Jakarta - Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengunjungi kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Jumat, 4 Maret 2016. Kunjungan itu dalam rangka konsultasi proses perekrutan anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) NTT yang sudah mulai berjalan awal tahun ini.
Dalam pertemuan itu, rombongan DPRD NTT dipimpin oleh Ketua Komisi I DPRD NTT Maxi Ebu Tho. Ia mengungkapkan, tahun ini masa jabatan anggota KPID NTT telah memasuki tahun terakhir. Maka, DPRD pun telah menyiapkan panitia seleksi anggota KPID NTT masa jabatan 2016-2019.
“Saat ini kami telah membentuk tim pansel yang terdiri dari lima anggota dari berbagai latar belakang. Kami ingin mendiskusikan hal-hal lebih lanjut mengenai peraturan perekrutan yang sudah diatur dalam UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia no 1 tahun 2014 tentang Kelembagaan KPI,” terang Maxi.
Pada pertemuan itu DPRD NTT disambut oleh Komisioner KPI Pusat bidang pengawasan isi siaran Rahmat Arifin, Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Fajar Arifianto Isnugroho, Sekretaris KPI Pusat Maruli Matondang dan Kepala Bagian Perencanaan, Hukum dan Humas KPI Pusat Umri.
Fajar mengatakan, pembentukan tim seleksi mutlak ditangan DPRD. “Pada prinsipnya, panitia seleksi adalah kepanjangan tangan DPRD untuk melakukan teknis seleksi anggota KPID, maka harus mendapatkan supervisi langsung dari anggota DPRD agar proses rekrutmen dapat dikontrol dengan baik,” kata Fajar.
Berkaitan dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota KPID, Maruli menjelaskan, bahwa kesempatan itu terbuka lebar. Hanya saja, perlu ditekankan bahwa apabila PNS yang mencalonkan diri tersebut lolos seleksi maka yang bersangkutan harus bersedia mengundurkan diri sebagai PNS.
“Hal ini seperti yang diatur dalam UU no 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) pasal 88,” terang Maruli.
Berkaitan dengan tata cara seleksi, Fajar mengingatkan, proses seleksi harus terbuka. “Dalam hal ini terbuka maksudnya bisa diakses oleh publik, pengumuman pendaftarannya disiarkan di media massa, dan saat uji kelayakan dan kepatutan juga boleh diliput media,” ujarnya.
Selain itu, menganai tata cara seleksi, kata Fajar, adalah ranah kewenangan DPRD. Apabila DPRD ingin menambahkan elemen-elemen lain sebagai pelengkap, misalnya wawancara, hal itu boleh saja dilakukan selama dianggap perlu, demi terpilihnya anggota yang berkompeten.
Prinsipnya, hal-hal yang perlu diujikan antara lain melingkupi visi-misi, pemahaman menganai dunia penyiaran, komitmen waktu kerja, dan pemahaman mengenai dinamika daerah.
Rahmat mengimbuhkan, media adalah alat untuk menggairahkan daerah. Saat ini belum banyak lembaga penyiaran induk jaringan yang membuka stasiun di NTT. Maka yang lebih berperan adalah lembaga penyiaran komunitas. “Kita tahu saat ini KPID NTT sedang fokus pada radio komunitas. Hal itu perlu diapresiasi demi mendorong kemajuan daerah-daerah terpencil di NTT,” kata Rahmat
Disamping hal-hal teknis perekrutan, Rahmat berpesan, “tolong perhatikan proporsi keikutsertaan anggota lama yang mencalonkan diri kembali. Adanya anggota incumbent ini sangat penting untuk menunjang kesinambungan program dan kinerja KPID.”
Palembang - Televisi harus mendengarkan aspirasi masyarakat tentang kualitas isi siarannya, guna menjaga keberlangsungan industri penyiaran dalam bersaing -pasar global. Jika program siaran televisi sudah sesuai dengan harapan dan aspirasi masyarakat, tentunya televisi tidak akan kehilangan pasarnya dalam bisnis penyiaran. Masyarakat pun akan merasa dekat dengan televisi serta melakukan pembelaan dengan cara menjadi pemirsa yang setia. Hal tersebut terungkap dalam Survey yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentang Minat, Kepentingan dan Kenyamanan Publik (MKK) tentang penyiaran, di kantor KPI Daerah Sumatera Selatan (3/3).
Dalam Survey MKK ini, komisioner KPI Pusat Azimah Subagijo mengajak masyarakat aktif menyampaikan pendapatnya tentang muatan program siaran. Perwakilan masyarakat yang hadir dalam survey MKK terbut terdiri atas akedemisi, tokoh agama, budayawan, serta dari pemuda dan perempuan. Komisioner KPI Pusat bidang pengelolaan struktur dan system penyiaran, Amiruddin, memandu jalannya survey MKK yang dilakukan dengan model diskusi terbatas.
Diantara masukan yang didapat adalah keinginan masyarakat agar pengelola televisi tidak menampilkan lagi public figure yang pernah bermasalah dengan hukum. Jangan sampai hal-hal yang tabu di masyarakat justru diputar balik oleh televisi menjadi hal yang lumrah dan biasa-biasa saja. Hal ini tentu saja mencederai nilai-nilai kearifan yang dipahami masyarakat baik di tingkat lokal daerah ataupun secara nasional.
Terkait nilai-nilai lokal juga, masyarakat di Palembang dan Sumatera mayoritas adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius. Tokoh masyarakat di Palembang, Umar Said, yang hadir pada survey tersebut mengkritik program-program televisi yang kontraproduktif dengan usaha para da’I membina dan memperbaiki masyarakat. “Televisi harusnya jadi mitra bagi masyarakat dalam mengembangkan budaya lokal. Bukan malah mengerus dan menggantikan dengan budaya yang tidak sesuai bagi masyarakat”, eujar Umar. Terkait pemanfaatan televisi untuk sosialisasi politik juga menjadi sorotan dari kalangan perempguan, pemuda dan akademisi. Malah ada usulan yang mengemuka agar dalam regulasi yang tengah disusun melarang secara tegas penggunaan televisi untuk kepentingan politik praktis.
Survey MKK yang dibuka oleh Ketua KPID Sumatera Selatan Iwan Kesumajaya ini bertujuan menghimpun minat, kepentingan dan kenyamanan masyarakat terhadap muatan lembaga penyiaran, sebagaimaa yang diamanatkan dalam undang-undang nomor 32 tahun 2002. Sebelum di Palembang, survey MKK ini sudah dilakukan di Makassar. Diagendakan survey selanjutnya dilaksanakan di Surabaya bekerja sama dengan KPID Jawa Timur.
Jakarta – Lahirnya UU Penyiaran empat belas tahun silam melambungkan harapan industri penyiaran Indonesia khususnya TV lokal untuk berkembang. Berlandaskan asas keberagaman kepemilikan dan juga keberagaman isi siaran harapan terwujudnya penyiaran di tanah air yang demokratis semakin konkrit.
Sayangnya, harapan publik menikmati kondisi yang selaras dengan tujuan UU Penyiaran No.32 tahun 2002 jauh panggang dari api. Salah satunya soal keberadaan TV-TV lokal di daerah yang satu per satu tumbang atau juga tergadaikan. Persoalan finansial menjadi faktor utama selain kesulitan mereka bersaing dengan televisi yang mampu bersiaran secara nasional.
Dalam acara FGD (focus grup diskusi) yang diselenggarakan KPI Pusat, Selasa, 1 Maret 2016, dibahas bagaimana kondisi dan problematika TV lokal selama ini. Komisioner KPI Pusat sekaligus Koordinator bidang Kelembagaan Bekti Nugroho di awal diskusi mengatakan persoalan TV lokal menjadi perhatian KPI dan pihaknya berupaya mencari solusi.
KPI, lanjut Bekti, ingin mengubah cara pandang publik terhadap TV lokal yang dinilai kurang merasa memiliki TV lokal yang ada di daerahnya. “Seharusnya, publik daerah punya rasa bangga dan memiliki TV lokalnya. Mengapa ini bisa terjadi. Kita harus tahu kenapa,” harap Komisioner yang juga Koordinator bidang Kelembagaan KPI Pusat.
Sebenarnya persoalan apa yang melilit TV lokal hingga sulit berkembang di daerah. Satu per satu perwakilan dari beberapa TV lokal diberi kesempatan menyampaikan pengalamannya. Perwakilan dari TV KU Semarang, Heri, bercerita bagaimana mereka merasa gelisah ketika kebijakan migrasi dari analog ke digital harus dilaksanakan. Meskipun secara prinsip mereka siap melaksanakan tapi persoalan MUK (lembaga penyelenggara multiplexing) dirasa agak memberatkan khususnya mengenai sewa kanal. “Kami mendengar tarif sewanya mencapai 80 juta perbulan. Ini menyulitkan kami yang berstatus TV lokal. Soal ini, kami butuh kejelasan,” tandasnya.
Winata dari Cakra TV juga bercerita ketika TV lokal muncul dan pada saat itu semua orang ingin membuatnya dan yang terjadi dikemudian hari mereka beramai-ramai menjualnya. Menurutnya, bisnis TV adalah bisnis oriented. Bisnis ini sama artinya dengan bisnis mempengaruhi. Saat sebuah TV lokal sudah masuk ke dalam jaringan induk, itu menandakan TV tersebut sudah kolaps. “Meskipun hanya bersiaran 11 jam dan berdarah-darah, kami tetap idealis. Kami tidak mau TV ini dijual,” tegasnya.
Sulitnya mendapatkan pengiklan juga diceritakan Winata. Keadaan ini disebabkan paradigma pengiklan yang menghitung cakupan penonton dari televisi tersebut. “Cakupan TV lokal itu terbatas, sedangkan TV yang bersiaran nasional cukup luas. Mereka menghitung 1 rupian di TV kami hanya bisa menjangkau 10 orang,” katanya. Hal itu juga terkait aturan yang memberikan batas maksimal pancar atau siaran bagi TV lokal hanya 5000 watt. Angka tersebut hany cukup menjangkau wilayah radius kurang dari 10 km. Sedangkan TV yang bersiaran nasional bisa lebih dari 10.000 watt.
Menurut Winata, keberadaan TV lokal harus diperjuangkan dan dibela. “Televisi itu kan bisnis yang padat modal, padat karya dan kami kesulitan SDM. Semakin banyak karyawan, semakin banyak pengeluaran. Makanya TV Lokal perlu dibela, tapi kami realistis KPI juga agak sulit membela kami dengan regulasi yang sangat terbatas. Perlu ada keberpihakan kepada kami agar TV lokal bisa tumbuh dan melestarikan program-program budaya daerah,” pintanya.
Sementara itu, Mursalin dari PON TV mengharapkan agar perubahan UU Penyiaran bisa memberikan kepastian terhadap nasib TV lokal. Jika UU tersebut condong terhadap keberlangsungan TV lokal, maka hal ini akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan TV lokal.
“Kami juga perlu dipertemukan dengan investor agar kami tumbuh. Karena sangat sedikit inverstor yang mau invest pada TV lokal. Perlu survey di daerah tentang efektivitas TV lokal,” tambahnya. Cerita yang disampaikan Heri, Mursalin, dan Winata sudah cukup menggambarkan sulitnya kehidupan TV-TV di daerah. Belum lagi jika kita dengarkan cerita dari belasan perwakilan TV lokal yang hadir dalam FGD di kantor KPI Pusat tersebut.
Mendengar curahan hati dari TV lokal, Komisioner KPI Pusat Fajar Arifianto Isnugroho turut prihatin. Dirinya beranggapan hal itu disebabkan oleh ketidakadilan aturan terhadap mereka. Awalnya, kata Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat ini, hadirnya sistem siaran jaringan akan banyak membantu eksistensi TV lokal dengan pembagian keuntungan yang adil. Sayangnya, hal itu justru tidak berjalan. “Kami berharap sistem stasiun jaringan dengan konsep sebenarnya bisa berjalan. TV nasional bisa menggandeng TV lokal, sehingga bisa hidup. Maka dari itu, kami menghimbau agar teman-teman TV lokal memberikan catatan kepada menkominfo,” pintanya. Terkait hal itu, Fajar mengusulkan agar diskusi ini mengeluarkan semacam rekomendasi kepada Menkominfo. Rekomendasi ini penting karena menyangkut keberadaan TV lokal sudah berjuang mati-matian untuk menghidupi penyiaran di daerah. “Saat saya di KPI Daerah Jatim , saya biarkan TV lokal tumbuh dahulu baru diatur. Ini kan tidak. Belum tumbuh tapi sudah dibatasi,” katanya.
Mantan Ketua KPID Jatim periode 2010-2013 ini juga mengharapkan agar paket kebijakan Presiden Jokowi menyentuh dunia penyiaran karena investasinya luar biasa. Paket tersebut bisa menyentuh ISR gratis dan IPP gratis. Harapannya, demi kebaikan dan perkembangan TV lokal di Indonesia. Kehadiran mereka sangat terasa dalam menjaga keutuhan keberagaman budaya yang ada di tanah air.
Jakarta – Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia mengapresiasi langkah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang melarang segala jenis promosi mengenai lesbi, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di lembaga penyiaran.
Komisi I juga mendukung KPI untuk memperketat pengawasan konten terkait LGBT di lembaga penyiaran serta memberikan sanksi tegas terhadap pelanggaran penayangan konten LGBT. Hal itu ditegaskan dalam hasil kesimpulan Rapat Kerja (Raker) Komisi I dengan KPI Pusat dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Anggota Komisi I DPR Evita Nursanty menegaskan dirinya sangat mengapresiasi apa yang dilakukan KPI terkait LGBT. Dirinya tidak mempermasalahkan surat edaran KPI mengenai larangan mempromosikan LGBT di lembaga penyiaran. “Kita tidak diskriminasi terhadap terhadap orang-orang tersebut, tapi jika itu ada promosi perilaku tersebut terhadap masyarakat itu tidak boleh,” kata Politisi dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan.
Pernyataan senada juga disampaikan Anggota DPR RI Elnino M. Husein Mohi. Menurutnya, surat edaran KPI sudah tepat. “Saya sangat mendukung langkah KPI tersebut,” katanya.
Anggota DPR RI dari F-PKS Sukamta juga mendukung langkah KPI dan berharap KPI konsisten melakukan hal itu karena ini menyangkut kebaikan generasi Indonesia. Dirinya mengkhawatirkan perilaku tersebut jadi hal yang lumrah dan kemudian ditiru.
“Kita ingin generasi kita adalah generasi yang baik dan tidak menyimpang. Lagi pula, tidak elok mempertontonkan hal-hal yang menyimpang kepada masyarakat,” tambah Anggota Komisi I Rachel Maryam Sayidina dari F-Gerinda.
Sementara itu, Anggota DPR RI dari Politisi dari PDIP lain, Effendi Simbulon menegaskan jangan sampai soal LGBT ini masuk dalam hukum positif Indonesia. Dirinya juga mempertanyakan sejauh mana efektifitas larangan KPI tersebut bisa berjalan.
Selain dukungan atas pelarangan promosi LGBT, kesimpulan dari Raker Komisi I DPR dengan KPI dan Kominfo juga mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika menutup situs online yang mempromosikan dan mempropagandakan konten LGBT dan membuat regulasi untuk hal tersebut.
DPR juga meminta Kominfo melakukan kontrol konten yang beredar di internet yang terkait pornografi dan hal-hal yang negatif untuk melindungi anak-anak bangsa.
Dalam Raker tersebut hadir Ketua KPI Pusat Judhariksawan, Menteri Kominfo Rudiantara, Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad, Komisioner KPI Pusat Agatha Lily, Amirudin, Azimah Subagijo, Danang Sangga Buana, Fajar Arifianto Isnugroho, dan Sujarwanto Rahmat Arifin.
Di awal Raker, baik KPI Pusat maupun Kominfo diminta penjelasan terkait perpanjangan izin penyelenggaran penyiaran lembaga penyiaran. DPR mempertanyakan sejauhmana proses tersebut sudah berjalan. ***
Jakarta – Hampir lima tahun sejak digulirkan pada 2010, perubahan UU Penyiaran No.32 tahun 2002 hingga sekarang masih dalam pembahasan di DPR. Di tahun 2016 ini, Komisi I DPR RI menyatakan akan menuntaskan pembahasan revisi undang-undang tersebut menjadi UU Penyiaran baru. Namun, seperti apakah isi Rancangan UU-nya dan sejauh mana draft perubahan UU Penyiaran itu bisa meredam rasa resah publik dan mengurai benang kusut penyiaran di tanah air?
Pada diskusi bertemakan “Quo Vadis Penyiaran Kita” yang diprakarsai Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) di Gedung Nusantara I, Senayan, Kamis 25 Februari 2016, kembali dicuatkan topik mengenai perubahan UU Penyiaran. Empat narasumber dihadirkan dalam diskusi tersebut, yaitu Wakil Ketua Komisi I DPR RI Hanafi Rais, Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad, Perwakilan Akademisi Pinckey Triputra, dan Praktisi Penyiaran Edy Kuscahyanto. Peserta diskusi yang hadir datang dari kalangan pemerhati media, lembaga penyiaran, LSM, media massa, kalangan pendidik dan orangtua, dan beberapa Anggota DPR RI.
Di awal diskusi, pakar media yang juga akademisi dari Universitas Indonesia (UI) Pinckey diberi kesempatan mengutarakan pokok pikirannya dan sempat menyinggung perihal adanya pelemahan terhadap kewenangan KPI dalam RUU Penyiaran yang sedang dibahas DPR. Salah satu poin pelemahannya menyangkut keterlibatan KPI dalam hal penyelenggaran penyiaran yang dikhawatirkan tidak ada dalam draft tersebut.
Padahal, menurut Pinckey, KPI harusnya memiliki kewenangan dalam prosesi penyelenggaraan penyiaran atau perizinan penyiaran. Menurut Dosen Ilmu Komunikasi UI, keterlibatan tersebut sangat berkaitan dengan konten siaran.
“Isi siaran dipengaruhi oleh organisasi kelembagaan dari lembaga penyiaran tersebut, lanjut Pinckey, karena ini berkaitan dengan prinsip keberagamaan kepemilikan. Jika prinsip yang biasa diistilahkan sebagai Diversity of Ownership ini tidak berjalan, maka sangat mungkin mempengaruhi proses ke bawahnya seperti produksi, distribusi dan konsumsi,” jelasnya.
Pinckey bergeming agar KPI tetap memiliki kewenangan tersebut dan makin diperkuat dalam perubahan UU Penyiaran. Terasa hambar rasanya jika KPI hanya mengurusi persoalan isi siaran meskipun kewenangan memberikan sanksi pada pelanggar aturan P3SPS akan lebih diperberat dengan pemberlakuan denda finansial. “Isi siaran itu sangat dipengaruhi oleh organisasinya. Karena itu, kami mendorong penguatan fungsi-fungsi KPI,” ujarnya.
Penegasan mengenai penguatan kewenangan atau kelembagaan KPI juga dipaparkan Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad. Dalam presentasinya, ada tiga aspek penguatan KPI diutarakan Komisioner KPI Pusat bidang Isi Siaran ini. Penguatan ini dimaksudkan untuk menghapus indikasi dan faktor kelemahan yang terjadi seperti status ambigu lembaga negara, anggaran yang terbatas, hanya sebagai pemberi rekomendasi perizinan, adanya pengabaian sanksi, sanksi hanya menjangkau lembaga penyiaran tidak menyangkut pembawa acara, dan serba tanggung terkait perizinan dan isi siaran.
Pertama, penguatan kelembagaan KPI dalam hal penyempurnaan rekruitmen anggota KPI, masa bakti jabatan hingga 5 tahun, pembentuk dewan kehormatan atau etik KPI, pembentukan hubungan KPI Pusat dan KPID yang hierarkis, pengembangan kesekretariatan KPI Pusat menjadi Sekjen yang semula hanya di level sekretariat, dengan tidak melupakan pemenuhan daya dukungan.
“Semisal, periode sekarang yang hanya sampai tiga tahun jabatan. Ini dirasa kurang. Baru saja mulai sudah harus berakhir. Kemudian keberadaan kesekretariatan KPI Pusat yang saat ini hanya dikepalai pejabat setingkat esselon II. Harusnya setingkat esselon I dengan sekretariat dikembangkan menjadi kesekjenan,” jelasnya di tengah memberi presentasi.
Kedua, penguatan kewenangan antara lain soal penyelenggaraan internet TV atau streaming, pemberian izin penyelenggaraan penyiaran, pemberian izin program siaran, penentuan standar program siaran, penentuan kuota format siaran, penilaian program siaran sebelum tayang, dan pengawasan penuh isi siaran.
Ketiga, penguatan jenis sanksi mulai dari teguran, penghentian sementara, penghentian tetap program acara yang bermasalah, sanksi denda, pembekuan siaran, dan rekomendasi mengikat pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP).
“Adanya sanksi denda finasial seperti yang diterapkan di beberapa negara luar, diharapkan bisa menimbulkan efek jera untuk perbaikan isi siaran,” jelasnya.
Idy menyinggung beberapa posisi yang berkaitan dengan perubahan UU ini antara lain posisi legislator. Menurutnya, legislator harus memiliki kepekaan (sensitifitas) mendalam untuk menyelami permasalahan penyiaran. Ini akan berkaitan terhadap penciptaan sebuah UU Penyiaran baru yang mampu memecahkan problema penyiaran secara sistemastis.
Posisi lain dalam perubahan UU Penyiaran yang bicarakan Idy adalah pemerintah, perihal peran mereka dalam UU tersebut. Menurut Idy, dalam sebuah tatanan penyiaran yang demokratis, peran lembaga negara independen adalah ujung tombak terdepan dalam pengaturan penyiaran. “Pembagian kewenangan ini harus jelas antara pemerintah dengan KPI,” katanya.
Pendapat Idy sangatlah beralasan. Amerika Serikat dan Australia yang menganut sistem demokrasi secara tulus memberikan kewenangan mengenai penyiarannya kepada lembaga independen semacam FCC (Federal Communications Commission) dan ABC (Australian Broadcasting Corporation).
Karena itu pandangan Idy mengenai demokratisasi penyiaran yang dipaparkannya terasa pas dengan apa yang diterapkan di banyak negara berhaluan paham ini. Penyiaran itu harus dari rakyat (frekuensi milik publik, kekayaan di udara), oleh rakyat (pengelolaan media melibatkan publik, publik sebagai subyek bukan hanya obyek) dan untuk rakyat (sebesar-besarnya untuk kepentingan, kesejahteraan, dan kemaslahatan rakyat).
Sementara itu, terkait posisi industri penyiaran dan kepentingannya harus diseimbangkan dengan tanggung jawab sosial meskipun terdapat orientasi keuntungan ekonomi. Sayangnya, lanjut Idy, peran publik sebagai pengawal perubahan UU dinilainya makin jauh dari peduli. Padahal, saat UU Penyiaran tahun 2002 pasca reformasi dibahas, publik begitu peduli.
Tapi, momentum perubahan UU ini tidak boleh dilewatkan. KPI berupaya memanfaatkan momentum ini sebagai upaya untuk meningkatkan isi siaran dan perkembangan dunia penyiaran di tanah air. Ini untuk kebaikan penyiaran Indonesia dan mengurai benang kusut masalah penyiaran yang terjadi selama ini. “Harapannya, legislator dalam hal ini DPR, dapat menciptakan undang-undang yang solutif bagi semuanya,” tandas Idy menutup presentasinya. ***
setelah menonton salah satu program TV di stasiun Trans TV ini dan melakukan kajian terhadap program yang ditayangkan, saya melihat satu ke janggalan pada acara ini yakni pelanggran terhadap tayangan tontonan yang di tayangkan pada siang hari, waktu dimana anak-anak masi banyak beraktivitas. Pada episode ini adegan dimana salah satu artis dangdut memeluk salah satu bintang tamu pada acara itu, dengan cara yang tidak biasa, dimana pada episode tersebut ia memerankan karakter hantu yang tidak terlihat oleh manusia biasa jadi ia melakukan tindakan yang seakan bisa melakukan apa saja dan menyentuh pada bintang tamu di acara itu, untuk tontonan dengan jadwal tayang siang tidak pantas atau tidak cocok ditayangkan pada jam tersebut. Karena acara ini berlangsung pada jam 13.00 maka ini termaksud jam rawan di tonton anak-anak apalagi ditanggal sembilan oktober itu bertepatan pada hari minggu dimana anak-anal libur sekolah dan menghabiskan waktu di rumah berkemungkinan besar akan menonton TV pada waktu itu.
Hal tersebut menyalahi aturan yang tertera pada undang-undang P3SPS BAB X perlindungan kepada anak pasal 14 nomor 1 dan nomor 2, dan undang-undang penyiaran nomor 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran dengan persetujuan DPR dan Presiden RI.
Pojok Apresiasi
Rody Izzul
Keren, banyakin anime, please jangan ada sensor sensor ga jelas, jadi ambigu kalo ada sensor.