski perlu diadakan penyesuaian.
Pendanaan kegiatan KPID dan Sekretariat KPID telah sah secara hukum karena pembebanan tersebut sesuai amanat UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yaitu dibebankan pada APBD.

Ia berharap penjelasan ini dapat mendudukkan persoalan terkait polemik keberadaan Sekretariat KPID dan penganggaran kegiatan dan programnya segera diselesaikan, mengingat selama 3 (tiga) bulan terakhir, KPID bekerja tidak efektif menjalankan fungsi dan amanat yang diembankan kepadanya.

"Sungguhpun demikian kami tetap bekerja memenuhi tanggung jawab dan amanat yang diemban dalam batas kemampuan untuk memfasilitasi pelayanan perijinan, pengawasan isi siaran, dan kelembagaan," ucapnya. Red dari tribunnews.com

Komisioner KPI Pusat Nuning Rodiyah

 

Jakarta - Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang telah rampung disusun oleh Komisi I DPR RI, saat ini tengah memasuki tahapan harmonisasi oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR RI. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan masukan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Baleg DPR RI terkait RUU tersebut, (23/3/17).

 

Dalam RDP yang dipimpin oleh Wakil Ketua Baleg DPR RI Firman Subagiyo, Komisioner KPI Pusat bidang Pengawasan Isi Siaran Nuning Rodiyah menyampaikan beberapa masukan terkait penyiaran politik, iklan politik dan persentase iklan dalam program siaran. Menurut Nuning, RUU Penyiaran harus mengatur dengan jelas mengenai  definisi iklan politik. Saat ini, dalam undang-undang yang ada, hanya dikenal dua jenis iklan saja. “Yakni iklan niaga dan iklan layanan masyarakat”, ujarnya. Karenanya, dengan aturan tersebut, semua iklan partai politik masuk dalam kategori iklan niaga.  Nuning berharap dalam Undang-Undang Penyiaran yang baru nanti iklan politik dapat diatur sedemikian rupa sehingga hanya dapat ditayangkan pada saat masa kampanye sebagaimana perundang-undangan yang berlaku. 

 

Sedangkan terkait siaran iklan dalam RUU yang memberikan persentase sebanyak 30% dari waktu program, sebaiknya ditinjau ulang karena sebaran iklan pada setiap program tidak sama.  Nuning juga menilai pemberlakuan batas maksimal siaran iklan sebesar 30% dari durasi tayang setiap hari, masih terlalu banyak. Selain itu, RUU juga harus memberikan batasan tegas tentang yang dimaksud siaran iklan. “Apakah hanya berupa spot iklan saja atau termasuk yang built in dalam program siaran”, ujarnya. Dalam pemantauan KPI selama ini, jika pemunculan produk yang built in dalam program siaran, baik itu berupa kemunculan logo produk, wujud produk, atau juga penyebutan nama produk dan lain-lain juga dikategorikan sebagai siaran Iklan, maka persentasenya sudah melebihi ketentuan 20% per hari.

 

Namun demikian Nuning mengapresiasi usulan Iklan Layanan Masyarakat yang meningkat persentasenya menjadi paling sedikit 15% dari durasi siaran iklan komersial. Dalam Undang-Undang Penyiaran saat ini, ILM paling sedikit harus disiarkan sebanyak 10% dari durasi siaran iklan komersial. KPI akan segera menyampaikan penyempurnaan masukan atas RUU tentang Penyiaran ini, agar aturan yang berlaku tersebut dapat seoptimal mungkin memberikan kemaslahatan bagi masyarakat.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.